Seliter Air Aqua dan Berharganya Pemberian

Dengan berbekal satu botol Aqua ukuran seliter, saya dan seorang kawan memulai perjalanan ‘tidak biasa’ dari Cakung – Jakarta Timur hingga Bintaro –Jakarta Selatan. Tidak biasa karena kami berjalan kaki menyusuri jalanan besar di bawah terik matahari dan hawa tak nyaman dari kendaraan-kendaraan ramai.
Ceritanya kami pingin melihat Jakarta ‘dari dekat’, tidak seperti dari jauh ketika pesawat dari kampung halaman hendak landing; tidak seperti dari kaca jendela mobil kami yang menyaksikan Jakarta yang selalu makin indah di malam hari. Dan kami juga pingin saling kenal ‘lebih dekat’. Temanku orang Jakarta, anak kesayangan papa dan mamanya. Dan aku orang kampuang nun jauh di mato…
Haus tak terhankan, tapi keadaan tidak mengizinkan kami membeli. Sengaja tak bawa duit. Dan pada saat itu saya rasakan betapa penting sekaligus susahnya meminta. Untung tak sedikit yang berbelaskasih; mengisi botol-botol air kami sampai penuh. Entah…,apa karena tampang kami tidak seperti pengemis benaran, saya tidak ingat lagi. Pokoknya, berkat air pemberian orang-orang baik itu, kami berdua bisa menikmati tidur siang di bunderan HI –sebelum renovasi-sebelum melanjutkan perjalanan panjang kami hingga tiba di rumah pkl.23.00 hari yang sama. Itu tahun 2001. Air saat itu begitu berarti.
Orang Israel selama empat puluh tahun menempuh perjalanan panjang di padang gurun setelah mereka keluar dari penindasan Mesir. Mudah sekali membayangkan betapa menderitakannya perjalanan itu. Mereka melewati padang gurun, menghadapi ancaman badai pasir, gigitan kalajengking dan ular-ular berbisa. Kesulitan yang paling serius adalah makin berkurangnya persediaan makanan; berarti makin berkurang pula peluang untuk hidup dan bertahan. Dan pantas mereka mengeluh pada Tuhan “Kenapa Engkau membiarkan kami binasa di tempat ini? Bukankah lebih baik bagi kami tetap tinggal di Mesir daripada harus mati di sini?”
Tuhan mendengarkan mereka dengan memberikan manna sebagai pengganti roti; sebuah peristiwa yang diyakini sebagai kejaiban dari Tuhan sendiri. Manna kemudian disebut sebagai roti dari surga. Yesus menggugat keyakinan orang Israel tentang roti dari surga itu persis setelah peristiwa perbanyakan roti untuk lima ribu orang (Yoh.6:1-15) yang membuat Yesus makin populer dan lantas dicari-cari orang banyak (Yoh.6:1-24).
Roti dari surga bukanlah manna melainkan Tubuh-Nya sendiri. Manna yang kemudian dijadikan roti oleh nenek moyang mereka hanya melepaskan lapar jasmani mereka; kebutuhan dasar akan makanan (basic needs). Dan ini tak bedanya dengan yang lain. (bdk. 6:32). Roti yang sejati adalah roti yang jauh melebihi pemuasaan kebutuhan jasmani melainkan roti yang membuat hidup jauh lebih berarti, penuh dan bermakna. Dan itulah tubuh-Nya sendiri “Akulah roti hidup, barnagsiapa datang kepada-Ku; ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi.”
Kita pasti butuh makan dan itu mutlak untuk keberlangsungan hidup kita. Akan tetapi, makanan dan terpenuhinya semua kebutuhan dasar lainnya tak pernah cukup membuat hidup kita berarti. Maka kita butuh makanan yang membuat kita berarti. Dan Yesus dalam kisah injil hari ini menawarkan dirinya: “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal; Barangsiapa tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, tidak mempunyai hidup dalam dirimu” (ay.53-54).
Kita bisa langsung merinding mendengar kata-kata ini sebagaimana yang dialami orang Yahudi pada waktu itu: “Bagaimana Ia ini dapat memberikan daging-Nya kepada kita untuk dimakan” (ay.52b); akan menjadi barbarkah kita?...Tentu saja Yesus tidak memaksudkan demikian. Yesus menantang pendengar-Nya, juga anda dan saya untuk memikirkan kembali hubungan kita dengan-Nya. Dasar apakah yang mengkohkan hubungan kita dengan-Nya? Kebutuhan kita ataukah ketertarikan kita akan pribadi-Nya?
Mengikuti Dia berarti pertama-tama bersekutu, bersatu dengan-Nya. “Barangsiapa makan daging-Ku, minum darah-Ku, ia tinggal dalam Aku dan Aku di dalam dia”. Dengan ini Yesus tentu memaksudkan ekaristi sebagai pusat dan kunci hubungan kita dengan-Nya. Kata-kata ini mengantisipasi perjamuan malam terakhir yang baru akan diadakan menjelang kematian-Nya. Akan tetapi, ekaristi itu pun sudah dimulai ketika orang dan para murid-Nya sendiri mendengar dan melakukan sabda-Nya.
Maka makan daging dan minum darah Tuhan adalah pertama-tama undangan untuk membiarkan sabda Tuhan bekerja, mengubah keyakinan-keyakinan kita yang lama untuk terus mengubah hidup kita sendiri. Sabda itu menjadi makanan sesungguhnya jika diterima dengan iman. Sulit membayangkan bagaimana butir-butir manna di padang gurun bisa menguatkan perjalanan orang Israel yang nan lama jika nenek moyang bangsa ini tidak melihat peristiwa ini dengan iman; percaya bahwa Allah mengasihi mereka dan tak ada yang dapat memisahkan mereka dari kasih-Nya. Sabda itu adalah kasih Allah sendiri yang kemudian menjadi darah dan daging, menjadi manusia dalam pribadi Yesus.
Oleh karena itu makan dan minum darah Tuhan adalah undangan untuk mengikuti dengan sempurna cara hidup Yesus; cara hidup yang dengan ringkas dirangkum dalam pembasuhan kaki dan yang dibuktikan nyata-nyata di atas kayu salib. Makan dan minum daging dan darah adalah undangan untuk siap menjadi seperti itu: menjadi orang yang siap memberi waktu, perhatian, pengertian, cinta dan seluruh dirinya bagi mereka yang membutuhkan. Mungkin itu istri anda yang cepat marah tapi sebenarnya ingin dimengerti; anak anda yang terlalu sering anda tinggalkan karena pekerjaan; tetangga-tetangga anda yang selalu sibuk sendiri tapi sebenarnya butuh dukungan dan dorongan anda; bahkan mungkin itu paroki anda yang meski selalu setiap minggu liturginya membosankan tetapi justru sedang memanggil anda untuk berpartisipasi memeriahkannya.
Hari raya tubuh dan darah Kristus mesti kita syukuri bersama dengan memperbaharui komitmen babtis kita untuk menjadi tubuh Kristus yang dibagi-bagikan dan darah-Nya yang dituangkan untuk semakin banyak orang yang butuh cinta dan pengertian. Keaslian dan kekhasan iman Kristiani –yang tidak dimiliki kepercayaan manapun- adalah semangat hidup ekaristis seperti ini. Saya berdoa bagi semua teman-teman dan adik-adik yang merayakan Komuni Pertama hari ini. Saya peluk anda semua dalam doa dan cinta. Hari ini kita tahu bahwa tidak ada yang lebih berharga selain memberi, dan rasanya perjalanan hidup dan cinta kita di dunia terasa hambar jika tanpa ekaristi, bagai seliter air di tahun 2001 itu.


Ketelanjangan dan Rasa Malu Kita: masih tentang Tubuh

Waktu kecil tentu anda pernah dimandikan mama atau papa. Dan kita tidak pernah merasa malu, entah kenapa. Saya sendiri masih ingat lho…Dulu hanya mencak-mencak lebih karena airnya dingin dan daki di badan saya digosok-gosok dengan sikat pakian. Jauh sebelumnya yakni ketika bayi tentu tidak bisa saya ingat, tetapi paling kurang saya yakin pada saat itu tidak ada kebutuhan langsung akan pakian bagus, mahal, bikinan ini dan itu….Tidak. Yang terlihat dan dibaca oleh papa dan mama adalah saya butuh makan, kehangatan dan kenyamanan. Maka mereka menyediakan susu dan bubur, juga selimut.
Perkembangan mode pakian tidak pernah lepas dari sejarah manusia. Bahkan rasanya masuk akal -jika mengikuti alur pikir evolusi- bahwa pakian ditemukan setelah berkembangnya homo sapiens, manusia rasional. Saya lupa persis di mana pakian ditempatkan dalam sejarah, apakah pada zaman batu, logam, atau zaman tulisan. Yang jelas pakian diciptakan manusia lebih kemudian daripada kenyataan manusia yang sejak awal lahir telanjang tanpa pakian.
Pakian menjadi kebutuhan yang mendasar (basic needs) selain makanan dan ruang teduh/rumah karena pakian melindungi manusia dari terik matahari, iklim tertentu yang memberikan ketidaknyamanan fisik bagi manusia. Sifat iklim yang berbeda langsung juga ikut mempengaruhi jenis bahan, ukuran pakian. Orang yang tinggal di kutub utara, Greenland memiliki baju yang jauh lebih tebal dibandingkan orang-orang di daerah tropis.
Pakian juga lahir dari kesadaran manusia tentang siapa dirinya, identitasnya. Laki-laki dan perempuan memilih bahan dan membuat pola pakian yang lebih sesuai dengan keadaan dirinya sebagai laki-laki dan perempuan. Pakian juga langsung menegaskan pengakuan akan nilai dirinya sebagai manusia. Tentang nilai diri di balik pakian, Yudaisme telah lama merenungkan kearifan ini. Kisah Adam dan Hawa yang diceritakan dalam kisah Kejadian sangatlah tepat untuk digali kekayaan maknanya.
Sebutan manusia pertama bagi Adam dan Hawa tidak pernah mengidentikannya dengan peristiwa evolusi manusia. Adam dan Hawa adalah renungan iman orang-orang Yahudi tentang arti diri manusia, tempat dan perannya dalam dunia serta dalam hubungannya dengan sesame dan Tuhan. Kata pertama, lebih menunjuk pada gambaran tentang fakta manusia sebagai makluk paling sempurna yang diciptakan Tuhan, sehingga kerap kali juga disebut sebagai citra Allah. Saya mengetengahkan di sini ulasan penting almarhum Yohanes Paulus II sehubungan dengan kisah ini.
“Kesecitraan dengan Allah tidak hanya dalam konteks kemampuan rasional manusia, karunia kehendak bebas, kemampuan untuk mengetahui dan memilih tetapi juga terletak pada kemampuan untuk memiliki diri sendiri dan memberikan dirinya bagi yang lain.” (Theology of Body, audiensi tgl. 14 Nov 1980, hal.46)
Sebelum Hawa tercipta, Adam dikatakan ‘sendiri’. Inilah kesendirian asali (original solitude). Kesendirian ini menunjukkan kesadaran manusia akan dirinya, arti tubuhnya, juga kesadaran akan fakta bahwa dia membutuhkan yang lain. Kesendirian Adam dijawab dengan kehadiran Hawa. Menurut saya seringkali kita terjebak memahami arti kata manusia pertama dalam artian kuantitatif, bahwa Adam lah yang pertama diciptakan sementara Hawa kemudian. (bdk.TOB, hal.36-38)
Setelah saya ikut mendalami ini juga, saya yakin bahwa kata pertama mesti dilihat dalam artian relasi. Bahwa manusia pertama adalah manusia yang berelasi, bersatu dalam hubungan saling membutuhkan. Pertama juga menunjukkan yang pertama-tama atau yang paling pokok dari manusia yakni: relasi cinta. Hal ini digarisbawahi dengan jelas pada Kejadian 2:23-24:

Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki."
Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.

Relasi itu menurut Yohanes Paulus II ditandai dengan penyatuan badan dan jiwa; menyatu secara seksual-badaniah dan batin spiritual. Manusia seorang diri seperti Adam tidak cukup dan tidak tuntas menyadari dirinnya sebagai pribadi jika tanpa kehadiran yang lain, yakni Hawa. Baru dengan adanya Hawa, dia menyadari itu (bdk. TOB, hal.60-61). Kesecitraan Allah lebih terletak bukan pada kesamaan hidung, mata, mulut, rambut dengan Allah – dan ini juga susah dibuktikan – tapi lebih pada soal hubungan, relasi. Persis hari minggu ini kita merayakan pesta Tritunggal Mahakudus. Iman akan Allah Tritunggal adalah iman akan Allah yang berelasi.
Yang juga menarik dalam kisah ini adalah diperlihatkannya kenyataan manusia pertama sebagai manusia yang telanjang, tanpa pakaian. Meski tanpa pakaian mereka tidak merasa malu sedikit pun. Kejadian 2:2:25. Inilah yang disebut Yohanes Paulus sebagai original nakedness; ketelanjangan asali.
Tubuh yang telanjang ini juga menunjukkan Adam dan Hawa undangan untuk mencintai, untuk bersatu secara badaniah dan rohaniah. Undangan ini adalah panggilan untuk membentuk persekutuan pribadi. Jadi tubuh yang telanjang punya arti asali dan mendasar yakni panggilan untuk saling mencintai. Inilah arti konyugal atau nupsial dari tubuh. Tak adanya rasa malu sebenarnya menunjukkan kepenuhan dan kematangan mereka sebagai pribadi; memperlihatkan juga kemurnian hati dan cinta mereka yang tidak saling melihat diri sebagai objek untuk digunakan, melainkan sebagai anugerah . Mereka saling melihat diri mereka dengan ‘mata Tuhan’ yang melihat segala sesuatu baik adanya (Kej.1:31).bdk. TOB, hal.57-58.
Dalam renungan saya, jika kita melihat struktur tubuh manusia sudah terdapat semacam cetak biru/blue print relasi. Tegak berdiri, tangan membentang dari luar ke dalam untuk merangkul dan memeluk, mata di bagian atas untuk melihat dengan jangkauan /dimensi yang luas, dan seterusnya.
Akhirnya ketelanjangan sejatinya adalah makna terluhur dalam relasi manusia. Ketelanjangan susah dipahami di luar konteks relasi cinta manusia yang satu dengan manusia yang lain. Saya akhirnya baru mengerti kenapa waktu kecil tidak ada rasa malu saat dimandikan mama, yakni ada ada kepercayaan penuh bahwa saya tidak pernah dijadikan obyek tapi dicintai dan diterima tanpa syarat.

Asal Muasal Rasa Malu
Dengan kebebasannya, manusia bisa mencintai sekaligus menolak Allah pada saat yang sama. Inilah resiko yang sudah diperhitungkan Tuhan dengan baik. Tuhan sedemikian mencintai manusia hingga memberikannya kebebasan seperti itu. Jatuhnya Adam-Hawa dalam dosa tidak lepas dari kebebasan yang dimiliki keduaya. Mereka memilih untuk melanggar dan menolak Allah dengan makan buah terlarang. Mereka tidak menghendaki Allah campur tangan dalam hidupnya. Pilihan inilah yang akhirnya membuat dia serta merta bersembunyi ketika Tuhan datang.
“Aku takut dan bersembunyi karena aku telanjang”, demikian kata Adam ketika mendengar Tuhan mendatanginya. Karena pilihan inilah Adam tidak lagi melihat dirinya sebagai partner atau rekan Allah, tetapi lebih sebagai objek dari Allah. Ia mulai takut, khawatir kalau-kalau Tuhan akan menghukumnya. Ia mulai melihat dirinya sebagai objek yang siap dikuasai. Dan pada saat yang sama pula ia mulai melihat Hawa sebagai objek yang bisa digunakan. Yohanes Paulus dengan sangat mengagumkan menulis:
“Kata-kata dalam Kejadian 3:10 (Aku takut karena aku telanjang, dan aku bersembunyi) langsng menunjukkan perubahan radikal tentang arti ketelanjangan asali. Ketelanjangan yang pada mulanya berarti positif sebagai pengungkapkan penuh penerimaan akan tubuh dan seluruh pribadi manusia sekarang berubah menjadi negatif yakni menjadi nafsu” (TOB, 112-113) . Akibat nafsu itulah manusia menjadi malu (shame) dengan dirinya dan tubuhnya sendiri, dan mulai melihat tubuh yang lain sebagai objek pemuasan kebutuhan seksualnya. Nafsu birahi yang menyatu dengan rasa malu dan menjadi Impuls atau dorongan untuk menguasai yang lain sebagai obyek, bukan lagi sebagai partner dan pribadi yang diterima dan dicintai secara penuh. Di pihak lain, rasa malu juga mengandung hal positif yakni kebutuhan untuk self-protection , tidak dilihat dan digunakan orang lain sebagai objek.
Di negeri ini pornografi pernah mau diberantas dengan membuat RUU Anti Pornografi-Pornoaksi. Saya masih ingat pengalaman indah turun ke jalan mengitari Sudirman hingga berhenti di bunderan HI, bergabung dalam pawai Nusantara menolak RUU itu dua tahun yang lalu. Pornografi memang salah besar, ancaman terhadap hubungan tulus manusia karena meluaskan pandangan dan keyakinan tentang manusia sebagai objek daripada subjek relasi. Akan tetapi, pornografi bagaikan lalang di antara gandum, tidak pernah cukup dan tidak bijak diselesaikan dengan membuat sebuah RUU yang juga tidak dipami dengan jelas substansinya. Kami turun ke jalan bukan untuk mendukung pornografi, tetapi dengan keyakinan bahwa RUU itu hanya akan mengenyampingkan, mengendorkan kemampuan pribadi, keluarga, komunitas beragama untuk mendidik anak-anak dan umat mereka membangun hubungan yang tulus dan otentik dengan sesama manusia. Kita memerangi pornografi dari rumah kita sendiri, dari keluarga, dari komunitas iman, dari lingkaran persahabatan kita sendiri.
Indonesia akhir-akhir ini tercatat sebagai salah satu negara dengan pengakses situs pornografi terbesar di dunia. Semoga tulisan ini setidak-tidaknya memberi bahan pertimbangan bagi kita untuk memilih dan mengakses situs-situs mana saja yang berguna bagi hidup dan hubungan bersama yang makin tulus dan sejati. Di mana ada cinta, di situ tak ada rasa malu, tapi ada rasa hormat dan penerimaan tanpa syarat.

Ronald,s.x.

Tubuh Hollywood & Holy Ghost: tentang Tubuh dan Mode
Lebih dari sepuluh tahun silam di kota kecil kesayangan saya, seorang gadis muda sempat menjadi pusat perhatian orang-orang ramai di pertokoan. Dia memakai baju putih dengan potongan yang sedikit pendek di atas pusar, tapi pas membalut tubuhnya yang bagus. Kalau tak salah ingat dia memakai celana panjang yang mengerucut sampai ke betis…Yah..,saya ingat sekarang…Waktu itu saya disuruh mama membeli daging kiloan di pasar dekat pertokoan tadi.
“Seperti Tania…”, demikian bisik-bisik para pedagang daging yang terekam di telinga saya. Masa itu Tania tak lain adalah nama seorang tokoh telenovela yang paling diminati di TVRI. Saya tak ingat lagi judulnya apa, tetapi hampir pasti Eric Estrada yang main dalam film Chips adalah lawan mainnya. Dan Tania dalam telenovela itu adalah gadis manis latinos yang sering berpakian putih ketat di atas pusar.
Tetapi gadis manis yang lewat di pertokoan itu bukanlah Tania. Wajahnya masih menunjukkan kalau dia orang setempat. Gaya dan penampilannya lebih banyak meyakinkan saya kalau dia milik kebudayaan ‘kota besar’. Mungkin seorang mahasiswi sebuah universitas di Jawa yang sedang libur kali…, demikian saya mereka-reka saat itu.
Tiga tahun setelah kejadian di pasar daging kota kesayangan itu, saya menyeberang laut dan juga melewati pulau dan tempat-tempat baru; mendekati tempat dan kebudayaan baru bernama kota besar. Orang-orang Mataram-Dompu yang saya jumpai di perjalanan tidak bisa melepaskan saya dari ingatan akan orang-orang sekampung yang bersahaja. Cara mereka berpakian tidak jauh berbeda dengan orang-orang di desa. Kemiskinan seperti tumbuh bersama di daerah Indonesia Timur. Sempat tiga hari tinggal di Bali, lalu jalan lagi hingga ke Gilimanuk. Masih tertulis di buku harian saya tentang Bus Intercontinental yang sempat berhenti membiarkan rombongan gadis-gadis Bali lewat membawa sesaji untuk Ngaben. Pakian mereka memajang dari dada sampai ke pergelangan kaki, membiarkan kulit mereka yang bersih dibakar matahari; mengembalikan saya pada ingatan akan perempuan-perempuan sederhana di kampung papa yang dengan pakian yang kurang lebih sama mandi sekalian menimba air di sumur air desa.
Setelah tiba di Ketapang dan menelusuri pantai utara menuju Jakarta, perempuan- seperti gadis yang dipanggil Tania tadi- bukan hanya satu. Dan di setelah tinggal di Jakarta, Tania seolah tinggal cerita lama di tempat penjualan daging. Sebab wanita dengan dandanan jauh lebih bervariasi dan kreatif selalu bisa ditemukan di mana saja; sebanding dengan factory outlet yang terus muncul bersama menggeliatnya metropolitan. Bahkan di sini pria pun tidak mau kalah bergaya dan ada adjective baru untuk bilangan lelaki macam ini metroseksual. Mereka juga ke butik, merias diri ke salon dan membentuk tubuh mereka di fitnes-fitnes center. Rasanya bukan hanya property yang tengah tumbuh di JKT, tapi juga tempat-tempat semacam itu beserta aspirasi-aspirasi dan hasrat akan gambaran tubuh yang sempurna.
Dan ketika dua tahun lalu berkesempatan cuti ke kampung halaman, kota kecil kesayangan saya sudah banyak berubah. Dan orang-orang ramai tidak pernah heran lagi melihat lebih banyak lagi ‘Tania-Tania’ baru yang lalu lalang di emperan toko. Tania sungguh tinggal cerita lama di masa lalu saya. Sekarang malah lebih banyak lagi icon baru. Ada Paris Hilton, Britney Spears, Linsay Lohan dan maaf..saya tidak punya bakat mengafal nama-nama beken yang selalu juga menjadi wallpaper handphone dan PC anak-anak muda sekarang ini. Dulu saya hanya tahu kalau mama sering pakai Citra Body Lotion murah meriah atau bedak Fifa no.4 kalau mau ke Gereja atau pertemuan Dharmawanita. Sekarang industri kosmetika juga bertumbuh kembang. Semuanya kembali berjalan lurus dengan cita dan gambaran tentang tubuh yang sempurna.
Jenis bahan pakian yang dipilih, kosmetika yang dipakai selalu berangkat bukan hanya dari kebutuhan untuk merawat tubuh tapi juga banyak dipicu oleh pencitraan tentang gambaran tubuh yang sempurna. Kita, anda dan saya, bisa setiap hari dihadapkan dengan pencitraan tentang gambaran tubuh yang sempurna – yang cukup sering – kita terima begitu saja dari televisi serta media komunikasi massa lainnya. Lebih lagi, pasar meyakinkan kita bahwa kesempurnaan tubuh macam itulah yang mesti kita miliki…”Beli dan beli selalu mengakibatkan cantik dan sempurna” itulah yang seolah-olah mau dikatakan oleh barisan kosmetik multijenis, ribuah mode pakian di atas etalase outlet-uotlet kota-kota kita.
Cukup sering mode kita hubungkan dengan pernak-pernik seputar pakian. Akan tetapi, rasanya mode jauh lebih dari itu; meliputi juga kosmetik, perawatan tubuh dan semacamnya. Maka mode tak lain adalah mode of existence, cara berada orang-orang masa kini; cara siapa saja yang ingin mengambil tempat yang pas di dunia dan di hadapan yang lain. “All we need is to be recognized, affirmed and received. Rasa-rasanya ini lah yang mau dikatakan oleh orang-orang -yang karena impiannya akan kesempurnaan kadang-kadang tidak lagi melihat situasi dan tempat untuk berpakian yang pantas. Makai tengtop atau rok pendek sampai kelihatan upskirt bukan tempatnya di Gereja, samahalnya celana ceplak penuh guntingan. Itu memang bisa nyaman bagi anda yang menerima begitu saja gambaran tentang kesempurnaan tadi, namun tentu pasti tak ngeh bagi orang lain.
Kita bisa saja mengatakan bahwa sikap hati yang tulus adalah hal terpenting dalam ibadah. Akan tetapi, ingat…!, eksistensi kita selalu mengikutsertakan seluruh diri kita, jiwa dan badan serta cara berada kita tadi. Tuhan jangan terlalu cepat dijadikan kambing hitam atau tameng untuk menutup hasrat kita yang sebenarnya mau menggantikan Tuhan. Bukankah dengan pingin agar orang lain terus memandangi dan memperhatikan kita, kita sedang menjadikan diri kita pusat perhatian? Masalahnya bukan hanya soal pantas dan tidak pantas – yang sering kali cukup susah dibedakan – tapi juga permainan-permainan bawah sadar yang sudah terlanjur ditimbulkan oleh pencitraan pasar tentang gambaran tubuh yang sempurna. Kita dibuat yakin bahwa nilai diri seolah-olah ditentukan oleh segala macam kosmetik dan dandanan tertentu.
Memang setiap kita butuh dikenali, diteguhkan dan diterima. Akan tetapi, kita bisa selalu bisa mengungkapkan kebutuhan tadi dengan cara yang lebih pantas dan tepat. Juga patutlah kita memberi perhatian semestinya terhadap tubuh kita, tetapi janganlah kita berhenti menjadikan tubuh berhala baru sebagai tolak ukur yang menentukan nilai kehadiran kita di dunia.
Ada kisah kecil yang diceritakan seorang kawan di Amerika. Dia menghadiri pemakaman sejawatnya. Ketika jenasah diberkati, biasanya diucapkan rumusan “ In the name of the Father, and the Son and the Holy Ghost”. Pendeta mengucapkan rumusan itu pada saat peti diturunkan ke liang lahat. Ia mengucapkan yang sama: In the name of the Father, and the Son, and … “in the hole he goes…!”, tiba-tiba satu suara memotong. Semuanya tertegun. Ternyata seorang anak kecil yang mengucapkan itu. Yah…tubuh tidak akan pernah abadi, kecuali jika kita mau memaknainya secara berbeda. Nantikan tulisan berikut: ketelanjangan – masih seputar tubuh.
Ronald,s.x.

Tubuh Hollywood & Holy Ghost: tentang Tubuh dan Mode
Lebih dari sepuluh tahun silam di kota kecil kesayangan saya, seorang gadis muda sempat menjadi pusat perhatian orang-orang ramai di pertokoan. Dia memakai baju putih dengan potongan yang sedikit pendek di atas pusar, tapi pas membalut tubuhnya yang bagus. Kalau tak salah ingat dia memakai celana panjang yang mengerucut sampai ke betis…Yah..,saya ingat sekarang…Waktu itu saya disuruh mama membeli daging kiloan di pasar dekat pertokoan tadi.
“Seperti Tania…”, demikian bisik-bisik para pedagang daging yang terekam di telinga saya. Masa itu Tania tak lain adalah nama seorang tokoh telenovela yang paling diminati di TVRI. Saya tak ingat lagi judulnya apa, tetapi hampir pasti Eric Estrada yang main dalam film Chips adalah lawan mainnya. Dan Tania dalam telenovela itu adalah gadis manis latinos yang sering berpakian putih ketat di atas pusar.
Tetapi gadis manis yang lewat di pertokoan itu bukanlah Tania. Wajahnya masih menunjukkan kalau dia orang setempat. Gaya dan penampilannya lebih banyak meyakinkan saya kalau dia milik kebudayaan ‘kota besar’. Mungkin seorang mahasiswi sebuah universitas di Jawa yang sedang libur kali…, demikian saya mereka-reka saat itu.
Tiga tahun setelah kejadian di pasar daging kota kesayangan itu, saya menyeberang laut dan juga melewati pulau dan tempat-tempat baru; mendekati tempat dan kebudayaan baru bernama kota besar. Orang-orang Mataram-Dompu yang saya jumpai di perjalanan tidak bisa melepaskan saya dari ingatan akan orang-orang sekampung yang bersahaja. Cara mereka berpakian tidak jauh berbeda dengan orang-orang di desa. Kemiskinan seperti tumbuh bersama di daerah Indonesia Timur. Sempat tiga hari tinggal di Bali, lalu jalan lagi hingga ke Gilimanuk. Masih tertulis di buku harian saya tentang Bus Intercontinental yang sempat berhenti membiarkan rombongan gadis-gadis Bali lewat membawa sesaji untuk Ngaben. Pakian mereka memajang dari dada sampai ke pergelangan kaki, membiarkan kulit mereka yang bersih dibakar matahari; mengembalikan saya pada ingatan akan perempuan-perempuan sederhana di kampung papa yang dengan pakian yang kurang lebih sama mandi sekalian menimba air di sumur air desa.
Setelah tiba di Ketapang dan menelusuri pantai utara menuju Jakarta, perempuan- seperti gadis yang dipanggil Tania tadi- bukan hanya satu. Dan di setelah tinggal di Jakarta, Tania seolah tinggal cerita lama di tempat penjualan daging. Sebab wanita dengan dandanan jauh lebih bervariasi dan kreatif selalu bisa ditemukan di mana saja; sebanding dengan factory outlet yang terus muncul bersama menggeliatnya metropolitan. Bahkan di sini pria pun tidak mau kalah bergaya dan ada adjective baru untuk bilangan lelaki macam ini metroseksual. Mereka juga ke butik, merias diri ke salon dan membentuk tubuh mereka di fitnes-fitnes center. Rasanya bukan hanya property yang tengah tumbuh di JKT, tapi juga tempat-tempat semacam itu beserta aspirasi-aspirasi dan hasrat akan gambaran tubuh yang sempurna.
Dan ketika dua tahun lalu berkesempatan cuti ke kampung halaman, kota kecil kesayangan saya sudah banyak berubah. Dan orang-orang ramai tidak pernah heran lagi melihat lebih banyak lagi ‘Tania-Tania’ baru yang lalu lalang di emperan toko. Tania sungguh tinggal cerita lama di masa lalu saya. Sekarang malah lebih banyak lagi icon baru. Ada Paris Hilton, Britney Spears, Linsay Lohan dan maaf..saya tidak punya bakat mengafal nama-nama beken yang selalu juga menjadi wallpaper handphone dan PC anak-anak muda sekarang ini. Dulu saya hanya tahu kalau mama sering pakai Citra Body Lotion murah meriah atau bedak Fifa no.4 kalau mau ke Gereja atau pertemuan Dharmawanita. Sekarang industri kosmetika juga bertumbuh kembang. Semuanya kembali berjalan lurus dengan cita dan gambaran tentang tubuh yang sempurna.
Jenis bahan pakian yang dipilih, kosmetika yang dipakai selalu berangkat bukan hanya dari kebutuhan untuk merawat tubuh tapi juga banyak dipicu oleh pencitraan tentang gambaran tubuh yang sempurna. Kita, anda dan saya, bisa setiap hari dihadapkan dengan pencitraan tentang gambaran tubuh yang sempurna – yang cukup sering – kita terima begitu saja dari televisi serta media komunikasi massa lainnya. Lebih lagi, pasar meyakinkan kita bahwa kesempurnaan tubuh macam itulah yang mesti kita miliki…”Beli dan beli selalu mengakibatkan cantik dan sempurna” itulah yang seolah-olah mau dikatakan oleh barisan kosmetik multijenis, ribuah mode pakian di atas etalase outlet-uotlet kota-kota kita.
Cukup sering mode kita hubungkan dengan pernak-pernik seputar pakian. Akan tetapi, rasanya mode jauh lebih dari itu; meliputi juga kosmetik, perawatan tubuh dan semacamnya. Maka mode tak lain adalah mode of existence, cara berada orang-orang masa kini; cara siapa saja yang ingin mengambil tempat yang pas di dunia dan di hadapan yang lain. “All we need is to be recognized, affirmed and received. Rasa-rasanya ini lah yang mau dikatakan oleh orang-orang -yang karena impiannya akan kesempurnaan kadang-kadang tidak lagi melihat situasi dan tempat untuk berpakian yang pantas. Makai tengtop atau rok pendek sampai kelihatan upskirt bukan tempatnya di Gereja, samahalnya celana ceplak penuh guntingan. Itu memang bisa nyaman bagi anda yang menerima begitu saja gambaran tentang kesempurnaan tadi, namun tentu pasti tak ngeh bagi orang lain.
Kita bisa saja mengatakan bahwa sikap hati yang tulus adalah hal terpenting dalam ibadah. Akan tetapi, ingat…!, eksistensi kita selalu mengikutsertakan seluruh diri kita, jiwa dan badan serta cara berada kita tadi. Tuhan jangan terlalu cepat dijadikan kambing hitam atau tameng untuk menutup hasrat kita yang sebenarnya mau menggantikan Tuhan. Bukankah dengan pingin agar orang lain terus memandangi dan memperhatikan kita, kita sedang menjadikan diri kita pusat perhatian? Masalahnya bukan hanya soal pantas dan tidak pantas – yang sering kali cukup susah dibedakan – tapi juga permainan-permainan bawah sadar yang sudah terlanjur ditimbulkan oleh pencitraan pasar tentang gambaran tubuh yang sempurna. Kita dibuat yakin bahwa nilai diri seolah-olah ditentukan oleh segala macam kosmetik dan dandanan tertentu.
Memang setiap kita butuh dikenali, diteguhkan dan diterima. Akan tetapi, kita bisa selalu bisa mengungkapkan kebutuhan tadi dengan cara yang lebih pantas dan tepat. Juga patutlah kita memberi perhatian semestinya terhadap tubuh kita, tetapi janganlah kita berhenti menjadikan tubuh berhala baru sebagai tolak ukur yang menentukan nilai kehadiran kita di dunia.
Ada kisah kecil yang diceritakan seorang kawan di Amerika. Dia menghadiri pemakaman sejawatnya. Ketika jenasah diberkati, biasanya diucapkan rumusan “ In the name of the Father, and the Son and the Holy Ghost”. Pendeta mengucapkan rumusan itu pada saat peti diturunkan ke liang lahat. Ia mengucapkan yang sama: In the name of the Father, and the Son, and … “in the hole he goes…!”, tiba-tiba satu suara memotong. Semuanya tertegun. Ternyata seorang anak kecil yang mengucapkan itu. Yah…tubuh tidak akan pernah abadi, kecuali jika kita mau memaknainya secara berbeda. Nantikan tulisan berikut: ketelanjangan – masih seputar tubuh.
Ronald,s.x.

Sang Penghibur

Sang Penghibur
Hampir di mana saja di kebudayaan manusia, menjelang kematian, orang tua memanggil anak atau keluarga terdekat untuk berkumpul. Biasanya diberikan petuah-petuah serta petunjuk-petunjuk tentang pembagian warisan. Saat-saat perpisahan ini tidak selalu menjadi peristiwa menyedihkan dan mengguncang-guncang hati. Ada yang justru menunggu-nunggu karena ingin memastikan seberapa jatah bagian warisan yang akan diterima. Saya pernah kesal dengan salah satu ipar jauh saya yang suatu waktu pernah duduk nongkrong main kartu dan membiarkan mertuanya menunggu ajal. Emmanuel Levinas rasanya betul waktu dia bilang bahwa kematian sering membuat apa yang pernah kita miliki dunia tinggal sebagai ‘jarahan bagi orang lain’.
Sebelum kematian-Nya, Yesus mengadakan jamuan makan perpisahan dengan para murid. Akan tetapi, dia tidak meninggalkan warisan sebagaimana yang umumnya dibuat. Tak ada pembagian kekuasaan – sebagaimana pernah diharapkan anak-anak Zebedeus (Mrk.10:35-45). Ia dalam jamuan makan malam itu, meninggalkan sebuah cara hidup, rangkuman dari seluruh ajaran-Nya, yakni berlutut membasuh kaki dan melayani meja; sesuatu yang kiranya pada saat itu langsung menjungkirbalikkan harapan duniawi dari mayoritas murid. Dia meninggalkan sesuatu yang sama sekali lain: mengasihi sebagaimana Dia telah mengasihi.
Perasaan-perasaan sedih yang kian menggumpal di hati para murid dicairkan dengan janji-janji pengharapan: “Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan aku pergi untuk kembali kepadamu dan membawa kamu ke tempat di mana Aku berada” (Yoh. 14:3). Kata-kata ini memang mengorientasikan para murid dan kita semua pada masa depan, saat mana kita mengalami puncak persekutuan dengan Kristus dalam kedatangan-Nya yang kedua (parousia). Akan tetapi, kata-kata yang sama juga menarik masa depan itu ke saat ini, menegaskan pada kita bahwa Ia tetap tinggal sekarang ini, di sini, di tengah sejarah…, jika kita punya hati untuk mencari dan melihat-Nya.
Dan untuk tetap melihat-Nya, Ia menjanjikan kita Penolong yang lain, yakni Roh Kudus yang menyertai kita selamanya. Roh itu membantu kita tetap bisa menemukan Dia meski dunia tidak mengenal-Nya; tidak juga memberi tempat bagi Dia. Dunia yang dimaksud tak lain dengan segala bentuk pengingkaran terhadap kebenaran, keadilan dan cinta kasih, yang mewujud dalam perang, pemiskinan, perusakan lingkungan, politik yang korup, ekonomi yang curang dan tak adil, eskapisme-eskapisme modern dalam budaya dan teknologi instant.
Berkat Roh Kudus, kita bisa dibantu untuk selalu bisa menemukan dan menjumpai Tuhan dalam segala sesuatu, meski dunia tidak melihatnya; meski jarak pandang kita mulai kabur oleh hiburan, advertasi dan banyak pandangan dunia lain yang masuk lewat televisi dan internet di bilik-bilik rumah kita; kita tergoda untuk merelatifkan antara apa yang baik dan yang paling baik; melihat uang atau harta sama pentingnya dengan kasih saying. Maka kita sudah merasa cukup mencintai keluarga dengan meninggalkan uang yang cukup di rekening istri buat belanja sebulan, atau membelikan satu Volkswagen baru untuk ultah anak tanpa merasa penting hadir pada saat yang membahagiakan itu. Kita juga sering merelatifkan penghargaan terhadap kesejahteraan karyawan kita demi keuntungan usaha kita sendiri. We must keep on surviving, berkejaran dengan waktu dan berkompromi dengan ekonomi.
Tuhan tidak meninggalkan kita sebagai yatim piatu. Dia menganugerahkan Roh Kudus, Sang Penghibur yang akan terus mengajarkan kepada kita kearifan hidup yang jauh lebih banyak dari yang pernah kita bayangkan. Roh itu pula yang meyakinkan kita bahwa sabda-sabda Yesus yang kita dengar dan kita tidak pernah kosong tanpa arti, malah sungguh hidup dan menggerakkan kaki dan tangan kita.
Lalu kita bertanya, sebenarnya Roh yang dimaksudkan Yesus itu apa sih? Apakah Roh itu adalah kenyataan lain di luar diri-Nya? Kematian Yesus di salib adalah pernyataan pemberian diri-Nya bagi Allah, demi kita. Roh tak lain adalah buah cinta Yesus pada kita. Di pihak lain Roh itu adalah buah cinta antara Yesus sang Putra dan Bapa. Cinta selalu menghasilkan buah. Yesus sendiri mengatakan: “ Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu” (Yoh.15:9). Maka kepergian Yesus (baca: kematian, kebangkitan hingga kenaikan-Nya ke surga) bukanlah perpisahan yang menderitakan, melainkan saat perjumpaan baru dengan Allah. Dengan mati Yesus memberikan hidup Allah sendiri – yang telah mengasihi-Nya – bagi kita. Bukankah Dia mengatakan bahwa biji harus mati agar menghasilkan buah?
Dengan bangkit dan naik ke surga, Dia membiarkan Allah, melalui Roh Kudus – buah kasihNya dengan Bapa – memperbaharui hidup kita dan menghantar kita pada pengharapan akan persekutuan yang kekal dengan-Nya. Dia sendiri juga menegaskan:
“ Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jikalau Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu (Yoh.16:8).
Pada janji akan Roh Kudus inilah harapan kita berdasar dan pada warisan cinta kasih cara hidup Kamis Putih, kita punya modal abadi untuk terus berjuang dalam hidup. Maka merayakan Pentakosta, tidak pernah dilepaskan dari seluruh sejarah keselamatan yang puncak-puncaknya kita rayakan mulai Pra-paskah hingga Paskah. Lilin paskah yang terus menyala selama 50 puluh hari adalah ingatan sekaligus undangan untuk terus memelihara iman paskah ini: bahwa tidak mungkin orang yang mengasihi tanpa batas mati selamanya, bahwa mengasihi itu selalu menghasilkan buah. Peristiwa paskah yang kita rayakan hingga memuncak pada Pentakosta bagaikan perjalanan memelihara pesemaian dalam hati kita untuk menerima dan membiarkan benih Roh Allah sungguh-sungguh tumbuh, menguncang-guncang dan menggerak-gerakkan hidup kita untuk mengubah dunia ini. Pentakosta adalah kesempatan untuk memperbaharui janji babtis – dengan mana kita mendapat anugerah Roh Allah, untuk selalu sekali lagi membiarkan Roh Kudus, yakni Kasih Allah sendiri mendesak, mendorong, menggerak-gerakkan tangan dan kaki kita untuk mengerjakan kebenaran, merancang keadilan, mengatapi hidup bersama dengan penerimaan dan pengampunan, mewarnai hidup harian dengan kesetiaan dan tanggung jawab, dan menandai dalam hidup kita pilihan untuk selalu menjadi bagian dari mereka yang miskin dan papa.

Selamat Hari Raya Pentakosta
Semoga Kasih Kristus Mendorong Anda
Ronald,s.x.


Anna Maria dan Kenapa Bisa Segila Ini?

Wajah cantik Anna Maria, istri aktor kondang Roy Marten, masih saya ingat ketika berkunjung ke Gereja Ortodoks di daerah Jakarta Timur. Samahalnya dengan penganut Ortodoks lainnya, Anna Maria membuka kerudung yang menutup di kepala, lalu mencium salah satu ikon di Gereja itu lalu duduk.
Anna Maria yang sama, saya lihat di televisi dua atau tiga bulan lalu saat menjenguk suaminya yang untuk kedua kalinya tertangkap berpesta shabu. Saya kagum padanya yang tetap tegar meski letih dan kecewa tidak bisa disembunyikan di wajahnya. Dari Jakarta ia ke Surabaya untuk menguatkan Roy. Padalah, sebagaimana yang diberitakan oleh surat kabar, bukan sekali ini saja Roy Marten berurusan dengan polisi.
Peristiwa yang dialami Anna Maria hadir dalam benak saya ketika merenungkan dialog mengetarkan antara Petrus dengan Yesus yang bangkit (Yoh.21:14-19). Dialog ini didahului oleh perjumpaan Petrus, Tomas, Natanael, anak-anak Zebedeus (Yakobus dan Yohanes) dan dua orang murid lain dengan Yesus di pantai danau Tiberias (Yoh.21:1-14). Nama-nama yang disebutkan di atas, jika anda ingat dengan baik, adalah orang-orang yang bisa dibilang punya ‘rapor merah’ dalam perjalanan kemuridan. Yakobus dan Yohanes adalah dua murid yang minta pada Yesus supaya mendapat posisi politik apabila Yesus menjadi raja (Mrk.10:35-45). Natanael adalah yang pernah meragukan kuasa Yesus – apa benar ada sesuatu yang baik datang dari Nazaret (Yoh.1:48). Dan Petrus sendiri lebih lagi. Dialah yang berusaha menghalang-halangi perjalanan Yesus – dengan mencegah Dia pergi menghadapi ancaman orang-orang Yahudi (bdk. Mrk.8:31-33). Ia juga yang menyangkal Yesus bahkan sampai tiga kali.
Kematian Yesus dan simpang siur seputar kebangkitan-Nya rasanya seperti membuat mereka serba salah, mungkin juga kecewa dan putus asa. Ini nampak dengan jelas dari kenyataan bahwa mereka –setelah kembali menjalan ikan – tidak menangkap apa-apa semalam-malaman (ay.3b). Baru ketika Yesus menampakkan diri di tengah mereka, menyuruh mereka untuk kembali menangkap ikan, dan bersama menikmati hasil tangkapan itu, mereka seperti kembali menemukan harapan, selain bahwa akhirnya mereka mengalami sendiri Yesus yang bangkit itu.
Dan pada saat sarapan, pertanyaan mengejutkan disampaikan Yesus pada Petrus: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” Yesus mau tahu apakah dia – yang pasti paling merasa bersalah dengan rapor merahnya tadi- justru jauh lebih mengasihi Yesus dibandingkan mereka yang lain, yang kesalahannya lebih kecil atau malah yang sudah merasa suci dan tak berdosa. Petrus tidak pikir panjang dan langsung dengan enteng menjawab bahwa ia tentu mengasihi Tuhan. Kepolosan Petrus sungguh saya kagumi. Dan rasanya ada yang wajar di situ. Petrus kiranya berpikir bahwa Yesus iseng-iseng saja bertanya. Apalagi baru saja selesai makan. Tidak ada sesuatu yang serius di situ. Makanya, Petrus menjawab yang sama, ketika Yesus untuk kedua kalinya bertanya. Akan tetapi, ketika untuk ketiga kalinya Yesus bertanya, Petrus baru tahu bahwa Tuhan tidak main-main; sema seriusnya ketika ia tiga kali pernah menyangkal Yesus. Pantaslah kemudian Petrus sedih (ay.17).
Yesus tiga kali bertanya untuk memastikan kesungguhan Petrus untuk tetap mengikuti Dia dan mengasihi-Nya. Yesus menuntut dari Petrus sesuatu yang lebih daripada sekedar membuka baju dan terjun dari perahu ke danau ketika pertama kali melihat Yesus yang bangkit berdiri di pinggir pantai (ay.7). Juga tidak cukup dengan hanya percaya bahwa benar-benar Tuhan bangkit. Iman kebangkitan selalu sebanding dengan pembuktiannya dalam cinta yang konkret. Yesus mau memastikan apakah Petrus tetap mengasihi-Nya, melaksanakan semua cita dan karya-Nya pun ketika Ia tidak lagi bisa selalu bersama-sama murid-murid-Nya seperti dulu.
Pertanyaan yang sama juga ditujukan pada anda dan saya, apa memang kita tetap memilih mencintai Dia persis ketiga kita terbukti gagal mencintai Dia. Mestinya hari ini saya tidak kebut-kebutan di jalan, tetapi nyatanya saya tetap ngebut. Mestinya saya yang pertama tersenyum ketika karyawan yang saya damprat kemaren berpapasan di koridor, tetapi kenapa bibir tetap terkatup dan mata saya berpaling darinya? Rasa-rasanya pertanyaan itu pantas menggetarkan kita semua: apakah sebagai orang Katolik kita masih tetap mau mencintai meski hampir jelas kelihatan tidak ada lagi alasan untuk mencintai. Bukankah kondisi istri yang rapuh, hanya duduk di kursi roda adalah alasan yang jauh lebih kuat untuk pergi mencari perempuan lain? Atau sang suami yang terbujur kaku dalam keadaan koma sudah lebih dari setahun – yang lebih banyak menghabiskan uang dan waktu –sudah cukup menjadi alasan untuk menghentikan seluruh perawatannya, dan membiarkan dia mati perlahan? Bukankah kecanduan narkotika dan dua kali dipenjara sudah cukup menjadi alasan bagi Anna Maria menceraikan Roy Marten? Lalu kenapa perempuan ini masih saja tetap memeluk dan mencium sang suami yang sudah tidak lagi disukai khalayak ini?
Kebesaran hati kita untuk mencintai Allah terletak dalam pilihan untuk selalu tetap mencintai Dia setiap kali kita satu kali gagal total mencintai Dia. Inilah iman sebagaimana dimiliki Petrus “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau (ay.17b). Dan pembuktian cinta itu terjadi ketika kita juga mau selalu memilih untuk tetap terus mencintai sesama kita setiap kali kita menemukan satu alasan baru untuk tidak mencintainya.
Saya sampai sekarang masih tetap kagum pada mama saya. Dia mengajarkan saya untuk selalu mencari-cari alasan untuk tetap mencintai orang lain. Padahal, saya tahu dan kenal beberapa orang yang pernah buat cerita dan gosip macam-macam tentang ibu saya. Padahal saya tahu juga kadang-kadang keluarga dan kebudayaan saya tidak adil terhadap perempuan. Sebagai seorang anak perempuan, dia tidak punya hak atas warisan dari orangtua. Warisan hanya diperuntukkan bagi anak laki-laki. Perempuan hanya bisa mendapatkan warisan jika diberi atau berkat belas kasih saudara laki-lakinya. Akan tetapi, mama terus saja selalu mencari-cari alasan untuk mencintai meski akhirnya dia memang tidak pernah mendapatkan sejengkal pun tanah warisan orangtuanya gara-gara ketamakan keluarganya sendiri. Tuhan, saya ingin bertanya masih berapa banyak lagikah alasan untuk mencintai sampai-sampai ibuku bisa se’gila’ ini? Kuatkan iman saya.

Ronald,s.x

Blogger Template by Blogcrowds