Mall dan pusat-pusat perbelanjaan sudah lama dirias dan bahkan sekarang telah ramai oleh khalayak. Hotel-hotel berbintang sudah penuh di-booking untuk long session holiday seperti saat ini; daftar reservasi restaurant dan tempat-tempat hiburan juga sudah terisi semua. Saya ingat ungkapan klasik dari Romawi ini : Carpe Diem!, kurang lebih artinya :”yuk, habiskan..dan jangan lewatkan hari ini..
Rumah kita pun hampir selalu dibuat istimewa menjelang tahun baru; janji sudah banyak dibuat dengan keluarga, teman, kekasih atau orang-orang terdekat supaya bersama-sama menyambut tahun baru. Lantas kalau bukan merencanakan makanan istimewa, kita sudah memilih beberapa hadiah atau tanda cinta bagi orang-orang dekat itu..
Kita tahu, orang Jawa punya perhitungan waktu sendiri. Suku Aztec dengan sangat indah melukiskan perhitungan waktu mereka dalam gambar-gambar. Pun di masa lampau orang-orang Babylonia menetapkan terbitnya Bulan Pertama sebagai Tahun Baru mereka dan masih banyak lagi… Akan tetapi, tetap saja hampir seluruh penghuni bumi ini serempak memberi jedah yang sama untuk hari terakhir di tahun masehi, sama-sama menjadikan perhitungan masehi sebagai perhitungan mereka. Maka, pantas kita mensyukuri universalisme seperti ini. Orang-orang yang bermusuhan, kulit hitam dan putih, Budhis, Kristen atau Islam sama-sama berhenti sebentar menunggu bergantinya waktu yang sama-sama dan sepakat mereka namakan Satu Januari..
Dalam perhitungan waktu, apa dan bagaimanapun itu, kita bisa menemukan kearifan peradaban nenek moyang kita. Waktu perlu dihitung sedemikian rupa sehingga kita bisa melihat hidup kita sebagai keseluruhan yang lengkap, menemukan hubungan antara peristiwa yang satu dengan peristiwa lainnya. Bersama waktu yang dihitung kita menambahkan di dalamnya kualitas-kualitas seperti kanak-kanak, muda dan tua. Saya yakin perhitungan waktu demikian dibuat sebagai self-affirmation atau penegasan diri manusia bahwa hidupnya terbatas, tapi pada saat yang sama afirmasi atas kerinduannya untuk hidup sepenuh-penuhnya, fully alive…
Orang-orang beriman, di sini di antaranya saya sebutkan Santo Dionisius yang menetapkan perhitungan waktu masehi, membuat perhitungan waktu dengan tujuan mensyukuri kehidupan. Bagi orang Nasrani, Yesus adalah anugerah kehidupan. Maka, tidak salah jika perhitungan itu dinamakan masehi, tahun almasih, tahun penyelamatan, anno domini, tahunnya Tuhan. Saya yakin para pendahulu kita mau memaknai hidup mereka sebagai waktu di mana Allah terus hadir dan menyelamatkan…
Maka di akhir tahun dan menjelang tahun baru ini, saya mengajak teman-teman berterima kasih pada Tuhan yang tidak saja menciptaan waktu, tapi menciptakan kita juga. Bahkan lebih dari itu, Dia memilih untuk masuk dalam waktu, ikut dalam sejarah kita sebagai manusia dalam diri Yesus. Injil Yohanes yang menjadi bahan refleksi akhir tahun, dengan tepat menggarisbawahi kebenaran tadi sebagai “firman yang telah menjadi manusia dan tinggal di antara kita” (Yohanes 1:1-18).
Anda tentu sepakat bahwa kita tidak pernah memilih untuk dilahirkan atau tidak, untuk hidup di dunia ini atau tidak…Yang pasti kita diciptakan, dari tiada menjadi ada; dari ketidakmungkinan menjadi kenyataan.. Maka, hidup dan keberadaan kita totally a gift, anugerah Tuhan. Sebagai anugerah, saya yakin bahwa kita diciptakan tidak dengan semena-mena, melainkan direncanakan. God chooses to love us…Coba bayangkan, apa kah ada bedanya jika kita tidak ada dan jika kita ada? Kalau tidak ada,bukankah itu berarti memang kita tidak penting, lalu dunia terus berjalan tanpa sedikitpun menerima dampak dari keberadaan kita. Toh, ternyata ada bedanya…maka itu berarti kita penting, we are completely valuable!
Saya dan anda tengah menghitung-hitung waktu yang sebentar lagi berganti dan tentu di Cilandak Town Square, TA, Hilton Hotel orang datang jauh-jauh dari Bekasi, Tangerang untuk bersama-sama menghitung: satu, dua…dan tiga.. sambil meniupkan terompet. Bahkan tidak sedikit yang mulai ngikut gaya selebritas yang pake ngelamar segala di malam taon baru..Pun begitu yakin saya saat ini, bahwa berjuta-juta tangan sedang siap-siap di atas mobile phone nya untuk nge-send ucapan pertama Selamat Tahun Baru pada orang-orang yang spesial baginya
Sebelum semuanya itu…sebelum anda meniup terompet panjang-panjang, sebelum kening orang-orang yang anda cintai dicium; sebelum anda menghitung satu,dua dan tiga…biarlah barang lima menit, anda memasang lilin, duduk melingkar di meja bersama keluarga, diam sejenak mensyukuri semua yang sudah terjadi. Masukkanlah dalam ingatan anda semua orang yang langsung atau tidak terlibat dalam hidup anda tahun ini lengkap dengan semua peristiwa yang paling enak dan tidak mengenakkan.. Sebentar saja… marilah kita HENING… Ini suatu pilihan yang mungkin terlalu kontras dengan semarak dan gegap gempita orang-orang ramai. Kita memilih itu sebentar saja untuk menerima dengan gembira semua yang sudah berlalu. Untuk apa? Untuk melihat bagaimana Tuhan terus mengubah hidup kita hari-hari ini, untuk melihat betapa Tuhan terus mencintai dan menerima kita di titik 00.00 meski tahun yang lalu begitu pekat dan perih bagi hidup kita. Sebagai orang beriman, kita pantas merayakan tahun untuk merayakan cinta Allah yang mengatasi waktu, merayakan pilihan kita untuk terus mencintai meski orang-orang dekat kita tidak selalu seperti yang kita harapkan bahkan mengkhianati kita.
Tidak salah jika Robert Burns pencipta balada terkenal “Auld Lang Syne” pada tahun 1700-an bertanya dalam lirik lagu itu:
“ Should auld acquaintance be forgot and never brought to mind?
Should auld acquaintance be forgot and days of auld lang syne (old long ago)?
We’ll take a cup of kindness yet,
For auld lang syne, for the good old days..

Mari kita habiskan hari ini dengan rasa syukur, bukan dengan kemabukan yang membuat lupa pada Dia yang memberikan segala yang baik. Mari kita membangun kembali pengharapan, cita dan komitmen untuk saling membaktikan diri tanpa syarat bagi orang yang kita kasihi, bagi semuo orang khususnya mereka yang paling menderita…
Saya mendoakan anda semua di tahun yang baru ini. Syukur atas persahabatan kita…

Salam,

Ronald,s.x.


Mendegarkan Hujan, mensyukuri hidup

Di depan baranda rumah, saya sendiri malam itu, persis ketika hujan begitu derasnya turun, seolah tidak mau berhenti. Rasa kuatir saya muncul apalagi setelah mendengar kabar kalau longsor terjadi di beberapa daerah di Jawa Tengah seperti Solo, Karanganyar, juga di Jawa Timur..Lebih dari 70 orang mati tertimbun di Jawa Tengah .
Tak biasanya malam itu saya duduk sendiri menatap hujan deras serta angin. Memang malam itu saya pingin sendiri. Dan kebetulan, rumah lagi sunyi…hari itu 26 orang teman saya meninggalkan wisma dan tinggal di beberapa panti sosial untuk mengisi liburan mereka.
Entah kenapa, malam itu saya pingin banget mendengarkan hujan… Sungguh ..bunyi hujan di atas genting, tirisan air yang mengalir melalui jari-jari atap atau talang dan jatuh ke selokan, juga bunyi kodok serta jangkrik seperti menciptakan keheningannya sendiri; bunyi yang selama ini tidak terlalu saya pedulikan. Kesibukan, jadwal kerja yang terencana rapi selama ini membuat saya kehilangan kesempatan menikmati suasana indah itu. Bunyi tirisan serta butiran-butirannya yang kemudian pecah di atas tanah, suara jangkrik dan kodok yang sahut menyahut, suara angin-angin yang mempermainkan daun nampak kompak menghasilkan orkestra…
Bisa saja anda mengatakan bahwa saya “kurang kerjaan” atau menggap ini aneh… Kelihatannya memang tak ada apa-apanya, tapi sebenarnya ada sesuatu yang istimewa (nothing, but music), itu jika kita mau mendengarkan.
Memang memencet remote televisi, membunyikan tape keras-keras, atau shoping sambil cuci mata di mall menjadi pilihan yang lebih mengasyikkan sehabis makan malam dan selepas penatnya bekerja. Bahkan, banyak teman-teman kita, karena pulang kerja malam hari, tidak punya kesempatan lain selain merebahkan diri di tempat tidur, lalu besok pagi kembali bergegas ke tempat kerja, dan seterusnya…dan seterusnya. Kita seolah-olah terus berlari, seperti tidak pernah berhenti. Walau liburan bisa memberi kita sedikit kesempatan untuk relax, tapi kita belum benar-benar terbebas dari kecenderungan untuk terus berlari jika kita tidak mau dengan sengaja mengambil waktu dan tempat untuk sendiri, untuk berhenti dan mulai mendengarkan…
Pernahkah anda di saat liburan berusaha sejenak melepaskan diri dari kewajiban untuk menjawab telphone atau me-reply sms, sebentar mematikan teve lalu duduk hening sambil minum nescafe memandang dan mendengarkan anda sendiri…Rasanya, bunyi ringtone hp, bab bib bup sms yang masuk terlalu sayang untuk dibiarkan, seolah-olah kita sulit bernafas tanpa itu…Dan ini sekaligus menunjukkan betapa kita sedang dibuat “tergantung” / depended .. Lantas kita sulit mendengarkan suara-suara lain selain suara ringtone…kita menjadi orang yang tidak lagi peka akan diri kita sendiri, apalagi orang lain; kita sedang dibuat sulit merasakan kehadiran yang lain dan menikmati perjumpaan dengannya…
Hujan deras yang bersatu dengan semua bunyi-bunyian malam membawa saya pada perjumpaan dengan yang lain…Dalam hening saya mengingat para korban longsor di Karangayar itu, juga seorang nenek tetangga kami yang berduka karena ditinggal mati suami pas ketika orang-orang merayakan Natal. Seraya mengingat mereka saya coba memahami, mengerti pertanyaan banyak orang, baik yang mengalami langsung maupun yang menyaksikan penderitaan semacam itu:”Kenapa harus ada penderitaan?” atau pertanyaan serupa, “Kenapa Tuhan menghendaki penderitaan orang-orang tak berdosa?” Terlalu mudah untuk menghakimi bahwa orang-orang seperti itu adalah orang-orang yang tidak beriman…Bagi saya pertanyaan-pertanyaan bukanlah pertanyaan yang butuh jawaban A atau B, tapi ungkapan kebutuhan untuk dimengerti dan dicintai, betapapun rapuhnya..mereka tetap orang-orang yang percaya.
Dan malam itu saya terus memperhatikan rumput-rumput di taman yang terus dibasahi hujan, bunyi jangkrik dan kodok di depan gerbang rumah, angin yang mulai bertiup lembut. Indah…saya merasakan tidak sedang sendiri malam itu…Tuhan menganugerahkan alam dan musiknya sebagai teman yang menghantar saya pada perjumpaan dengan para korban (yang kubawa terus dalam doa) dan akhirnya membawa saya pada perjumpaan dengan Tuhan…Saya terus merenungkan kata-kata paus Benedictus XVI dalam ensikliknya Spe Salvi: “Allah tidak dapat menderita… Dia hanya dapat menderita bersama kita ( God can not suffer, but suffer with) Dan dalam kehingan malam itu saya makin yakin bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan saya, anda dan tentu saja ke tujuh puluh orang yang mati tertimbun tanah longsor itu. Dia menderita bersama saya, anda dan juga mereka para korban di Karanganyar lalu menyediakan kita kehidupan abadi bersama Dia. Inilah pengharapan yang saya minta malam itu agar menjadi milik anda, sahabat-sahabat saya, dan semua orang yang percaya pada-Nya.

“Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?” (Roma 8:35)

salam,

ronald,s.x


AKULAH KEMBANG PERAWAN

Entah mengapa setiap kali mendengar lagu “kembang perawan” yang dilantunkan Gita Gutawa saya tersenyum sipu sekaligus langsung mengingat Maria, perawan yang melahirkan Almasih; juga pada kidung indah yang ia wariskan pada Gereja: magnificat, Aku Mengagungkan Tuhan. Mungkin di telinga anda, lagu ini tidak terlalu familiar dibandingkan dengan “kembang perawan” yang dipoles orkestra apik Erwin Gutawa.. Akan tetapi saya tetap menemukan kesamaan, atau lebih tepat jembatan yang menghubungkan dua lagu ini – dalam penghayatan saya. Keduanya merupakan kidung gembira perayaan atas kehidupan; Yang satu bercerita tentang seorang gadis remaja yang memasuki tahapan baru hidupnya, yang mulai mengerti diri dengan segala aspirasinya: kemandirian, cinta berserta hasrat-hasratnya – pingin dekat di hati walau jauh di mata, bila dekat lelaki jadi malu, gee r, dst…
Sementara magnificat adalah lagu seorang perawan, yang tidak hanya memiliki hasrat, kerinduan dan perasaan sebagai perempuan, tapi nyata-nyata - walaupun telah mencintai seorang laki-laki (Yusus)- akhirnya memutuskan menyerahkan hidupnya bagi Allah. Maria merelakan segala rencananya demi terlaksananya rencana Allah. Ia tidak hanya memberi rahimnya bagi Almasih untuk lahir, tapi seluruh hatinya bagi Allah: Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataan-Mu”
Saya membayangkan ketika malaikat Tuhan menampakkan diri pada Maria dan menyatakan rencana Allah, Maria tidak hanya berkata “Bagaimana mungkin itu terjadi, sementara aku belum bersuami?”, tetapi dalam hatinya dia mungkin juga bilang: “Tuhan, kau tahu, aku punya hasrat dan kerinduan sebagai perempuan, aku juga mencintai Yusuf. Namun, jadilah kehendakmu (fiat voluntas tua). Dia murni, orang yang terus terang, jujur dan tidak menyumbunyikan apa-apa, termasuk kekuatirannya.
Maria, berbeda dengan gadis seusianya, sungguh mengerti arti cinta, yakni memberi tempat seluas-luasnya bagi yang lain; mendahulukan yang lain yakni Allah sendiri – suatu komitmen yang jauh melampaui perasaan suka dan tidak suka. Inilah keperawanan Maria sesungguhnya. Dia sedemikian mengasihi Allah sampai tidak memberi tempat pada kata ‘tidak’. Dia murni, karena hatinya ia penuhi dengan keputusan mencintai Allah sehabis-habisnya.
Keputusan Maria untuk membiarkan rencana Allah terjadi dalam hidupnya bukan karena tidak ada pilihan lain. TIDAK! Maria memilih itu karena tak terkira kegembiraannya mengalami diri dicintai sedemikian besarnya oleh Tuhan, sampai-sampai dia yang hina itu dipilih menjadi ibu Tuhan. Maria mengatakan Ya, karena dia merayakan keterpilihannya:
“aku mengagungkan Tuhan, hatiku bersukaria karena Allah penyelamatku, sebab ia memperhatikan daku hambanya yang hina ini..”
Maka, magnificat pun adalah syukur atas anugerah kehidupan sebagaimana yang dilagukan Gita ..”menikmati semua anugerah hidupku…Maria pantas mendapat gelar “kembang perawan” justru karena dia sepenuhnya mempercayakan diri pada Allah, setia pada pilihannya menjadi ibu Yesus. Saya yakin lagu itu selalu ia nyanyikan setiap hari ketika membesarkan Yesus, ketika menjadi pelarian di Mesir, ketika bersama Yusuf mencari-cari Yesus, saat menjanda ditinggal mati Yusuf, ketika tahu Yesus dicari-cari untuk dibunuh, ketika Yesus disalib dan wafat hingga akhirnya harus ikut membesarkan Gereja perdana…Maria selalu melagukan itu untuk minta pada Tuhan supaya setia.
Setiap hari saya juga mendoakannya mohon rahmat kesetiaan; mohon anugerah keperawanan yang sama seperti dimiliki Maria, yakni kegembiraan untuk terus mengabdi, mencintai dan melayani walau harus mengurbankan rencana dan kesenangan pribadi.
Hati yang murni, tulus untuk mencintai adalah rahim bagi Allah untuk lahir bagi anak, istri, kekasih, keluarga dan musuh anda…
Dengan menyanyikannya aku mohon agar aku menjadi “kembang perawan”, kembang yang tetap memberi tempat bagi orang lain dan Allah sendiri untuk dicintai… Rahmat ini pula yang saya mohonkan dari Allah untuk anda menyongsong Natal yang sebentar lagi tiba.
Semoga “lagi kembang perawan” yang sudah saya download ke multiply saya (http://tardelly.multiply.com) bisa menyemangati anda agar bersama saya melagukan terus dalam hidup kita kidung ini:

“aku mengagungkan Tuhan,
Hatiku bersukaria karena Allah penyelamatku.
Mulai sekarang aku disebut yang berbahagia
Oleh sekalian bangsa
Sebab perbuat besar dikerjakan bagiku oleh yang mahakuasa
Kuduslah namanya
Kasih sayangnya
Turun temurun
Kepada orang yang takwa
Perkasalah perbuatan tangan-Nya
Diceraiberaikannya orang yang angkuh hatinya
Orang yang berkuasa diturunkannya dari takhta
Yang hina dina diangkatnya
Orang lapar dikenyangkannya dengan kebaikan
Orang kaya diusirnya dengan tangan kosong
Menurut janjinya kepada leluhur kita
Allah telah menolong Israel hambanya
Demi kasih sayangnya kepada Abraham serta keturunannya
Untuk selama-lamanya”

salam,
ronald,s.x.

Bunga Cinta Lestari


BUNGA CINTA LESTARI
A prayer in an autumn

Tuhan, aku tak ingin keindahanku
Kau ambil dalam musim yang kini berganti
Kuingin kecantikanku terpancar terus
Bersama berjalannya waktu
Tak rela kubiarkan helai-helai rupawan ini
Berguguran
Tak kuasa kelak tubuhku yang mungil ini
Menanggung dinginnya hawa dalam malam
Yang kini makin bertambah panjang dari hari

Aku bersyukur padamu,
Karena semuanya ini kau berikan
padaku, sekuntum bunga hina
Tapi kau sembunyikan dari manusia
Betapapun mereka berdandan rapi dan menarik
Bahkan kau pernah bilang padaku
Kalau Salomo yang termashyur itu
Tidak pernah berpakian seindah punyaku…,
Ku tersanjung Tuhan…
Sebab itulah pengharapan yang menghibur hati
Meski kadang aku merasa kecil
di antara keagungan Mawar, Melati, serta bunga-bunga elok lain

Tuhan kau tahu kadang aku pingin hidup selamanya
Mengisi etalase, lounge dan semua bilik kecintaan manusia
Atau menjadi satu-satunya penghias taman kesayangan-Mu
Namun, musim yang sepertinya melucuti semua yang kubanggakan ini
Mengajarkan aku kerendahan hati…

Aku mesti gugur, supaya ada Bunga lain yang sekarang memancar
Dan memberi keindahan, kesejukan dan keselamatan bagi manusia
Yakni engkau sendiri ya Tuhan yang sebentar lagi lahir mekar bersemi
Di hari Natal

Aku mengerti…
Walau aku jatuh, membusuk bahkan diinjak-injak orang
Meski nanti aku tidak ikut menghiasi tempat kelahiranmu
Aku merasakan kelahiranmu sekarang ini di hatiku
Dengan persembahan diri ini
Aku percaya di musim-musim yang akan datang
Aku Kau dandani dengan berlimpah-limpah keanggunan
Serta semarak keindahan-Mu sendiri
Semoga aku menjadi seperti Engkau
Yang nanti lahir, lalu akan gugur bagi kami
Supaya dunia selamat dan bertunaskan kedamaian
Semoga aku hidup seperti nama-Mu
Bunga Cinta Lestari
Agar terus memberi, mekar mewangi
Walau kehilangan
Karena dengan memberi aku mendapatkan segala yang Kau punya

Created by reynaldo fulgentio tardelly,s.x.

Bawalah doa ini dalam doa-doa anda menyambut kelahiran sang juruselamat !

Menuju Puncak

Tak terasa kita sudah tiba di minggu Adven III, sebuah langkah iman untuk memenuhi undangan nabi Yesaya pada minggu I: "marilah kita naik ke gunung Tuhan, supaya ia mengajarkan kita jalan-jalannya dan supaya kita berjalan menyongsongnya" (yesaya 2:1-5).
Adven - jika dihayati dengan sungguh -bagaikan sebuah perjalanan naik menuju puncak, perjalanan nan melelahkan, apalagi jika untuk naik kita harus melewati jalanan yang terjal, becek penuh semak belukar. Ketika jalanan-jalanan hutan dan bukit lenyap diganti dengan aspal, highway serta infrastruktur transportasi yang makin canggih, pengalaman naik gunung, pengalaman ke puncak menjadi pengalaman yang langka. Lebih buruk lagi, pengalaman ini toh tidak selalu didambakan, sebab dengan Honda VVT atau Inova yang nyaman kita bisa menghindari sulitnya pengalaman ke puncak dengan terlelap dalam lindungan air conditioner lalu terjaga dan tiba-tiba sampai.
Kalau mau jujur, dengan segala kemudahan yang kita terima dari kemajuan teknologi tidak sedikit dari kita yang lebih suka memburu yang enak dan nyaman; sedapat, semudah dan secepat mungkin mencapai hasil tanpa harus merugi atau mengalami sakit. Ini mirip dengan prinsip ekonomi dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya sedapat mungkin mencapai hasil yang sebesar-besarnya. Dan memang prinsip itu sedang menjadai jawara baru yang melumat habis prinsip dan keutaman luhur seperti kejujuran, kerja keras, pengorbanan dll.
Saya bukannya pesimistis sama teknologi, bukan! Saya mengajak anda dalam segala dimensi hidup anda, menyadari fungsi teknologi sebagai sarana, tool, vehicle dan tidak pernah menggantikan peran utama kita sebagai aktor kehidupan. Untuk mendaki gunung pun kita tetap butuh sarana, sepatu yang kuat, tali dan tongkat, simpul plus bekal secukupnya untuk makan/minum.
Lalu, hal apa gerangan yang telah mendorong cukup banyak orang, termasuk para penakluk-penakluk gunung yang terkemuka, untuk mendaki gunung? Saya yakin satu hal yang sama adalah ketika melihat bukit, gunung dan puncak hampir semua seolah-olah dipanggil untuk naik agar kita bisa melihat hal-hal lain yang belum kita ketahui di tempat lain secara lebih baik, agar kita juga bisa melihat tempat kita berada secara lebih luas daripada ketika kita sedang berada di bawah – ketika padangan kita terbatas.
Naik ke puncak gunung adalah gambaran lain dari transendensi, kita mau melampaui diri kita. Puncak gunung nampak seperti mengundang dan menarik kita untuk mengalami dan merasakan cakrawala/sikap pandang luas seperti yang dimilikinya.
Di gunung kita bisa menyaksikan munculnya mentari secara lebih luas, matahari pertama, dan kita bisa memandang kenyatan di bawah kita, termasuk di tempat di mana kita pernah berdiri dan hidup secara lebih berbeda, dengan detail yang lebih lengkap, juga hubungan antara tempat yang satu dengan tempat yang lain.

Saya yakin kata-kata nabi Yesaya tidak salah untuk melukiskan perjumpaan dengan Tuhan. Adven adalah perjalanan naik gunung menyongsong dan berjumpa dengan sebuah cakrawala mahaluas yakni Allah sendiri. Perayaan Natal adalah kedatangan cakrawala dan matahari baru. Natal mengundang kita meraih sebuah cara hidup baru seperti Allah, yang datang dan lahir sebagai manusia hina, lalu nanti akan berjuang dan menderita bersama manusia, dan kemudian mati sebagai manusia hina pula untuk mengangkat dan memuliakan kita.

Untuk memperoleh cakrawala baru, kita mesti berjalan naik, menyusuri semak belukar kekuatiran, melewati tanah lapang dan tempat teduh kesenangan yang sebentar-sebentar kita temui dalam perjalanan sekaligus menolak godaan untuk menjadikan tempat teduh sementara itu sebagai puncak; bahkan godaan untuk berhenti dan berbalik arah. “Dengan akal dan kebebasan kita”, saya mengutip Paus Benedictus dalam ensiklik terbarunya spe salvi, “ sudah cukup bagi kita untuk menciptakan keselamatan bagi diri kita sendiri. Uang, materi dengan segala manifestasinya (teknologi dan kemajuan) adalah penyelamat baru, pemberi rasa aman baru…Ini adalah instrumen paling mumpuni bagi the kingdom of human. Perjalanan ini karenanya berbahaya…
Akan tetapi, tidak perlu terlalu banyak memberi tempat untuk kekuatiran karena kita berjalan tidak tanpa tuntunan. Tuhan sendiri yang menuntun kita. Dialah puncak, yang sudah berdiri di kejauhan menjulur tinggi memandu kita.Kita tahu dan yakin akan tiba di puncak, di kota Allah kita. Membaca dan merenungkan kitab suci adalah pemandu yang tidak kala pentingnya. Kitab suci yang direnungkan bagaikan navigasi atau peta perjalanan untuk sampai ke puncak. Dalam perjalanan ini kita mesti melepaskan hal-hal yang tidak perlu dan menghalangi perjalanan. Itu bisa saja kecenderungan dan kebiasaan buruk yang lama-lama berbuah dosa. Maka Adven menjadi kesempatan penting untuk merayakan sakramen rekonsiliasi. Sudahkah anda merayakannya? Kalau belum, carilah waktu untuk itu.
Saya mendoakan anda untuk tidak melewatkan begitu saja perjalanan mengasyikkan ini untuk nanti memperoleh cara hidup baru, cara hidup Yesus sendiri.
Saya mau menutup renungan minggu ini dengan apa yang ditulis penyair Walt Whitman dalam sajaknya songs of the open road. Dalam sajak ini meski tidak langsung bicara tentang gunung, bait-baitnya hampir sama berkisah tentang pengalaman perjumpaan dengan Tuhan, si open road, si Cakrawala Kehidupan yang membuat kita kelak bisa menghayati hidup ini dengan bahagia.

A foot and light-hearted, I take to the open road,
Healthy, free, the world before me,
The long brown path before me, leading wherever I choose.
You road I enter upon and look around! I believe you are not all that is here;
I believe that much unseen is also here.
Here the profound lesson of reception, neither preference or denial;
The black with his woolly head, the felon, the diseas’d, the illiterate person, are not denied;
You air that serves me with breath to speak!
You objects that call from diffusion my meanings, and give them shape!
You light that wraps me and all things in delicate equable showers!
You paths worn in the irregular hollows by the roadsides!
I think you are latent with unseen existences—you are so dear to me.


Salam,
Ronald,s.x.


Di Swedia dan orang-orang Skandinavia pada umumnya sampai saat ini masih merayakan Festival Cahaya yang dirayakan bertepatan dengan pesta Santa Lucia. Santa. Lucia adalah seorang gadis yang menjadi martir pada masa penganiayaan Diocletian, kaisar Romawi pada tahun 304 masehi. Gadis muda ini dihukum mati secara mengenaskan.
Kisah tentang St. Lucia kemudian dibawa oleh para misionaris pertama di Swedia. Lalu kemudian berkembanglah legenda yang mengesankan tentang tokoh ini. Dia sering digambarkan sebagai seorang gadis cantik bergaun putih, yang setiap pagi datang membangunkan orang-orang di kampung, membawa sebuah nampan berisi roti, beberapa cangkir kopi serta kue-kue kecil. Rambutnya dihiasi mahkota yang menjulur terurai sampai ke rambut dan di atas mahkota itu ada beberapa lilin yang menyala. Dia selalu datang untuk mengatakan bahwa Yulitede sedang datang, pagi dan hari baru sudah tiba.
Dalam konteks Natal, santa Lucia menjadi teladan seorang pekabar gembira, yang dengan kesederhanaan, kelembutan dan keramahtamahannya mengatakan pada banyak orang bahwa Tuhan sudah datang…Kedatangan Tuhan itu dia buktikan dengan hidupnya sendiri..Tuhan telah mengubah hidupnya, dan karena itu tidak ada alasan untuk tidak menyambut setiap orang yang dijumpai tiap hari dengan senyum, sapaan hangat, lengkap dengan kopi hangat dan cookies di nampan.
Merayakan pesta ini, hemat saya berarti merayakan hospitalitas…keramahtamahan. Kita pantas bertanya, seperti apakah hospitalitas yang kita hayati sekarang ini? Saya ingat orang-orang di kampung saya. Ketika masih seminaris, saya pernah mengunjungi beberapa keluarga. Kedantangan kami selalu disambut hangat. Meski mereka tidak punya apa-apa, tetapi pasti selalu dihidangkan pada kami nasi, ikan kering dan secangkir tuak atau arak putih…Saya pernah mendapati bagaimana satu keluarga tetap menghidangkan yang terbaik bagi kami meski tak sengaja saya melihat di dapur anak-anaknya sedang juga menunggu makan…Perasaan saya saat itu tidak enak. Tapi satu hal yang saya pelajari dari orang-orang sederhana itu yakni cinta dan iman. Mereka lebih mementingkan kami, tamunya daripada mereka sendiri. Mereka sekaligus juga beriman, percaya bahwa pasti Tuhan menghidangkan lebih banyak dari yang telah mereka berikan.
Dalam hospitalitas, yang lain adalah segalanya…sesuatu yang mungkin mulai jarang kita temukan dalam zaman di mana waktu,prestasi, uang menghilangkan kesempatan indah untuk sebentar misalnya, melihat bunga-bunga indah milik tetangga lalu menyapa dia selamat pagi; menanyakan bagaimana keadaan keluarganya atau menghidangkan satu mangkuk mie ayam bagi rekan di kantor yang terlalu sibuk memperhatikan dirinya sendiri; sengaja pulang kerja bareng sambil nanya ada apa dengannya.
Harapan saya semoga seperti Lucia, si terang kecil itu, terang yang menjadi pratanda Si Terang Besar – Kristus, hospitalitas kita hidupi terus dalam keseharian.Mudah-mudahan pula Kristuslah yang menjadi penggerak tangan-tangan kita untuk menjabat erat tangan sahabat kita; mulut untuk menyapa hangat dan penuh senyum penerimaan, serta lengan untuk merangkul dan memeluk erat mereka yang menghianati kita. Kita mesti menjadi Lucia yang lain, la luce itu, terang kecil yang mendahului Sang Cahaya Natal.
Salam,
Ronald,s.x.

Di Eropa kini, malam jauh begitu panjang dari siang...Orang-orang lebih banyak tinggal di rumah, berdiang di api atau duduk dekat heater untuk mengusir dingin yang menggigit. Natal dirayakan pas ketika matahari bersinar lebih panjang dan siang berangsur-angsur pulih. Bisa dibayangkan bagaimana orang menunggu agar musim cepat berganti.

Kita yang hidup di iklim tropis tidak asing dengan pekerjaan menunggu seperti itu. Kita juga menunggu agar hujan cepat turun menghidupkan tanah ladang kita yang nyaris mati; kita juga menunggu agar hujan tak lama-lama turun supaya kita bisa ke luar rumah.

Musim yang baru, yang ditunggu-tunggu, seolah-olah memberi kita rasa yang baru, hidup yang lain.

Dalam menunggu, kita bisa menemukan karakter dasar kita manusia, yang tak mau berhenti, yang tidak merasa puas, yang ingin melampaui diri. Orang menyebutnya transendensi (istilah latin, trans: melalui, melewati, melampaui & sedere: duduk --> melampaui kedudukan atau keberadaan kita). Jadi, menunggu mengorientasikan kita, mengarahkan kita pada perjumpaan dengan yang lain.

Dalam menunggu, kita pun bisa menemukan hasrat terdalam hidup kita: hasrat akan yang lain, perjumpaan dengan yang lain...Kita menunggu sesuatu seperti menunggu seseorang yang sebentar lagi akan membawa kita ke sebuah kenyataan lain daripada kenyatan yang sedang sekarang kita rasakan. Jika anda pernah jatuh cinta pada pandangan pertama pada seseorang, perasaan itu paling kurang menumbuhkan kerinduan mendasar untuk bertemu atau minimal melihatnya lagi.

"Dokter muda Jony kejatuhan cinta ketika pertama kali ngeliat Tasya, mahasiswi semester akhir fak.kedokteran UI yang datang membantu jadi volunteer saat banjir bandang melanda Jakarta Februari lalu..Hari berikutnya ketika Tasya belum datang, padahal saat itu udah jam 11.00, dokter ini spontan bertanya pada teman-teman Tasya:.."Tasya nya mana..? " ...sebuah pertanyaan informatif tapi sekaligus performatif yang mau menyatakan bahwa "I miss Tasya now..

Atau...Shinta, seorang siswi salah satu SMU N di JAKUT sangat rajin ikut pertemuan OSIS. Anehnya,cewek yang biasanya rajin senyum dan suka nanya ini, pas ketika Leo gak datang, tidak banyak senyumnya...semua teman-teman tahu kalau Shinta pengen connect ke Leo sejak mereka akrab waktu Pentas Seni minggu lalu.

Kalau yang ditunggu, yang dinanti belum datang, hati gelisah dan cemas...

Saya mengajak saudara-saudari untuk menjalani masa advent dalam kebersahajaan sebagaimana yang saya ceritakan di atas. Adven bermuasal dari kata Latin adveniere yang artinya mendatangi dan adventus, kedatangan. Adven kemudian diartikan dalam tradisi iman kita sebagai kedatangan Tuhan.Tuhan yang berinisiatif mendatangi dan berjumpa dengan kita.

Bagi kita, Adven berati, menunggu Tuhan yang tengah datang itu. Dalam menunggu, kita sekaligus mestinya menyongsong, menyambut. Kita pertama-tama harus menunggu karena ditunggu pasti lebih penting dari kita. Kita punya alasan untuk menunggu,karena yang ditunggu pasti datang, bukan bisa datang dan bisa juga tidak datang. Bahkan Dia sudah datang lebih dari 2000 tahun lagi, bahkan jauh sebelum sejarah dunia ini mulai. Kita diberi jaminan yakni pengharapan, pengharapan bahwa hidup kita tidak pernah berakhir pada kehampaan (ends at an emptiyness); tidak pernah kosong karena Dia sendiri yang sebenarnya tengah menyambut kita, betapapun lemah dan berdosanya kita. Maka,hati kita tentu tidak cemas, dan rindu kita tidak menyakitkan, tapi menggetarkan, menggelora, untuk segera menjumpai Dia. Pengharapan dengan baik disimbolkan oleh warna hijau dalam corona/lingkaran adven. Allah yang setia datang menyambut kita dilambangkan dengan lingkaran.

Inilah Allah yang kita imani, Allah yang tidak tinggal di singgasana kemahakuasaannya, tapi turun ke dalam sejarah hidup kita, merangkul kita bahkan menderita bersama kita.

Mari kita isi adven ini, kita sambut Natal dengan sikap rendah hati seperti yang ditunjukkkan si prajurit Romawi: "Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang pada saya. Bersabdalah saja maka saya akan sembuh"(bdk. Mat.8:5-11) . Biarkanlah waktu-waktu ini menjadi waktu yang istimewa untuk sekali lagi sadar dan percaya bahwa hanya satu yang menjamin hidup kita:yakni Tuhan. Kita tidak pernah diselamatkan oleh barang, uang, harta yang kita miliki, tapi oleh seseorang yang sungguh mencintai kita tanpa syarat.

Kita saling mendoakan untuk memelihara kerinduan kita, mengasah ketekunan untuk terus menyambut Dia yang datang.

Salam,

ronald,s.x.

KEJAIBAN KECILKU

Keajaiban Kecilku

Pekan lalu ketika hendak berangkat main bola kaki, saya dicegat seorang mahasiswa Atma Jaya - Yogyakarta. Dia butuh bantuan, mau cari informasi tentang Xaverian. Kedatangan orang ini sebenarnya sudah saya tunggu sejak dua minggu sebelumnya sebagaimana yang telah kami sepakati bersama. “Eh…malah datang waktu orang lagi mau asying-asyiknya main bola!”…Inilah perasaan saya saat itu…
Memang kemudian saya melayani tamu ini dengan baik sampai ia menemukan apa yang dia butuhkan. Sore itu perasaan saya menjadi lain…Saya bersyukur pada Tuhan karena saat itu saya bisa melampaui perasaan tidak enak itu dan beralih pada pilihan untuk melayani. Perasaan yang saya ceritakan tadi memang menunjukkan bahwa melayani tidak selalu mengenakkan. Akan tetapi, perasaan tidak menunjukkan siapa kita seluruhnya, kecuali jika kita terus berhenti pada perasaan. Kita sungguh menjadi orang yang utuh kalau perasaan dan pengalaman kita selalu kita konfrontasikan dengan pilihan dan komitmen hidup yang telah kita buat. Komitmen yang sudah aku buat seumur hidupku saat ini adalah mencintai seperti Yesus. Saya betul-betul bersyukur pada Tuhan atas pengalaman ini. Meski kecil, apa yang aku lakukan pekan-pekan lalu merupakan kejaiban yang bisa kuberikan bagi orang lain. Ajaib, karena dari sesuatu yang seolah-olah tidak mungkin untuk dilakukan karena tak terbayangkan akhirnya bisa dilakukan dan akhirnya bisa memberi kebahagiaan bagi orang lain.
Itulah arti pesta Kristus Raja yang kita peringati hari ini. Martabat Yesus sebagai Raja tidak lepas dari Salib. Di Salib Yesus setia pada pilihan untuk mencintai manusia sampai sehabis-habisnya. Dia sendiri selalu mengingatkan kita “ Barangsiapa ingin menjadi yang terbesar, hendaknya ia menjadi pelayan bagi yang lain”. Ini tentu saja merupakan pilihan yang langsung berlawanan dengan kecenderungan naluriah kita. Pada setiap kita dalam skala yang berbeda-beda ada kecenderungan atau kehendak untuk berkuasa (meminjam istilah Nietzche). Siapa dari kita yang tidak pingin dihormati, dilayani, disembah, dipuji? Tak satupun kah dari kita yang tidak ingin menjadi orang yang hebat, pemimpin, yang diperhitungkan, dst…Banyak yang kita kurbankan untuk meraih prestasi dan kedudukan.
Melayani adalah pilihan yang tidak begitu kita sukai, bisa membuat kita mengerutkan dahi, membuat kesal dan menggerutu. Sebab, waktu seperti terbuang percuma, tenaga terkuras dan kesenangan harus difunda untuk melakukan itu. Apalagi jika tidak ada contra prestasi yang nyata atas pelayanan kita itu.
Kita dipanggil untuk menjadi yang terbesar dengan melayani. Dengan melayani sekecil apa pun –asalkan dengan hati yang tulus -setiap hari kita akan ciptakan kejaiban-keajaiban kecil yang bisa mengubah dunia ini. Manakah keajaiban kecil yang anda buat hari ini, dan kejaiban apa lagi yang akan anda buat besok hari?
Mungkin itu senyum, doa bagi kawan, “selamat pagi” kepada pembantu anda, kecupan hangat dan waktu sejam saja bersama anak yang selalu anda tinggal pergi karena pekerjaan, serta Channel TV yang anda pencet untuk melihat bencana di Bangladesh -di antara begitu banyak acara hiburan – dan berdoa bagi mereka. Hanya anda yang tahu keajaiban apa yang perlu bagi orang lain hari ini.

Salam,
Ronald,s.x.

Itu adalah judul sebuah sinetron dalam salah satu stasiun televisi kita. Kiamat memang menarik untuk diomongkan. Bahkan akhir-akhir ini cukup ramai diseminarkan, didiskusikan, seolah-olah tidak tuntas-tuntasnya. Kitab suci jauh-jauh hari sudah menyediakan lahan subur bagi kita untuk merisaukannya. Celakanya, seringkali hari kiamat ini disalahmengerti. Dan sudah sejak lama pula kata kiamat ang membuat bulu kuduk merinding, telinga tidak nyaman. Kata-kata ini sudah masuk golongan pamali, pantang disebut.

Doomsday adalah kata Inggris untuk hari kiamat. Orang-orang sana memahaminya sebagai a time of final judgement, a time of catastrophic destruction and death. Sudah jelas kata ini di terlanjur memberi kesan ngeri, sedih dan was-was karena pada saat itu ada penghakiman, ada kematian dan kehancuran yang mengerikan.
Kitab Maleakhi menyebutnya lebih positif sebagai Hari Tuhan walaupun kesannya tetap membuat kita merinding: "hari tuhan datang menyala seperti perapian dan membakar orang-orang jahat bagaikan jerami. (Mal.4:1). Akan tetapi jika seluruh pasal itu anda baca, sebenarnya itu hanya metafor-metafor atau gambaran-gambaran yang sengaja dibuat oleh penulis untuk melukiskan pesan penting ini: tanggung jawab dan kesetiaan pada komitmen yang sudah kita buat di hadapan Tuhan. Ada hal positif yang digarisbawahi yakni relasi kasih dengan Tuhan. Kasih bukan hanya soal rasa-perasaan tapi komitmen dan tanggung jawab. Sebagaimana Tuhan menuntut orang Israel setia pada perjanjian yang telah mereka buat, demikian pun kita diminta untuk setiap pada-Nya. Jika kita bicara tentang relasi dan kesetiaan, maka tidak lagi relevan bicara soal hukuman. Tidak. Artinya, jika kita tidak setia, maka kita kehilangan kesempatan untuk mengalami kasih Allah yang abadi. Itulah hari Tuhan, yakni ketika kita sanggup mempertanggungjawabkan padanya kasih dan kesetiaan kita.
Yesus sendiri tidak bicara tentang hari kiamat. Bahkan Dia mengingatkan kita untuk disesatkan dengan macam-macam propaganda atau testimoni-testimoni sebagaimana dilukiskan sbb: “Waspadalah, supaya kamu jangan disesatkan. Sebab banyak orang akan datang memakai nama-Ku dan berkata: ‘Akulah Dia’ atau ‘Saatnya sudah tiba’. Dan apabila kamu mendengar tentang peperangan dan pemberontakan jangalah kamu takut. Sebab semuanya itu harus terjadi dahulu, tetapi itu tidak berarti kesudahannya akan datang segera Lukas (21:5-19). Dia sendiri mengatakan bahwa tentang kapan saatnya Dia sendiri tidak tahu (Markus 13:32).

Lalu kenapa dalam sejarah cukup sering ramalan-ramalan tentang akhir zaman selalu muncul? Berapa nyali kita untuk mengatakan kiamat sudah dekat atau memastikan dalam hitungan jari hari kiamat akan datang?

Seingat saya beberapa tahu lalu di Jawa Barat sebuah sekte yang dipimpin pendeta Hutasoit nyaris memimpin sebuah ritus ‘bunuh diri’masal sebagai cara menyambut hari kiamat yang sudah diramalkan sebentar lagi akan datang. Untungnya, rencana ini berhasil digagalkan polisi. Waktu kecil saya pernah membaca selebaran-selebaran yang meramalkan bahwa tahun 2000 adalah hari kiamat. Gempa, penyakit dan kesusahan besar akan terjadi. Yang sulit saya mengerti adalah itu berasal dari ramalan Bunda Maria. Saya tidak pernah percaya kalau Maria seburuk itu. Memang itu hanya isapan jempol saja. Buktinya tahun 2000 sudah kita lewati hingga sekarang.

Kemudian apa yang salah dalam pemahaman tentang hari kiamat, serta sikap macam apa yang mesti kita ambil?

Pertama, pemahaman yang salah tentang hari kiamat bersumber dari kesalahan membaca kisah Injil. Injil sinoptik yang melukiskan peristiwa ini antara lain Lukas 21:519; Markus bab 13 dan Matius 24:1-36. Memang dalam perikop-perikop itu diceritakan bahwa akan banyak sekali terjadi penderitaan baik karena bencana alam maupun akibat penganiayaan. Akan tetapi, tidak pernah dimaksudkan bahwa akan sungguh-sungguh terjadi dengan detail-detail sebagaimana diceritakan dalam Injil. Peristiwa-peristiwa itu adalah metafor untuk menyampaikan pesan bahwa penderitaan tetap ada dan bahwa mengikuti Yesus adalah pilihan beresiko yang tidak meluputkan kita dari penderitaan. Secara historis, konteks kisah ini adalah himbauan atau nasihat kepada para umat Katolik perdana yang pada abad-abad pertama dikejar-kejar dan dianiaya. Himbauan ini disampaikan dalam gaya sastra dengan maksud supaya umat sedapat mungkin setia pada iman akan Yesus. Teks-teks ini berisi himbaun untuk menghayati kemartiran karena Kristus; jadi bukan berita tentang kekalahan dan keputusasaan orang beriman pada saat itu.

Kedua, jika anda masuk hitungan orang-orang yang melihat Allah sebagai penghukum daripada sebagai Bapa yang Berbelaskasih, anda akan mudah menerima pandangan tentang hari kiamat sebagai saat hukuman. Orang-orang seperti ini akan menghayati agama atau religiositasnya dengan rasa takut. Jelas mereka tidak bahagia karena melakukan yang benar bukan karena itu benar dan baik adanya tapi karena takut. Di mana ada ketakutan, di situ tidak ada cinta. Padahal cinta adalah tuntutan mutlak untuk berelasi dengan Tuhan.

Ketiga, orang yang mudah percaya pada hari kiamat adalah orang-orang yang harus kita katakan ‘kalah’ dalam pertandingan kehidupan. Mereka adalah orang-orang yang tidak sanggup menerima kenyataan hidupnya apakah itu sakit, pengalaman ditolak dan dilukai, bangkrut, kemiskinan. Menerima bukanlah sikap pasif tapi aktif. Menerima berarti menanggung tapi sekaligus berusaha mengatasinya. Meskipun AIDS masih belum ditemukan obatnya, tapi Tuhan memberikan kita akal budi untuk terus mencari dan menemukan cara penyembuhannya. Syukur pada Tuhan atas penemuan para ahli kesehatan yang menunjukkan hasil-hasil yang signifikan meski belum maksimal. Kemiskinan kita hadapi bersama-sama dengan memberantas korupsi, mengembangkan pendidikan masyarakat. Pendek kata, jika kita malas dan putus asa, sebenarnya kiamat itulah yang kita ciptakan sendiri untuk diri kita . Sinetron Kiamat Sudah Dekat adalah satire atau sindiran untuk orang-orang yang malas, cepat menyerah dan putus asa.

Lalu apa sikap kita?

Yesus minta kita untuk tetap setia dan bertekun. Kesetiaan pada-Nya kita buktikan untuk terus bertekun mencari jalan keluar dari masalah yang kita hadapi. Untuk menyelesaikan masalah, kita butuh teman, kita butuh rekan. Dan di sinilah fungsinya Gereja.

Arti kata-kata injil bahwa tidak seorangpun tahu kapan hari Tuhan itu datang kecuali Allah sendiri sebenarnya mau mengajak kita untuk come to the present yakni untuk hidup saat ini. Hidup saat ini adalah sebuah sikap iman yang mau menyerahkan dan mempercayakan diri kita pada Allah. Kita tidak harus kuatir dan takut, karena Tuhan menjamin hidup kita. “Tidak sehelai pun dari rambut kepalamu akan hilang” (Luk.21:19).Kita mesti membiarkan Tuhan bekerja, menyelesaikan apa-apa yang sungguh di luar kesanggupan dan batas-batas kemampuan manusiawi kita. Jika kita hidup saat ini dengan kepercayaan penuh pada-Nya, pada saat itulah kita berjumpa dengan Dia yang mengasihi kita. Hari Tuhan harus dilihat positif sebagai kesempatan perjumpaan dengan Tuhan; sebuah perjumpaan yang dengan sendirinya mengundang kita untuk bertanggung jawab. Ketika anda berjumpa dengan kekasih atau suami/istri anda setelah lama tidak bertemu, anda tentu dengan segera meninggalkan pekerjaan anda (cucian, televisi, pekerjaan kantor,dll) untuk menemuinya; membuatkan dia teh Sosro, bercerita sambil menyiapkan hidangan untuknya. Kita merelakan waktu, tenaga, rencana dan bahkan hidup kita demi orang yang kita cintai.

Semoga setiap hari kita sungguh-sungguh menjadikan waktu kita sebagai kesempatan untuk berjumpa Dia.

Salam,

Ronald,s.x.

Setiap 2 November orang-orang Katolik secara khusus memperingati arwah orang-orang beriman yang telah meninggal dunia. Tentang mereka yang meninggal saya punya pengalaman yang berkesan.
Dua tahun lalu waktu pulang cuti ke rumah, beberapa hari saya gunakan untuk mengunjungi sanak keluarga papa di kampung, kira-kira 70 km dari kota kecil tempat saya tinggal. Keluarga terakhir yang saya kunjungi sehari sebelum saya harus kembali ke rumah adalah kakak papa yang saat itu lagi sakit keras. Keadaannya sangat parah dan memprihatinkan. Semua keluarga sudah pasrah. Meski tidak bisa berbicara dan tidak jelas lagi melihat kehadiran saya, paman saya itu tersenyum ketika saya merangkul dan menciumnya…Lalu saya balik ke rumah saudara tempat saya menginap. Malam hari saat bercengkerama dengan keluarga tersebut, saya memutuskan untuk kembali lagi ke rumah paman yang sakit tadi untuk berdoa. Lalu saya pergi. Ketika masuk rumah, saya cukup kesal melihat tingkah beberapa sanak keluarga yang main kartu menunggu pagi. Saya kesal karena tingkah mereka itu seolah-olah ‘menunggu’ sekaligus membiarkan paman saya ‘meninggal’. Saya langsung menuju kamarnya lalu mengajak beberapa saudara yang mengelilingi tempat tidurnya berdoa.
Tanpa banyak pertimbangan saya mengajak mereka berdoa dua peristiwa rosario, dengan ujud supaya paman saya ini bisa bertahan sampai besok pagi agar bisa dibawa dan dirujuk ke rumah sakit terdekat (usul rujukan ini sebenarnya inisiatif saya). Saya memegang tangannya dan dalam keyakinan yang sungguh kami menyelesaikan dua puluh untaian doa Salam Maria. Yang sungguh mengejutkan saya adalah ketika hendak menutup doa, persis pada saat itu paman saya meninggal dunia. Saya masih ingat betul bagaimana nafas terakhirnya dihembuskan…Dia pergi untuk selamanya. Ini pengalaman pertama melihat orang yang menghadapi sakrat maut.
Maut, kematian adalah kata-kata yang sering membuat bulu kuduk kita merinding. Manifestasi-manifestasinya seperti dalam cerita-cerita horor, tempat-tempat yang angker seperti kuburan melengkapi rasa takut itu. Waktu kecil saya termasuk orang yang hampir (maaf..) pipis di celana kalau mendengar kisah horor, apalagi di suruh melewati kuburan. Itu mungkin proses alamiah yang umumnya setiap kita alami. Pelan-pelan perasaan seperti itu hilang dengan sendirinya. Justru pengertian-pengertian baru sekaligus pengalaman-pengalaman konkret sehubungan dengan kematian membuka mata saya untuk memahami dengan arif realitas yang bernama kematian itu.
Ingatan akan detik-detik terakhir hidup paman saya tadi sungguh menguatkan iman saya. Kematian adalah horizon dan batas yang membuat hidup kita bermakna. Sebuah titik di mana kita betul-betul berhenti untuk memandang Dia yang sedang menunggu dan menyongsong kita, dan mau merangkul kita hamba yang setia, yang sudah merawat dengan baik harta yang Ia percayakan pada ktia. Saya percaya, saat-saat itu, yakni saat-saat yang akan semua kita lalui, adalah saat di mana kita sungguh-sungguh menjumpai Dia yang kita imani, Dia yang sudah banyak kita dengar dan kita wartakan. Maka tidak ada alasan untuk takut. Sebaliknya kita pantas berharap. Apalagi Dia sudah mendahului kita, mengalahkan maut dengan memberi diri seutuhnya dan dibangkitkan Allah.
Saya mengajak saudara/I semua untuk berdoa bagi semua sanak keluarga kita yang telah meninggal. Kita percaya mereka yang sekarang sedang bersama Allah mendoakan kita agar sanggup memiliki iman yang sama seperti mereka: iman yang setia dan gembira untuk siap menyongsong Allah yang dengan gembira berlari mendapati dan merangkul kita hamba yang setia.

ronald,s.x.

“Something like happiness”

Itu judul sebuah film independen dari chez Republik yang aku nonton sewaktu JIFFEST tahun lalu. Tapi, saya tidak bermaksud menceritakan kisah film itu di sini. Teman-teman, kadang-kadang di tengah kesibukan saya yang lumayan padat di Jogyakarta, saya merasakan seringkali hampir tidak ada waktu lagi untuk membagikan permenungan saya melalui blog ini. Kadang juga ada pertanyaan “ah…apa mungkin ini akan banyak gunanya bagi orang lain, apa mungkin teman-teman membacanya?”

Keraguan saya terjawab ketika berulang kali merenungkan perikop tentang Kerajaan Allah. Lebih lagi, apa yang dikatakan Rasul Paulus dalam bacaan hari ini sungguh menguatkan saya. Saya percaya bahwa meski kecil, sederhana usaha ini, lama-lama akan menghasilkan banyak buah. Saya percayakan pada Tuhan semuanya itu. Saya hanyalah alat-Nya. Kata-kata Rasul Paulus sungguh menghibur pula: “…Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia. (Roma 8:17)”. Inilah jaminan pengharapan yang diberikan Tuhan bagiku dan bagi kita semua yang berusaha melalui perbuatan dan karya kita yang sederhana, bekerja mewujudkan Kerajaan Allah. Kita adalah pekerja, yang merawat dan menyiangi…, tapi tetap Allah yang memberi pertumbuhan. Maka, mempercayakan kepada Allah seperti apa hasilnya usaha kita itu nantinya adalah sikap iman yang otentik.

Kalau kita sungguh mengasihi Tuhan, kita akan sungguh pula merasakan penyelenggarannya. Sulit bagi saya membayangkan bagaimana mungkin ibu saya yang janda, selepas ditinggal mati papa, sanggup membesarkan dan membiayai pendidikanku dan keempat saudaraku yang lain. Gaji pensiunan papaku sebenarnya hanya cukup buat makan sehari-hari. Ada saja jalan yang disediakan Tuhan bagi keluargaku…Seringkali mengejutkan…tapi sungguh dia mengerti apa yang kami butuhkan. Suatu kali ketika begitu cemas dengan keadaan keuangan keluarga, mama yang sekolahnya tidak setinggi saya, mengingatkan saya “Nal.., burung saja dikasih makan sama Tuhan, masak kita tidak. Sekarang berdoa bersama saya supaya apa yang sedang mama rencanakan dan usahakan ini berhasil…” Kata-kata ini saya ingat selalu karena memang besoknya apa yang kami butuhkan sungguh-sungguh kami dapatkan…

Semalam tak nyangka seorang teman yang sudah lama gak kontak, muncul dan curhat tentang pengalaman rohaninya. Melalui yahoo messenger, percakapan kami masing-masing memberi kekuatan baru bagi kami… Sekali lagi, Tuhan turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia…I really feel something not just like happines, but really happiness…

ronald,s.x.

Dari Fermipan, Donat, hingga Kerajaan Allah

Sewaktu SD, saya suka sekali memperhatikan mama mengolah adonan terigu menjadi roti atau kue tart; sering juga mencolek kue-kue yang masih setengah matang di dalam oven. Saya masih ingat betul, ketika Mixer Kue (mesin pengaduk adonan roti) belum begitu banyak beredar, mama masih menggunakan alat sederhana dari kawat berbentuk spiral untuk mengaduk adonan roti dan tak jarang pula mengaduk dengan tangan saja. Mama orang yang pengertian. Dia meladeni juga curiosity ku yang kebangetan…Jadi, dia beritahu juga bahan-bahan apa saja yang penting untuk membuat kue..Saya masih ingat bahan-bahan itu antara lain, backing powder, vanili, mentega, terigu, telur dan yang paling penting fermipan atau bibit roti atawa ragi..Bahan terakhir inilah yang membuat adonan roti mengembang…Saya memperhatikan proses pengembangan adonan itu berlangsung antara satu hingga dua jam. Setelah itu baru dijadikan donat atau jenis roti lainnya. Oh ya, mama saya trampil buat kue dan melayani pesanan kue.

Pengalaman itu membuat saya cukup memahami arti Kerajaan Allah. Yesus mengumpakannya seperti biji sesawi, yang diambil dan ditaburkan orang di kebunnya lalu biji itu tumbuh dan menjadi pohon sekaligus hunian bagi burung-burung. Juga kerajaan Allah seperti ragi yang diambil seorang perempuan dan diadukkan ke dalam tepung terigu tiga sukat sampai khamir atau mengembang merata seluruhnya..(Lukas 13:18-21)

Biji dan ragi adalah kenyataan Kerajaan Allah. Lalu kerajaan Allah itu apa? Kita mesti ingat apa yang Yesus katakan dan kerjakan untuk memahami itu. “Ketika aku menyembuhkan orang lumpuh, membangkitkan orang mati, mentahirkan yang buta, sesungguhnya Kerajaan Allah itu telah datang padamu”. Maksudnya, Kerajaan Allah adalah peristiwa di mana Allah merajai hati kita, menjadi dorongan dan tujuan dasar pilihan-pilihan hidup kita sehari-hari. Hati kita menjadi hati yang terbuka seperti Allah menyambut dan mengasihi sesama tanpa syarat…Cara hidup kita sebagai orang Katolik menjadi kesaksian yang pertama dan utama tentang Kerajaan Allah, yang menjadi daya tarik bagi banyak orang. Kerajaan Allah adalah anugerah Cuma-Cuma dari Allah, tapi kita mesti seperti si penabur yang menabur dan memelihara biji itu sampai tumbuh; seperti perempuan yang mengaduk adonan roti sampai mengembang dan siap disantap. Tuhan butuh anda untuk mewujudkan kerajaan-Nya. Bagaimana mungkin? Kita mulai dari hal-hal yang kecil dan sederhana, seperti biji dan ragi tadi; masuk kantor tepat waktu, setia pada tugas-tugas yang dipercayakan, mendukung dan menghibur teman yang lagi down, selalu menyapa selamat pagi-selamat siang-selamat sore untuk teman-teman di kantor atau sekolah; menyediakan bantuan khusus bagi saudara kita yang tidak mampu…Masukkan salah satunya dalam schedule harian anda…Kecil-kecil tapi lama-lama bersama perbuatan kecil-kecil dari saudara-saudari kita lainnya,kita sedang ikut serta mewujudkan Kerajaan Allah.

Salam,

Ronald,s.x.

Anda Kerasukan Roh Apa?

Bacaan: Rm. 8:12-17; Lukas 13:10-17

Kisah Injil menarik untuk direnungkan. Yesus berjumpa dengan seorang perempuan yang sudah 18 tahun sakit sampai bungkuk punggungnya sehingga tidak lagi dapat berdiri dengan tegak. Kata orang keadaan perempuan itu yang demikian dipercaya karena dirasuki roh (kepercayaan Yahudi: sakit, derita identik dengan kutuk dan dosa).
Kata-kata yang keluar dari mulut Yesus saat memanggil dan menyembuhkan perempuan itu membantu kita memahami apa sebenarnya yang dialami perempuan itu, apakah dia kerasukan setan atau tidak, kalau ya, setan macam mana?

“ Hai ibu, penyakitmu telah sembuh.” Yesus mau mengatakan bahwa si ibu sungguh-sungguh mengalami sakit jasmani, yang selalu mungkin menimpa siapa saja…Kiranya rasa minder, putus asa; malu harus menanggung cemoohan sebagai pendosa dan orang yang dikutuk, memang bisa saja membuat ibu ini tidak lagi bisa menerima dirinya; tidak lagi percaya pada belas kasih Tuhan..

Dalam perjumpaan saya dengan beberapa orang sakit entah waktu kunjungan ke panti atau rumah sakit, maupun saat mengunjungi keluarga-keluarga yang sakit, cukup sering saya mendapati orang-orang yang putus asa, tidak lagi mau berusaha untuk sembuh. Seorang bapak yang stroke berhenti melanjutkan fisioterapi, padahal sudah ada tanda-tanda akan sembuh; seorang teman yang minta agar menghentikan semua pengobatan karena merasa sia-sia saja….Seorang sahabat menjadi skrupel atau merasa salah berlebihan – karena pernah melakukan sesuatu yang menurutnya jahat – sampai-sampai kurang percaya bahwa Tuhan mengampuni tanpa batas…,asal kita mau.

Ketidakpercayaan, keputusasaan dan rasa salah berlebihan/skrupel adalah tempat-tempat di mana roh jahat itu justru menunjukkan dirinya, merasuki hidup kita. Mari kita hening sejenak, bertanya diri, kapan dan berapa lama sikap-sikap seperti itu pernah menguasai kita; kapan dan berapa lama kita dirasuki oleh roh jahat?

Injil ini menggarisbawahi betul pentinya iman dan keterbukaan hati kepada belaskasihan Tuhan. Kita mesti seperti perempuan yang kerasukan roh selama 18 tahun itu, menyambut kasih dan pengampunan Tuhan dengan gembira dan penuh harapan, berdiri dan bangkit memuliakan Dia, bangkit dari keterpurukan dan kekecewaan kita. Sikap iman inilah yang melengkapi mukjizat penyembuhan atas dirinya. Anugerah kesembuhan ditanggapi dengan iman yang terbuka dan gembira.Tiada yang mustahil bagi orang yang percaya, itu kata pemazmur…

Mari kita berdoa agar Roh Allah yang sungguh merasuki hidup kita, yakni roh keberanian dan kegembiraan. Sebab, sebagaimana dikatakan rasul Paulus, “kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah.” (Rm.12:14) Maka hiduplah sebagai sang Anak, yang percaya dan menyerahkan diri pada Bapa yang selalu menjamin bahkan sudah tahu apa yang kita butuhkan…
salam,
fr.ronald,s.x.

MERAWAT PEKARANGAN IMAN KITA

Seorang teman di Jakarta mengirimkan sebuah pesan pendek (sms) yang isinya tentang kabar pejalanan ziarah rohaninya ke Lourdes dan beberapa tempat lainnya di Eropa. Soal Maria, apalagi pengalaman pribadinya dengan tokoh Maria tidak disinggung sama sekali. Maka, balasan saya tak kalah pendeknya:”sip., jangan lupa setia seperti Maria”.
Teman saya ini mungkin satu dari cukup banyak orang yang berusaha merawat dan memelihara iman mereka melalui kegiatan-kegiatan devosional seperti ziarah.Ini tentu saja usaha yang baik dan patut dipuji. Iman kita bagaikan sebuah tumbuhan dalam taman atau pekarangan rumah hidup kita. Pertumbuhannya sangat bergantung dari bagaimana tanah di sekelilingnya disiangi, disiram dan dipupuk dengan baik. Seni menyiangi, kesetiaan untuk terus menyiram serta pilihan pupuk yang baik akan memungkinkan tumbuhan ‘iman’ kita tumbuh mekar semerbak mewangi.
Tanggal 14 Oktober yang lalu ketika selesai menghadiri misa di Gereja St. Maria Asumpta – Pakem, gereja yang sekaligus menjadi tempat ziarah Maria yang cukup terkenal karena sumur kitiran masnya, saya memperhatikan dua orang peziarah yang mendekati sumur kitiran mas. Yang seorang nampak sudah stroke sementara seorangnya lagi menuntut si sakit. Keduanya ingin minum dari air sumur yang konon ‘menyembuhkan’ itu. Dalam hati, saya memuji kebersahajaan iman orang itu, tapi sekaligus bertanya pada Maria: “bunda, apa benar ini yang kau inginkan? Bukankah Yesus ketika di salib meminta kepada Yohanes (dan kami semua) untuk meneladanimu, setia mencintai dan mengikuti sang putra sampai di salib? Sambil ikut mendoakan kesembuhan bapak itu, saya mohon doa bunda Maria agar saya terus setia.

Tiga belas tahun lalu, tengah malam saya terjaga dan mendapati mama masih duduk di tempat tidur berdoa rosario. Sejak papa meninggal, saya, mama dan keempat saudara saya tidur di satu tempat tidur besar.Pertanyaan saya singkat: “ Ma.., belum tidur?” Jawabnya: “yah..saya masih pikir bagaimana besok kalian masih bisa makan…Paginya waktu saya bangun, dia sedang mengolah adonan terigu untuk dijadikan kue jualan hari itu. Itulah kiranya jawaban dari doanya semalam. Jawabannya adalah dia selalu setia dengan pekerjaannya.
Dengan kesetiaan kita memelihara iman kita. Kesetiaan sebagaiman dilukiskan rasul paulus dalam suratnya kepada Timotius (II Tim.4:6-8) adalah kunci menyelesaikan ‘pertandingan’ dalam hidup kita. Setiap hari, kita ‘bertanding’, berlomba untuk mengalahkan diri sendiri. Kita selalu dihadapkan pada pilihan untuk cukup diri; senang-senang karena merasa sudah berhasil; mencari penghiburan karena tidak tahan sepi sendiri; mau lari dari tugas-tugas yang berat dan rutin, pingin bebas dan lalu membangun menara gading serta patung diri kita sebagai sesembahan baru…
Kesetiaan yang sama juga diperlihatkan oleh si pemungut cukai yang berdosa sebagaimana diceritakan dalam Injil hari ini (Lukas 18:9-14). Dia setia bukan hanya selalu datang berdoa tapi setia pada keyakinan bahwa betapapun dia berdosa, Tuhan senantiasa menerima dan mengasihinya. Kesetiaan macam inilah yang sering disamakan dengan sikap “miskin’ di hadapan Allah. Doa orang-orang yang setia seperti ini memang, seperti kata Bin Sirakh (Sirakh 35:15b-17.20-22a), “menembus awan’, sampai ke telinga Dia yang sudah mengetahui apa yang kita butuhkan. Mari kita mohon rahmat yang sama yakni untuk setia,juga seperti Maria.

Kita bersyukur memiliki St. Lukas Penginjil. Dari dia kita memperoleh banyak kisah dan kesaksian tentang Yesus serta sejarah Gereja perdana. Ia adalah teman seperjalanan Paulus dalam perjalanan misi kedua dan ketiganya (Kisa. 16:10-17; 20:5-21:18). Waktu Paulus dalam penjara di Kaisarea dan Roma, Lukas tetap menyertainya (kis.24:23-27:28). Tentang riwayat hidup lukas selanjutnya kita tidak tahu apa-apa dengan pasti. Menurut tradisi ia meninggal dunia dalam usia lanjut di daerah Akhaya, Yunani. Dalam tahun 357 jenasahnya dibawa ke kota Konstantinopel.
Tradisi sepakat menyebut Lukas seb agai penulis Injil ketiga. Injil yang ditulisnya memiliki benang merah yang sama dengan ajaran Paulus yang menekankan bahwa keselamatan juga dianugerahkan kepada bangsa yang bukan Yahudi.
Walau tidak mengenal Yesus secara langsung. Lukas mengalami diubah oleh Yesus. Setidak-tidaknya dari apa yang diceritakan dan diwartakan Paulus, Lukas mengalami perjumpaan pribadi dengan Yesus. Kesaksian tradisi lisan maupun tulisan tentang Yesus kemudian ‘diselamatkan’ Lukas dengan menuliskan Injilnya. Kiranya ia sungguh menggarisbawahi pesan keselamatan Yesus yang diperuntukkan bagi orang miskin, orang berdosa, perempuan dan orang bukan Yahudi.
Lukas hari ini menjadi contoh bagi kita. Ia membagikan pengalaman bagaimana hidupnya diubah oleh Yesus dengan cara menuliskan Injil itu. Pertanyaan untuk kita, apakah kita sekarang ini masih sering membagikan pengalaman iman kita, perjumpaan pribadi kita dengan Yesus? Apakah kita sungguh-sungguh menggunakan sarana-sarana seperti surat, email untuk membagikan pengalaman itu?

Teks. Lukas 11:1-4
Doa ini begitu sering kita pakai. Kadang ketika tidak punya ide untuk memanjatkan doa bersama, kita pakai doa ini. Tidak jarang waktu sakit perut, waktu kalah judi atau bahkan waktu mau mencuri kelapa, doa ini kita daraskan. Sedemikian biasanya sampai-sampai kita lupa akan arti dan pesan penting doa ini.

Setiap kali kita menyebut Bapa, dalam hati kita mesti terbayang tangan-tangan hangat Sang Bapa yang Berbelaskasih yang menyambut setiap anaknya yang pulang. Kalau kita memanggil Allah sebagai Bapa, maka kita adalah anak atau putera-puterinya. Kebenaran sebagai putra dan putrinya seharusnya membuat kita berani sebagai anak untuk mempercayakan seluruh kebutuhan kita. Kita bukan pengemis yang selalu merengek-rengek minta belas kasihan. Allah sudah menganugerahkan kasih itu tanpa syarat pada kita. Setiap kali kita menyebut Bapa, kita mesti selalu merasa terjamin.
Dengan menyebut Bapa, dengan sendirinya di hadapan Allah kita membangun niat untuk mencintai sesama yang lain sebagai anak-anaknya juga; kita berjanji untuk terus memelihara solidaritas dengan sesama yang paling membutuhkan bahkan terhadap musuh kita.
Dikuduskanlah nama-Mu. Kudus artinya khusus, istimewa. Kita minta agar Allah menolong kita untuk dalam perjuangan kita hari ini, kita selalu menomorsatukan Dia, mengkhususkan Dia.
Datanglah Kerajaan-Mu. Kita minta agar anugerah Kerajaan diberikan Allah dan kita mohon agar kita dikuatkan untuk ikut mewujudkan-Nya.
Mewujudkan kerajaan Allah antara lain diungkapkan dalam dua pemohonan berikutnya:
Berilah kami setiap hari makanan kami yang secukupnya. Ini adalah permohonan sekaligus pernyataan iman bahwa Allah tidak mungkin menelantarkan kita. Kita mohon agar jerih lelah kita tetap bisa mencukupi kebutuhan kita. Kita tidak minta lebih. Karena kita percaya bahwa Allah selalu memperhatikan kebutuhan kita, maka tanpa kuatir dan ragu kita mau berbagi apa yang kita miliki dengan sesama yang paling membutuhkan: uang, makanan, pakian. Setiap kali mendoakan ini, kita mesti mengingat saudara-saudara kita yang lapar di Afrika, Asia, di Sidoarjo, Bengkulu dll.
Ampunilah kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami. Karena Allah sudah terlebih dahulu mengampuni kita, maka kita pantas untuk mengampuni siapa pun yang bersalah atau menyakiti kita.

Doa ini sangat radikal. Beranikah anda untuk mendoakannya? Masih beranikah anda menggunakannya untuk berdoa mohon kesembuhan dari sakit perut? Renungkanlah baik-baik. Dan jika anda merasa cukup dengan mendoakan Bapa atau merasa cukup dengan satu permohonan saja, berhentilah dan renungkanlah itu saja. Selanjutnya mulailah mengerjakan apa yang anda doakan.

Seorang anak yang berusia tiga tahun setiap pagi diantar bapaknya ke sekolah Ricci II di daerah Glodok- Jakarta. Cara berpakian anak ini berbeda dari anak-anak lainnya. Dia selalu memakai celana panjang, sementara teman-temannya memakai celana pendek. Rupanya dia meniru bapaknya, seorang guru, yang selalu memakai celana panjang. Saking sulitnya memaksa dia untuk memakai celana pendek, akhirnya sang ayah suatu hari memutuskan untuk memakai celana pendek. Seperti biasa dia berkemas untuk mengantar anaknya. Tak dinyana, sang anak pun memakai celana pendek. Ketika di sekolah anak ini ditanya satpam. Hei…kenapa sekarang kamu pakai celana pendek? Jawab anak itu singkat: “ saya pingin ikut bapak saya”!
Panggilan kita untuk mewujudkan kerajaan Allah dengan solidaritas dan pengampunan tidak lain karena kita adalah anak, yan g pingin juga memiliki hati sebesar Allah Bapa kita.


Marta dan Maria dalam Injil dikenal sebagai sahabat-sahabat dekat Yesus. Kisah mereka diceritakan persis setelah kisah orang Samaria yang murah hati. Kisah orang Samaria ini menjadi ilustrasi yang dibuat Yesus untuk menjelaskan arti hukum cinta kasih kepada ahli Taurat yang mencobai Dia (Lukas 10:25-37). Kenapa riwayat mereka yang singkat perlu dimasukkan dalam Injil? Sedemikian pentingkah mereka? Begitu istimewanyakah perbuatan yang mereka lakukan?
Yang pasti, berdasarkan Injil, mereka adalah orang yang dikenal dan mengenal Yesus secara dekat. Buktinya, mereka menerima Yesus dan para murid yang singgah di kampung dan rumah mereka. Besar kemungkinan, kedatangan Yesus itu tidak direncanakan. Sulit membayangkan bahwa saat itu misalnya Yesus mengirim sms pada mereka berdua bahwa Ia akan datang. Kedatangan Yesus yang mendadak ini tentu merepotkan. Apalagi selain sebagai sahabat, Yesus kan sudah terlanjur dikenal dan dihormati banyak orang. Maka, penyambutan yang istimewa perlu dipersiapkan. Faktanya, Yesus datang. Bisa dimengerti betapa sibuknya Marta dan Maria. Lagipula mereka harus melayani pula keduabelas murid. Marta yang kiranya sebagai saudara yang lebih tua mengambil inisiatif untuk menyiapkan makanan dan minuman. Jadi dia sibuk di dapur. Sementara Maria memilih untuk menemani Yesus dan para murid ngobrol. Kiranya Maria tidak tega membiarkan kakaknya sibuk sendiri. Tapi lebih tak tega lagi jika dia membiarkan tamu-tamunya diam melongo. Maria kemudian terus mendengarkan cerita-cerita Yesus. Saking asyiknya sampai lupa bahwa Marta sebenarnya butuh bantuan. Cukup dimaklumi perasaan Marta. Pantas kalau dia menggerutu:" Tuhan, tidakkah Engkau peduli bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku. " (ayat.40). Nampaknya hidangan belum selesai dipersiapkan.
Jawaban Yesus sungguh mengesankan. " Marta, Marta, engaku kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil daripadanya". (ayat 41-42). Satu saja yang perlu, apakah gerangan? Bukankah kita sepakat dengan tindakan Marta bahwa rasa hormat dan rasa cinta kita pada orang kita wujudkan dengan selalu memberikan dan mengerjakan apa-apa yang menyenangkannya? Untuk kekasih kita, kita berikan bunga rose atau bahkan sepatu cinderella. Untuk anak, kita berikan dia mainan kesukaanya. Untuk mertua kita, kita siapkan masakan kesukaanya. Dan kita selalu merasa yakin barang-barang berharga selalu menentukan seberapa besar penerimaan orang atas diri kita. Sering saking kurang percaya diri, kita berusaha meyakinkan orang -dengan prestasi, barang,uang dan harta lainnya- bahwa kita pantas dicintai dan dihormati. Tidak sedikit dari kita berpikir bahwa karena perbuatan baik; karena tindakan-tindakan amal saleh kita, kita pantas untuk menerima berkah dan anugerah berlimpah dari Tuhan.
Hanya satu yang perlu. Yesus sebenarnya mau mengatakan kepada Marta: " Aku pingin ketemu kamu. Aku pingin lama berbicara denganmu. Aku pingin melepas rindu. Indah rasanya kalau mendengar cerita-ceritamu.". Yesus ingin ketemu dan menjumpai Marta dan Maria apa adanya bahkan dalam keadaan bahwa mereka tidak siap melayani Dia. Yesus tidak melarang Marta untuk menyiapkan makanan minuman untuk Dia dan para muridnya. Tidak. Dia hanya ingin Marta menyediakan sedikit waktu untuk berbicara dan mendengarkan Dia seperti Maria. Dia pingin tahu apa saja pengalaman Maria.
Di sinilah letak pentingnya kisah Marta dan Maria. Melalui kisah ini Yesus mengajarkah betapa pentingnya perjumpaan pribadi dengan Dia. Dia menuntut agar masing-masing kita dalam situasi dan pekerjaan kita masing-masing mencari waktu berapa pun lamanya untuk sejenak berhenti untuk berdoa, bersyukur kalau ada yang patut disyukuri, protes kalau ada yang pantas dikeluhkan pada Dia. Ingat! sebagai orang Kristiani kita tidak sedang mengikuti aturan atau hukum, melainkan kita mengikuti dan berjumpa dengan seorang Pribadi yang mengubah hidup kita.
Semoga kisah ini juga membantu kita untuk mengembangkan relasi yang lebih baik dengan keluarga atau sahabat. Otentisitas relasi itu terletak dalam kesediaan untuk selalu memberi waktu untuk saling mendengarkan; bukan dengan membelanjakan atau menghadiahkan sedemikian banyak barang.

salam,

ronald,s.x.

Saudari-saudara terkasih, renungan kita di pekan ini kita awali dengan merenungkan tokoh Yunus (Yunus 1:1-2:10).Yunus atau yang sering disebut nabi Yunus sebenarnya lebih merupakan tokoh dongeng daripada seorang tokoh historis. Akan tetapi, kenyataan yang mau diceritakan melalui tokoh ini adalah kenyataan yang historis, yang benar-benar terjadi dalam sejarah Israel. Meskipun demikian, jika anda membaca salah satu kitab tersingkat dalam Perjanjian Lama ini, anda mungkin akan sepakat dengan saya bahwa Yunus adalah salah satu tokoh menarik dan mengesankan.
Dia lari ke Tarsis ketika Tuhan memanggilnya. Kalau anda mengenal kisah-kisah panggilan nabi Yeremia, Amos dan nabi-nabi lainnya, anda tentu tidak menemukan sikap penolakan total seperti Yunus ini. Dia benar-benar lari, bahkan memilih lebih baik mati daripada hidup dan memikul tugas panggilan itu.
Sedemikian berat dan susahkan panggilan itu sehingga ia menolaknya? Kalau diteliti, Tuhan ternyata memanggil dia supaya mengatakan kepada orang-orang Niniwe agar mereka bertobat. Nampaknya, tugas ini tidak susah-susah amat kok. Kalau memang tugas ini mudah lalu kenapa Yunus menolaknya?
Yunus sulit sekali menerima kebenaran bahwa Allah itu maha pengampun dan bahwa Ia mengasihi semua orang tanpa kecuali. Dia sungguh-sungguh marah pada Allah ketika menyadari bahwa bukan hanya Israel yang dikasihi-Nya tapi semua bangsa. Yunus mewakili bangsa Israel, dan bisa saja mewakili kita, yang sulit menerima gambaran dan kenyataan Allah yang demikian itu. Ia mengasihi semua orang tanpa syarat.
Yunus sekaligus juga merupakan kritik atas Yudaisme yang pada zamannya begitu menekankan monoteisme dan kemahakuasaan Allah sampai-sampai lupa bahwa Dia itu adalah pribadi yang mengasihi.
Kisah Yunus menjadi kritik terhadap setiap bentuk eksklusivisme ideologis dan religius yang 'mengurung' Allah dalam kelompok-kelompok tertentu bahwa Allah hanya menyelamatkan kelompoknya, sementara yang bukan kelompoknya pasti dihukum.
Warta tentang Allah yang mengasihi tanpa batas itu diungkapkan juga dalam kisah tentang orang Samaria yang baik hati (Lukas 10:25-37). Tanpa memperhitungkan aturan dan hukum yang lebih sering membelenggu daripada menolong manusia, si Samaria - yang sering dicap kafir oleh bangsa Yahudi - justru turun menolong orang Yahudi yang hampir mati dirampok penyamun. Bahkan ia merelakan semua miliknya agar orang tadi dapat dirawat dengan baik hingga sembuh. Ini tentu berbanding terbalik dengan kecenderungan kita untuk menolong dan mengasihi hanya orang yang sesuku dengan kita; atau orang yang darinya nanti kita bisa dapatkan balasan serupa; mungkin juga kalau orangnya cakep dan gagah serta macam-macam prasyarat lain yang kita pasang tanpa sadar.Padahal Allah mengasihi semua orang bahkan menerima kembali mereka yang menolak dan menghianatinya. Kisah pertobatan dan pengampunan orang-orang Niniwe cukup jelas mengungkapkan ini. Wajah Allah seperti inilah yang mesti kita wartakan. Kita bukan percaya pada seorang superhero apalagi superman dan superhuman tapi Allah seperti ini yang bahkan mati di salib.
Semoga hari ini cara bicara dan sikap kita terhadap sesama memperlihatkan keterbukaan dan penyambutan tanpa batas dan syarat. Mari kita mewartakan kemahaluasan kasih itu di tempat kerja kita, di sekolah dan tentu di rumah kita pula.

salam,

ronald,s.x.

Tessa Minta Karet


Ini kisah si kecil Tessa, anak lima tahun yang pada hari minggu bersama papa dan mamanya ke Gereja St. Paskalis Cempaka Putih. Selagi kedua orangtuanya khusuk berdoa, dia mendekati patung kanak-kanak Yesus yang digendong St. Fransiskus Asisi. Inilah kata-kata yang keluar dari mulutnya.
" Tuhan Yesus, ini Tessa. Dan itu papa dan mamaku. Mereka lagi berdoa. Kau tahu kan kalau sekarang Tessa sudah TK B di Sanur. Papa dan mama membelikan aku boneka barbie yang mahal waktu kami jalan-jalan ke Taman Anggrek. Boneka Barbie itu jadi teman mainku,juga jadi teman bicaraku waktu kulihat papa dan mama bertengkar dan membanting apa saja yang ada di depan mereka. Boneka itu juga jadi teman tidurku meski mama menggaji si embok dari Pasuruan. Mereka membelikan apa saja padaku walaupun aku tidak pernah minta. Aku punya hp untuk nge-sms- mama jika om sopir belum juga datang menjemputku di sekolahan. Kamarku nyaman, penuh dengan bunga dan mainan. Mungkin mama dan papa membelikan semuanya itu untukku agar aku tak nangis waktu ditinggal mama dan papa ketika ada dinas ke luar kota atau ketika papa tak pulang-pulang karena harus meladeni customernya. Aku tahu mereka sayang banget padaku.

Tuhan kau tahu boneka barbie ini meski cantik dan lucu tapi sebenarnya gak bisa bicara. Aneh, dia tetap senyum waktu aku sedih. Mestinya dia juga sedih dong kalau aku sedih.

Maka aku datang padamu, aku mau bicara sendiri denganmu. Aku ingin minta satu hal yang tidak pernah ingin aku minta dari papa dan mama. Dan aku hanya ingin minta itu darimu. Tuhan, aku minta karet,
Untuk mengikat tangan papa yang kalau lagi tak sabaran dan marah cepat sekali melayang menampar muka mama; yang terus menari di atas handphone nya waktu kami lagi makan dan minum teh bersama.
Tuhan, tessa minta karet untuk ikat juga tangan mama yang kadang-kadang meladeni amarah papa dengan memecahkan piring.
Tessa minta karet untuk mengikat tangan mama yang terlalu sering menghabiskan duit untuk membeli yang tidak perlu dan tidak terlalu kami butuhkan.
Tuhan, Tessa minta karet untuk mengikat semua buku-buku, rekening, surat-surat di atas mejanya supaya rapi dan membuat mama tidak lupa berdoa.
Tessa minta karet untuk ikat kaki papa dan mama agar tidak pergi terlalu lama meninggalkan Tessa sendiri.
Tuhan, terserah warna apa saja karet itu,yang penting karet itu bisa Tessa pakai untuk mengikat mereka berdua dengan cinta, cinta yang mereka perlihatkan sendiri kepadaku. Tuhan, ikatlah juga tangan mereka dengan tanganku pada salibmu agar mereka sungguh saling mencintai, mengampuni sebagaimana engkau telah mengampuni kami semua.

Tuhan, maaf, lihatlah, orang-orang di Gereja ini melihat dan memelototi saya. Suara saya tadi rupanya menggangu mereka yang lagi misa. Mudah-mudahan mereka, juga romo paroki tidak mengusir saya seperti yang pernah dibuat para murid dulu.

Ronald,s.x.

Bacaan: Lukas 16:19-31 " Orang Kaya dan Lazarus yang Miskin"

Kisah Injil tentang orang kaya dan Lazarus yang miskin sudah sering kita baca dan kita dengar. Tokoh Lazarus juga mungkin sering anda dengar. Benar, dia adalah saudara Marta dan Maria sahabat dekat Yesus yang tinggal di Betania. Saking sayangnya Yesus pada Lazarus sampai-sampai ketika ia datang ke Betania melayat Lazarus, Dia menangis. Lazarus kita tahu dibangkitkan Yesus.
Tokoh Lazarus yang diceritakan Yesus dalam bacaan Injil hari ini tidak sama dengan Lazarus sahabat Yesus. Lazarus hanya menjadi figuran untuk perumpamaan yang mau disampaikan Yesus. Dalam kisah ini, orang kaya hidup senang dan tak berkekurangan, sementara Lazarus hidup miskin dan kelaparan. Ia selalu duduk di depan pintu rumah orang kaya itu, memungut remah-remah yang jatuh dari meja si kaya supaya rasa laparnya terobati. Singkat cerita kedua-duanya mati. Yang kaya mati menyusul Lazarus. Kehidupan baru yang dialami keduanya sungguh berbeda jauh. Lazarus hidup di surga dan dalam pangkuan Abraham sementara si kaya menderita dalam api hukuman yang bernyala-nyala.
Mendengar cerita ini kita bisa langsung merasa ngeri. Atau kesan yang bisa selalu muncul adalah keyakinan bahwa orang yang kaya itu ditolak Tuhan dan pasti masuk neraka. Sebaliknya yang miskin akan menikmati surga mulia. Apakah memang demikian maksud Yesus? Apakah Yesus memang berbicara tentang realitas bernama surga dan neraka? Ataukah dia mau mengatakan sesuatu yang sama sekali lain?
Surga dan neraka adalah konsep dan keyakinan yang sudah ada dalam Yudaisme dan terus diwarisi turun-temurun. Bahkan kekristenan mewarisi istilah biblis ini sebagai salah satu dari beberapa ajaran/katekismusnya. Surga, paradiso adalah tempat kebahagiaan yang hanya dinikmati oleh mereka yang diselamatkan dan yang hidup saleh. Sementara neraka (inferno)adalah tempat hukuman bagi mereka yang jahat dan berdosa. Satu konsep lain yang ditambahkan dalam kekristenan adalah api penyucian (purgatori). Pada masa lampau istilah-istilah ini begitu ditekankan sehingga akibatnya memudarkan inti atau pesan penting warta Injil.
Yesus adalah orang Yahudi juga. Maka dalam pengajarannya dia tentu memakai istilah dan ungkapan yang sudah akrab di telinga pendengarnya. Surga dan neraka yang disinggung Yesus dalam kisah Injil hari ini diapakai Yesus untuk menyampaikan satu pesan penting. Pesan penting itu disampaikan melalui mulut orang kaya ketika ia berdialog dengan Abraham. Dalam dialog itu kita menemukan bahwa surga dan neraka adalah istilah yang mau mengungkapkan realitas yang benar-benar ada yakni kebahagiaan kekal dan hukuman/kebinasaan. Dua realitas ini tak terseberangi. Si kaya akhirnya meminta supaya Lazarus memberitahu lima saudaranya yang masih hidup untuk merubah hidup mereka supaya tidak mengalami nasib yang sama dengannya. " Ada pada mereka kesaksian Musa dan para nabi", itulah jawaban Abraham. Maksudnya, taurat yang dibawa Abraham juga titah-titah para nabi sudah cukup menjadi pedoman bagi mereka untuk selamat.
Akan tetapi, di sini lah puncaknya, yang menarik adalah tanggapan si kaya ini. Ia membantah Abraham. Menurutnya, kesaksian Musa dan para nabi belum sungguh atau cukup menyelamatkan. "Harus ada orang yang datang dari dunia orang mati" dan dia itulah yang bisa menyelamatkan. Inilah kunci kisah ini. Melalui tokoh orang kaya, tokoh antagonis yang tentu saja tidak mengundang simpati banyak orang, Yesus malah mewartakan point ceritanya yakni pernyataan identitas dirinya. Dialah yang "datang dari dunia orang mati" itu untuk menyelamatkan manusia yang berdosa. Dialah yang menjembatani dunia hukuman dan kebahagiaan. Dia sudah hidup, menderita dan bahkan mati sebagai orang hukuman supaya manusia ikut bangkit bersama dia dan hidup hidup bahagia. Jadi Yesus sebenarnya bicara tentang dirinya; bukan tentang surga dan neraka; bukan juga tentang kaya yang miskin - apalagi sampai mengatakan bahwa yang kaya masuk neraka dan yang miskin masuk surga. BUKAN.
Kita tidak mungkin akan mencapai surga dan tetap terus tinggal dalam dunia hukuman kalau kita tidak menyerahkan diri dan percaya pada Dia. Percuma saja Yesus datang menyelamatkan kalau kita sendiri menolak Dia. Yang mesti kita cintai dan kita ikuti adalah Yesus, bukan lainnya, bukan aturan haram dan halal, boleh ini dan tidak boleh itu. Tidak jarang tindakan baik kita sering didorong bukan oleh cinta pada Yesus tapi pada rasa takut. Saya memberi sedekah kepada orang lain bukan karena saya ingin ikut ambil bagian dalam kesulitan / kebutuhannya tapi karena saya takut masuk neraka. Atau saya mesti rajin ikut kegiatan lingkungan dan pergi misa setiap minggunya supaya dapat tempat di surga. Surga dan neraka itu seolah-olah akhirnya menjadi saingan baru bagi Tuhan. Banyak di antara kita yang tidak sedang mengikuti Dia, tapi menjadi pengkut keyakinan tentang surga dan neraka. Semoga kita bertobat!

salam,

ronald,s.x.

Tentu hampir semua dari kita pernah menjemput atau menunggui seseorang di terminal. Di Indonesia, calo dan porter selain merupakan masalah, tapi juga sudah merupakan bagian invisible atau tersembunyi dari manajemen transportasi kita. Maaf, saya tidak sedang mengomongkan masalah transportasi.
Calo dan porter kalau dipikir-pikir, cukup penting perannya, sering membantu walau lebih banyak yang menipu, menyesatkan dan memeras. Benar bahwa mereka membantu kelancaran kita untuk berangkat atau tiba di tempat tujuan, tapi seringkali ketidaknyamanan selalu dirasakan.
Selama tiga jam saya menunggu kedatangan adik saya dari Gresik di terminal Giwangan - Yogyakarta. Dan selama itu pula saya memperhatikan semua aktivitas para porter dan calo setiap kali beberapa bus dalam dan luar kota tiba dan menurunkan penumpang atau setiap kali ada orang yang mau berangkat ke luar kota.
Tapi ada yang sama antara saya dan para calo dan porter itu: kami sama-sama menunggu kedatangan penumpang. Yang ditunggui pasti penting baik bagi saya maupun mereka. Bedanya, mereka ingin mendapatkan uang. Sementara saya atau anda menunggu sahabat dan kenalan kita karena mereka merupakan bagian penting dari hubungan dan hidup kita. Karena bagian penting ini, cemas dan kuatir selalu menghinggap jika yang ditunggu-tunggu tidak datang-datang juga; atau mungkin tersesat. Saya cukup kuatir setelah menyadari telah lewat dua jam saya menunggu adik saya. Hujan mulai turun gerimis. Itu hujan pertama setelah lebih tiga bulan aku di yogyakarta. Saya buang perasaan itu jauh-jauh dengan berdoa kecil seraya merenungkan inspirasi kecil saat melihat lalu lalang para calo dan porter di terminal ini. Saya mengingat dan merasakan belas kasih Tuhan. Tuhan itu selain selalu mencari yang hilang, tapi juga menunggu. Anda tentu ingat kisah anak yang hilang dalam bacaan Injil minggu ini; kisah yang seperti membingkai permenungan kita selama satu pekan ini. Kisah itu lebih tepat diberi judul Allah yang Berbelaskasih atau Allah yang menunggu kepulangan dan pertobatan manusia Allah yang sama pula yang menyambut dan menyongsong kita saat kita mengakhiri peziarahan di dunia dalam kematian.
Seringkali mata hati dan budi kita kurang terang menemukan dan mengalami kehadiran Allah yang berbelaskasih itu. Dia menunggu kita, dia berada di antara begitu banyak cara pandang dan keyakinan yang ada di sekitar kita, khususnya keyakinan akan Allah penghukum, keyakinan bahwa rasa bersalah yang berlebihan (skrupel) bisa menyelesaikan seluruh masalah kita, keputusasaan, prinsip balas dendam, dan sebagainya. Keyakinan itu bagaikan calo dan porter yang menuntun kita ke tempat yang salah.
Allah sekali lagi, mencari dan menunggu kita. Dia membiarkan anda sekalian yang menemukan Dia, di 'terminal'. "Terminal" adalah keseharian kita; yang menuntut anda dan saya memutuskan untuk atau percaya pada Dia atau percaya pada keyakinan-keyakinan lain yang membanjiri kita melalui banyak hal. Percaya pada Dia berarti hidup seperti Dia. Mari kita mengembangkan kepekaan hati untuk selalu menyambut, menerima dan mengampuni tanpa batas saudara/saudari kita yang bersalah terhadap kita.

Salam,

ronald

" Tuhan aku bertanya, kenapa engkau tidak lari saja ketika sedang berdoa di Zaitun. Bukankah saat itu para serdadu masih jauh. Bukankah pula di depanmu ada padang gurun luas di mana banyak residivis atau para penjahat zaman itu melarikan diri dan bersembunyi?
Kenapa pula tidak kau biarkan Petrus melanjutkan saja aksinya setelah memotong telinga Maltus? Tentu kau ingat bagaimana 5000 orang laki-laki - yang kau beri makan - tapi sebenarnya datang untuk memaksamu melakukan pemberontakan. Bukankah berjuang bersama orang-orang itu adalah pilihan yang lebih menguntungkan dari pada memecahkan roti dan membagi-bagikannya kepada mereka?
Tuhan Yesus aku tahu kamu hanya diam saja saat ini. Diam mu adalah jawabanmu. Matimu dengan cara demikian ini mengatakan banyak hal padaku. Aku jadinya tidak kuatir, apakah aku sedang bicara denganmu atau sedang bicara dengan diriku sendiri. Engkau sungguh-sungguh berbicara padaku dengan cara yang sama sekali lain, memandangku dalam diam-mu itu.
Pada palang hina itu, aku mengerti bahwa Engkau memilih memakukan tangan-tanganmu yang perkasa, meski engkau sebenarnya juga punya pilihan untuk mencengkeram prajurit-prajurit yang buas itu. Apalagi tanganmu selalu penuh kuasa. Bukankah dari tangan yang sama telah lahir kuasa penyembuhan bagi banyak orang?
Keinginanmu untuk lari kau pakukan bersama kaki-kaki kokoh yang terpaku.
Aku tahu perasaanmu saat itu: sakit, perih, pedih. Bukan hanya oleh luka-luka itu atau bukan karena hampir semua yang kau miliki dijarah; juga bukan hanya karena martabatmu diinjak-injak, tapi bahwa kua ditinggakan oleh sahabat-sahabatmu, dikhianati oleh orang-orang dekatmu. Aku tak heran jika kau merintih: " Ya Allah, mengapa Engkau tinggalkan Aku?" Itu puncak kesepian dan kesendirianmu, mewaliki derita, perih, pedih dan kesepian-kesepian kami.
Tapi kesepianmu lain dengan kesepian kami, deritamu lain dari derita kami. Kami tak tahan sepi, apalagi sendiri, hadap-hadapan dengan diri kami. Apalagi jika ada masalah dalam kerjaan atau relasi kami. Kami selalu ingin lari sejauh-jauhnya dari masalah kami, entah dengan handphone, dengan minuman dan hiburan-hiburan lainnya. Kami tidak rela dikhinianati, ditinggalkan dan ditolak. Uang, dan macam-macam sogokan lain rela kami pertaruhkan asal kami tidak lenyap dalam persaingan kerja, tidak dikucilkan dalam pergaulan.
Sepi dan sendirimu kau sempurnakan dengan iman yang teguh pada kasih Sang Bapa yang menunggu dan menyambutmu dengan pelukan kasihmu. "Ke dalam tanganmu kuserahkan hidupku". Dengan tangan yang terbuka dan terbentang bebas itu kau menyatakan penyerahan dirimu. Dengan kata-kata itu aku membayangkan Sang Bapa yang Berbelaskasih, yang kau ceritakan dalam perumpamaan anak yang hilang. Tanganmu yang terbentang itu melahirkan bayangkan akan tangan-tangan Bapa yang juga selalu akan menyambut kami, orang berdosa ini. Aku tahu kau tidak berdosa sedikitpun, tapi kau yang pertama membuka jalan bagi kami untuk percaya akan kasih sang Bapa yang tanpa syarat.
Tuhan aku hanya minta agar aku hidup sepertimu, dalam keadaan apa saja, selalu dengan tangan terbuka dan hati yang lapang menerima rencana Allah dalam diriku; menerima dan memahami laku dan sikap setiap orang dan tentu saja menghadapi kesulitan-kesulitan dalam tugas atau pekerjaanku. Semoga dengan senyum, tutur kata, kerja tangan, dan semua yang kukerjakan aku menjadi perpanjangan tanganmu untuk merangkul sebanyak mungkin orang bagimu. Tuhan tidak ada jawaban yang lebih indah dari salib suci nan mulia dan Engkau yang bergantung padanya.

Pada pesta Salib Suci

Ronald,s.x.

Blogger Template by Blogcrowds