Taat Kalau Ada Yang Ngeliat!


Bacaan: Matius 23:13-22 "Yesus mengecam ahli-ahli taurat" (bag.II)
Lebih dari sebulan yang lalu, ketika jalan-jalan di kota Padang-Sumatera Barat, cukup sering saya melihat banner kecil yang tertulis di belakang beberapa angkutan umum: TAAT KALAU TIDAK ADA YANG LIHAT! Anda tentu mengerti maksudnya. Di Jakarta, bukan bannernya yang sering saya lihat tapi kelakukan para pengguna jalan. Di mana-mana banyak yang tidak sabaran menanti nyala traffic light dari merah berganti hijau; sebelum hijau dan pas polisinya tidak mangkal di lampu merah, beberapa kendaraan sudah wusssss.....Banner tadi, bagi saya, adalah potret kita, potret masyarakat kita.
Injil hari ini melanjutkan litani kecaman Yesus atas sikap munafik ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Tentu tidak semua ahli taurat dan orang Farisi itu munafik, dan pasti mereka-mereka yang dikenal Yesuslah yang dikecam. Kita juga bisa keliru jika memikirkan bahwa umumnya citra ahli-ahli Taurat dan orang Farisi itu buruk. Sabda dan kecaman itu harus dibaca sebagai kecaman untuk kita.
Kemunafikan adalah sikap yang dikecam Yesus. Kecenderungan ini bisa menimpa siapa saja. Kalau diselidiki, munafik adalah bagian dari mekanisme pembelaan diri. Kita berusaha menutupi diri, sikap dan tindakan kita yang sebenarnya dengan sikap dan tindakan lain agar kita tetap diterima, diakui dan lebih lagi disanjung dan dipercaya. Di hadapan orang, kita bersikap dan bertindak sesuai yang mereka harapkan. Padahal, sebenarnya dan jika tidak ada yang memperhatikan kita, baru kita melakukan apa yang sesungguhnya kita. Kalau mau jujur, dalam skala kecil, kecenderungan ini ada pada setiap kita - dalam salah satu bagian perkembangan kepribadian kita sebagai manusia, khususnya pada perkembangan masa kanak-kanak. Maka, jika kecenderungan ini tetap main peranan dalam hidup kita saat ini, kita masih kanak-kanak. Kemunafikan sebagai sikap kanak-kanak dalam skala yang lebih besar terungkap dalam sikap Asal Babe Seneng. Kita melakukan sesuatu bukan karena sesuatu itu berguna, penting dan bermanfaat bagi kita tapi supaya atasan, pimpinan kita menerima dan menyukai kita. Kemunafikan bisa terjadi dalam dan di mana saja. Pendek kata, kemunafikan tidak pernah akan membawa kita pada relasi pribadi yang otentik, sehat dan wajar.
Pun dengan Tuhan - dan inilah yang kiranya dimaksudkan Yesus dalam kecamannya-kita tidak mungkin mengalami perjumpaan yang otentik, jika kemunafikan menjadi dasar hubungan kita; bukan cinta tapi rasa takut. Kita ingin 'membeli' perhatian, cinta dan belaskasih Tuhan dengan macam-macam cara:kesalehan, derma, sedekah, misa hari minggu, misa tiap hari, dlll tapi sebenarnya kita tidak sungguh menghendakinya. Kita takut dibilang 'ini' atau dikatain 'itu' jika kita tidak melakukannya. Kita lupa bahwa cinta dan belas kasih Tuhan itu just for free, tidak bisa dibeli. Kemunafikan akan menyulitkan Tuhan untuk mencintai kita; bukan karena Ia tidak mau, tapi karena kita tidak sepenuhnya mengizinkan Dia mengasihi kita. Bagaimana mungkin dia mengenal dan mengasihi kita jika kita menutup diri kita?
Menjadi otentik, adalah perjuangan kita hari ini dan sepanjang hidup kita supaya makin lama kita makin seperti Yesus. Menjadi seperti Dia adalah pilihan yang tidak mudah, bagaikan masuk ke pintu yang sempit. Yesus adalah pribadi yang otentik baik di hadapan manusia maupun di hadapan Bapa-Nya. Dia orang yang terus terang, tidak segan-segan mengeritik. Permusuhan dengan kaum farisi dan ahli Taurat adalah harga yang harus dibayar Yesus atas otentisitasnya itu.

Untuk direnungkan:
1. Apakah hubunganku dengan pasanganku sungguh otentik? Sampai di mana otentisitas hubungan cinta itu dapat kupertanggungjawabkan? Apa yang mendasari aku mencintai pasanganku saat ini?
2.Apakah aku juga dalam doa-doaku bisa terus terang pada Tuhan, tidak banyak bicara tapi dengan hati yang percaya pada belaskasih Allah, mengakui semua kesalahanku?
3. Apakah sebulan, setahun ini aku sudah merayakan sakramen tobat?

salam,
ronald,s.x.

0 komentar:

Blogger Template by Blogcrowds