Di Tepinya Sungai Babilon – Keputusasaan Kita

Dua puluh oktober 1994 tidak pernah saya lupakan. Saat itu saya baru sadar bahwa manusia toh harus mati juga. Papa saya yang baru lima hari di rumah sakit setelah divonis gagal ginjal dan persis di hari kelima stock oksigen di R.S. menipis. Dokter meminta pihak keluarga mengusahakannya sendiri. Dan jadilah hari itu, hari minggu, saya menemani paman mencari tangki oksigen dari bengkel mobil yang satu ke bengkel mobil lainnya. Hari minggu cukup menyulitkan kami, soalnya bengkel-bengkel pada tutup semua. Saya berlari sambil nangis membayangkan bagaimana jadinya jika betul-betul tak satupun bengkel yang buka, papa saya pasti mati hari itu.
Syukurlah sebuah bengkel meski tutup mau merelakan oksigennya kami sewa. Hati saya lega. Memang nyawa papa saya tidak banyak tertolong oleh oksigen itu. Dia meninggal senin dini hari. Hati saya tercabik-cabik, mengiringi keluarga yang mengusung jenasah papa dari rumah sakit ke rumah duka, dini hari itu juga ketika semua yang lain masih terlelap tidur. Mama saya terisak panjang dan lama. Saya tahu dia yang merasa paling banyak kehilangan. Kepergian papa bukan hanya kehilangan tapi juga beban dan panggilan baru baginya: menjadi ayah sekaligus ibu untuk lima orang anak yang masih kecil-kecil.
Dan itu lebih dari lima belas tahun. Baru-baru ini seorang sahabat, dokter yang usianya masih sangat muda, 27 tahun, menderita kekurangan Kalium akut dan sekarang sedang dirawat di Bethesda - Yogyakarta. Orang sulit percaya kenapa penyakit itu begitu cepatnya sampai membuat hidup sang teman sudah hampir tak terolong lagi. Semua keluarga saat ini sedang berkumpul dan berdoa. Ibunya terus terisak dan memukul-mukul dada. Suaminya yang pendiam lebih diam lagi dan hanya membelai dan menenangkan dua anaknya yang masih kecil. Di hadapan penderitaan, khususnya mereka yang berada di tepian batas kehidupan dan kematian, kita tak bisa berbuat banyak. Penderitaan orang-orang yang kita cintai seringkali seperti mencabut seluruh keyakinan, harapan dan semangat kita. Bahkan tidak jarang semangat kita untuk terus menanggung hidup kita menjadi pudar. Tidak sedikit yang malah bunuh diri. Kematian seperti menghabiskan segala makna…
Saya jadi ingat pengalaman orang Israel waktu mereka dibuang di Babilonia. Hidup menderita di pembuangan juga seolah melumpuhkan total harapan dan kerinduan mereka. Ratapan mereka sangat indah ditulis dalam sebuah mazmur yang pada tahun 70-an populer setelah menjadi hits yang dinyanyikan oleh Boney M, By The River of Babylon
By the rivers of Babylon, there we sat down, yea, we wept, when we remembered Zion. We hanged our harps upon the willows in the midst thereof.
Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis, apabila kita mengingat Sion.
Pada pohon-pohon gandarusa di tempat itu kita menggantungkan kecapi kita, dst..

Israel menderita dan hampir berhenti berharap. Menggantungkan kecapi adalah pernyataan keputusasaan, ketidakberdayaan di hadapan penderitaan dan kegagalan. Ditinggal pacar setelah lima tahun berhubungan serius pasti mengaduk-aduk isi hati dan hidup seperti kota mati dengan seribu sepi; gagal masuk fakultas kedokteran UNS Solo pernah membuat seorang sahabat patah orang dan setahun tidak pingin lagi ke Gereja. “Tuhan seperti selalu menjauhkan keberuntungan dari hidup saya, “ begitu pengakuannya ketika saya mengunjungi dia pada Pesta Paskah baru lalu. Stroke yang melumpuhkan setengah tubuh seorang bapak yang setiap minggu saya kunjungi di Panti Usada Mulia enam tahun lalu, membuat dia tidak pernah bersemangat makan dan malah membuat daya tahan tubuhnya makin hari makin melemah. Tentang yang terakhir, saya selalu menemukan kasus kurang lebih serupa, di mana meski obat terbukti manjur tapi toh orangnya begitu lamban sembuh – justru karena ketidakmauan untuk sembuh. Mereka putus asa. Dan keputusasaan secara psikologis bagaikana daya yang mementalkan efek penyembuhan dari obat yang bersangkutan (tolong teman psikolog komentari ini).
Karangan bunga yang diletakkan para sanak keluarga di depan rumah saya saat kematian papa hingga di pusaranya masih tersimpan dalam album keluarga. Saya pernah bertanya diri, kenapa bunga selalu dipakai juga pada saat perkabungan. Apa yang mau disampaikan melalui tradisi luhur manusia yang universal ini? Kenapa setiap kali mengunjungi si sakit kita hampir selalu membawa bunga?
Paling tidak bunga mengungkapkan sikap lain dari manusia di hadapan penderitaan dan kematian orang-orang yang dikasihi. Bunga menandakan pengharapan, tanda yang seolah-olah menyatakan bahwa “kamu tidak akan mati. Kami ingin kamu tetap hidup”; tanda yang juga mengungkapkan penyambutan dan dukungan tanpa batas: kami ingin engkau sembuh dan segar mewangi seperti bunga ini. Bunga bagaikan berbicara langsung tentang keabadian, yang juga seperti mau bilang…Apa pun yang kamu alami, entah hidup entah matimu, tidak ada yang dapat memisahkan kamu dari cinta kami padamu. Dan saya rasa keyakinan terakhir hanya mungkin karena iman kita pada kasih Allah yang tak terbatas; iman kita pada kasih Allah yang menderita bersama kita, yang ikut gagal bersama kita. Dan kembali, di hadapan penderitaan dan kematian orang-orang yang dikasihi, kita percaya tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Tuhan. Keyakinan inilah yang mesti menjadi dorongan utama bagi rencan kita misalnya hari ini meneguhkan teman kita yang gagal dan putus asa; pulang kantor singgah di toko bunga sebelum menjenguk sahabat kita yang terbaring di rumah sakit; bersatu hati berdoa mohon kekuatan dan kesembuhan bagi mereka yang menderita. Jika anda hari ini memandang bunga di taman, doakanlah bagitu banyak orang sakit yang tidak begitu yakin bahwa mereka dicintai, yang tidak begitu percaya bahwa mereka bisa sembuh….Saling mendoakan.

Aku Melihat Tuhan

AKU MELIHAT TUHAN!

Paskah telah lewat, bisa jadi hilang begitu saja bersama semua tugas, semua rencana, semua target, semua agenda yang ter-scheduled rapi dalam keseharian. Paskah seperti semua perayaan lainnya tetap tinggal perayaan musiman, yang efeknya hilang serta merta bersama berakhirnya perayaan. Apalagi sekarang hidup kita seperti selalu dikepung dengan banyak acara, banyak janji dan komitmen. Nanti ke sini, besok ke situ dan lusa ke sana. Pun juga kita selalu bisa terlibat dalam acara-acara bikinan program televisi. Yah…kita terus berlari bersama dunia yang juga berlari dan bisa sering kita tak tahu kita sedang ke mana. Dan paskah tinggal sebagai satu dari sekian acara yang pernah kita schedule-kan di masa lampau.
Paskah meninggalkan pesan yang panjang dan menantang, tapi juga seringkali susah. Makanya, gema paskah dalam liturgi terus dirayakan selama lima pekan berturut-turut. Kita bisa menelusurinya dengan mengikuti hubungan dinamis antara dua kisah tentang kebangkitan Yesus. Yang pertama adalah kisah penampakan kepada Maria Magdalena (Yohanes 20:11-18) dan yang kedua adalah kisah penampakan kepada Tomas (Yoh.20:24-29). Dalam renungan sebelumnya tentang bunga citra lestari, telah dikatakan bahwa Maria Magdalena adalah orang pertama yang berjumpa dengan Tuhan yang bangkit. Pengalamannya melihat Tuhan adalah pengalaman yang istimewa baginya: “Aku telah melihat Tuhan (ay.18b). Iman kebangkitan, iman paskah mulai dari keyakinan serupa Maria: bagaimana mungkin orang yang sedemikian mengasihi tanpa syarat dapat mati selamanya! Dengan iman inilah Tuhan menampakkan diri pada Maria. Pengalaman Maria melihat Tuhan tetaplah menjadi pengalaman dia, bukan pengalaman kita. Maka kita tidak bisa menjadikan pengalaman Maria sebagai jawaban ketika misalnya seorang bertanya pada anda, bagaimana kita bisa membuktikan bahwa Tuhan bangkit? Toh pengalaman itu sudah hampir dua ribu tahun yang lalu. Akan tetapi, sikap iman Maria bisa menjadi sikap iman kita meskipun kita tidak melihat dengan kasat mata Kristus yang Bangkit.
Mari kita memberi perhatian pada kalimat “aku melihat Tuhan”. Kalimat itu adalah pernyataan yang tidak melulu demonstratif tapi sangat mendalam, mau mengatakan bagaimana Tuhan sungguh telah mengubah hidupnya, sejak pertama kali berjumpa dengan-Nya waktu tujuh setan diusir daripadanya hingga melihatnya menampakkan diri. Sejak pertama kali berjumpa, hidupnya mulai berubah, mulai baru. Dan pilihan hidup Maria untuk mengikuti Yesus justru diteguhkan dengan pengalaman melihat Tuhan yang bangkit. Mencintai sebagaimana Yesus telah mencintai dia ternyata tidak pernah mati bahkan oleh mautpun. Inilah pengharapan baru yang ditemukan Maria. Pernyataan “aku melihat Tuhan” akhirnya bukan melulu melihat sosok Yesus tapi memahami, menemukan kebenaran bahwa mencintai seperti Yesus tidaklah pernah sia-sia. Pesan menantang pertama Paskah adalah bagaimana mewartakan Yesus yang bangkit, yakni tidak lain menunjukkan kepada orang bagaimana iman pada Yesus telah mengubah hidup kita. Jawaban inilah yang mesti kita berikan pada orang yang minta bukti tadi.
Kisah penampakan Yesus pada Tomas didahului dengan penampakan pada para murid lainnya (ay.19-23). Maka tidak heran jika mereka mengabarkan pada Tomas: “Kami telah melihat Tuhan!” (ay.25). Kalau kita memerhatikan dengan saksama kisah penampakan kepada para murid ini, nampaknya kalimat ‘kami telah melihat Tuhan’ bukan melulu sebagai pernyataan demonstratif meskipun itu tetap merupakan pengalaman istimewa untuk mereka – dan bukan juga pengalaman kita. Pernyataan ‘kami melihat Tuhan’ adalah pernyataan iman komuniter dalam ekaristi, di mana mereka berkumpul pada hari pertama minggu itu (sehari setelah sabat, ay.19). Untuk mengalami buah kebangkitan, buah pesta paskah, mengalami kebangkitan Yesus tidak pernah lepas dari relasi dengan Gereja, tubuh Kristus sendiri. Inilah antara lain yang mau disampaikan melalui kisah Tomas. Tomas tidak melihat Yesus yang bangkit justru ketika ia sedang berada ‘di luar’ persekutuan dan ‘di luar’ ekaristi. Mungkin saja dia masih mencari-cari bukti-bukti lain, hal-hal lain yang meyakinkan dia tentang kebangkitan Yesus, yang menjamin bahwa hidupnya saat itu sedang tidak salah.
Maka tantangan Paskah yang kedua adalah mengundang kita untuk kembali pada cara hidup ekaristis. Dalam ekaristi kita mendengarkan sabda Allah. Ingat bagaimana dua murid Emaus akhirnya melihat Tuhan persis setelah mereka mengakrabi kitab suci dan merayakan ekaristi (Lukas 24:13-35). Dalam ekaristi, kita ikut serta dalam korban Yesus, menerima tubuh dan darah-Nya lalu diutus untuk berbagi hidup bagi dunia. Inilah cara hidup ekaristis.
Pernyataan Tomas yang minta bukti tidak lain mewakili segala kecenderungan kita yang rapuh. Kita suka pada hal-hal sensasional, yang melipur indra dan rasa, yang menyenangkan, yang percaya bahwa berkah Tuhan nampak pada hal-hal yang terlihat, mungkin uang, pekerjaan yang sukses, dst.nya dan sering mengutuk penderitaan.
“ sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya.”(ay.25)
Tomas baru mengalami Yesus yang bangkit dalam ekaristi (ay.26). Dialognya dengan Yesus seperti mewakili hubungan kita dengan Yesus dalam komuni kudus. Di hadapan Yesus yang menghunjukkan diri-Nya, “taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku…”(ay.27) adalah undangan untuk bersekutu dan bersatu dengan hidup Yesus dan misi-Nya. Tomas seperti mengajak kita, dalam segala kerapuhan dan ketidakpantasan, menyatakan sikap iman ini: “Ya Tuhanku dan Allahku” (ay.28) sekaligus kesiapan untuk berbagi hidup kita kepada dunia. Inilah buah kebangkitan.
Dialog intim Tomas dan Yesus bisa kita teladani dalam ekaristi yang tiap hari atau tiap minggu kita terima. Saat komuni kudus iman yang sama mesti kita perbaharui yang kita satukan dengan doa kerendahan hati sang perwira “Ya Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang pada saya, tapi bersabdalah saja maka saya akan sembuh!”. Semoga Paskah tetap mendarah daging dalam hidup anda, bukan sebuah perayaan musiman belaka. Dan semoga anda tetap merindukan ekaristi betapapun kita sering merasa tak pantas untuk menerimanya. Percayalah anda akan melihat Tuhan jauh lebih sering dari yang pernah dilihat orang!

Saya yang selalu mendoakan anda semua!

ronald,s.x.

Blogger Template by Blogcrowds