Kalau Unta Berhasil Masuk Lubang Jarum

Seorang kaya suatu hari datang mendekati Yesus dan mengajukan pertanyaan serius ini: “Tuhan, apa yang harus kubuat, agar aku bahagia?”. Dia bukan peminum, apalagi pemabuk. Hidupnya suci, dia melakukan semua yang dianjurkan oleh kitab suci dan melaksanakan hukum-hukum taurat. Dia datang dengan penuh keyakinan dan tidak membayangkan yang lain selain afirmasi Yesus. Yah, Tuhan membenarkan apa yang telah dibuat orang baik ini. Namun, rupanya Yesus belum selesai bicara. Dia melanjutkan: “jika engkau ingin sempurna, juallah segala milikmu dan berikanlah semuanya untuk orang miskin. Setelah itu ikutilah aku…Jawaban ini tentu mengejutkan.
Dengan melemparkan tantangan ini, kalau ingin sempurna, Yesus rupanya mau bilang bahwa menjadi baik saja tidak pernah cukup untuk seorang kristiani. Kita perlu menginginkan yang lebih dari itu, yakni menjadi lebih baik tanpa harus menjadi paling baik. Menjadi bahagia, hemat saya adalah perjalanan untuk semakin hari menjadi semakin lebih baik. Yesus menyediakan syarat yang sangat jelas walaupun seringkali salah diartikan. Ada tiga sikap (lebih dari pada tindakan) yang tidak terpisah satu dengan yang lain.
Pertama menjual segala harta milik kita lalu kedua memberikannya pada orang miskin. Dua kalimat yang setara. Yang satu tentu tidak berarti menuntut kita membuat sebuah bazar gratis di mana kita akan menjual segala milik kita bahkan pakian yang melekat di badan sekalipun. Bukan di sini letak sifat ekstrem perintah Yesus. Pun meski kita kemudian rajin bersedekah atau memberi derma pada orang miskin, bukan di sana letak radikalitas pesan Yesus. Yang pertama adalah undangan untuk melepaskan sikap ‘tergantung’, ‘ketagihan’, lengket pada harta benda, atau idola pada pekerjaan, karir, nama baik, popularitas, ide, dan semua yang menggoda kita memutlakan diri kita sendiri. Yang kedua merupaka kelanjutan daripertama, kemurahan hati, hidup yang tak lengket yang tidak berpusat pada dirinya adalah hidup yang dengan sendirinya mudah memberi. Buah diciptakan untuk memberi, demikianlah kenapa tak satu pun buah di bumi kita yang begitu sulit dipetik untuk dimakan. Dua keutamaan ini, berakar pada undangan yang ketiga, ikutilah aku…
Mengikuti pertama sekali , berjalan di belakang. Nah, memilih untuk lepas bebas dan bermurah hati adalah pilihan yang kita buat karena Yesus, karena Dia sendiri telah melakukannya. Yang kedua, mengikuti Dia Berarti menjadi serupa Dia. Menjadi, in becoming adalah sebuah perjalanan panjang. Saya teringat kisah Yunus yang hampir selama sepekan ini kita renungkan dalam misa harian. Ia dipanggil Tuhan untuk memperingati orang Niniwe tentang kehancuran yang akan terjadi atas mereka jika mereka tidak bertobat. Yunus melarikan diri karena dia tahu Tuhan akan bermurah hati dan mengampuni. Harus menerima kenyataan bahwa Tuhan bermurah hati pada musuh kita, pada orang yang kita benci, yang kita anggap ‘kafir’ tidak bisa ditanggung Yunus, seorang Israel sejati yang sedari dulu percaya bahwa hanya Israel lah yang Tuhan cintai. Dia lari, menyingkir, bersembunyi bahkan menyesal pernah mengenal Tuhan, hingga akhirnya lewat pertolongan seekor ikan Yunus diselamatkan dari maut di tengah pelariannya. Pengalaman inilah yang pelan-pelan mengubah hati Yunus sebelum akhirnya dia pergi mewartakan peringatan pertobatan pada orang-orang Niniwe.
Lebih mudah seekor unta masuk lewat lubang jarum daripada seorang kaya masuk kerajaan surga. Alegori ini tidak lain mau mengatakan bahwa, kita tidak bisa mengerti dan mulai merasakan surga kalau kita belum mampu membebaskan diri dari segala keyakinan keliru kita tentang siapa Tuhan dan juga tentang orang lain. Orang lain, bahkan musuh kita dicintai secara istimewa dan bahkan secara sama oleh Tuhan sebagaimana Ia mencintai kita sendiri. Maaf, jangan memakai kriteria sama seperti yang kita inginkan. Kita mesti mencintai musuh juga justru karena kita mau mewartakan pada-Nya bahwa Tuhan mencintai dia.
Anda tahu Friederich Nietzche bukan?, filosof yang dianggap musuh orang beragama, bahkan oleh orang Kristiani sendiri, karena dia yang paling keras memelopori ‘pembunuhan’ Tuhan dan menyingkirkan-Nya dari sejarah kita: bunuhlah Tuhan, dan hiduplah manusia, itulah slogan ateisme modern yang dicetuskan filsafat subjek. Sebenarnya, ini bukan penemuan Nietzche, pun dia tidak mewartakan sesuatu yang baru tentang Tuhan, apalagi tentang kematian-Nya. Tuhan memang telah mati, tapi Dia bangkit dan hidup. Ia mati justru supaya manusia, yakni kita hidup bukan? Kitab suci memberi kesaksian tentang itu, dan Gereja sudah sejak lama mewartakannya. Bedanya, kita tidak bisa menyingkirkan Tuhan, ataupun lari dari-Nya. Lihatlah orang seperti Nietzche ternyata juga tetap membantu kita mengerti Tuhan;. Betapa pun jeleknya Nietzche di mata orang beriman, toh dia pantas kita hormati karena mengingatkan kita pada misteri cinta Tuhan (pendapat pribadi), yang tidak pernah menyingkir dari sejarah kita, biarpun kita tidak lagi mau mencintai-Nya, menolakNya. Tuhan tidak mati, Ia hidup di antara kita yang tanpa melihat latarbelakang agama, atau kategori sosial lainnya menolong saudara-saudara kita yang menderita di Padang atau di manapun. Inilah yang harus kita wartakan sementara kita berjalan mengikuti Yesus. Dengan mencintai seradikal Yesus, alegori tadi menjadi puisi indah, bahwa kita bisa membuktikan mungkin saja unta itu melewati lubang jarum.
ronald,sx
waktu saya merasa lebih baik berjalan ke surga menunggangi seekor keledai


Jackson dan kalau Tuhan nge-rock n’ roll

Hampir genap seminggu, cerita tentang kematian Michael Jackson belum juga berakhir. Orang-orang Kamerun punya cara sendiri menghormati bintang yang mewakili kemenangan orang-orang hitam, atau lebih tepat orang marginal. Tak salah kalau stasiun tv Kamerun, dalam sebuah studio ala kadarnya, mementaskan Jackson made in Cameroun, dan adalah seorang Albino yang nyaris sempurna memerankan Michael Jackon. Orang-orang Albino adalah kelompok orang yang sering dimasukkan dalam kategori ‘lain’ atau ‘margin’ karena masalah genetik, tak terkecuali di benua hitam ini.
Meski di tahun-tahun terakhir, popularitas dan laku hidupnya yang memburuk sejak tuduhan pedofile di Neverland, toh jutaan orang menangisi kepergian bintang yang menginspirasi mimpi-mimpi pemusik jalanan di banyak benua. Kematiannya yang masih menjadi teka-teki menambah daftar kematian tragis bintang-bintang pop dan rock n’roll. Kehidupan yang absurd, yang habis tanpa makna, demikian orang-orang beragama, menghakimi kematian bintang-bintang pop dan rock yang hidupnya penuh glamour pesta, seks, minuman dan hura-hura.
Penilaian macam itu memang tidak tanpa alasan. Rock identik dengan pemberontakan, perlawanan, anti system/struktur dan semuanya itu hampir dengan sangat jelas diperlihatkan oleh hidup para rockers: bebas, urak-urakan, spontan tak tahu malu. Sifat musik rock yang kompleks, bebas, penuh spontanitas dan ekspresi seperti menyatu dalam hidup para rocker. Namun, penilaian tadi tidak harus kita jadikan kesimpulan final dari genre musik yang sejarahnya lumayan panjang dan kompleks, yang darinya bahkan lahir musik pop. Ingatlah, Bon Dylan atau The Beatles di tahun 70-an yang merintis renaissance musik rock, yang bertransformasi menjadi pop, slow rock dengan lirik-lirik yang poetik hingga lepas landasnya dalam berbagai genre musik seperti punk rock, rock alternatif, rock progresif, dan seterusnya. Semuanya tetap membawa ciri yang sama, improvisasi mana suka, melodi dengan ritme 4/4, hidup dan menghentak-hentak.
Rock bagaimanapun sebuah cerita, sebuah mimpi dan sebuah aspirasi tentang kehidupan yang penuh. Mungkin itu termanifestasi dari namanya, to rock, to balance. Bukankah hidup yang penuh itu, adalah hidup yang seimbang? Dan para pelaku musik rock mengungkapkan itu dalam lirik-lirik mereka yang romantis, yang terus terang, vulgar, sensual dan bahkan hampir tak memberi tempat pada Tuhan atau kata religius lainnya.
Bahwa Michael Jackson mati, itu tidak berarti bahwa cerita musik rock selesai. Bahkan rock seperti selalu tidak memberi tempat pada Tuhan-nya orang-orang religius. Rock adalah anak kandung modernitas, bahkan ekspresi dari apa yang disebut agnotisme modern. Orang agnotis adalah orang yang tidak menolak total eksistensi Tuhan, tapi orang-orang yang merasakan bahwa Tuhan seperti absen, tak hadir di dunia, apalagi di hadapan persoalan-persoalan konkret hidup kita: penderitaan, relasi, kemiskinan, bencana, hidup bersama, cinta, seksualitas, dst..Orang agnotis adalah orang yang tidak tahu bagaimana bias menghadapi masalah itu selain dengan merasa Tuhan tidak terlalu banyak urusannya di dunia ini. Dan itulah kenapa kita susah menemukan nama Tuhan dipuji dalam musik rock.
Namun jangan terlalu cepat menilai bahwa pengalaman absennya Tuhan tidak berarti tidak ada sama sekalinya pengalaman akan Tuhan dalam musik Rock. Sex Pistols, Queen, Metalica, Iron Maiden, Black Sabat, dan kelompok pemusik atheis agnotis lainnya, mengalami Tuhan secara negatif, yang absen. Dengan mengatakan Tuhan absen, bukankah pada saat itu mereka mengakui Tuhan ada? Jackson mati, dan rock tetap sebuah pertanyaan dan pencarian yang tanpa henti tentang kesempurnaan, kehidupan dan kebahagiaan yang sejati. Rock my life, lagu pertama Jackson dalam album Invisible tahun 2001, meski tidak bercerita tentang Tuhan, bagaimanapun juga mewakili kehausan dasar hidup kita, dipenuhi dan disempurnakan oleh cinta yang lain. Dan itulah kehausan manusia modern...Tempat kita orang beriman, ada di situ. Kalau Tuhan absen, tugas kitalah yang menghadirkan-Nya.
Kemarin pagi, saya berhasil mendatangi dan berdamai dengan seorang ibu. Sebelumnya dia datang ke rumah kami dan marah karena saya terlambat membukakan pintu. Dia ingin ketemu seorang romo. Saya tentu saja spontan marah, mosok tuan rumah yang baru saja membukakan pintu langsung diberondong celotehan tanpa alasan. Rock my life, imbangi dan penuhilah hidupku Tuhan. Itulah doa kecil yang memberanikan saya mendatangi beliau. Dan lewat hidup andalah Tuhan tetap bisa nge-rock n’roll.

Yaoundé, 12 Juillet 09

Ronald,SX






Forest Gump dan Bodohnya Tuhan

Lebih dari tiga jam perjalanan, menyusuri jalan panjang yang membelah hutan-hutan Cameroun, kisah Forest Gump terbayang dalam pikiran. Mungkin karena hutan-hutan yang masih lebat dan hijau sejauh mata memandang membuat cerita sutradara Robert Zemeckis itu seperti mengejawantah seolah seperti kisah saya sendiri.
Bersama mobil yang berlari di rimbunnya pohon, teriakan Jenny Curan pada si cacat Forest, terbayang : “Run Forest, Run.. Lari Forest, Lari”..Begitu teriak si kecil Jenny melihat Forest dikejar oleh teman-teman yang kesetanan mau menyakiti dia. Dan ajaib, kesembuhan si bodoh Forest bermuda dari situ. Alat bantu yang terpasang di kakinya satu per satu terlepas ketika ia mencoba berlari, lari dan berlari sekuat tenaga. Teriakan penuh cemas sekaligus cinta sahabatnya yang menyembuhkan dia…Forest banyak bicara tentang hidup kita. Penyakit fisik entah yang ringan ataupun yang parah, kegagalan dalam pekerjaan atau usaha, hasil yang tidak optimal dicapai, musibah dan bencana yang tak diinginkan, hingga kehilangan orang-orang yang kita cintai, membawa kita pada situasi batas, keadaan di mana kita merasa seperti orang yang paling bodoh dan tak ada artinya. Pergi mengungsi ke bar dan minum banyak obat penenang adalah jalan ‘mudah’ untuk menghapus batas-batas itu. Minder dan sejenisnya tak kurang juga adalah ungkapan ‘ketidaknyamanan’ berhadapan keterbatasan. Memang keterbatasan itu dalam kisah hidup kita, lebih banyak menggangu. Padahal di ujung keterbatasan itu, sebenarnya keajaiban tengah menunggu, seperti yang dialami Fores. Tentu kalau keterbatasan itu dihidupi dan dihadapi dengan baik. Benarlah kata Forest bahwa stupid is as stupid does. Orang yang dungu sebenarnya adalah orang yang melakukan kebodohan. Begitupun kalau keterbatasan disikapi dengan bodoh atau tak bijaksana.
Lari Forest, lari…, teriakan ini seperti meringkas jalan hidup kita. Pikirkanlah guru SD kita yang bersusah payah membuat kita membaca atau guru matemática yang membuat kita bisa berhitung. Pikirkan juga ibu yang pertama kali menuntun kita berjalan dan melepas kita berlari penuh cemas, serta begitu banyak orang dengan cara mereka sendiri mengungkapkan cinta dan dukungan mereka. Keterbatasan menjadi keajaiban justru karena ada orang-orang yang mencintai kita, yang mendorong kita untuk tidak terlalu lama berhenti atau menangisi perhentian kita.
Rasul Paulus pada minggu ini bertolak dari pengalaman keterbatasannya sebagai seorang rasul, meyakinkan kita begini: dalam kelemahan Rahmat Tuhan justru berlimpah ruah dalam diri kita. Ketika aku lemah, saat itulah aku kuat. Keajaiban dalam keterbatasan itu mungkin kalau kita mengijinkan Tuhan dengan rendah hati menyelesaikan apa yang sungguh tidak bisa kita selesaikan, mempercayakan pada-Nya seluruh apa yang belum kita capai. Keterbatasan kita yang diterima dengan rendah hati, adalah ladang garapan baru bagi Tuhan untuk digarap dan menghasilkan buah. Begitu pun dalam pengalaman keberdosaan, semakin dosa bertambah besar, semakin rahmat berlimpah ruah, jika kita percaya dan mau selalu datang mempercayakan diri pada Tuhan yang mencinta tak kenal batas ini. St. Yohanes Maria Vianney, idola kita tahun ini, menulis begini: Tuhan sedemikian mengasihi kita sehingga ia lupa bahwa kita selalu bisa berbuat dosa lagi…Inilah kebodohan Tuhan yang adalah rahmat dan keajaiban bagi kita.

Douala, 5 Juillet 09


Kalau Ayah Juga Ikut Melahirkan…
Saya kurang tahu apakah anda sepakat kalau suami adalah orang pertama yang paling kuatir dan paling takut pada saat proses persalinan istrinya berlangsung. Mungkin pengalaman saya terlalu partikular untuk menyatakan ini : ketika saya melihat papa saya menunggu kelahiran adik bungsu lebih dari delapan belas tahun lalu. Saya percaya masih banyak lagi pria-pria yang hidup sebagai suami yang setia sekarang ini menunggu kelahiran anak mereka di ruang bersalin, poliklinik dan rumah-rumah sakit di seluruh dunia.
Saya mau memberi perhentian atau jeda secukupnya atas pengalaman banal atau yang mungkin tidak kita perhitungkan istimewa mengingat bahwa peran ibu sebagai tokoh penting kelahiran kehidupan baru tidak tergantikan dan tidak bisa disejajarkan dengan peran ayah. Saya memberi jedah, karena saya menemukan bahwa meskipun peran ayah tidak sama dengan peran ibu, toh tidak berarti tak punya nilai... Pribadi ayah adalah juga bagian penting dari proses terjadinya kita.
Kata melahirkan selalu dan tak dapat ditampik kita terapkan pada ibu, pada perempuan yang melahirkan. Dengan melahirkan, perempuan menjadi atau makin menegaskan peran keibuannya. Di mana tempat pria atau lebih tepat ayah dalam makna yang mau ditunjukkan kata kerja itu ? Rasanya perlu bertanya lagi pada ayah kita, (kalau masih hidup) apa yang dia lakukan ketika ibu kita menghadapi detik-detik persalinan kita. Kecemasan, apakah kita lahir selamat atau tidak, ketakutan akan resiko yang terjadi pada sang istri tercinta yang bersatu dengan kerinduan dan harapan melihat kehidupan baru membuat ayah saya, -dan saya percaya terjadi pada banyak ayah dan suami – tetap berjaga tiap malam sejak ibu memasuki bulan kesembilan perkandungan, saat dia mulai mengeluh sakit hingga akhirnya melahirkan…Sikap berjaga seorang ayah adalah manifestasi kehendaknya agar kita ada dan hidup, sikap berjaganya adalah sebuah penyambutan. Dan dari sana saya mengerti, kita tidak cukup lahir dari rahim ibu, tapi juga lahir dari hati ibu dan ayah kita. Keduanya menghendaki kita ada, itulah yang melahirkan kita.
Saya mengenang ini setelah membaca kisah Yesus Menghardik Angin Ribut. Murid-murid yang menyeberangi danau dengan perahu tiba-tiba disergap angin badai yang membuat laut menggelora dan mengombang-ambingkan perahu mereka. Sementara Yesus masih tertidur di buritan. “Tuhan apakah engkau tak peduli kalau kita binasa?” teriak seorang murid yang ketakutan. Tuhan bangun lalu menghardik laut hingga tenang.
Ayah membantu saya memahami inti kisah ini, yakni Allah yang senantiasa berjaga meski dia nampak seolah tidur dan tak peduli. Seperti ayah yang selalu berjaga menanti kelahiran anaknya atau seperti ibu yang selalu berjaga di hari-hari pertama kelahiran sang bayi, demikian Tuhan mengingat kita dalam hatinya dan melindungi kita. Tidak keliru kalau Yesus mengigatkan bahwa tak satupun rambut di kepalamu yang tak terhitung oleh Bapa di surga. Saya ingat pula dua atau tiga tahun lalu di Carolus saat menunggui seorang konfrater dalam keadaan koma berat. Ada sedikit ngeri dan takut kalau dia mati saat saya yang menunggui. Lebih takut lagi kalau itu terjadi sementara saya tertidur atau berada di luar kamar jaga. Mengingat kembali peristiwa itu, saya mengerti sekarang bahwa Tuhan sejak kita dilahirkan hingga saat kematiaan kita, senantiasa di samping, senantiasa berjaga menemani kita menghabiskan satu perjalanan kehidupan yang indah. Saya percaya, Tuhan jauh lebih setia dan lebih sungguh berjaga di samping konfrater saya sehingga akhirnya dia sembuh.
Tuhan yang tidur adalah Tuhan yang lupa…Tapi eeiitt, sabar dulu, dia bukannya lupa atau tidak peduli kalau kita, seperti para murid, akan binasa. Hanya satu yang ia lupakan yakni bahwa kita selalu bisa lupa percaya padanya. Dia sedemikian mencintai kita sehingga dia lupa yang satu ini dan selalu bisa tak terbatas memaafkan ketidakpercayaan kita…

Salam

Ronald,Sx

Yaoundé-Cameroun

Dari Psyché, Eros hingga Issabelle Boulay...

Tuhannya Orang-Orang Kasmaran Pasti anda akrab dengan gambar simbolik hati yang ditembus panah, simbol yang lahir dari indah serta sekaligus peliknya hubungan cinta manusia yang satu dengan yang lainnya, khususnya pria dan wanita. Dan kita seperti wajib mencantumkannya entah di surat entah di buku sebagai sungguh sebuah pernyataan bahwa kita tertambat, terpikat ; bahwa kita jatuh cinta seperti Eros putra Aphrodite (dewi cinta). Karena cemburu akan kecantikan Psyché, putri seorang raja, Aprodite menyuruh putranya menghujamkan sebuah panah tepat ke hati Psyché agar dia tidak mampu lagi memikat seorangpun. Tapi, cinta bercerita lain. Eros pun jatuh cinta pada Psyhce dan lebih memilih menyelamatkannya ke sebuah kuil. Eros malah yang ‘dihujam’ kesempurnaan si cantik Psyché. Beginilah mitos Yunani membahasakan kemenangan cinta. Saya mengingat kisah ini begitu mendengar lantunan manis lagu Dieu des Amours –nya Issabelle Boulay, yang lagi laris manis di negara-negara berbahasa perancis sekarang ini. O mon amour, Dieu des amours, O mon amour, aide moi…begitu refren yang sedemikian menghentak-hentak hati saya hingga berulang-ulang saya menyanyikannya dan bahkan membantu saya mengerti misteri Hati Kudus Tuhan yang kita rayakan minggu ini. Isabelle mengadu pada Tuhan kenapa kekasihnya pergi tanpa meninggalkan satu kata pun. Ia mengaku bahwa kekasihnya tetap ‘tertinggal di hati’ meski dia pergi tanpa bilang apa-apa. Ia mengadu pada Tuhan bahwa bagaimana pun mencintai itu harus diungkapkan dengan kata, aimer n’est donc qu’affaire de mots pour toi qui es parti sans un mot. Seorang serdadu menikam lambung Yesus dengan tombak, untuk memastikan bahwa dia benar-benar mati…Inilah kisah yang menjadi kunci peringatan penting ini. Baca dan renungkan baik-baik adegan ini. Di situ saya menemukan serdadu yang mewakili kita semua, orang-orang berdosa yang meski berdosa memilih untuk bertobat dan mencintai Yesus sepenuh hati. Menikam lambung Yesus bagi saya hádala sebuah pilihan radikal, masuk ke kedalaman hidup Yesus. Bagai Eros yang akhirnya memilih mencintai Psyché walau sebenarnya ia datang untuk mencelakainya, demikian kita yang berdosa tapi akhirnya memilih mencintai Yesus karena terpikat oleh hatinya…Hatinya yang terobek dan darinya mengalir air dan darah, itulah hati Allah yang memberi kita kehidupan (yang kita rayakan dalam pembabtisan kita). Hati yesus yang mahakudus adalah hati Allah sendiri, hati yang selalu memberi tempat untuk kita, meskipun dilukai. Kita dipanggil sebagai orang Kristiani untuk memiliki hati sesuci Tuhan, yang juga siap ‘dilukai’ oleh Tuhan. Memilih masuk ke kedalaman hati Tuhan, tak lain membiarkan Dia juga masuk dalam kedalaman hati kita, dan ini pun tidak kurang menyakitkan. Pasti sakit merelakan kehendak Tuhan yang terlaksana daripada kehendak kita sendiri, pasti tidak mengenakkan jika kita akhirnya memilih taat pada suara hati – di mana Tuhan bicara – daripada membiarkan nafsu, pikiran pintas dan selera kita bekerja dan. Pesta hati kudus Yesus serupa sebuah cermin, padanya kita berkaca melihat seberapa kuat kita menanggung luka karena memilih mencintai, seberapa kuat kita tangguh merangkuh dan merangkul orang yang melukai kita. Rasa ‘sakit’ karena memilih mencintai sebenarnya menyembuhkan luka yang disebabkan musuh kita. Saliblah yang mengajarkan itu. Dan janganlah takut belajar pada salib, pada hati kudus Yesus. Biarkanlah salib menikam hati kita, melukai kita dengan pertimbangan-pertimbangannya, karena dengan itulah kita menjadi matang dan sempurna sebagai seorang pribadi. Dengan pertimbangan yang sama, seraya mengingatkan anda bahwa pada hari ini Gereja Katolik Universal memulai sebuah tahun khusus bagi para imam/pastur, saya memikirkan kisah Lia sebagai komentar dalam tulisan saya terdahulu. Ia menulis seperti berikut ini; jadi inget kata temen tentang konsekrasi. bahwa hosti itu tetap suci, walau yang membawa (baca: Romo) kadang orang bejat dan paling nista sekalipun. Kisah kecil ini rasanya bagus kita konfrontasikan pada ikon serdadu-salib. Bukan cerita baru kalau di sekeliling kita kita mendapati hidup pastur atau imam yang buruk atau –mengikuti kata teman Lia – ‘bejat dan nista’. Para imam itu, bagi saya, bagaikan serdadu yang menikam lambung Yesus. Dalam segala kelemahan manusiawinya, seorang pastur berjuang untuk makin sempurna menyerupai Yesus, dengan menikam, mempersembahkan hidupnya bagi Tuhan dan umat. Dalam perjalanan panjang saya hingga ke Afrika, saya berjumpa dengan begitu banyak pastur yang dalam segala kelemahan mereka berusaha tetap memilih setia. Pikirkan itu! Pikirkan juga para pastur yang telah meninggalkan dan merelakan banyak hal, termasuk cinta manusiawi– yang tak sedikit juga diimpikan oleh orang-orang dekat – demi pemuliaan nama Tuhan yang makin besar. Bahwa ada pastur yang tak karuan, itu benar…bahwa kita dipanggil untuk mendoakannya, …itu wajib, sebab kita para umatlah yang ikut menyempurnakan pengorbanan cinta seorang pastur bagi Tuhan. Kelemahannya dan cinta anda para umat itulah yang tetap menyucikan Gereja…Kami yang mempersiapkan diri untuk jalan sederhana ini tak kurang bersama Isabelle Boulay sekali lagi melagukan ini: O mon amour, Dieu des amours, O mon amour, aide moi


OBESITAS MODERN DAN TUBUH EKARISTI

Dengan dua tongkat besi yang setia menenmaninya, Mina, demikian perempuan tua yang lumpuh sejak masa kecil setelah kecelakaan mobil, setia menyusuri jalan sepi menuju Katedral, sebelah rumah saya. Dan setiap pukul enam, dia sudah duduk di dapur, menyalakan api dan menyiapkan air panas sebelum saya dan ibu bangun. Demikianlah caranya mampir di tempat kami. Tiga belas tahun sesudahnya, ketika saya kembali, ia tak lagi melihat, duduk menghabisi hari di kamar dengan wangi yang sudah akrab di hidung saya, wangi seorang tua, seorang perawaan dengan rosario di tangan...
Waktu saya menyanyikan doa yang ditulis Thomas Aquinas pada abad 13, lauda sion, wajah perempuan ini hadir dalam ingatan. Thomas Aquinas menulis doa ekaristi ini dengan indah : o roti para malaikat, santapan peziarah. Dan betapa Mina itu adalah roti malaikat bagi kami. Meski cacat, kehadirannya di tengah keluarga kami pun walaupun hanya pagi hari, telah membawa sesuatu yang lain dan unik, justru setelah papa saya mati terlalu dini. Mengingat Mina dan mendoakan baris-baris pertama Kidung Sion, membantu saya memahami pesta tubuh dan darah Kristus hari ini.
Mina melewati hari-harinya dengan melakukan keajaiban sederhana, dengan mempersembahkan tubuh yang cacat –yang bagi kebanyakan kita selalu seperti tidak lagi banyak gunanya- bagi yang lain. Kehadirannya paling kurang saya rasakan meneguhkan saya, ibu dan saudari/a saya bahwa kami tidak sendiri. Pekerjaan kecilnya, membantu ibu saya, sebisanya memasak dan duduk menemani kami ngobrol, adalah hal kecil yang sedemikian berharganya sehingga tetap tertinggal di hati saya. Itulah hosti kecil, yang dibagi-bagikannya bagi kami. Saya percaya Tuhan telah memberi kami rotinya, tidak saja melalui ekaristi, tapi juga lewat tubuh-tubuh setiap orang yang telah menerimanya...Ia mengirim setiap kita justru untuk menjadi makanan bagi manusia yang lain seperti yang dibilang Thomas Aquinas, le pain pour l’homme en route, makanan bagi manusia yang sedang berziarah, yang tentu tidak selalu menemukan oase kegembiraan, tapi juga kehilangan, kesedihan, kemiskinan, kematian, kesepian, kehilangan kepercayaan sebagai orang yang dicintai, dalam perang, dalam pengasingan dan dalam pengungsian…
Lewat Ekaristi, Yesus memberi arti yang paling otentik bagi tubuh kita pula, bahwa tubuh itu bernilai karena terarah pada yang lain, sebagai pemberian cinta tanpa syarat. Modernitas, juga apa yang disebut postmodernitas meski membantu kita mengafirmasi (bukan menemukan ) arti mendalam diri sebagai subjek yang bebas, toh meninggalkan resiko yang tak kurang berbahayanya. Apa yang dalam bahasa saya sendiri, obesitas modern, ditandai bukan hanya perkembangan tubuh fisik yang tak seimbang, tapi juga perkembangan cara pandang yang tidak seimbang tentang tubuh. Berakar pada konsumerisme, obesitas modern membuat kita tidak lagi memikirkan arti sosial dari tubuh (atau yang dibilang Foucald, Tubuh Sosial). Misalnya, kosumerisme entah terhadap manifestasi elektronik –teknologi seperti televisi, internet, dan lainnya, menghabiskan waktu kita, membuat jam tidur dan istirahat kita tak lagi teratur dan pada gilirannya mengurangi efektivitas kerja. Dalam tingkat yang lebih mendalam, relasi terhadap yang lain berubah, termasuk pengertian tentang kedalam arti seksualitas. Generasi muda kita, yang sering tidak diperlengkapi dengan baik, disergap tayangan-tayangan yang mengubah cara pikir mereka tentang tubuh, relasi dengan orang lain dan bahkan seksualitas mereka.
Obesitas modern menggoda kita untuk berpikir seolah-olah waktu tak lagi punya batas. Paradoksnya, tubuh kita mengatakan yang sebaliknya. Ia merasakan keterbatasan itu dengan bahasanya sendiri : lelah, capai, kehilangan energi, dan seterusnya hingga akhirnya beberapa dari kita harus mati tapi dengan penyesalan mendalam meninggalkan raga yang tidak dirawatnya dengan baik, termasuk juga untuk orang lain.

« Inilah Tubuhku (yang dikurbankan bagimu) », kata-kata konsekrasi Yesus ini serasa bergema kuat hari ini dalam hati, sebuah penegasan tentang diri yang amat mendalam. Di satu pihak kata-kata itu meminta kita menghargai tubuh kita, mencintainya dengan tepat, merawatnya dengan bijaksana. Di lain pihak, ia menegaskan kepenuhan arti tubuh itu yakni sebagai persembahan bagi yang lain. Inilah sama dengan menghunjukkan, memperlihatkan, mempersembahkan dan semua itu terwujud ketika hadir di tengah mereka yang paling membutuhkan…Ekaristi, itulah sejati kita para peziarah, di tengah banyak jajaan obesitas modern di sekeliling kita.

Salam,

Ronald, sx
Yaoundé.


Masih Beralasankah Percaya pada Tuhan ?

Hercules yang jatuh di Madiun beberapa waktu lalu dan musibah jatuhnya pesawat Air Bus 445 Air France menambah begitu banyak peristiwa yang bisa kita bilang seperti bagian hitam, bagian kabur dari dunia kehidupan kita sehari-hari. Meski dengan matematika hingga pencapaian sains modern kita mampu menjadikan pesawat sebagai alat transportasi yang paling meyakinkan dengan tingkat resiko yang paling rendah, toh tetap ada titik kabur yang tak terduga, tak terpikirkan. Lalu kita bersedih, menangis dan takut yang ujungnya sampai pada pertanyaan traumatis serupa ini : kenapa Tuhan menghendaki penderitaan orang-orang baik. Dan kenapa harus melalui peristiwa-peristiwa naas seperti itu ? Harus dengan cara seperti manakah kita mati ? Dan memang kita tidak selalu pasti mampu memilihnya sendiri.
Yah…kalau memang Tuhan menghendaki penderitaan bahkan kematian orang tak berdosa, bukankah tak ada gunanya jadi orang baik ? Atau masih beralasankah percaya pada Tuhan yang tidak mampu mencegah penderitaan kita ? Tobit, tokoh kitab suci sepanjang minggu ini, menemani kita masuk dalam peliknya persoalan ini. Ia, seorang yang setia dan taat pada Tuhan, diberkati. Namun tiba-tiba suatu hari, tahi burung layang-layang jatuh tepat pada kedua matanya lalu membutakan orang suci ini. Di tempat lain, pada kisah yang sama, seorang perempuan bernama Sara tertimpa nasib tragis, tujuh pria yang dinikahinya selalu saja mati sebelum bersetubuh. Hari-hari hidupnya bagaikan perkabungan. “sesungguhnya tak ada satupun anak yang akan lahir dari rahimmu, hai perempuan pencabut nyawa suami-suamimu”, demikian hinaan pelayannya. Mengutip Melly Goeslaw dalam Suara Hati Seorang Kekasih, ‘seribu musim pun tak akan menghibur hati’ Sara…
Kisah Tobit akhirnya tidak membenarkan sedikitpun keyakinan bahwa Tuhan menghendaki penderitaan dan kematian manusia. Pun, Dia tidak pernah campur tangan dalam peristiwa-peristiwa alam dalam arti menggangu otonomi alam –yang berjalan dengan hukumnya sendiri – untuk mencelakai kita. Samahalnya juga dia tidak bertanggung jawab di balik kesalahan atau kejahatan manusi (human errors) yang menyebabkan kematian orang tak berdosa. Yang benar dan pasti adalah Dia melalui peristiwa semacam itu dan bahkan peristiwa yang amat sepele, terus ‘mengeksplorasi’ atau mengeluarkan sesuatu yang baik bagi pertumbuhan dan kematangan kita sebagai manusia, bagaikan seorang yang mengeluarkan emas dan permata dari tanah-tanah yang hitam dan kotor. Tobit adalah model yang ideal bagi kita, untuk lebih realis dan arif menghadapi penderitaan kita : « oleh penderitaanku, yang mungkin juga akibat dari kesalahanku, buatlah aku makin sempurna ». Tobit mengingatkan kita juga kalau, kecerobohan dan kesalahan kita bisa selalu menggangu keseimbangan ‘ekosistem kehidupan’.
Sara pun demikian, « dia memperpanjang doanya » untuk menyerahkan titik kabur, penderitaan yang tidak dia mengerti sebabnya pada Tuhan. Doa akhirnya bagaikan sebuah server, yang akhirnya menghubungkan Tuhan, kita dan sesama. Jawaban atas doa Tobit akhirnya menjadi jawaban doa Sara. Doa dan rintihan Sara akhirnya juga menjadi jawaban bagi doa Tobit. Sarah menikah dengan putra Tobit dan Tobit menjadi sembuh. Doa yang benar akhirnya memulihkan juga ‘ekosistem kehidupan’ yang seringkali tergangu oleh kecerobohan dan kejahatan kita. Di manakah tempat doa dalam hidup kita sehari-hari, pernahkah kita berdoa bagi orang lain yang menderita ?
Kisah Tobit menjadi pengantar yang baik untuk memaknai pesta Tritunggal Mahakudus hari ini. Mari kita tinggalkan sebentar kerumitan filosofis-teologis tentang Trinitas, dan melangkah pada kebersahajaan pokok iman kita ini. Trinitas tidak bicara melulu soal pribadi Allah dengan segala misterinya, tetapi terutama bicara tentang hubungan/relasi antara Dia dan kita manusia. Dan hubungan ini dirumuskan dengan baik oleh Yesus pada ayat terakhir Injil Matius yang kita dengan dalam ekaristi minggu ini :’Dan Aku menyertai kalian hingga akhir zaman’ (Mat.28 :20). Allah Tritunggal adalah Allah yang bersekutu, yang hadir dan menyertai kita. Kata ‘Abba’ adalah penemuan Yesus yang paling original, yang mudah dan akrab di mulut dan di hati. Padalah dalam tradisi Yahudi, Allah sedemikian sucinya sehingga namanya hanya ‘tertulis’ dan tidak boleh disebut. Dan salib adalah bukti bahwa Tuhan itu ikut menderita dan akhirnya mau mati untuk kita. Roh Kudus yang tak lain cinta-Nya pada Bapa, itulah yang memulihkan dan mendewasakan kita. Tak pernah sedikitpun, Tuhan meninggalkan kita. Dia selalu di dekat kita, rasakanlah kehadirannya dengan iman di hati. Semoga anda terus teguh berdoa, dan juga tak pernah kapok hadir dan menguatkan yang sakit dan berduka…dan akhirnya Trinitas adalah juga tentang anda dan yang lain.

Ronald,sx
Cameroun

Jinak-Jinak Merpati


Jinak-Jinak Merpati

Ungkapan itu, kalau saya tak salah ingat, dimaksudkan untuk melukiskan karakter seseorang yang lembut, kalem, jinak, mudah didekati tapi sekaligus sensitif, akan menjauh bahkan akan berbahaya jika sedikit saja hatinya dilukai. Kemudian ungkapan ini menyempit maknanya menjadi ungkapan yang sangat berkarakter feminin dan penuh bias jender. Maksudnya ia hanya diterapkan pada pribadi perempuan dan tentu saja tidak merepresentasikan seluruh perempuan. Jika kembali pada makna asalnya, ungkapan ini paling kurang adalah sebuah aspirasi tentang relasi dua arah yang ideal tapi juga menunjukkan masalahnya jika relasi itu terlalu sarat dengan kepentingan dan kuasa.
Setahun silam waktu mampir di Roma saya sering menyaksikan para wisatawan yang mengundang kawanan merpati dengan melemparkan remah-remah atau biji-bijian. Burung-burung itu mudah sekali mendekati bahkan hinggap dan bermain-main di atas pundak dan kepala. Ada juga yang coba-coba menangkap, tapi tak satupun yang berhasil...Mungkin, merpati punya kemampun membaca tidak saja gerak tangan orang yang mau menangkapnya, tapi juga isi hati. Merpati seaakan tak mau lebih dekat pada orang yang melemparkan makanan dengan maksud menangkapnya. Merpati hanya mau mendekat hanya jika kita mengundangnya tanpa syarat...Mungkin itulah sebabnya kenapa Yesus menggambarkan ketulusan hati seorang murid sebagai ketulusan seekor merpati.
Ingatan akan merpati ini membantu saya menemukan di mana letak hubungan kita dengan Roh Kudus yang kita rayakan pada Hari Pentakosta. Sebab Roh Kudus yang dijanjikan Yesus itu sering digambarkan seperti merpati. Merpati dalam tradisi kitab suci adalah binatang suci. Ingat bagaimana kisah Yesus waktu dibabtis Yohanes pembabtis (injil Markus 1). Ingat pula kisah Nuh yang mengirim seekor merpati pasca air bah. Merpati itu identik dengan kehidupan, berarti ciptaan baru. Yang baru, selalu tulus, tak bercacat dan menandakan kehidupan, sebagaimana merpati yang dikirim Nuh kembali dengan membawa ranting pohon segar, tanda adanya kehidupan setelah bencana.
Sebagai tanda, merpati jelas menunjukkan realitas ‘yang lain’ dari dirinya, yakni Roh Kudus, yang hanya mungkin mendekati diri kita jika kita ‘terbuka’. Ini jawaban untuk pertanyaan, « mungkinkah kita bisa menikmati buah Roh Kudus, buah pentakosta seperti yang dialami para murid ? » Ibarat sebuah botol penuh yang tak mungkin diisi lagi oleh air, demikianlah hati kita, jika kita tidak terbuka, tidak membebaskan hati dan pikiran kita dari logika ‘kuasa’ seperti para wisatawan yang coba menangkap merpati. Logika ini tak lain dalam bahasa St. Paulus adalah pertimbangan daging atau nafsu. Nafsu itu saudara kandung kuasa. Iri hati, cemburu, kemarahan, percecokan, persaingan adalah anak-anaknya.
Merpati, di pihak lain menjadi cakrawala, cermin yang meminta kita berdandan dan berlaku seperti burung itu sendiri, yakni tulus. Tulus adalah nama lain kerendahan hati dan keterbukaan untuk dicintai, seperti merpati yang dengan tulus juga mendekati setiap orang yang mencintainya, yang memberinya makan...Kalau anda mendapati diri anda kurang sabar dalam berelasi, cepat marah misalnya, mintalah dengan rendah hati pada Roh Kudus rahmat kesabaran. Kalau hari terlalu sedih dilewati karena kehilangan seseorang atau sesuatu yang disayangi, mintalah rahmat sukacita. Kalau kita tidak bisa menguasai diri dari kecenderungan-kecenderungan tak teratur dan merusak, mintalah rahmat penguasaan diri. Paulus dalam surat kepada umat di Galatia menganjurkan itu (Gal.5:16-25). Permintaan-permintaan itu didorong oleh ketulusan hati, yang dengan rendah hati mengakui kelemahan dan pada saat yang sama mengharapkan pertolongan Roh Kudus. Orang sakit yang ingin sembuh harus menunjuk dan menjelaskan pada dokter semua gejala dan di mana letak penyakitnya.
Misteri cinta Yesus tersalib membebaskan kita dari kejahatan dan dosa. Akan tetapi, perang antara terang dan kegelapan terus berlangsung di hati kita masing-masing, di mana kecenderungan daging dan kecenderungan roh saling bersaing menempati hati kita. Itulah sebabnya, kenapa Yesus menjanjikan dan akhirnya mengaruniakan kita Roh Kudusnya. Dia adalah penolong, yang memperlengkapi hati kita dengan senjata yang mumpuni, yang menolong kita mengambil keputusan yang tepat, aman dan bebas seperti merpati.
Sore ini saat melengkapi tulisan ini, saya didatangi seorang bapak, yang mengaku dirampok. Yang tertinggal padanya hanya handphone dan kunci rumah. Ia datang dari Bafia, sebuah provinsi di luar kota Yaoundé. Antara prasangka bahwa bapa ini datang menipu dan perasaan kasihan, saya dan seorang konfrater Meksiko akhirnya memutuskan menolong bapa tua ini kembali ke rumahnya. Ini hadiah indah di pentakosta kali ini, dan betapa bersama H. Capieu saya melagukan ini,

o toi colombe, o blanche soie, (oh merpati putihku)
aube première et première beauté (jadilah bagiku fajar dan keindahan baru)
ton aile avive un feu de joie (biarlah sayapmu menyalakan api sukacita)
où ta venue nous a jetés (saat kau datang melemparkan aku ke dalamnya)
(H. Capieu, « pentecôte, dalam Poésie 54, juillet-aout 1978)

Dan untuk anda dari jauh saya mendoakannya. Selamat menikmati buah-buah roh.

ronald,sx -Yaoundé Cameroun


Perempuan Bunga dan Kearifan Cinta

Femme-fleur, perempuan bunga, yang dilukis Picasso pada tahun 1946 adalah salah satu adikarya pelukis besar Spanyol ini, buah kolaborasinya dengan seorang seniman perempuan cantik perancis, Françoise Gilot, Lukisan itu bercerita sekaligus menyembunyikan misteri hubungan Picasso dan Françoise.Kita bisa menemukan jejak hubungan ‘dekat’ kedua seniman ini, selebihnya hanya mereka yang tahu. Bunga adalah tumbuhan yang paling banyak menjadi kalau bukan inspirasi, toh bagian penting dari karya seorang seniman, penyair, sineas dan seterusnya.
Bahkan bunga dekat dengan perempuan, berkarakter feminim, bahkan bagian dari kepribadiannya. Dan akhirnya kita mengerti, kenapa pria seperti harus selalu memberi bunga pada kekasihnya. Kita juga mengerti kenapa perempuan tak pernah menolak ketika diberi bunga. Bunga lantas seperti benang, ketika kita memberikannya kepada orang yang kita kasihi, kepadanya kedua tangan kita berpaut. Bunga rupanya tak hanya berarti ‘ perempuan’ tapi lebih-lebih ‘hubungan’. Perempuan tanpa mengatakan apa-apa, dengan menerima bunga yang diberikannya, meneguhkan bahwa ia seperti kembang, yang wangi, yang mekar, indah dan memberi kehidupan. Dan pria yang memberikannya, tanpa mengatakan apa-apa, mau menyatakan dirinya sebagai tanah yang siap menyambut bunga itu hidup di atasnya. Bunga seperti mewakili dan menjembatani komunikasi ‘bawah sadar’ ini. Bawah sadar, karena kita tidak pernah mengatakannya, tapi kita akui, kita masing-masing membutuhkan dan mengambil peran yang beda. Dan dunia itu adil. Harus selalu ada bunga dan tanah. Ada pohon dan binatang, ada aneka ciptaan. Lucu jika semuanya seragam.
Entah mawar, entah anggrek dan bunga lainnya tidak mungkin menjadi mawar, anggrek kalau mereka tidak dipetik. Toh kalau kita tidak memetiknya, dia gugur sendiri karena menua lalu diganti dengan kuntum bunga lainnya. Bunga yang satu dengan bunga yang lain seperti, bagi saya, menjalin hubungan unik ini : yang satu merelakan diri untuk dipetik atau jatuh gugur agar yang lain bisa muncul. Ada kurban, ada kerendahan hati, ada cinta. Dan ratusan bunga yang sering kali kita petik acuh tak acuh, dan kita berikan begitu saja karena kebiasaan sering lenyap bersama lenyapnya kepekaan kita akan dalamnya makna yang mau disampaikan bunga untuk kita, dan dalamnya arti cinta yang pantas terus kita wariskan di muka bumi.
Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk saudara-saudara-Nya. Cintailah satu sama lain, seperti aku telah mengasihi kamu (Yoh. 15:12). Inilah kata Yesus yang paling ‘mengangu’ sejarah kita, karena kasih yang diajarkan-Nya melampaui mutualisme, bahkan filantropisme dalam evolusi kebudayaan kita. Tuhan mendasarkan perintahnya untuk mencintai bukan pada mutualisme, bukan pada kemampuan filantropi kita, sebab cinta yang demikian malah bisa menjadi berhala atau idola baru. Hari-hari ini orang berdiskusi tentang filantropikapitalisme, kapitalisme baru yang dimainkan para miliuner dan jawara bisnis, yang bagi-bagi duit di negara miskin lewat bantuan kemanusiaan yang sekaligus menjadi desempatan marketing dan publisitas. Di situ nampak ada ‘cinta’, dalam tindakan memberi kepunyaannya untuk yang lain, tapi tentu kita melihat juga amat terangnya mutualisme. Dan tak ada isme yang tanpa syarat.
Alasan kita orang Kristiani untuk mencintai amat lain. “Hendaklah kalian mengasihi satu sama lain, sebagaimana Aku telah mengasihi kamu.”Kita mencintai sesama karena kita sudah terlebih dahulu dicintai-Nya. Tuhan itu sendirilah yang menjadi alasan kita untuk mencintai. Persis di sinilah kita dijauhkan dari kecenderungan menjadikan cinta itu berhala dari kepentingan kita. Tak bosan-bosannya hati nurani kita diminta untuk selalu melakukan perintah ini meski seringkali orang kepada siapa cinta itu dialamatkan mengacuhkan kita, mencurigai maksud baik kita atau telah menghianati kita, meski hati kita –seperti kata Melly Goeslaw dalam suara hati seorang kekasih- rasanya tak bisa dihibur oleh seribu musim karena marah. Kita mesti tetap melakukannya justru dengan keyakinan ini, bahwa penghianatan, sakit hati, kata-kata kasar dan perlakuan buruk orang tidak pernah sebanding besarnya dengan cinta yang Tuhan berikan pada kita. Di situlah hidup kita sungguh berarti, di situlah kita sungguh mewarisi kearifan kehidupan yang juga diajarkan bunga. Suatu kali Yesus pernah bilang: Salomo dalam segala keagungannya, tidak pernah berdandan seindah bunga-bunga bakung di padang. Jadilah terus kembang yang tak berhenti memberi keharuman bagi dunia, dan mengajarkannya pada anak cucu kita.

Ronald,sx
Yaoundé-Cameroun


Yang Penting Rasanya Bung: Soal Kematangan Pribadi Kita...
Meski pekarangan rumah kami tidak begitu besar, ibu saya menanam beberapa pohon kopi untuk konsumsi sendiri. Suatu kali saya melihat beliau memungut beberapa biji kopi yang jatuh, membersihkan, bahkan menciumnya sebelum mengembalikannya ke tungku di mana biji kopi itu ditumbuk menjadi bubuk kopi. Saya bisa mengerti tindakan ibu saya ini, apalagi mengingat bahwa dia merawat tanaman kopi ini dengan tekun. Saya harus akui juga bahwa dia tidak hanya menanam, memetik, tapi juga membentuk relasi yang unik dengan-nya. Antara kopi buatan sendiri dan kopi instan, menurutnya, perbedaannya besar sekali. Kopi asli aroma lebih harum dan rasanya lebih enak. Relasi antara pohon, cabang, ranting anggur dan bahkan pemilik anggur itu sendiri,dipakai Yesus untuk menggambarkan hubungannya dengan para murid atau orang-orang yang percaya pada-Nya. Perumpamaan ini disampaikan Yesus pada para muridnya menjelang perpisahannya dengan para murid dan perpisahan itu – yang juga disadari oleh para murid- melahirkan pertanyaan serius tentang kontinuitas, atau kelanjutan relasi itu pun bahkan ketika Yesus tidak lagi bersama mereka. Yesus merumuskan relasi-Nya dengan para murid dan mereka yang percaya pada-Nya sebagai hubungan antara pokok anggur dan ranting-ranting-Nya. “Sama seperti ranting tidak akan menghasilkan buah jika ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikianpun kamu, jika kamu tidak tinggal padaku kamu tidak akan menghasilkan buah”.
Tinggal yang dimaksudkan Yesus tidak sama artinya dengan bersarang/nesting, atau hidup seperti parasit dengan ketergantungan pasif. Tinggal pada Yesus berarti menyatu dengan-Nya sama seperti ranting menyatu pada pohon. Tinggal padanya tidak lain percaya pada-Nya, seperti ranting yang tidak pernah ragu bahwa pokok anggur selalu berpaut padanya dan memberinya kehidupan. Percaya pada cinta-Nya yang menghidupkan, pun ketika Dia tidak lagi bersama kita. Yesus mau menjamin para murid bahwa pun ketika Dia tidak lagi bersama mereka secara fisik, Dia tetap hadir dengan cara yang lain.
Saya selalu membayangkan bahwa buah selalu mengandung, selalu membawa dalam dirinya kualitas, sifat dari pohonnya walaupun kita sering kita tidak pernah lagi memikirkan hubungan buah-buah itu dengan pohonnya ketika kita memakannya. Waktu kita makan apel atau anggur, kita jarang langsung membayangkan pada saat yang sama, pohon-pohonya. Dari biji-bijian buah itu kita bisa mengembangbiakkan atau menanam lagi pohon untuk menghasilkan buah yang sama. Yesus menjamin kehadiran-nYa yang stabil dan konstan dengan dan melalui Ekaristi, di mana kita merenungkan dan merayakan misteri cinta-Nya yang abadi.
Lukisan abad 17 yang saya sediakan untuk anda dalam tulisan ini, la fontaine de vie, atau mata air kehidupan, dilukis seorang flamandia anonim nampaknya pas untuk menjelaskan lebih lanjut maksud saya tadi. Dalam lukisan ini, darah tercurah dari lambung ke dalam wadah berisi buah anggur. Lukisan ini tentu menjelaskan misteri salib dalam ekaristi yang kita sambut. Dalam ekaristi kita menerima kehidupan yang dicurahkan Kristus lewat kematian-Nya di salib. Salib di rumah kita, yang kita pakai atau sebagai tanda yang kerap kali kita gunakan untuk berdoa mengingatkan kita akan pokok anggur, yakni Yesus dalam ekaristi.
Tinggal pada Yesus bukanlah sebuah ketergantungan pasif, melainkan akfif. Tinggal padanya berarti ambil bagian dalam misteri salib-Nya sebab kristus tersalib itu adalah pohon kehidupan yang benar, sumber dan jawaban terbaik bagi masalah hidup kita. Salib bukan hanya simbol tapi sebuah prinsip hidup Kristiani yakni cinta yang penuh kerja keras dan pengorbanan, yang sabar, yang murah hati, dan memberi diri tanpa syarat. Inilah makanan rohani yang membuat kita matang sebagai manusia.
Matang Karbitan?
Kita seringkali mendapati diri kita mencari keadaan matang yang berbeda dari yang ditawarkan Kristus, atau mencari kematangan pada sumber lain seperti ranting yang terperangkap dalam kepungan parasit. Atau kita membiarkan diri dipetik orang lain sebelum waktunya, untuk kemudian diperam dan dijual (dan setelah dimakan, kemudian dibuang ke sampah). Kematangan ini termanifestasi misalnya dalam ketergantungan baru yang saya sebut sebagai ketergantungan teknologi. Kita sulit menolak menjawab panggilan hp pun ketika kita sedang bicara serius dengan seseorang atau dengan kelompok orang. Teknologi dan ketergantungan kita padanya menginterupsi kehangatan hubungan kita. Kita didikte oleh sifat teknologi yang serba cepat: mesti cepat dijawab, mesti cepat ngikuti model barang ini barang itu, dan seterusnya sementara pelan-pelan tak terasa mutu relasi kita dengan orang lain mulai kendur. Ketergantungan pada chatting pada jam kerja pelan-pelan merusak perhatian dan mutu kerja anda. Rasanya kisah ini mengajak kita merenungkan sejauh mana ketergantungan kita pada teknologi, dan sejauh mana pula waktu dan kualitas hubungan kita dengan Tuhan terpengaruh olehnya.
Seperti buah-buah yang matang karena diperam, disuntik, diawetkan, kita sering mengharapkan kematangan yang berbeda yang diharapkan Yesus. Kita menolok kerja keras, ketekunan dan kesetiaan dalam kerja atau dalam menyelesaikan persoalan rumit kita. Lebih suka kita memilih jiplak, mencari mbah dukun, atau mengorbankan waktu yang tidak semestinya kita pakai untuk menyelesaikan pekerjaan kita yang tertunda. Kita matang karbitan dan sekaligus rapuh rasa dan pelan-pelan membusuk ‘dari dalam’. Inilah ancaman yang amat dekat dengan kita sekarang ini yang sudah masuk di sekolah, tempat kerja hingga kamar dan tempat tidur intim kita. Kita dalam bahaya sedang menjadi buah yang tak lagi enak, penuh cita rasa asli bagi sesama kita. Injil hari ini mengundang kita untuk kembali pada sumber, persekutuan kita dengan Yesus yang menjadi dasar kematangan kita bagi yang lain.
Pesan kebangkitan hingga minggu ke lima masa paskah ini jelas. Yesus yang bangkit hadir melalui buah-buah manis dan indah yang kita terima malalui kesaksian Gereja dan tokoh-tokoh iman sederhana seperti ibu saya tadi. Kita dipanggil untuk tetap menjaga kualitas baik buah kehidupan ini. Kita dipanggil pada saat yang sama menjadi benih baru bagi pohon baru untuk dunia.
Yang penting rasanya Bung...!

ronald,sx

Yaoundé-Cameroun

Sentuhlah Aku

Sentuhlah Aku

Dulu gampang sekali menyelimuti seluruh badan ketika mendengar suara-suara aneh di sekitar rumah, anjing yang menyalak tidak biasanya atau bunyi burung hantu di kejauhan. Entah apa jadinya hidup, jika tanpa kisah-kisah seperti sinder bolong, kuntilanak, jin, dedemit, dan sebagainya. Apakah semuanya itu adalah mitos warisan orang-orang tua dulu untuk mendidik anak-anak mereka (agar tidak pergi jauh dari rumah misalnya) ataukah kesaksian tentang eksistensinya. Dari kampung kecil saya hingga kota-kota besar seperti Paris, Roma bahkan di negeri yang jauh seperti di Afrika sini, cerita-cerita seperti itu makin beragam. Les Diables et Les Parisien, para hantu dan penduduk kota Paris, demikian seorang penulis klasik Perancis menulis tentang Paris, kota yang kini paling sekular, menjadi besar karena ulah para setan. Saya tidak mau memperdebatkan di sini soal ada tidaknya hantu, tapi biarlah saya meninggalkan hipotesis ini :paling sedikit dengan percaya pada eksistensi hantu, orang mengandaikan adanya hidup setelah mati. Masa sih hidup yang indah ini tak ada kelanjutannya…
Papa saya meninggal waktu saya berusia 11 tahun dan saya menyaksikan sendiri penguburannya, melihat bagaimana tubuhnya ditimbun tanah merah dan selanjutnya ia menjadi lain, ia hidup tapi dalam kenangan saya sebagai anak yang dicintainya. Saya bisa mengerti pengalaman para murid Yesus, yang takut dan menyangka melihat hantu ketika Yesus menampakkan diri para mereka (Luk. 24 :35-38). Pantas mereka takut karena mereka betul-betul tahu Yesus telah mati, bahkan beberapa di antaranya melihat bagaimana Dia dikuburkan. Saya tentu akan mengalami hal yang sama seandainya melihat papa yang benar-benar saya lihat telah ditimbun tanah, muncul di dekat saya.
Kalau kita memperhatikan seluruh kisah kebangkitan, ada benang merah ini yakni Yesus tidak langsung dikenali identitasnya oleh para murid. Hanya ketika Yesus mengulang kata-kata atau membuat gerakan yang pernah Ia lakukan, dan dari pihak para rasul hanya dengan membuka hati dan iman mereka barulah mereka mengenal Yesus. Ingatlah kisah dua murid Emaus atau kisah lain ketika para murid berkumpul bersama merayakan ekaristi. Ini menunjukkan bahwa Yesus adalah bagian dari hidup dan realitas baru yang sama sekali berbeda dengan realitas normal. Akses padanya mustahil kalau bukan atas inisiatif Yesus sendiri dan iman orang yang mengalaminya. Tentu saja sekali lagi kita harus mengakui pengalaman akan Yesus yang bangkit adalah pengalaman khas para murid.
Lukas dalam Injil hari ini tidak melaporkan sebuah kisah hasil imajinasi atau halunisasi para murid, tapi kisah nyata tentang Yesus. « Lihatlah tangan dan kakiku, inilah aku, sentuhlah aku. Tak mungkin hantu mempunyai daging atau tulang ». Dan Petrus kelak dalam pewartaannya selalu mengatakan « Dan kamilah saksi dari semuanya itu, Tidak mungkin kami tidak mewartakan apa yang kami lihat, kami sentuh, kami alami sendiri ». Inilah pengalaman nyata para murid yang menjadi titik tolak kelahiran Gereja.
Gereja mewartakan Kristus yang bangkit itu pertama-tama melalui Ekaristi dan melalui karya kasihnya.Ia yang hidup dan nyata itu melalui ekaristi, melalui hosti sederhana dan rapuh kita alami, tentu dalam iman. Samahalnya seorang ahli bedah berhasil memahami seluruh struktur organ tubuh pasiennya yang hidup tapi tidak pernah menemukan di mana terdapat nyawanya, demikianlah dalam ekaristi dan melalui hosti tadi kita mengalami Yesus yang hidup tanpa pernah melihat Dia. Ia hidup kini dalam diri kita yang menyambut Dia dengan iman dan sudah seharusnyalah kita mewartakan bahwa Dia hidup.
Kata-kata Yesus , sentuhlah aku adalah undangan bagi kita semua untuk meneruskan warta bahwa Yesus hidup. Tangan-tangan dan kaki kitalah yang sekarang menjadi perpanjangan tangan dan kakinya bagi manusia lain. Ibu Theresa dari Calcuta, Anne Frank yang memberi penghiburan bagi para sesama tahanan Nazi di kamp konsentrasi, serta banyak sekali saksi iman Kristiani lainnya sepanjang sejarah melakukan semuanya itu karena Yesus nyata dan supaya ia tetap nyata sepanjang masa. Mari bersama-sama menceritakan pada banyak orang melalui hidup kita, bahwa Tuhan yang dulu nyata sama nyatanya seperti sekarang ini ketika kita memuliakan yang lemah, yang miskin dan yang ditinggalkan.


KEGELAPAN DI ANTARA BINTANG-BINTANG

Minggu lalu dalam perjalanan menuju Limbe, daerah Kamerun berbahasa Inggris, mobil kami dicegat polisi persis di depan pasar yang ramai oleh lalu lalang orang. Dari pintu mobil saya berhasil mengikuti keributan kecil antara para pedagang dengan seorang ibu berpakaian necis dengan loudspeker di tangan kanan dan payung pelindung panas matahari di kiri. Tanpa malu dia berteriak, « Jesus Christ est la solution », yang disambut dengan ejekan dan tawa para pedagang. Seorang pedagang, menyangga dan minta bukti serta penjelasan lebih lanjut. Sayang sang ibu tidak dapat, dan kemudian ia dihujani permintaan banyak orang untuk pulang dan lebih baik mengurus suami dan anak-anaknya.
Benarkah Tuhan adalah jawaban? Saya percaya kita yang mengimani Yesus setuju dengan kata-kata ibu tadi. Namun kita tentu juga setuju dengan keraguan para pedagang tadi tentang isi kata-kata itu. Masalahnya lebih pada soal bagaimana kita bisa membuktikan bahwa Yesus memang adalah jawaban.
Pada minggu kedua paskah, kita mendengarkan lagi kisah kebangkitan dengan dua adegan berbeda (Yoh.20 :19-31). Pertama Yesus menampakkan diri pada para murid, kecuali Thomas yang saat itu tidak di situ. Kedua, akhirnya Dia menampakkan diri pada Thomas. Dua-duanya mau menjelaskan kebangkitan, yang berbeda satu dengan yang lain tetapi saling melengkapi. Dalam kisah pertama, kita tidak menemukan masalah. Para murid mengalami langsung perjumpaan dengan Yesus yang bangkit. Kita bagaimanapun juga harus mengakui dan menghormati pengalaman kebangkitan sebagai pengalaman khas dan personal para murid. Akan tetapi, pada kisah kedua, masalah timbul. Thomas yang tidak hadir dalam peristiwa pertama. Dia ragu dan minta bukti. «Jika saya tidak melihat dalam tangannya bekas paku, dan jika saya tidak mencucukan jariku ke bekas paku itu serta ke lambungnya, saya tidak akan percaya ».
Kita tidak bisa menyalahkan Thomas. Keraguannya sebenarnya lebih mewakili problem dari umat Kristen perdana pasca kematian sebagian besar para rasul dan saksi-saksi iman pertama. Masalahnya adalah bagaimana bisa menjelaskan kebangkitan Yesus pada orang-orang yang tidak melihat dan mengalami Yesus secara langsung seperti para murid?
Delapan hari kemudian, pada saat merayakan Ekaristi dan ketika Thomas juga hadir, Yesus menampakan diri. Pada saat itulah Thomas menyatakan pengakuan imannya, Dia percaya. “Karena kamu melihat aku, kamu percaya. Berbahagialah orang yang tidak melihat aku namun percaya”, demikian kata Yesus menyambut pengakuan iman Thomas. Kata-kata Yesus ini sebenarnya bukan ditujukan pada Thomas tapi memakai tokoh Thomas untuk dialamatkan pada umat Kristen pasca para rasul. Dalam bahasa aslinya, kata-kata Yesus ini menunjuk pada umat Kristen 30 hingga 40 tahun setelah kebangkitan Yesus. Pengakuan iman Thomas pun sebenarnya mewakili pengakuan iman umat ini dan tentu saja akhirnya mewakili seluruh generasi umat Kristiani sesudahnya.
Dalam peristiwa inilah kita menemukan penyelesaian dari problem tadi. Delapan hari, sebenarnya menunjuk pada hari minggu, hari di mana umat Kristen perdana biasa merayakan ekaristi. Dalam ekaristi, dalam pemecahan roti dan anggur di situlah umat Kristen perdana mengalami pencerahan, pengertian baru tentang kebangkitan Yesus. Yesus itu menampakan diri dalam ekaristi yang dirayakan bersama, saat mana mereka merenungkan misteri kasih Allah dalam peristiwa Yesus yang hidup dan wafat bagi mereka. Yesus menampakkan diri dalam hidup ekaristis, yakni hidup bersama yang dilanjutkan setelah ekaristi itu. Di situlah, dalam hidup bersama yang didasarkan kasih, mereka mengalami ‘penampakan’ Tuhan yang khas.
Bagaimana mungkin orang yang telah sedemikian mengasihi tanpa batas, bisa mati selamanya? Keyakinan ini diungkapkan melalui kata-kata Thomas: “Ya Tuhanku dan Allahku”. Untuk seorang Yahudi, seperti Thomas, mustahil dalam waktu beberapa detik mengakui bahwa seorang manusia adalah Allah. Tradisi monoteisme ketat Yahudi yang mendarah daging dalam diri para murid serta generasi umat Kristen-Yahudi pertama tidak mengizinkan itu. Pengakuan iman Thomas adalah pengakuan iman Gereja perdana setelah lama merenungkan dan mendalami arti kebangkitan Yesus. Hidup Gereja sendirilah yang adalah saksi dan bukti dari kebangkitan Yesus. Hidup orang-orang yang percaya pada-Nya lah yang harus menjadi saksi dan bukti penampakan Yesus pada dunia. Cinta sejati menghasilkan buah. Inilah arti kebangkitan bagi kita yang tak lagi melihat Yesus.
Kebangkitan Yesus tidak bisa secara kasat mata dialami oleh kita yang sekarang hidup lebih dari 2000 tahun sesudahnya, tapi kita alami melalui hidup Gereja yang tak henti-hentinya mewartakan damai, cinta kasih dan pengampunan. Gereja mewariskan dan menghidupi terus kata-kata Yesus ini “ Damai sertamu”. Hidup dan kesaksian Gereja itulah yang membuat pewartaan kita meyakinkan.

R.S Thomas, dalam Via Negativa menulis puisi ini (in collected poems 1945-1990, London, J.M.Dent, 1993)
,

Why no! I never thought other than
That God is that great absence
Within, the place were we go
Seeking, not in hope to
Arrive or find. He keeps the interstices
In our knowledge, the darkness between stars

Bagi kita, iman akan kebangkitan adalah seperti mencari, seeking, tanpa berharap untuk tiba dan menemukan, arrive or find dalam arti intelektual, empiris yang disertai bukti kasat mata seperti yang diminta Thomas. Bagi kita sekarang buah kebangkitan itu dengan segala misterinya adalah darkness between stars, kegelapan di antara bintang-bintang. Pandanglah bintang di langit. Lihatlah betapa bintan meski banyak tetap tidak bisa sepenuh-penuhnya memenuhi langit hingga tak ada lagi ruang gelap. Bagi saya hidup dan kesaksian iman kita bagaikan bintang yang bercahaya, yang juga mengizinkan orang lain melihat dan mengalami Tuhan, seperti mereka melihat di antara bintang yang satu dengan bintang yang lain ada kegelapan. Kegelapan adalah sesuatu yang indah untuk dinikmati justru ketika ada terang. Tuhan memang gelap, misteri tapi dia menamppakan diri melalui hidup orang-orang yang bercahaya oleh kasih.


Bukakanlah Aku Pintu-Pintu Malam

Bulan purnama dengan cahayanya yang benderang dekat sekali dengan rumah kami pada hari-hari ini. Rasanya tidak salah dalam tradisinya, Gereja menetapkan hari Paskah kurang lebih empat belas hari setelah bulan baru (yang tak nampak di langit) dan pada saat itu bulan nampak penuh (purnama). Saya tak tahu apakah anda di Indonesia melihatnya juga entah beberapa hari sebelum atau sesudah Paskah.
Kubur kosong yang didapati Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus dan Salome adalah misteri yang kita terima dengan iman, bukan untuk dipertanyakan buktinya. Toh kubur kosong meski salah satu petunjuk tapi bukan bukti utama yang menjelaskan kebangkitan Kristus. Malaikat itu sendiri mengatakan, “Dia tidak ada di sini, dia telah bangkit. Dia telah mendahului kamu ke Galilea » (Mrk.16 :5). Menerima dengan iman, bukan berarti kita terima begitu saja apa yang dinyatakan pada kita, melainkan mempercayakan diri pada misteri yang mahaluas. Samahalnya ketika kita memandang bulan dan bintang di langit, yang dengan mata telanjang nampak tapi tidak seluruhnya kelihatan. Bahkan jika kita menggunakan teleskop sebesar apapun, alam semesta tetap misteri yang mahaluas dalam lautan bintang tak berhingga. Iman paskah adalah iman yang penuh syukur. Di hadapan kebangkitan, biarlah kita diterangi oleh misteri itu, seperti kita membiarkan diri kita diterangi bulan dan bintang.
“Pergilah dan katakanlah pada para murid dan kepada Petrus, Dia mendahului kamu ke Galilea”. Kembali ke Galilea adalah pesan utama kebangkitan menurut Injil M arkus. Kristus hidup dan sudah kembali ke Galilea. Untuk memahami misteri kebangkitan Kristus, para murid mesti kembali ke tempat di mana Yesus mewartakan Kerajaan Allah dengan menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, di mana Ia makan dengan orang berdosa dan membuktikan cinta-Nya dengan setia. Kisah kebangkitan dalam Injil Markus sebanarnya adalah puncak dari seluruh kisah Injil dengan 16 bab ini. Pendek kata, Injil Markus adalah Kisah Kebangkitan itu sendiri. Maka pesan kebangkitan jelas, kembali pada hidup Yesus yang aktual dan melanjutkan misi dan hidup Yesus. Jadi Injil markus tidak berakhir dengan kesimpulan, tapi undangan untuk melanjutkan hidup Yesus dengan mewartakan apa yang telah Ia buat.
Markus mengalamatkan pesan ini pada pembacanya di segala zaman, tak terkecuali pada kita sekarang ini. Pesan kebangkitan tidak lain adalah kembali ke Galilea kita, yakni pengalaman di saat dan di mana perkenalan dan iman akan Yesus mengubah hidup kita secara konkret. Pikirkan, temukan dan renungkan peristiwa-peristiwa di tahun ini, di mana anda mendapati diri betul-betul diubah oleh Tuhan. Kalau karena Yesus, anda mengampuni seseorang ; kalau demi Yesus anda merelakan waktumu di hari minggu untuk membantu korban banjir, dan kalau berkat Yesus kamu kamu mengalami dicintai dalam banyak hal, kembalilah, ingatlah dan syukurilah karya baik Tuhan dalam hidupmu. Bukan itu saja, wartakanlah dengan melakukan yang sama. Dengan demikian kamu melanjutkan hidup Yesus, kamu mewartakan Dia hidup. Kita tak perlu pergi jauh-jauh hingga ke Yerusalem untuk membuktikan Dia bangkit. Saya ingat apa yang dikatakan astronom Amerika Serikat, Niel Amstrong, setelah menginjakkan kakinya di bulan, berkata begini: “ « Langkah kaki seorang manusia kecil ini adalah adalah langkah raksasa bagi kemanusiaan. » Paskah mengundang kita untuk bertindak, dengan langkah dan jalan cinta sederhana, memenangkan manusia sebanyak mungkin dari ketakutan, dari kenyataan tidak dicintai, dari balas dendam, dari penyakit, dari ketidakjujuran, dari perang, dari balas dendam dan dari budaya kematian.
Pada bulan April 1848 Victor Hugo menulis syair Vini, Vidi, Vixi (dalam les contemplations, Livre IV,) yang saya yakin dekat sekali pesannya dengan kebangkitan.

Sekarang mataku setengah terbuka
Tak lagi ku mau beranjak pun ketika orang memanggilku
Hidupku penuh takjub
Seperti orang yang bangun sebelum matahari terbit dan tak bisa tidur
Saya tak pantas menjawab orang-orang yang iri hati
Tuhan, bukakanlah aku pintu-pintu malam
Agar aku pergi kepadanya dan menghilang

Saya membaca Hugo saat memandang bulan sambil memikirkan jutaan bintang di sekelilingnya. Anda tahu, sebagaimana bintang yang mati akan meledak dan menjadi SuperNova, menghasilkan lautan bintang dan benda angkasa lainnya, demikianlah misteri Paskah. Berkat kematian dan kebangkitan-Nya, Yesus bagaikan supernova kita, bintang baru yang menghasilkan cahaya tanpa henti bagi kehidupan. Mintalah pada Tuhan pada paskah kali ini, untuk membuka pintu-pintu malam bagi kita, menyaksikan keindahan cintanya dalam pengalaman hidup kita yang mungkin sering luput untuk disyukuri dan minta agar kita juga seperti Dia siap meledakkan hidup kita bagi yang lain, dalam komitmen tak tergantikan mengabdi kehidupan dan melawan budaya kematian di sekeliling kita.

Selamat Pesta Paskah,

Ronald,SX


Perpisahan yang Elegik?

Francis James, seorang penyair Perancis pada September 1898 menulis begini di akhir syairnya tentang perpisahan (Le Deuil de Primevères)

Si tu le sais, amie, arrive et dis-le moi, dis moi pourquoi,
Lorsque je suis souffrant, il semble que les arbres comme moi soient malades
Est-ce qu’ils mourront aussi en même temps que moi ?
Est-ce que le ciel mourra ? Est-ce que tu mourras ?

Jika kau tahu, sahabat, mari dan katakan pada ku, katakan kenapa
Ketika aku menderita, pohon-pohon ini nampak seperti aku, menjadi sakit
Apakah mereka akan mati pada waktu yang sama denganku ?
Apakah langit akan mati ? Apakah Engkau akan mati juga ?

Kita hanya bisa bicara tentang perpisahan hanya dalam konteks cinta. Di luar itu, lebih tepat berbicara tentang putusnya hubungan, pemutusan, penolakan hingga terusirnya seseorang dari orang-orang dekatnya. Dalam perpisahan, kita maupun orang yang kita cintai tidak menghendaki perpisahan itu tapi sekaligus tidak dapat pula mencegahnya. Di situ kita menemukan keutamaan cinta dalam tegangannya yang indah, memiliki dan melepaskan, merengkuh dan merelakan. Yang harus pergi, dalam segala perasaannya untuk tinggal harus merelakan semua yang ia harapkan tetap tinggal bersamanya. Dan yang ditinggal pergi, dalam segala ketidakrelaan untuk melepaspergikan dia yang harus pergi, mesti membiarkan dia pergi, dan dalam segala keiginan untuk pergi bersama harus memutuskan tetap tinggal.
Perpisahan beda dengan pergi sebentar, karena ia mengandung kemungkinan yang kecil untuk kembali. Sering bahkan, perpisahan itu sudah merupakan bagian dari kematian itu sendiri. Demikian lalu kita mengerti kenapa orang Perancis bilang Adieu, dan orang Spanyol bilang Adios, sampai jumpa pada Tuhan.
Dalam remang-remang lampu saya bisa membayangkan wajah-wajah sedih para rasul, dan tentu saja Yesus yang harus menyelesaikan tugasnya. Perasaan-perasaan mereka, bayangkanlah juga! Kita bisa menemukan juga tegangan indah hubungan cinta mereka dalam dua dialog Yesus dan Petrus. Pertama ketika dia mau mencegah Tuhan membasuh kakinya. Kedua, ketika dia berjanji ingin pergi dan mati bersama Yesus.
Injil Yohanes pasal 13 dengan indah melaporkan peristiwa penting ini. Jika anda membaca seluruh pasal ini anda bisa menemukan bahwa kisah ini diawali dengan sebuah tindakan unik, Yesus membasuh kaki para murid dan akhir kisah ini ditandai dengan ramalan tentang Petrus yang akan menyangkal Yesus tiga kali. Kisah ini sepertinya mengantisipasi perkataan Pilatus pada Yesus segera sesudah Ia kelak disiksa dan dimahkotai duri: Lihatlah Manusia Itu. Dalam pasal tiga belas ini kita menemukan kemanusiaan dalam keadaanya yang paling rapuh sebagaimana diwakili penyangkalan Petrus dan penghianatan Yudas. Kita juga menemukan kemanusiaan yang paling murni dan sempurna, yakni dalam tindakan Yesus membasuh kaki para murid. Pendek kata, di sini kita bisa mengkontemplasikan cinta dan penyangkalannya.
Perpisahan menjadi elegik ketika kita mendapati orang yang kita cintai, ternyata mengharapkan atau menginginkan kepergian dan kematian kita, menyangkal dan menghianati kita. Lalu benar kenapa Francis James menulis pertanyaan penuh ragu tadi : Apakah mereka akan mati pada waktu yang sama denganku ? Apakah langit akan mati ? Apakah Engkau akan mati juga ? Pertanyaan-pertanyaan ini seperti mengulangi dialog Yesus dengan Petrus, dan sekarang dialamatkan pada saya dan anda, saat kita di akhir kamis Putih menyaksikan altar dikosongkan dan berdoa di hadapan roti ekaristi.
Justru karena sadar bahwa kita selalu tergoda untuk meninggalkan dan menghianatiNya, Ia meninggalkan ekaristi sebagai warisan yang menguatkan kita untuk setia, untuk sungguh-sungguh pergi dan mati bersama Dia. « Lakukanlah ini sebagai kenangan akan daku », demikian kata Yesus. Warisan yang Dia tinggalkan bukan untuk disimpan, tapi dilakukan.
Di perayaan kamis putih inilah Gereja mendasarkan pilihannya akan pelayanan bagi perdamaian, pengampunan dan penghormatan atas kehidupan. Di perayaan yang sama, Gereja mengajak anda untuk memperbaharui panggilan semua orang Kristiani sebagai pelayan perdamaian, pengampunan dan kehidupan. Inilah yang mesti kita minta secara khusus di hadapan sakramen mahakudus. Semoga perpisahan Yesus dengan para murid yang kita peringati tidak menjadi perpisahan yang elegik seperti dilukiskan Francis James. Selamat berjaga-jaga untuk mati bersama Dia.


Tuhan Telah Mati dan Kitalah Penontonnya


Dengan palma di tangan, kita berarak merenungkan dan mengingat kembali kisah masuknya Yesus ke Yerusalem. Injil Matius dan Markus menemani kita. Injil Matius berkisah tentang Yesus yang berarak masuk dengan sebuah keledai hina dan disambut banyak orang dengan teriakan Hosanna (yang artinya Tuhan selamatkan Kami) sambil membentangkan daun dan bahkan pakian mereka. Keledai mengingatkan kita pada sejarah dan pengharapan mesianik Israel. “Katakanlah pada putri Sion, lihalah Rajamu datang, ia yang rendah hati duduk di atas keledai” (Yes.62:11). Yesus dengan masuk menunggangi keledai mau mengingatkan orang-orang yang menyambutnya pada pengharapan Israel akan Mesias, tetapi sekaligus pengharapan yang murni seperti yang dimaksudkan Yesaya. Lalu kita bertanya, apa yang bisa diharapkan dari seorang raja yang nampak tak punya kekuatan ini, yang nasibnya kemungkinan besar akan berakhir tragis ini? Saya teringat kisah Simson yang pasti anda kenal (Hak.15:9-20) ia yang memukul kalah orang Filistin dengan kepala keledai. Keledai lagi-lagi adalah undangan untuk berharap sebesar Yesus.
Injil Markus mengisahkan penderitaan Yesus. Menariknya kisah ini diintroduksi oleh kehadiran seorang perempuan berdosa yang datang meminyaki kaki Yesus ketika Ia dan para murid makan bersama di rumah Simon. Bagi Yesus minyak yang diurapkan padanya adalah persiapan untuk penguburan-Nya (Mrk.14:1-9). Lalu kita juga bertanya, seperti para murid, apa yang bisa diharapkan dari Dia yang hidupnya akan berakhir tragis, mati dan dikuburkan seperti kebanyakan orang? Mungkin hal inilah yang menjelaskan kenapa sebagian besar murid lari meninggalkan Yesus ketika Dia ditangkap dan dihukum. Kisah penderitaan ini sangat elegik, bukan hanya karena kita sedih dan perih melihat Yesus dianiaya, apalagi seperti yang difilimkan Mel Gibson, tapi juga karena kita bisa jadi seperti orang-orang yang menyambut Yesus dengan sorak sorai namun akhirnya merasa salah berharap pada orang yang hidupnya akan berakhir tragis. Kalau Nietzche berkata Tuhan telah mati dan kitalah pembunuhnya, lebih bagus mengatakan, Tuhan telah mati dan kitalah penontonnya, karena kita tidak bisa berbuat apa-apa, pun tidak bisa mencegahnya selain membiarkan Dia menyelesaikan tugasnya.
Pada minggu Palma, kita mesti bertanya, apakah kita adalah penonton yang berada di stadion, yang tidak bisa berbuat apa-apa selain membiarkan permainan selesai ataukah kita ikut ‘bermain’, ikut serta dalam perjalanan Yesus mulai ketika Ia masuk ke Yerusalem hingga penderitaan dan kematiannya. Dua tokoh misterius yang dikisahkan oleh dua Injil hari ini membantu kita untuk itu. Peran tokoh pertama, yang menyediakan keledainya untuk Yesus, harus dipandang signifikan. Dia merelakan binatang piaraannya dipakai Tuhan pun dengan resiko bahwa binatang itu kemungkinan besar tidak kembali. Tokoh kedua adalah perempuan berdosa yang meminyaki kaki Yesus dengan parfum yang dibeli dengan segala yang ia punya. Dan menurut Yesus itu adalah parfum untuk penguburan-Nya. Bukankah aneh meminyaki seseorang yang masih hidup, yang belum mati? Bukankah ini terbalik dengan kebiasaan orang yang meminyaki jasad sebelum dimakamkan?
Lalu apa artinya pembenaran Yesus atas tindakan perempuan yang terlanjur dicap Yudas menghambur-hamburkan uang yang lebih pantas diberikan untuk orang miskin itu? Dalam pembacaan saya, meminyaki tubuh Yesus sebelum saatnya melambangkan cinta dan pengharapan seorang murid sejati. Di balik tindakan meminyaki tubuh atau jasad, terdapat harapan akan keabadiaan tubuh, harapan bahwa kematian bukan akhir dari penderitaan. Justru pengharapan seperti inilah yang diharapkan Yesus dari para murid-Nya
Ateisme yang paling besar bagi saya adalah menonton Tuhan yang menderita. Allah telah menderita satu kali selamanya untuk kita melalui penderitaan Yesus. Sekarang kita dipanggil untuk siap menderita bersama Dia dalam kebutuhan-kebutuhan sekitar. Pengingkaran Tuhan yang paling besar adalah membiarkan kebutuhan-kebutuhan itu tak terjawab, membiarkan penderitaan orang-orang sekitar kita berakhir tanpa menemukan penyelesaian terbaik. Kalau Nietzche memaklumatkan kematian Tuhan, kita orang Kristiani, mengikuti seruan Paulus, mewartakan Tuhan yang tersalib, Tuhan yang menderita dan tersalib dalam penderitaan yang juga kita alami untuk sesama yang menderita. Kerelaan dan pengorbanan kita pada masa prapaskah apapun itu bentuknya adalah pernyataan paling besar tentang solidaritas Tuhan yang selalu aktual sepanjang masa. Saya menulis ini untuk seorang sahabat di Bintaro yang ke Situ Gunung- Sukabumi bersama banyak sukarelawan lain meringankan penderitaan saudara kita di sana.

Kondom dan Kesetiaan


Kondom dan Kesetiaan

Eropa baru-baru ini ribut-ribut soal pernyataan Paus tentang preservatif atau di Indonesia lebih kita kenal sebagai kondom, salah satu sarana yang sangat dianjurkan untuk mencegah pandemi AIDS. Kondom, menurut paus, malah bisa beresiko meningkatkan AIDS jika tidak diimbangi oleh humanisasi seksualitas. Eropa, terutama masyarakat Perancis seperti kebakaran jenggot. Pope is wrong, let’s buy condom.. demikian seruan sebuah organisasi yang bereaksi keras atas pernyataan paus.
Lepas dari fakta bahwa pernyataan paus ini selebihnya disetting up oleh media, toh isi pesan itu tetap penting. Humanisasi seksualitas, pembaharuan sikap, mental dan perilaku seksual adalah hal paling penting, dan bukan kondom. Kondom adalah sarana dan bukan prinsip hidup. Paus tidak mengatakan kondom itu tak perlu apalagi buruk (sebagaimana yang dilebih-lebihkan media) tetapi menggarisbawahi apa yang paling perlu, apa yang terpenting.
Kesetiaan dalam perkawinan adalah contoh sikap konkret yang dianjurkan untuk tetap dipelihara, mengingat AIDS tidaklah seperti sakit flu atau pilek yang cukup dengan minum parasetamol kita pulih. Kesetiaan adalah pilihan dan setiap pilihan sudah dengan sendirinya membuat garis batas, garis demarkasi dengan apa yang tidak dipilih. Garis demarkasi adalah batas kedaulatan, batas yang memisahkan kita dengan musuh (Yoh.12.20-23)
Di minggu ke lima prapaskah kita diajak untuk makin mendekati misteri penderitaan Yesus. « Sekaranglah hatiku gelisah. Apa yang dapat saya katakan ? Haruskah saya mengatakan, Bapa bebaskanlah aku dari saat ini ? », demikian firasat Yesus akan penderitaan dan kematiannya. Dan lebih lanjut dia meyakinkan para murid, « sekaranglah saatnya dunia dihakimi ». Jangan salah menyangka penghakiman yang dimaksudkan Yesus adalah sebuah genderang perang surgawi yang dipimpin Gabriel melawan penguasa-penguasa dunia. Bukan itu maksud Yesus. Saat penghakiman lebih berarti saat untuk memilih, saat yang paling menentukan untuk atau bersama Yesus atau melawan Yesus. Dengan mengatakan itu Yesus membuat sebuah garis demarkasi, dan Dia meminta para murid dan kita semua untuk memilih. Dia sudah mendahalui mereka dengan melanjutkan kata-katanya « Tapi tidak, saya tidak meminta Bapa membebaskan saya dari saat ini (pilihan), melainkan saya justru datang pada saat ini (ay.27b).
Yesus mau menegaskan bahwa mengikuti Dia tidak bisa setengah-setengah, tidak mungkin berdiri di garis atau di tengah-tengah. Kita harus memilih sepenuhnya bersama Dia atau sebaliknya. Menjadi Kristiani pun demikian, tidak ada kompromi dan tidak bisa relatif. Kesaksian kita sebagai orang Kristiani di tengah dunia harus jelas dan terang, tidak kompromi apalagi sampai menjadi relativis. Pernyataan paus tentang preservatif/kondom tadi adalah contoh sikap yang jelas dan tidak kompromi terhadap kebenaran. Humanisasi seksualitas adalah salah satu contoh pilihan kita orang Kristiani dan kita (bukan kebetulan melalui ‘polemik’ kondom) diajak untuk menyelamatkan seksualitas, menyelamatkan perkawinan dan tentu saja masyarakat seluruhnya. Merenungkan sengsara Yesus setiap hari jumat pada masa prapaskah membantu kita untuk menemukan arti luhur tubuh kita dan tubuh sesama kita. Makna tubuh ditemukan dalam relasi cinta, dalam hubungan dengan sesama. Sengsara Yesus menggarisbahwai nilai konsekrasi tubuh. Tubuh itu bernilai karena terarah untuk dipersembahkan bagi yang lain. Kesetiaan dalam perkawinan tak lain adalah ungkapan paling konkret dari pengurbanan tubuh bagi pasangan kita. Persetubuhan dalam perkawinan bermakna karena merupakan ungkapan persembahan dan pengurbanan diri bagi pasangan, bukan hanya ekspresi karnal. Di luar perkawinan dan komitmen cinta, persetubuhan adalah pertukaran karnal dan bahkan pelacuran dan kadang merupakan ekspansi atau penguasaan atas yang lain.
Selain menggarisbawahi humanisasi seksualitas, paus juga bicara tentang persahabatan yang sejati yang terungkap dalam solidaritas bersama penderita AIDS. Kita tidak bisa berhenti dengan mendistribusi kondom secara gratis untuk memberatas penyakit ini. Kita dipanggil untuk merawat, mendampingi dan memberi waktu bersama mereka yang menderita. Dana yang dihabiskan untuk proyek kondom misalnya, menurut saya, bisa kita pakai justru untuk lebih baik merawat para korban AIDS. Jalan salib yang kita renungkan setiap jumat mengundang kita untuk melihat lagi solidaritas kita dengan para korban, dengan mereka yang menderita. Mari bersama Yesus, berjuang bersama menyelamatkan dan memuliakan manusia. Mari kita menghidupi kesetiaan dari rumah tangga kita, dari hubungan dekat kita dengan yang lain meskipun hal itu nampak seperti setitik air yang tak ada artinya di tengah lautan luas. Jangan kuatir, belajarlah dari Dia yang dengan setia memikul salibnya sampai kalvari. Kemenangan paskah menunggu kita. Saya tentu saja mendoakan anda semua.

Salam,
ronald,sx
Yaoundé, Kamerun

Ular dan Belas Kasih

Ular dan Belas Kasih

Di pasar Kamerun, suatu kali saya melihat seorang pedagang obat-obatan tradisional yang menempatkan di tengah botol obat-obatannya badan ular yang sudah dipotong setengah. Bau amis sangat menusuk hidung, tapi tetap saja beberapa orang mendekat dan mau menguji kemanjuran obat yang nampaknya diramu dari tubuh ular itu.
Ular adalah satu dari sekian binatang yang mematikan. Sebagian besar dari kita kalau bukan sedapat mungkin menghindarinya, berusaha membunuhnya jika lewat di halaman rumah kita. Binatang bahkan sudah terlanjur dianggap identik dengan kejahatan, penggoda, penghianat atau yang tidak setia dan pendosa khususnya dalam tradisi agama moneteistik.
Injil yang menemani perjalanan kita di minggu ke-empat masa prapaskah ini meski tidak berbicara tentang ular, menghadirkan pada kita kenyatan tentang ular yang sedikit berbeda. Bahkan Yesus menjadikan ular sebagai gambaran penting untuk menjelaskan misteri belas kasih Allah, yang dikatakan Paulus misericordia. “Sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikianlah anak manusia harus ditinggikan. (ayat 14)”. Jika anda membaca kisah keluaran/Exodus Israel, anda tentu ingat bagaimana banyak orang Israel yang mati dipatuk ular tedung setelah mereka tidak lagi mau percaya pada Tuhan karena tidak tahan dengan penderitaan dan ketidapastian selama pengembaraan di padang gurun. Tuhan mengirim ular-ular itu karena Israel tidak setia. Ular itu bahkan menjadi kutuk bagi mereka. Akan tetapi, dalam kisah itu, kita menemukan kembali kesetiaan Tuhan yang mendengarkan permohonan ampun Israel yang akhirnya meminta Musa mengambil satu dari beberapa ular tadi untuk dipajang pada tiang. Dengan melihat ular yang mati dipajang pada tiang itu, mereka yang dipatuk menjadi sembuh. Tuhan menunjukkan belas kasihnya, ia mengubah kutuk menjadi berkat. Kiranya lambang organisasi paramedis internasional terinspirasi oleh kisah penyembuhan ini.
Yesus mengatakan pada para pendengarnya bahwa Ia akan ditinggikan seperti ular di padang gurun itu supaya mereka yang percaya pada-Nya memperoleh hidup kekal (ay.16). Dengan mengatakan ini Yesus menyadari dan meramalkan kematian-Nya. Dia tahu resiko dari semua yang telah dilakukannya. Ia akan dianiaya, dan dibunuh sebagai orang paling terkutuk pada masanya. Salib, adalah hukuman bagi para penjahat kelas kakap pada masa penjajahan romawi. Dan bagi orang Israel, mereka yang mati digantung pada salib adalah orang yang terkutuk.
Dalam pemahaman kita pada umumnya, kutuk adalah bentuk hukuman yang tak terampunkan, yang tidak bisa ditarik kembali. Hormat pada orangtua menghindari kita dari kutuk. Siapa yang melawan, bahkan sampai memukul atau membunuh orangtuanya sendiri biasanya akan terkena kutuk, entah berupa penyakit atau ketidakberhasilan dalam usaha. Kutuk memanifestasikan pada dirinya kepercayaan kita bahwa tak mungkin dosa atau kesalahan yang sedemikian besarnya, bisa terampunkan. Atau dengan kata lain, kita tidak cukup toleran dengan pengampunan. Pengampunan itu harus ada batasnya. Itu hukum yang berlaku dalam pergaulan kita.
Injil minggu ini menempatkan di tengah kita misteri salib yang indah dan mengagumkan, yakni misteri belaskasih Allah. Allah mau menunjukkan bahwa Yesus yang dibunuh dan mati pada salib sebagai orang terkutuk, menjadi berkat melimpah bagi manusia. Berkat itu tidak bisa ditarik kembali atau tak terbatalkan. Inilah belas kasih Allah, Ia sedemikian mengasihi manusia sehingga Ia memberikan putra-Nya yang tunggal supaya kita beroleh hidup kekal (bdk. Efesus 2:4). Dengan kematian-Nya di salib, Allah mengubah apa yang dianggap kutuk oleh Israel menjadi berkat bagi melimpah bagi mereka semua yang percaya pada Yesus.
Misteri belas kasih inilah yang mestinya kita renungkan dalam-dalam pada masa prapaskah ini. Misteri yang sama pula yang mestinya menjadi pendorong bagi kita pergi merayakan sakramen pengakuan dosa, dengan kesadaran seperti anak yang hilang (Lukas 15) kembali pulang karena percaya pada belas kasih bapa-Nya. Tak ada kutuk pada salib, tapi kehidupan. Itulah kemenangan Kristiani yang akan kita rayakan pada paskah. Oleh karena Tuhan mencintai kita sampai sehabis-habisnya, kita terdorong oleh kasih-Nya itu mengubah kutuk jadi berkat, mengubah permusuhan dan perang menjadi perdamaian. Itulah ramuan yang pantas kita berikan untuk menyembuhkan sesama. Selamat merenungkan misteri ini...

PS.: Dalam kebudayaan anda, adakah contoh atau bentuk kutuk lainnya?

Ronald, SX
Yaoundé -Cameroun


Survival for The Fittes dan Pengampunan

Hampir tiga hari lamanya seorang perempuan tidak bicara dengan sang suami selepas pertengkaran seru. Tiga hari itu dilewati dengan hati tidak enak dan mulut yang seperti terkunci gembok berat. Pun walaupun bertemu di meja makan, baik dia maupun sang suami memilih menghabiskan makanan daripada bicara. Hari kedua, hal yang sama terjadi. « Pada hari ketiga, hati terasa penuh, tidak bisa tahan lagi, akhirnya salah satu yang mulai memancing untuk saling bicara, persis ketika anak kami bertanya dan merasa ada sesuatu yang aneh di meja makan. Dan tanpa diketahui anak pula, kami menyelesaikan persoalan kami dengan baik, dengan saling memafkan », demikian cerita ibu ini dalam sebuah pertemuan kelompok umat basis di Yaoundé, Kamerun.
Seorang dari antara yang hadir melemparkan pertanyaan untuk kasus yang berbeda. Dia telah menyelesaikan persoalan dengan rekannya, bahkan sudah berdamai tapi kenapa masih selalu saja tersimpan dalam ingatannya bagiamana rekannya memperlakukan dia, mengkasarinya. Pertanyannya, apakah ingatan semacam itu membatalkan ketulusan pengampunan atau rekonsiliasi yang sudah kita buat ? Perempuan yang sebelumnya bercerita tentang konflik keluarganya juga merasakan hal yang sama walau akhirnya lama-lama hilang.
Pengampunan memang tidak pernah merupakan satu tindakan yang selesai dengan sempurna persis ketika kita melakukan atau menyampaikannya pada orang yang kita ampuni, melainkan sesuatu yang berjalan makin lama makin mencapai kesempurnaannya. Pengampunan itu proses yang menderitakan sekaligus memurnikan cinta kita. Sesuatu yang menderitakan karena, kita seperti yang dialami dua orang tadi, menanggung ingatan yang tidak mengenakkan tentang perlakuan atau perkataan buruk terhadap kita. Ingatan semacam itu normal, dan bagi saya itu adalah petunjuk fundamen tentang karakter kita sebagai manusia, survival for the fittest. Dalam sejarah evolusi kita, survival for the fittest terungkap dalam setiap mekanisme pembelaan dan pertahanan diri. Tak satu pun dari kita yang mau salah, melainkan harus menang dan bisa mengatasi yang lain.
Yesus mengajarkan sesuatu yang bagi saya melawan kecenderungan dasar kita ini, berdamai dengan orang yang bersalah pada kita, bukan sebaliknya. « Saat kamu hendak mempersembahkan persembahanmu, kamu teringat akan saudaramu yang mempunyai sesuatu yang melawan kamu, tinggalkanlah persembahanmu dan pergilah berdamai dulu dengannya » (Mat.5 :20-26). Sekali lagi ingatan tentang perlakuan buruk saudara kita tidak membatalkan kehendak murni kita yang sudah kita wujudkan dengan mengampuni sesama kita. Ingatan yang mendatangi kita itu bagaikan ketika kita menyerahkan diri pada musuh, membiarkan diri kita dicabik-cabik. Ingatan itu bagian dari proses yang kita lalui untuk sungguh-sungguh mengampuni orang. Mengampuni itu menderitakan karena kita merelakan kesanggupan dan hasrat untuk bertahan dan melawan.
Anda sebagai suami atau istri tentu mengusahakan agar setiap keputusan penting tentang hidup bersama harus dijalani dan diputuskan bersama, bukan sepihak baik oleh suami – yang pada masa lampau terlalu memiliki otoritas untuk itu- maupun oleh istri. Namun, saya percaya juga cukup sering anda saling mengalah ketika anda berdua sampai pada keadaan atau jalan buntu, buntu karena dua-duanya tidak rela untuk mengalah. Demokrasi dalam keluarga itu penting, tapi sebagai proses dan bukan tujuan. Cinta itulah tujuan, dan karena cinta kita bisa saling mengalah, demi kebaikan yang lain. Anda bisa periksa diri, mana yang dominan dalam penghayatan hidup berkeluarga anda, cinta atau demokrasi.
Mengalah bukan karena kalah melainkan karena cinta, dan merelakan diri untuk selalu berinisiatif lebih dahulu berekonsiliasi itulah yang menjadikan kita sempurna dan matang sebagai pribadi. Perkawinan dan hidup bersama yang dihayati dengan baik seperti ini justru makin menumbuhkan kepribadian seseorang. Mengalah karena cinta itulah kerendahan hati. Kata Humilité, humble atau kerendahan hati itu berasal dari kata latin humus tanah. Dengan mengembangkan sikap ini kita makin jadi tempat yang subur bagi orang lain untuk tumbuh dan berkembang seperti tanah subur di mana di atasnya banyak tumbuhan hidup. Jadilah rendah hati…




Allah Menyediakan


Allah Menyediakan

Dari warteg hingga restoran besar, mudah sekali menemukan kata tersedia. Tersedia menu ini dan itu beserta semua detailnya. Akan tetapi untuk bias mendapatkan yang tersedia kita mesti membelinya. Ini tentu jauh beda dengan situasi masyarakat sebelum adanya alat tukar dan berkembangnya ekonomi yang tanpa bayar mengkonsumsi semua sumber alam yang tersedia.
Memasuki minggu kedua prapaskah ini, Gereja menawarkan pada kita bacaan-bacaan yang menarik. Kisah persembahan Ishak (Kej.22 :1-34) dan peristiwa transfigurasi Yesus di Gunung Tabor tidak sembarang dipilih. Dua kisah ini jika dicermati dengan baik menghadirkan pada kita sebuah hubungan yang saling melengkapi, menjadi sebuah panorama indah.
Abraham diminta naik ke gunung Moria dan mempersembahkan anaknya Ishak. Ini kiranya menandai hubungan yang paling kritis dan menegangkan antara Abraham dan Allah. Dalam kepercayaannya, marilah mencoba menemukan peliknya perasaan Abraham. Jelas ia terkejut, kenapa Tuhan tega-teganya meminta kembali apa yang sudah diberikannya? Bukankah lebih baik ia tidak memberikan Ishak daripada harus memintanya kembali, pun dengan cara yang tidak bisa diterima Abraham? Namun Abraham percaya dan ia pergi bersama dua pelayannya, percaya pada janji berkat dan keturunan yang disampaikan Tuhan. Jadi logis kepercayaan itu disertai harapan bahwa tidak mungkin Allah demikian.
Di tempat lain, Yesus mengajak dua muridnya Petrus dan Yohanes ke gunung (Mrk.9:2-8). Tidak diceritakan untuk apa. Namun bagi saya, naik gunung adalah bahasa biblis yang mau menyatakan tidak saja tempat tetapi juga pengalaman doa, pengalaman intim dengan Tuhan. Kisah transfigurasi yang menjadi semacam lensa untuk memahami kisah persembahan Ishak secara berbeda. Pergulatan iman dan kasak-kusuk hati Abraham dikisahkan secara naratif oleh penulis kitab tanpa menjelaskan kompleksitas itu. Ajakan Yesus untuk naik gunung tak lain untuk berdoa, mengajak kedua murid-Nya masuk dalam keintiman bersama Allah sekaligus merasakan seluruh pergulatan-Nya: kegelisahan, ketakutan atau keraguan dan juga kepercayaan, pengharapan, cintanya pada Bapa.
Pada peristiwa transfigurasi, kita seperti menemukan kembali kisah persembahan Ishak. Yesus seperti mengenakan pengalaman Ishak dan Abaraham. Ishak dalam pengalaman keputraannya bergantung antara percaya dan tidak kenapa sang ayah harus mengikat dan menghunus pisau untuk menyembelihnya? Dan Abraham pun sama, dalam pengalaman kebapaannya ia seolah bergantung antara percaya dan tidak antara pertanyaan mungkinkan Allah sebrutal ini dan kepercayaan akan janji dan berkat-Nya. Namun Abraham percaya sampai akhir, sampai pisaunya dihunus bahwa Yahwe bukan seperti dewa-dewi Mesopotamia yang menginginkan darah dan daging manusia sebagai persembahan.
Jalannya kisah Abraham sungguh menegangkan. Dititik akhir di mana dia mau pertaruhkan semua kepercayaannya melawan semua keraguannya, Tuhan campur tangan dan menyediakan anak domba jantan sebagai ganti persembahan.Hati dan iman Abraham yang murni dibayar Allah dengan kehidupan dan pembebasan bukan saja bagi Isak tapi bagi hatinya sendiri yang nyaris-nyaris hancur.
Tuhan menyediakan kehidupan, bukan kematian. Dan kita lihat lagi dalam kisah transfigurasi ini Yesuslah anak domba yang disediakan Tuhan, anak domba Allah..Tuhan memberikan dan menyediakan miliknya sendiri, anak-Nya yang terkasih. Perubahan rupa Yesus menunjuk pada kemuliaan kebangkitan yang akan Ia terima setelah kematiannya. Transfigurasi menyingkapkan kemuliaan Yesus, justru karena ia menyatakan dalam diri-Nya Allah yang menyediakan diri, Allah yang tersedia untuk mati bagi manusia. Kisah transfigurasi dengan demikian menyempurnakan kisah persembahan Isaac. Seperti yang dikatakan Yohanes, bukan kita yang telah mengasihi Allah, tapi Allah yang telah mengasihi ita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. (Yoh.4:10). Inilah maksud transfigurasi.
Prapaskah adalah kesempatan indah untuk naik gunung, mencari dan menemukan waktu khusus untuk secara pribadi merenungkan ketersediaan hati Tuhan. Kita mesti sampai pada pengalaman keterpesonaan Petrus: “Tuhan betapa bahagianya kami berada di tempat ini”. Betapa bahagianya hidup dengan selalu menyediakan diri bagi yang lain. Kita minta pada Tuhan dalam masa khusus ini kekuatan untuk sanggup tersedia bagi Tuhan dan sesama. Di situlah kita dapat memahami apa artinya pengorbanan.
Pengorbanan serupa tapi tak pernah sama dengan pemberian. Memberi menunjukkan bahwa atau kita masih punya sesuatu yang sama atau paling tidak kita masih punya kesempatan untuk mengganti, membeli lagi atau mengusahakan apa yang telah kita berikan itu. Pengorbanan lain…Mengurbankan berarti kita merelakan juga semua kemungkinan kesempatan untuk bisa mengusahakannya kembali, seperti merelakan semua diri kita terambil habis. Ingat dan bayangkan Abraham dengan segala perasaannya.
Prapaskah adalah waktu yang tepat untuk melatih diri berkurban bersama Yesus yang tersalib. Kita perlu mengurbankan gengsi kita untuk bisa mengampuni orang yang bersalah pada kita. Kita perlu mengurbankan kesenangan-kesenangan pribadi untuk pertumbuhan saudara kita. Kita perlu juga mematikan komputer dan menonaktifkan internet tidak saja untuk berdoa tapi juga menambah lebih banyak waktu untuk bersama papa, mama, adik, dan saudara kita yang butuh cinta dan perhatian. Ketersediaan hati itu mulai dari situ. Selamat naik gunung dan menemukan panorama indah kasih Tuhan.

Salam,
Ronald,sx
Cameroun, 7 Maret 09

Blogger Template by Blogcrowds