Bacaan-bacaan suci minggu ini diawali dari seruan kitab pengkhotbah yang sudah terkenal. "Sia-sia, segala sesuatu adalah sia-sia" yang adagium latinnya berbunyi vanitas, vanitatum! (Pengkhotbah 1:2). Seruan ini sepertinya sebuah pesimisme atas kehidupan, sebanding dengan pandangan sastrawan dan filsuf Perancis Albert Camus yang yakin bahwa hidup ini absurd, tidak ada makna atau gunanya. Salah satu cara untuk mengisi hidup yang absurd ini, menurutnya adalah menyadari dan menerima kenyataan yang tanpa makna ini...Sulit ah..., dasar filsuf. Tapi anda tahu, Camus mati dalam sebuah kecelakaan mobil. Entah apakah keyakinan itu ia bawa sampai mati, tak ada yang tahu.
Akan tetapi, kalau kita sebentar menengok bacaan kedua (Kolose 3:1-5.9-11) kita akan pelan-pelan memahami apa sebenarnya yang direnungkan oleh penulis kitab pengkhotbah itu -yang tentunya adalah orang yang sangat beriman pada Tuhan. Perkenalan kita dengan Tuhan, atau perjumpaan kita dengan Yesus tersalib pada hakekatnya membawa kita pada kepenuhan hidup, kepada kenyataan yang sama sekali baru. Pada diri-Nya kita melihat apa dan bagaimana rasanya hidup. Yesus karena sedemikian mencintai Allah, Bapa-Nya dan mencintai kita manusia, maka rela memberi diri-Nya, mati di salib. Ia memberi semuanya, merelakan semuanya untuk yang lain. Dan jadilah, bahwa hidup ini tidak tanpa makna. Pertanyaan pantas kita layangkan pada Camus, kalau memang tanpa makna, kenapa kita pernah ada? Atau untuk apa kita ada kalau memang adanya kita tidak ada bedanya sama sekali dengan jika kita tidak ada? Tentu adanya kita karena Allah menghendaki sesuatu yang baik di dunia ini untuk kita kerjakan.
Maka pernyataan pengkhotbah sebenarnya menggarisbawahi kebenaran ini: memutuskan untuk mempercayakan diri pada Allah dengan mengikuti putra-Nya Yesus berarti siap merelatifkan segala macam hal; atau melihat dan memperlakukan semua yang ada pada kita sebagai sementara atau tidak mutlak, apakah itu barang, harta, uang, relasi dan seterusnya.
kadang karena begitu sibuk bekerja, waktu yang mesti kita sediakan untuk Tuhan atau untuk keluarga, termasuk waktu untuk berelasi dengan tetangga dan warga sekitar kita kurangi atau lama kelamaan kita lupakan. Di bawah sadar kita, memutlakkan sarana-sarana dan sebenarnya mulai memutlakkan diri kita.
Bacaan Injil yang berkisah tentang orang kaya yang bodoh pada Lukas 12:13-21 adalah kiritk yang tajam untuk kecenderungan kita memutlakkan sarana-sarana duniawi dan sebaliknya merelatifkan Tuhan dan sesama. "Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah"(ayat 19). Siapa yang tidak merasa aman dan nyaman jika segala kebutuhan hidupnya terpenuhi? Makan cukup dan berlimpah, uang banyak dan seterusnya. Kritik Yesus bukanlah pada jumlah barang atau harta yang dimiliki tapi sikap hati kita, yang karena begitu menyayangkan dan memikirkan bagaimana harta kita disimpan dan dihabiskan untuk waktu yang lama, sampai-sampai kita lupa berserah diri dan bersyukur pada Tuhan atas semua yang dia berikan pada kita.

Waktu hening.....5 menit

Pertanyaan penuntun?
1. Bagaimana sikapku atas harta dan pekerjaanku sekarang? Apakah aku cukup bertanggung jawab?
2. Apakah tanggung jawabku juga aku berikan dengan menyediakan waktu untuk keluarga? atau menyediakan waktu sambil break kerja, makan dan curhat atau mendengarkan curhat teman?
3. Jika aku masih punya kesempatan hidup sebulan lagi, apakah yang akan kulakukan untuk Tuhan dan sesama?

salam,
fr.ronald,s.x.
Yogyakarta, sabtu 4 agustus 2007, 10.07 pm

0 komentar:

Blogger Template by Blogcrowds