Jinak-Jinak Merpati


Jinak-Jinak Merpati

Ungkapan itu, kalau saya tak salah ingat, dimaksudkan untuk melukiskan karakter seseorang yang lembut, kalem, jinak, mudah didekati tapi sekaligus sensitif, akan menjauh bahkan akan berbahaya jika sedikit saja hatinya dilukai. Kemudian ungkapan ini menyempit maknanya menjadi ungkapan yang sangat berkarakter feminin dan penuh bias jender. Maksudnya ia hanya diterapkan pada pribadi perempuan dan tentu saja tidak merepresentasikan seluruh perempuan. Jika kembali pada makna asalnya, ungkapan ini paling kurang adalah sebuah aspirasi tentang relasi dua arah yang ideal tapi juga menunjukkan masalahnya jika relasi itu terlalu sarat dengan kepentingan dan kuasa.
Setahun silam waktu mampir di Roma saya sering menyaksikan para wisatawan yang mengundang kawanan merpati dengan melemparkan remah-remah atau biji-bijian. Burung-burung itu mudah sekali mendekati bahkan hinggap dan bermain-main di atas pundak dan kepala. Ada juga yang coba-coba menangkap, tapi tak satupun yang berhasil...Mungkin, merpati punya kemampun membaca tidak saja gerak tangan orang yang mau menangkapnya, tapi juga isi hati. Merpati seaakan tak mau lebih dekat pada orang yang melemparkan makanan dengan maksud menangkapnya. Merpati hanya mau mendekat hanya jika kita mengundangnya tanpa syarat...Mungkin itulah sebabnya kenapa Yesus menggambarkan ketulusan hati seorang murid sebagai ketulusan seekor merpati.
Ingatan akan merpati ini membantu saya menemukan di mana letak hubungan kita dengan Roh Kudus yang kita rayakan pada Hari Pentakosta. Sebab Roh Kudus yang dijanjikan Yesus itu sering digambarkan seperti merpati. Merpati dalam tradisi kitab suci adalah binatang suci. Ingat bagaimana kisah Yesus waktu dibabtis Yohanes pembabtis (injil Markus 1). Ingat pula kisah Nuh yang mengirim seekor merpati pasca air bah. Merpati itu identik dengan kehidupan, berarti ciptaan baru. Yang baru, selalu tulus, tak bercacat dan menandakan kehidupan, sebagaimana merpati yang dikirim Nuh kembali dengan membawa ranting pohon segar, tanda adanya kehidupan setelah bencana.
Sebagai tanda, merpati jelas menunjukkan realitas ‘yang lain’ dari dirinya, yakni Roh Kudus, yang hanya mungkin mendekati diri kita jika kita ‘terbuka’. Ini jawaban untuk pertanyaan, « mungkinkah kita bisa menikmati buah Roh Kudus, buah pentakosta seperti yang dialami para murid ? » Ibarat sebuah botol penuh yang tak mungkin diisi lagi oleh air, demikianlah hati kita, jika kita tidak terbuka, tidak membebaskan hati dan pikiran kita dari logika ‘kuasa’ seperti para wisatawan yang coba menangkap merpati. Logika ini tak lain dalam bahasa St. Paulus adalah pertimbangan daging atau nafsu. Nafsu itu saudara kandung kuasa. Iri hati, cemburu, kemarahan, percecokan, persaingan adalah anak-anaknya.
Merpati, di pihak lain menjadi cakrawala, cermin yang meminta kita berdandan dan berlaku seperti burung itu sendiri, yakni tulus. Tulus adalah nama lain kerendahan hati dan keterbukaan untuk dicintai, seperti merpati yang dengan tulus juga mendekati setiap orang yang mencintainya, yang memberinya makan...Kalau anda mendapati diri anda kurang sabar dalam berelasi, cepat marah misalnya, mintalah dengan rendah hati pada Roh Kudus rahmat kesabaran. Kalau hari terlalu sedih dilewati karena kehilangan seseorang atau sesuatu yang disayangi, mintalah rahmat sukacita. Kalau kita tidak bisa menguasai diri dari kecenderungan-kecenderungan tak teratur dan merusak, mintalah rahmat penguasaan diri. Paulus dalam surat kepada umat di Galatia menganjurkan itu (Gal.5:16-25). Permintaan-permintaan itu didorong oleh ketulusan hati, yang dengan rendah hati mengakui kelemahan dan pada saat yang sama mengharapkan pertolongan Roh Kudus. Orang sakit yang ingin sembuh harus menunjuk dan menjelaskan pada dokter semua gejala dan di mana letak penyakitnya.
Misteri cinta Yesus tersalib membebaskan kita dari kejahatan dan dosa. Akan tetapi, perang antara terang dan kegelapan terus berlangsung di hati kita masing-masing, di mana kecenderungan daging dan kecenderungan roh saling bersaing menempati hati kita. Itulah sebabnya, kenapa Yesus menjanjikan dan akhirnya mengaruniakan kita Roh Kudusnya. Dia adalah penolong, yang memperlengkapi hati kita dengan senjata yang mumpuni, yang menolong kita mengambil keputusan yang tepat, aman dan bebas seperti merpati.
Sore ini saat melengkapi tulisan ini, saya didatangi seorang bapak, yang mengaku dirampok. Yang tertinggal padanya hanya handphone dan kunci rumah. Ia datang dari Bafia, sebuah provinsi di luar kota Yaoundé. Antara prasangka bahwa bapa ini datang menipu dan perasaan kasihan, saya dan seorang konfrater Meksiko akhirnya memutuskan menolong bapa tua ini kembali ke rumahnya. Ini hadiah indah di pentakosta kali ini, dan betapa bersama H. Capieu saya melagukan ini,

o toi colombe, o blanche soie, (oh merpati putihku)
aube première et première beauté (jadilah bagiku fajar dan keindahan baru)
ton aile avive un feu de joie (biarlah sayapmu menyalakan api sukacita)
où ta venue nous a jetés (saat kau datang melemparkan aku ke dalamnya)
(H. Capieu, « pentecôte, dalam Poésie 54, juillet-aout 1978)

Dan untuk anda dari jauh saya mendoakannya. Selamat menikmati buah-buah roh.

ronald,sx -Yaoundé Cameroun


Perempuan Bunga dan Kearifan Cinta

Femme-fleur, perempuan bunga, yang dilukis Picasso pada tahun 1946 adalah salah satu adikarya pelukis besar Spanyol ini, buah kolaborasinya dengan seorang seniman perempuan cantik perancis, Françoise Gilot, Lukisan itu bercerita sekaligus menyembunyikan misteri hubungan Picasso dan Françoise.Kita bisa menemukan jejak hubungan ‘dekat’ kedua seniman ini, selebihnya hanya mereka yang tahu. Bunga adalah tumbuhan yang paling banyak menjadi kalau bukan inspirasi, toh bagian penting dari karya seorang seniman, penyair, sineas dan seterusnya.
Bahkan bunga dekat dengan perempuan, berkarakter feminim, bahkan bagian dari kepribadiannya. Dan akhirnya kita mengerti, kenapa pria seperti harus selalu memberi bunga pada kekasihnya. Kita juga mengerti kenapa perempuan tak pernah menolak ketika diberi bunga. Bunga lantas seperti benang, ketika kita memberikannya kepada orang yang kita kasihi, kepadanya kedua tangan kita berpaut. Bunga rupanya tak hanya berarti ‘ perempuan’ tapi lebih-lebih ‘hubungan’. Perempuan tanpa mengatakan apa-apa, dengan menerima bunga yang diberikannya, meneguhkan bahwa ia seperti kembang, yang wangi, yang mekar, indah dan memberi kehidupan. Dan pria yang memberikannya, tanpa mengatakan apa-apa, mau menyatakan dirinya sebagai tanah yang siap menyambut bunga itu hidup di atasnya. Bunga seperti mewakili dan menjembatani komunikasi ‘bawah sadar’ ini. Bawah sadar, karena kita tidak pernah mengatakannya, tapi kita akui, kita masing-masing membutuhkan dan mengambil peran yang beda. Dan dunia itu adil. Harus selalu ada bunga dan tanah. Ada pohon dan binatang, ada aneka ciptaan. Lucu jika semuanya seragam.
Entah mawar, entah anggrek dan bunga lainnya tidak mungkin menjadi mawar, anggrek kalau mereka tidak dipetik. Toh kalau kita tidak memetiknya, dia gugur sendiri karena menua lalu diganti dengan kuntum bunga lainnya. Bunga yang satu dengan bunga yang lain seperti, bagi saya, menjalin hubungan unik ini : yang satu merelakan diri untuk dipetik atau jatuh gugur agar yang lain bisa muncul. Ada kurban, ada kerendahan hati, ada cinta. Dan ratusan bunga yang sering kali kita petik acuh tak acuh, dan kita berikan begitu saja karena kebiasaan sering lenyap bersama lenyapnya kepekaan kita akan dalamnya makna yang mau disampaikan bunga untuk kita, dan dalamnya arti cinta yang pantas terus kita wariskan di muka bumi.
Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk saudara-saudara-Nya. Cintailah satu sama lain, seperti aku telah mengasihi kamu (Yoh. 15:12). Inilah kata Yesus yang paling ‘mengangu’ sejarah kita, karena kasih yang diajarkan-Nya melampaui mutualisme, bahkan filantropisme dalam evolusi kebudayaan kita. Tuhan mendasarkan perintahnya untuk mencintai bukan pada mutualisme, bukan pada kemampuan filantropi kita, sebab cinta yang demikian malah bisa menjadi berhala atau idola baru. Hari-hari ini orang berdiskusi tentang filantropikapitalisme, kapitalisme baru yang dimainkan para miliuner dan jawara bisnis, yang bagi-bagi duit di negara miskin lewat bantuan kemanusiaan yang sekaligus menjadi desempatan marketing dan publisitas. Di situ nampak ada ‘cinta’, dalam tindakan memberi kepunyaannya untuk yang lain, tapi tentu kita melihat juga amat terangnya mutualisme. Dan tak ada isme yang tanpa syarat.
Alasan kita orang Kristiani untuk mencintai amat lain. “Hendaklah kalian mengasihi satu sama lain, sebagaimana Aku telah mengasihi kamu.”Kita mencintai sesama karena kita sudah terlebih dahulu dicintai-Nya. Tuhan itu sendirilah yang menjadi alasan kita untuk mencintai. Persis di sinilah kita dijauhkan dari kecenderungan menjadikan cinta itu berhala dari kepentingan kita. Tak bosan-bosannya hati nurani kita diminta untuk selalu melakukan perintah ini meski seringkali orang kepada siapa cinta itu dialamatkan mengacuhkan kita, mencurigai maksud baik kita atau telah menghianati kita, meski hati kita –seperti kata Melly Goeslaw dalam suara hati seorang kekasih- rasanya tak bisa dihibur oleh seribu musim karena marah. Kita mesti tetap melakukannya justru dengan keyakinan ini, bahwa penghianatan, sakit hati, kata-kata kasar dan perlakuan buruk orang tidak pernah sebanding besarnya dengan cinta yang Tuhan berikan pada kita. Di situlah hidup kita sungguh berarti, di situlah kita sungguh mewarisi kearifan kehidupan yang juga diajarkan bunga. Suatu kali Yesus pernah bilang: Salomo dalam segala keagungannya, tidak pernah berdandan seindah bunga-bunga bakung di padang. Jadilah terus kembang yang tak berhenti memberi keharuman bagi dunia, dan mengajarkannya pada anak cucu kita.

Ronald,sx
Yaoundé-Cameroun


Yang Penting Rasanya Bung: Soal Kematangan Pribadi Kita...
Meski pekarangan rumah kami tidak begitu besar, ibu saya menanam beberapa pohon kopi untuk konsumsi sendiri. Suatu kali saya melihat beliau memungut beberapa biji kopi yang jatuh, membersihkan, bahkan menciumnya sebelum mengembalikannya ke tungku di mana biji kopi itu ditumbuk menjadi bubuk kopi. Saya bisa mengerti tindakan ibu saya ini, apalagi mengingat bahwa dia merawat tanaman kopi ini dengan tekun. Saya harus akui juga bahwa dia tidak hanya menanam, memetik, tapi juga membentuk relasi yang unik dengan-nya. Antara kopi buatan sendiri dan kopi instan, menurutnya, perbedaannya besar sekali. Kopi asli aroma lebih harum dan rasanya lebih enak. Relasi antara pohon, cabang, ranting anggur dan bahkan pemilik anggur itu sendiri,dipakai Yesus untuk menggambarkan hubungannya dengan para murid atau orang-orang yang percaya pada-Nya. Perumpamaan ini disampaikan Yesus pada para muridnya menjelang perpisahannya dengan para murid dan perpisahan itu – yang juga disadari oleh para murid- melahirkan pertanyaan serius tentang kontinuitas, atau kelanjutan relasi itu pun bahkan ketika Yesus tidak lagi bersama mereka. Yesus merumuskan relasi-Nya dengan para murid dan mereka yang percaya pada-Nya sebagai hubungan antara pokok anggur dan ranting-ranting-Nya. “Sama seperti ranting tidak akan menghasilkan buah jika ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikianpun kamu, jika kamu tidak tinggal padaku kamu tidak akan menghasilkan buah”.
Tinggal yang dimaksudkan Yesus tidak sama artinya dengan bersarang/nesting, atau hidup seperti parasit dengan ketergantungan pasif. Tinggal pada Yesus berarti menyatu dengan-Nya sama seperti ranting menyatu pada pohon. Tinggal padanya tidak lain percaya pada-Nya, seperti ranting yang tidak pernah ragu bahwa pokok anggur selalu berpaut padanya dan memberinya kehidupan. Percaya pada cinta-Nya yang menghidupkan, pun ketika Dia tidak lagi bersama kita. Yesus mau menjamin para murid bahwa pun ketika Dia tidak lagi bersama mereka secara fisik, Dia tetap hadir dengan cara yang lain.
Saya selalu membayangkan bahwa buah selalu mengandung, selalu membawa dalam dirinya kualitas, sifat dari pohonnya walaupun kita sering kita tidak pernah lagi memikirkan hubungan buah-buah itu dengan pohonnya ketika kita memakannya. Waktu kita makan apel atau anggur, kita jarang langsung membayangkan pada saat yang sama, pohon-pohonya. Dari biji-bijian buah itu kita bisa mengembangbiakkan atau menanam lagi pohon untuk menghasilkan buah yang sama. Yesus menjamin kehadiran-nYa yang stabil dan konstan dengan dan melalui Ekaristi, di mana kita merenungkan dan merayakan misteri cinta-Nya yang abadi.
Lukisan abad 17 yang saya sediakan untuk anda dalam tulisan ini, la fontaine de vie, atau mata air kehidupan, dilukis seorang flamandia anonim nampaknya pas untuk menjelaskan lebih lanjut maksud saya tadi. Dalam lukisan ini, darah tercurah dari lambung ke dalam wadah berisi buah anggur. Lukisan ini tentu menjelaskan misteri salib dalam ekaristi yang kita sambut. Dalam ekaristi kita menerima kehidupan yang dicurahkan Kristus lewat kematian-Nya di salib. Salib di rumah kita, yang kita pakai atau sebagai tanda yang kerap kali kita gunakan untuk berdoa mengingatkan kita akan pokok anggur, yakni Yesus dalam ekaristi.
Tinggal pada Yesus bukanlah sebuah ketergantungan pasif, melainkan akfif. Tinggal padanya berarti ambil bagian dalam misteri salib-Nya sebab kristus tersalib itu adalah pohon kehidupan yang benar, sumber dan jawaban terbaik bagi masalah hidup kita. Salib bukan hanya simbol tapi sebuah prinsip hidup Kristiani yakni cinta yang penuh kerja keras dan pengorbanan, yang sabar, yang murah hati, dan memberi diri tanpa syarat. Inilah makanan rohani yang membuat kita matang sebagai manusia.
Matang Karbitan?
Kita seringkali mendapati diri kita mencari keadaan matang yang berbeda dari yang ditawarkan Kristus, atau mencari kematangan pada sumber lain seperti ranting yang terperangkap dalam kepungan parasit. Atau kita membiarkan diri dipetik orang lain sebelum waktunya, untuk kemudian diperam dan dijual (dan setelah dimakan, kemudian dibuang ke sampah). Kematangan ini termanifestasi misalnya dalam ketergantungan baru yang saya sebut sebagai ketergantungan teknologi. Kita sulit menolak menjawab panggilan hp pun ketika kita sedang bicara serius dengan seseorang atau dengan kelompok orang. Teknologi dan ketergantungan kita padanya menginterupsi kehangatan hubungan kita. Kita didikte oleh sifat teknologi yang serba cepat: mesti cepat dijawab, mesti cepat ngikuti model barang ini barang itu, dan seterusnya sementara pelan-pelan tak terasa mutu relasi kita dengan orang lain mulai kendur. Ketergantungan pada chatting pada jam kerja pelan-pelan merusak perhatian dan mutu kerja anda. Rasanya kisah ini mengajak kita merenungkan sejauh mana ketergantungan kita pada teknologi, dan sejauh mana pula waktu dan kualitas hubungan kita dengan Tuhan terpengaruh olehnya.
Seperti buah-buah yang matang karena diperam, disuntik, diawetkan, kita sering mengharapkan kematangan yang berbeda yang diharapkan Yesus. Kita menolok kerja keras, ketekunan dan kesetiaan dalam kerja atau dalam menyelesaikan persoalan rumit kita. Lebih suka kita memilih jiplak, mencari mbah dukun, atau mengorbankan waktu yang tidak semestinya kita pakai untuk menyelesaikan pekerjaan kita yang tertunda. Kita matang karbitan dan sekaligus rapuh rasa dan pelan-pelan membusuk ‘dari dalam’. Inilah ancaman yang amat dekat dengan kita sekarang ini yang sudah masuk di sekolah, tempat kerja hingga kamar dan tempat tidur intim kita. Kita dalam bahaya sedang menjadi buah yang tak lagi enak, penuh cita rasa asli bagi sesama kita. Injil hari ini mengundang kita untuk kembali pada sumber, persekutuan kita dengan Yesus yang menjadi dasar kematangan kita bagi yang lain.
Pesan kebangkitan hingga minggu ke lima masa paskah ini jelas. Yesus yang bangkit hadir melalui buah-buah manis dan indah yang kita terima malalui kesaksian Gereja dan tokoh-tokoh iman sederhana seperti ibu saya tadi. Kita dipanggil untuk tetap menjaga kualitas baik buah kehidupan ini. Kita dipanggil pada saat yang sama menjadi benih baru bagi pohon baru untuk dunia.
Yang penting rasanya Bung...!

ronald,sx

Yaoundé-Cameroun

Blogger Template by Blogcrowds