I AM A SIMPLE MAN, Merenungkan Akhir Waktu

Saya tak menyangka lagu ini, I am a simple man, menemani saya menyelesaikan hari-hari terakhir di tahun 2008, sebuah lagu yang sebenarnya mengawali melodrama keluaran tahun 2007, Reign Over Me. Adalah Charlie Fineman, pria soliter, yang mengurung hidupnya di kamar dengan video game dan musik, lalu menyusuri jalan-jalan kota dengan motor kecilnya plus earphone music yang selalu melekat di telinga. Tingkah aneh terjadi setelah ia kehilangan keluarganya, istri dan tiga anak pada peristiwa 9/11. Peran ini sangat berhasil dilakoni aktor kawakan Adam Sandler. Ia mengurung diri dari masa lalu yang pahit dan bahkan siapapun yang bisa mengingatkannya kembali pada tragedi itu. Namun adakah manusia yang dapat menanggung sendiri tragedi masa lalu untuk membangun hidup yang bahagia? Charlie Fineman pun tidak, dan dia sebenarnya bercerita tentang semua kita.
Secara tak sengaja, Alan Jhonson (yang dimainkan aktor kulit hitam Don Cheadle), seorang dokter gigi yang pernah menjadi sahabat Charlie waktu di colloge berjumpa dengannya di jalanan. Alan sendiri, meski sudah hidup berkecukupan tetap merasa hidupnya belum penuh. Perjumpaan yang tak sengaja itu lalu membawa Alan mengenal lebih dekat hidup Charlie dan betapa ia menyadari menyelamatkan Charlie dari hidupnya yang nyaris hancur adalah jalan-jalan sederhana menemukan kembali kebahagiaan otentik yang ia rindukan. Ia bahkan mempertaruhkan profesinya sendiri akibat tingkah Charlie yang aneh, dan semua demi Charlie, agar dia mau kembali pada ingatan, kembali menemukan sejarah dan hidupnya, kembali berdamai dengan masa lalunya…
Pesan lagu I am simple man berikut ini menghentak-hentak jantung saya: I just want to hold you, I don’t want to hold you down, i can’t make it alone…seperti menyerukan rintihan Charlie yang berusaha menghadapi masa lalunya yang pahit, dan juga seperti bercerita tentang banyak orang di antara kita yang minta untuk dimengerti, ditemani untuk menanggung masa lalu yang pahit dan tak mengenakkan. Lirik menjelaskannya…I can’t make it alone, aku tak bia menanggungnya sendiri…Dan betapa, persahabatan, lingkaran orang-orang dekat sungguh penting untuk menemukan kembali kenyataan bahwa kita berharga, kita dicinta dan dimengerti.
I can’t make it alone, tanpa yang lain, tanpa seorang yang meneguhkan bahwa kita berharga, kita pantas dan layak dicintai, mustahil kita menanggung sendiri masalah kita. Pun hidup terasa tak lengkap tanpa ada orang yang mengatakan dan secara konkret menunjukkan bahwa kita tidak tengah sendiri. Film yang diangkat dari kearifan hidup manusia ini rasanya bagus menginspirasi kita merenungkan waktu dan tahun yang sebentar lagi berganti.
Menerima, memahami dan mensyukuri masa lalu adalah sikap yang pantas diambil, pun jika itu adalah tragedi seperti cerai, kematian, atau bentuk kehilangan lainnya. Diterima karena itu bagian dari hidup kita, yang melengkapi kenyataan sebagai manusia. Kacah yang pecah bahkan memberi ribuan kilau dibandingkan kaca yang utuh. Dipahami karena dengan demikian kita makin bertumbuh matang, makin tangguh menghadapi kenyataan yang jauh lebih berat. Disyukuri karena Tuhan tidak meninggalkan kita sendiri…Ada pepatah romawi kuno yang bagus, sol omnibus lucet, matahari bersinar bagi semua. Tuhan melalui sahabat-sahabat dekat dan mereka yang berkehendak baik bagaikan sinar yang menerangi kita, membantu kita melihat hidup kita tetap bercahaya, tetap berharga bagaikan serpihan-serpihan kaca itu.
Jika anda sempat melihat film ini nantinya, rasanya peting pula merenungkan tokoh Alan Jhonson, menjadi sahabat yang peduli yang tetap berikhtiar mencari dan menyelamatkan yang hilang. Akhirnya bersama Guiness, Gordon Spark, cocacola, Fanta, yang menemani obrolan malam kita di akhir tahun, kita bersujud pada Tuhan bersyukur atas sejarah kita yang indah bahkan dalam semua tragedinya. Dan seperti botol minuman yang dikocok-kocok lalu dibuka dan menyemburkan buih segar, semoga hidup anda di tahun yang baru siap dicurahkan bagi mereka yang terlalu sulit menanggung sendiri penderitaan mereka. I think, it is one of the meaning how to live simply…
Selamat Meninggalkan tahun 2008 yang indah dan Selamat Menyambut Tahun Baru 1 Januari 2009…
Salam dari Kamerun
Ronald,sx


Hari ini,di tahun ke tujuh saya merayakan natal di luar rumah dan kampung halaman, saya mengumpulkan beberapa bongkah kayu yang baru ditebang dua hari lalu, juga rumput yang baru ramai-ramai kami potong. Dengan bahan-bahan itulah antara lain saya membentuk kandang natal sederhana untuk natal kali ini. Lumayan juga...Pengalaman kecil ini seperti tetap menyambung banyak kesan yang tertinggal dalam ingatan tentang natal. Di rumah, selain kandang natal, lampion sering jadi ornamen wajib untuk menyambut pesta ini. Lampion tak lain lampu yang dipasang dalam rangkain kertas minyak berbentuk bintang natal dan di pasang di depan pintu rumah. Setelah misa natal,kami biasanya ramai-ramai mengunjungi tetangga dan memperhatikan bagaimana malam suci itu penuh hiasan warna-warni dengan aneka bentuk. Mengingat semuanya itu saya sampai pada permenungan ini, setiap orang beriman di malam suci ini seperti saling mau menyatakan bahwa di rumah mereka peristiwa natal tengah terjadi dan lampion itu adalah penunjuknya. Rumah seolah tak pernah dikunci bahkan tanpa pintu, karna siapa saja boleh datang, siapa saja seolah diundang untuk merayakan natal, makan dan minum kue yang disediakan keluarga di rumah.
Suatu kali saya terkejut ketika pulang sekolah, di dapur saya mendapati orang gila yang sering ditakuti oleh anak-anak, tengah makan di rumah bersama ibu saya. Saya takut sekali dan lari meninggalkan rumah. Akan tetapi ibu saya tetap seperti biasa, orang gila itu tidak menyakitinya...Kandang natal kecil yang saya siapkan untuk natal kali ini seperti mengembalikan saya pada peristiwa itu dengan pertanyaan, apakah pantas orang gila itu makan di rumah saya? Kenapa ibu saya menerimanya? Pertanyaan kecil ini rasanya sebanding juga dengan pertanyaan apakah kita pantas berjabat tangan dengan orang yang baru saja memukul kita? Apakah pantas di hari ini, kita membuka pintu kita lebar-lebar bagi semua dan untuk semua tanpa harus menuntut apa-apa? Apakah kita pantas juga meninggalkan rumah kita dan pergi berdamai dengan orang yang telah kita sakiti? Mudah-mudahan dengan membaca sajak St. Yohanes dari Salib,yang sudah terlebih dahulu saya kirimkan, anda menemukan jawabannya, paling tidak menemukan kado yang pantas buat keluarga, pacar, teman dan sahabat di hari natal ini. Terima kasih juga buat persahabatan dan terutama hati anda yang selalu tersedia menerima dan mencintai saya dalam semua kekurangan. Saling mendoakan! Semoga damai Natal merajai hati anda. Itulah kenapa saya menulis reign over me, sambil menganjurkan pada teman-teman semua menonton film yang dimainkan Adam Sandler ini, reign over me. Meski tidak bercerita tentang Natal, tapi pas sekali dengan pesan natal. Salam dari jauh
Ronald,sx
Yaoundé-Cameroun

DEL NACIMENTEO,DE LA NAISSANCE, tentang Kelahiran

Ketika waktunya tiba
Di mana Ia harus lahir
Pria yang sedemikian muda ini
Keluar dari kamarnya kepada
Mempelainya yang dirangkulnya
Dan direngkuh pada kedua tangannya
Dan si Ibu yang gembira
Dalam sebuah kandang membaringkan-Nya
Di antara ternak yang sudah lebih dahulu mendekat ke sana

Orang-orang menyanyikan pujian
para malaikat melagukan kidung
bagi kedua mempelai
sementara Ia di kandang
menangis dan merintih
Itulah sukacita yang dibawa sang mempelai perempuan
Bagi mereka yang datang berkunjung malam itu
Dan sang ibu kemudian takjub
Melihat pertukaran ini:
Tangisan Anak Manusia
Menjadi anugerah bagi kita satu sama lain

(Jean de la Croix, Poéstes Complètes, les cahiers obsidiane,Paris)




Hexos dan Suara di Padang Gurun

Seorang bule yang baru turun dari pesawat di salah satu bandara di Indonesia ketiban sial ; tas tangannya dijambret. Mukanya langsung pucat, nafasnya seperti sesak…Namun, yang mengherankan…ia tiba-tiba bisa teriak Jambreeeeeeeeeet !!!! Demikian cerita iklan permen (kalau saya tak keliru) hexos, yang dimakan si bule segera setelah dia dijambret…Berkat hexos ia bisa berteriak keras-keras hingga maling berhasil diringkus…
Setiap kali berangkat kursus, saya selalu disalami seorang bisu yang berteriak sedapat mungkin untuk bisa mengucapkan bon jour, selamat pagi… !
Teriakan adalah pengalaman paling primer semenjak kita lahir yang menyatu dalam tangisan pertama. Tangisan itu terjadi bukan karena perasaan-perasaan takut, sedih atau sakit ; perasaan-perasaan yang umumnya kita pelajari dan kita alami segera setelah kita lahir…Sebagai pengalaman primer eksistensi, tangisan menyatakan paling kurang dua hal Pertama, perjumpaan dengan kenyataan baru, dengan dunia baru…Kedua, menyatakan bahwa kita ada, menegaskan kita hidup, setelah melampaui kemungkinan dapat matinya kita saat keluar dari rahim ibu.
Selanjutnya seperti yang saya katakan teriakan dalam kesadaran kita bisa menyatakan pengalaman sakit, takut, sedih, terkejut, gembira, heran, marah, takjub, kecewa hingga mengungkapkan pengalaman personal yang sulit diungkapkan dengan kata dengan teriakan yang tanpa kata, tapi hanya bunyi. Paling umum, dalam keseharian teriakan kita pelajari sebagai tindakan yang harus diambil ketika pesan yang ingin kita sampaikan kemungkinan kurang jelas didengar, atau bisa juga untuk memaksakan agar pesan yang kita sampaikan diterima tanpa syarat. Maka teriakan tidak saja menunjukkan kita ada, tapi juga menunjukkan pada orang bahwa kita dan semua pesan-pesan kita benar-benar ada, sungguh diperhitungkan ; tidak hanya diandaikan saja ada. Demonstrasi, orasi dengan segala macam ekspresinya biasanya mengungkapkan ini.
Yohanes Pembabtis dihadirkan pada kita sebagai salah satu tokoh penting di minggu-minggu saat kita menyongsong perayaan Natal. Dia dilukiskan penginjil sebagai suara di padang gurun yang meneriakkan agar jalan Tuhan disiapkan. Ia digambarkan sebagai tokoh nyentrik, berpakian bulu unta, makan belalang dan tentu saja tinggal di padang gurun…Dia disebut suara yang berteriak di padang gurun…Bukankah ini nampak aneh dan lucu. Mana mungkin seseorang berteriak di tempat yang tak berpenghuni ? Dan rasanya hexos belum tentu bisa membuat Yohanes berteriak sekeras seperti yang pernah ia lakukan di padang gurun. Tapi kenapa akhirnya banyak orang datang kepada Yohanes untuk mengakui dosa mereka? Jangan-jangan suara yang berteriak di padang gurun adalah sindiran apakah kita masih punya telinga untuk mendengar, dan hati yang selalu tersedia bagi Tuhan?
Anda ingat kisah klasik tentang Adam dan Hawa, ketika mereka lari bersembunyi ketika mendengar suara dan langkah Tuhan yang memanggil-manggil. Dosa asal antara lain hilangnya kepercayaan bahwa hati Tuhan sudah tersedia untuk mengampuni kita. Adam dan Hawa kehilangan kepercayaan itu. Mereka diusir dari taman Eden justru karena itu. Adven dan undangan untuk bertobat terutama adalah panggilan apakah hati kita masih punya tempat untuk membiarkan diri dicintai Tuhan lebih dari kesangsian kita akan dosa yang terlampau besar? Iman adven tidak hanya berisi penantian kosong seolah-olah Tuhan tak pernah datang atau kebalikannya seolah-olah Dia lahir berkali-kali. Yesus yang hanya satu kali lahir lebih dari 2000 tahun lalu lewat masa khusus ini menanti kelahiran baru kita. Adven dengan demikian selalu bicara tentang kita, sebuah momentum untuk mempersiapkan kelahiran baru kita…Anjuran mengaku dosa pada seorang imam dalam tradisi Gereja Katolik tidak jauh dari keyakinan ini, tentu jauh melegakan dibandingkan hexos.
Sambil terisak seorang ibu di Kamerun bercerita tentang salah satu anaknya yang dibunuh, dan bagaimana dia bersusah payah untuk mengampuni pelakunya. Saya kurang tahu apa anda punya pengalaman diampuni atau dimaafkan seseorang. Dalam pengalaman saya, saya makin tahu dan makin sadar bahwa tindakan saya salah dan tidak tepat justru karena pengampunan itu; dan tidak pernah cukup dengan konsep tentang benar dan salah… Pengampunan dengan demikiantidak pernah mau mengaburkan batas antara yang salah dan benar, yang adil dan tidak adil, melainkan makin memperjelasnya, makin meneguhkannya berkat kasih Allah yang sudah terlebih dahulu mengampuni kita…Tuhan menunggu jerit dan teriak tangis kelahiran baru kita… Kalo ada tangis di Rama ketika ribuan anak dibunuh oleh Herodes, maka tangisan baru perubahan hidup anda semoga bisa menggantikan satu dari mereka dan melipatgandakan jumlah orang yang berkehendak baik membangun dunia yang adil, damai, dan tanpa perang. Selamat mempersiapkan Natal…


Ronald T
Yaoundé




Tuhan tak main Kucing-Kucingan

Sudah dua kali saya bolak balik di tempat tidur tak sanggup menutup mata hingga petang. Suara gaduh musik dan nyanyian sahut-sahutan tak henti sejak pk.09 malam. Ini kebiasaan di Kamerun ketika ada yang kawin atau ada yang menikah. Kalo ada yang meninggal, jasad seseorang di bawah ke Gereja untuk didoakan dan semua keluarga berkumpul di situ untuk menyanyi hingga pagi. Dalam duka yang mendalam mereka merayakan hidup baru yang sebentar lagi diterima oleh saudara mereka yang mati ; berjaga-jaga menghantarnya menghadapi kenyataan baru bernama ‘hidup setelah mati’ itu.

‘Berjaga-jagalah’ , demikian seruan yang mengawali masa khusus dalam tahun liturgi Kristiani tahun ini, masa Adven. Dipandu oleh perumpaan tentang penjaga pintu, Injil mengundang kita untuk berjaga-jaga menyambut Tuhan yang mendatangi kita (adveniere) seperti seorang penjaga rumah yang harus ekstra ketat dan keras menjaga rumah tuannya segera setelah tuannya pergi dari rumah untuk waktu yang lama dan mempercayakan miliknya kepada para hambanya. Penjaga itu diminta berjaga-jaga bukan saja untuk menjaga rumahnya tapi juga untuk selalu siap menyambut kedatangan tuannya, sebab ia tidak tahu kapan Tuhan datang, entah tengah malam, subuh atau pagi hari.

Berjaga-jaga adalah sebuah sikap korektif sekaligus kreatif. Biasanya seorang penjaga rumah yang baik, tidak hanya selalu terjaga, tapi lebih dari itu senantiasa memastikan kalau rumah yang dijaganya aman. Misalnya dia selalu memeriksa apakah pintu, jendela sudah terkunci rapat atau belum, apakah lampu penerang hidup atau tidak; jika ada suara-suara atau bayangan yang mencurigakan, telinga dan matanya selalu awas. Sikap korektifnya nampak dari kebiasaan untuk selalu memastikan bahwa semua beres, tidak ada apa-apa atau semua siap. Ia ingin memastikan bahwa rumah tuannya selalu siap ditempati dengan aman sewaktu ia pulang dan harta miliknya pun tetap terjaga baik. Sikap kreatif juga tercermin dari kecenderungan untuk selalu tidak puas dengan status quo ; tidak asal nganggap semua selalu oke tapi selalu menemukan cara baru untuk membuat rumah semakin aman dan terjaga.

Adven dengan demikian jauh dari pesan pilu misalnya tentang kematian yang datang pada saat yang tak kita duga; jauh juga dari pesan kanak-kanak tentang Tuhan yang main kucing-kucingan dengan kita, datang sembunyi-sembunyi untuk mergoki kita apakah kita tengah hidup baik atau tidak…Adven mengorientasikan kita pada keputusan untuk selalu menghayati hidup kita dengan penuh sikap korektif, mawas diri tapi sekaligus gembira. Orang yang gembira biasanya penuh kreativitas. Iman Kristiani adalah iman yang gembira tapi di lain pihak realistis. Gembira karena kita percaya bahwa Tuhan yang kita nantikan akan selalu mau tinggal di hati kita yang berdosa asalkan kita mau membuka diri bagi Dia yang tak pernah ingkar janji. Membuka diri bagi_Nya berarti dengan rendah hati melihat segala penghianatan kita lalu mau menyerahkannya pada Tuhan untuk diampuni. Realistis karena perjumpaan dengan Dia telah berlangsung sejak sekarang dalam hidup kita sehari-hari. Adven akhirnya mengundang kita untuk selalu menjadikan seluruh hidup kita sebagai tempat yang selalu nyaman buat Tuhan untuk tinggal bersama kita mengubah sejarah. Jika ada tempat untuk Tuhan di hati kita, apalagi untuk orang lain.

Salam,

Ronald,sx


GOOGLE, Tuhan dan Kita

Saya baru-baru ini melihat dua reportasi dokumenter dari National Geographic. Yang pertama, tentang ritus nudis (telanjang) sebuah sekte New Age di Amerika dan di Jepang. Yang kedua tentang sebuah ritus masokist atau melukai diri sampai bedarah-darah sebagai bentuk inisiasi ke dalam kelompok suku dan agama tertentu di Selandia Baru. Melalui aksi-aksi demikian, para penganut sekte atau suku tersebut mau berjumpa dengan yang transenden, yang sering mereka sebut sebagai Tuhan. Salahkah mereka? Benarkah ini yang kita sebut pengalaman religius? Apa sesungguhnya pengalaman religius? Apa bedanya mereka dengan para teroris yang menjustifikasi tindakan mereka berdasarkan perintah agama?
Pasti google sangat akrab bagi anda. Ia merupakan mesin pencari, search engine yang terkemuka, paling canggih di antara mesin pencari lainnya, mesin virtal yang sanggup membongkar seluruh detail dokumen yang tersimpan di internet.
Mencari merupakan bagian penting dari eksistensi kita sebagai ciptaan yang terbatas. Karena itu kita mencari apa yang bisa memenuhi kebutuhan kita itu. Sangan, pangan, papan hingga fenomen ekonomi, politik dan religius bisa dijelaskan berdasarkan itu. Saya mau beri perhatian tentang fenomen terakhir yang kata orang cermin dari kebutuhan transendental-religius sendiri. Dengan transendensi dimaksud bahwa manusia tidak bahagia hanya karena dia sudah bisa makan tiga kali sehari,sudah jadi kaya, menguasai tiga atau empat perusahan tapi karena kenyataan bahwa ia tidak bisa hidup tanpa yang lain, yang transenden yang berada di luar dirinya. Karena kesadarannya ini, ia pun disebut transenden, melampau diri, ke luar dari dirinya.
Saya teringat Simone Weil, seorang filsuf perempuan Perancis yang hidup sebagai buruh di pabrik Renault tahun 30-an, dalam surat pribadinya kepada Father Perin menulis begini tentang Tuhan: Jika kita berkata Tuhan itu dapat kita temui di sini, di dunia ini, itu bukan Dia. Kita tak dapat menempuh hanya satu langkah untuk sampai padanya. Kita tidak perlu mencarinya, kita hanya butuh mengubah arah atau cara kita melihatnya. Dialah yang mencari kita...( “concerning our father, dalam Simone weil, Waiting on God, Fontana Books 1950).
Tuhan yang mencari kita...Lalu apakah salah mencarinya? Bukankah dengan mengatakan demikian, agama seperti tidak ada apa-apanya? Lalu apa gunanya kita menjalankan perintah-perintah agama? Bukankah sebagian kita yakin bahwa perintah dan ajaran-ajaran bersumber darinya? Lalu untuk apa Dia memberikannya untuk kita?
Kata-kata Simoné langsung meruntuhkan juga klaim para penganut sekte New Age yang merasa dengan tindakan ritual mereka Tuhan dapat dijumpai. New age seperti mengembalikan kita pada mentalitas religius kuno yang melihat Allah atau yang Transenden yang ada di bawah kontrol manusia. Dengan mempersembahkan korban hewan atau manusia atau dengan melakukan ritual telanjang atau melukai diri, dewa atau tuhan seperti dipancing untuk datang dan mengabulkan keinginan manusia. Mengikuti Weil, ini bukan Tuhan, melainkan Tuhan ciptaan kita.
Sebelum Weil, seorang idealis dan ateis Jerman, Feurbach mengeritik hal serupa. Dia bilang Tuhan dalam kepercayaan manusia sebenarnya adalah proyeksi kebutuhan manusia yang mau jadi kuat,berkuasa, kaya dan seterusnya. Walaupun Feurbach tidak seluruhnya benar, ia tepat menumbuk kita pada kecenderungan mengurung Allah dalam kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan manusiawi kita, apapun itu termasuk kebutuhan karnal-seksual seperti yang dipraktekkan sekte nudis; pada kecenderungan kita ‘membeli’ Tuhan dengan kesalehan-kesalehan kita. Sekali lagi Weil bilang, ini bukan Tuhan.
Kata-kata Simoné tentu saja bukan sindiran buat kita yang cenderung mencari Tuhan bahwa mencari Tuhan itu salah, tapi sebuah pertanyaan mendalam tentang alasan kenapa kita mencari-Nya dan juga sebuah undangan untuk melihat Tuhan apa adanya, bebas dari perangkap kepentingan kita. Allah bagaimanapun juga, seperti yang dibilang Weil, tak sanggup kita kuasai, berada di luar kendali kita. Lalu bagaimana perjumpaan dengan Tuhan itu mungkin terjadi?
Tuhan mencari kita....adalah salah satu pesan utama iman Kristiani. Allah sering digambarkan sebagai gembala yang mencari umatnya. Seorang pujangga Israel, Yehezkiel, dalam kidungnya bernyanyi manis: “ Tuhan sang gembala mencari sendiri dombanya yang hilang, membawa pulang yang tersesat, membalut yang luka, dan membaringkannya di tanah lapang”. Tuhan turun dari kemahakuasaannya; meski Dia jauh melampaui segala pemikiran kita tapi pada saat yang sama dia dekat dan datang sendiri menjumpai kita. Paling mudah merasakan kehadirannya yang mencari kita dalam kenyataan suara hati. Suara hati adalah hati nurani yang bersuara, yang selalu memanggil kita untuk berbuat baik dan jujur. Pun kalau kita tidak mentaatinya, suara itu tetap datang sebagai teguran di hati, menuntut kita bertanggung jawab. Mencari dan menyelamatkan manusia yang hilang dan berdosa itulah wajah Allah yang otentik. Secanggih-canggihnya google, ia tidak sanggup mencari apalagi menyelamatkan yang hilang, yang sakit,yang menderita dan yang berdosa.
Simoné Weil akhirnya bilang, “terhadap Tuhan yang mencari kita ini, sikap yang pantas kita miliki adalah menunggu, waiting on..with longing and thirst cry...Menunggu dengan hati yang merindu seraya percaya bahwa dia tak mungkin tidak menghampiri kita itulah sikap iman yang mendasar, fenomen religius yang otentik. Dan hanya dalam konteks ini segala sembah bakti kita, doa dan pinta kita bermakna sebab semua sembah bakti itu kita buat karena kenyataan bahwa kita tidak pernah ditinggalkan...

Ronald FT.,
Pd hari Chirsto Regi
Cameroun - 08


KUNCI SURGA DAN KEAJAIBAN 25

Minggu lalu saya kehilangan kunci kamar sejam sebelum saya harus berangkat kursus. Untungnya ada kunci cadangan yang disimpan pemimpin komunitas saya, tapi saya tetap terlambat berangkat kursus hari itu. Lucunya hari yang sama professor saya kehilangan bukan saja kunci kamar tapi kunci rumah juga. Ia terpaksa sesegera mungkin mengganti seluruh kunci rumahnya karena takut jika rumahnya kemalingan.
Pengalaman kehilangan ini mendekatkan saya pada bacaan yang sejak minggu lalu hingga minggu depan sepertinya mau bicara tentang kunci juga. Kunci, nampak sederhana tapi sangat penting dalam hidup praktis kita, tanpa kunci kita gak bisa masuk ke rumah, tanpa kunci gak bisa membuka brangkas, email atau file-file kita.
Dalam tradisi iman kita, jika anda pernah mendengarnya, Petrus dikatakan sebagai pemegang kunci surga atau murid yang diberi kuasa untuk membuka dan menutup kunci surga. Kehilangan kunci tadi membuat saya bertanya, apakah memang tugas Petrus hanya menjaga pintu, membuka dan menutupnya ; Kalau tugasnya hanya itu, lalu para rasul dan orang kudus lainnya ngapain ? Apakah bisa dibayangkan kalau kantornya dekat pintu ? Gimana jika kuncinya suatu waktu hilang ? Kasihan dong, banyak antrian…Di dunia sudah antri, mau masuk surga juga pake antri ? Kita tinggalkan sebentar pertanyaan lucu ini.
Pasal 25 sebagaimana yang saya katakan bagaikan kunci. Ia mulai dengan kisah tentang lima gadis bijaksana dan gadis bodoh – yang kita dengar minggu lalu (25:1-12). Kesepuluh gadis ini menunggu kedatangan mempelai dengan lampu di tangan. Lima di antaranya membawa persediaan minyak sementara yang lain tidak. Akhir kisah ini kita tahu, ketika mereka tertidur, mempelai datang. Lima gadis yang membawa persedian minyak ketika terjaga segera menyalakan lampu dan menyambut sang mempelai. Lima gadis lainnya tidak bisa berbuat apa-apa selain memandang lampu mereka yang mati kehabisan minyak. Mereka kemudian tidak diizinkan masuk.
Lalu pasal ini dilanjutkan dengan kisah kedua tentang talenta (25:14-30). Ada tiga hamba yang masing-masing diberi talenta oleh tuan mereka untuk digandakan selama dia bepergian jauh. Yang diberi lima talenta berhasil menggandakan lima, yang diberi dua berhasil menggandakan dua. Akan tetapi, hamba yang diberi satu talenta tidak mau menjalankan kehendak tuannya. Kita juga tahu akhir kisah ini, dua hamba pertama diperkenankan masuk dalam perjamuan tuannya, sementara yang satu dihukum bukan hanya karena dia tidak menggandakan talenta tapi juga karena dia menghakimi tuannya tanpa bukti –bahwa ia menabur di tempat dia tidak menuai. Kisah pertama dan kedua ini menggarisbawahi soal kesetiaan yang disertai rasa percaya. Kata fidelity, fidélite dalam bahasa-bahasa anglosaxon menunjukkan bahwa setia itu dekat sekali dengan percaya. Orang berbuat setia karena dia percaya bahwa ia dijamin dan tidak dikecewakan. Dua kisah ini yang berbicara tentang kesetiaan bagaikan gagang dari sebuah kunci yang sering kita pegang. Lalu mata kuncinya di mana?
Kisah ketiga yang akan kita dengan minggu depan, di situlah mata kuncinya. Mata dan gagang tidak dipisahkan. Penghakiman terakhir yang dikisahkan di dalamnya berisi dialog yang mengejutkan. Tuhan menghakimi orang berdasarkan seberapa besar belas kasih yang diberikannya pada Tuhan. “Tuhan, kapan ketika Engkau lapar, kami tidak memberimu makan, ketika Engkau haus, kami tidak memberimu minum, ketika Engkau di penjara kami tidak mengunjungi Engkau? …ay.38-39. Dan jawaban Yesus mengherankan, “ Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraku yang paling hina ini, itu kamu lakukan untuk aku” (ay.40)
Dan Tuhan paling nyata hadir dalam mereka yang membutuhkan, in need of love, care and understanding; cinta, perhatian dan pengertian…Akhirnya kasih itulah yang menjadi mata kunci yang tidak terpisahkan dari gagangnya. Angka 25 dalam Injil Matius, bagi saya pribadi adalah keajaiban; angka yang sangat dekat dengan keseharian kita. Dua puluh lima paling sering dijadikan momentum peringatan hari jadi perkawinan, hari ulang tahun, dsb… karena dianggap sebagai ukuran kematangan, tanda kepenuhan…Kisah bab dua puluh lima seperti mengungkapkan kepenuhan praktik Kristiani di tengah dunia nyata. Dan saya pikir inilah kunci seref yang diberikan Tuhan untuk masing-masing kita. Kunci surga dengan demikian bukan hanya satu, tapi banyak dan ada pada mereka yang melakukan keajabian Dua Puluh Lima. Kenapa saya katakn demikian, karena surga adalah rumah kita, rumah yang disediakan bagi kita dan kita pantas memasukinya. Mudah-mudahan anda tetap menjaga kunci itu dengan mengerjakan keajaiban Dua Puluh Lima. Dan bila Petrus ketiduran atau kehilangan kunci, jangan kuatir anda mempunyai kunci rumah anda.

Salam

Ronald,sx




CINTA YANG MENGHANGUSKAN
Sulit bagi saya melupakan sebuah tungku api sederhana di rumah yang pernah kami tempati dulu, di sebuah kota kecil dekat perbukitan rimbun dengan hawa dingin yang menusuk tulang. Setiap pagi kami sekeluarga sering berkumpul di perapian itu untuk menghangatkan badan; sering juga bercerita sambil minum kopi bikinan sendiri.
Meski beberapa kali tidak saling bicara sehabis bertengkar dengan saudara atau orangtua, perapian itu sulit ditinggalkan. Perapian itu seperti selalu memanggil kami semua untuk berdiang di dekatnya. Dan memang dengan sendirinya hubungan kami kembali pulih di dekat perapian itu. Perapian dari serbuk-serbuk kayu gergajian itu bahkan sering jadi pilihan untuk berdoa. Perapian di rumah sederhana bagaimanapun juga membesarkan saya. Meski ada televisi dan radio, hiburan ini tidak pernah menggantikan kerinduan untuk tinggal berdiang di dekat perapian.
Kalau anda suka berkemah, pasti api unggun sulit pula ditinggalkan sebagai bagian penting dari seluruh rangkaian acara. Beberapa kali bersama beberapa kelompok mahasiswa, acara ini betul-betul tidak pernah dilewatkan. Kehangatan perapian membawa orang pada sebuah hubungan. Api mengorientasikan siapa pun pada sebuah penerimaan tanpa syarat. Terserah apakah anda pecundang, orang suci; pelacur atau orang benar, api tetap memberikan kehangatannya. Inilah kearifan yang menginspirasi sekelompok manusia membuat perapian; jauh lebih dari sekedar kebutuhan survival –misalnya memasak makanan untuk makan atau hanya mengusir kedinginan. Di hadapannya kita seperti tidak punya hak dan kuasa untuk menghakimi siapa yang paling benar dan siapa yang tidak. Di hadapannya kita semua sama, yakni orang yang sama-sama menerima kehangatannya. Dari kearifan api inilah saya memahami doa seorang pendosa jauh berabad-abad lampau di timur tengah:
Cinta akan rumahmu menghanguskan aku
Api dan perapian sederahan di rumah kecil saya mengingatkan saya pada Tuhan yang memberikan matahari pada orang baik dan benar, yang memberi kehangatan pada semua orang tanpa syarat. Inilah yang mestinya jadi alasan kenapa kita mesti menerima orang lain dalam segala bedanya. Ingatan dan kerinduan akan kehangatan cinta inilah yang juga mesti jadi alasan kenapa kita mesti kembali bangkit dari setiap kekalahan, kenapa kita mesti kembali setelah kita berkhianat seperti pendosa tadi. Kebenaran bahwa ia tetap diterima tanpa syarat itulah yang mengobarkan hatinya untuk kembali ke jalan hidup yang benar meski ia berada jauh dari api – lepas dari kehangatan itu . Kerinduan iman seperti ini bahkan terasa jauh lebih sekedar menghangatkan, yakni malah terasa seperti menghanguskan. Mudah-mudahan iman dan pengharapan sebesar ini mendorong kita semua kembali memulai satu minggu yang baru dengan itikad baik. Semoga doa pendosa tadi menjadi doa kita semua dalam peziarahan kita minggu ini. Doa ini pas sekali buat kita yang senantiasa hidup dalam faktisitas atau kegentingan antara ketaatan dan pemberontakan, antara kesetiaan dan pelariannya.


Ronald,
Yaoundé, 09 Novembre 08


BURUNG GAGAK DAN DUKACITA KITA
Setiap pagi di atas atap rumah saya, Kamerun, ada dua gagak hitam yang bermain dan kadang-kadang saling membersihkan sesuatu di bulu-bulu mereka. Beberapa kali ketika saya perhatikan, hanya ada satu gagak yang muncul duluan. Dia melompat ke sana ke mari, mungkin mencari-caru pasangannya lalu duduk terpekur di atas seng. « Siapa tahu dia sedih karena pasangannya gak datang-datang juga », begitu pikir saya, dari jendela kamar. Seperempat jam kemudian saya perhatikan lagi, dia masih di situ dan eh..tak berapa lama kemudian pasangan yang ditunggu muncul juga dan mereka kembali bermain seperti hari-hari lainnya. Yang satu seperti sudah percaya bahwa yang lain tak mungkin tak setia.
Dari jendela yang sama di mana saya memperhatikan burung gagak itu, saya mulai memahami kekayaan dan kedalaman arti kenapa suatu waktu Yesus berkata kepada orang yang berduka cita, Berbahagialah ; « Berbahagialah orang yang berdukacita karena mereka akan dihibur » (Mat.5 :1-5), demikian kata-Nya. Apakah itu artinya duka dan bahagia selalu ada sebagai kenyataan yang sama ? Bukankah duka dan bahagia sudah kita alami sebagai dua kenyataan berbeda yang saling berlawanan ? Duka seperti selalu merenggut bahagia dan dalam kebahagiaan kita percaya duka tak punya tempat.
Duka paling sering kita alami ketika kehilangan orang yang kita kasihi. Kawan lama saya sampai sekarang hancur hidupnya karena menjelang pertunanganan yang sudah lama disiapkan, pasangannya memutuskan semua komunikasi. Gila, mau apa jadinya hidup jika di puncak karier, kita gagal total atau orang yang menjadi tumpuan hidup kita mati; suami tercinta suatu malam dijemput polisi dan kemudian hidup dalam hukuman yang tak pernah dengan adil diputuskan. Lalu apakah pantas jika kita mengalami semuanya itu ? Masih kita bisa menyebut diri kita berbahagia ?
Duka dan cita tetap dua buah kenyatan yang berbeda. Duka itu perih, sakit dan tak mengenakkan. Sementara suka berisi riang, tawa, senyum dan hati yang serasa penuh. Meski berbeda, kita tidak harus memisahkannya. Mari kita perhatikan kearifan nenek moyang kita yang mewariskan pada kita kata ini dukacita dan sukacita. Duka dan suka adalah bagian dari cita,yakni aspirasi, atau kepenuhan. Cita bersumber bukan dari diri kita sendiri tapi dari sesuatu di luar kita, yang tak terbatas, yang ultim, dan kita orang beriman menyebutnya Tuhan. Duka tak bernilai jika kita melepaskannya dari sumber kehidupan. Dalam duka kita mesti tetap menaruh harapan pada-Nya; Dialah yang menjamin bahwa hidup kita dipulihkan.
Seperti burung gagak yang tetap menaruh percaya pada pasangannya, demikian kita mesti tetap menaruh percaya pada Dia, Segala yang Baik. Itulah makna dukacita dan itulah kenapa dalam setiap belasungkawa kita mengatakan, saya turut berduka cita...Dengan kalimat itu kita mengatakan ikut serta dalam kepedihan dan kehilangan tapi pada saat yang sama percaya bahwa kepedihan itu akan segera dipulihkan. Pun kegembiraan kita akan menjadi sementara dan dangkal kalau kita melepaskannya dari rasa syukur dan terima kasih pada Tuhan. Itulah arti sukacita.Sebab dia yang ikut menyempurnakan kegembiraan kita. Maka berbahagialah mereka yang berdukacita dan percaya bahwa mereka akan dihibur.


Salam


Ronald,sx

Yaoundé-Cameroun









LUKISAN BAHAGIA


LUKISAN BAHAGIA

Mustahil rasanya menempatkan rasa syukur atas kebahagiaan di luar penyelenggaraan Tuhan. Walaupun selalu sering terjadi bahwa hampir tidak kita pedulikan dalam semua pencapaian kita, bahkan Ia lebih sering diserapahi ketika kita jatuh gagal, terkena bencana terus menerus atau belum mendapat peruntungan yang ditunggu-tunggu.
Kebahagiaan tidak melulu sebuah kenyataan sekarang yang sekali jadi, tapi sebuah perjalanan yang panjang dan dinamis. Tentunya anda pernah melukis atau paling tidak pernya menyaksikan bagaimana orang melukis? Untuk menghasilkan sebuah master piece, seorang pelukis pertama-tama membuat skesta, lalu bisa menunggu begitu lama untuk meneruskan, dan menyempurnakannya. Kemudian dia butuh waktu lama untuk memilih warna,mencapur dan kemudian mewarnai lukisan. Dalam proses itu cat bisa tumpah, goresan bisa lebih dan kurang, ada debu yang terbang dan melekat yang selalu bisa saja membuat pelukis marah, kecewa…kesepian.Ini segi-segi manusiawi para pelukis yang sering luput dari perhatian kita para penikmat karya seni. Padalah pergulatan itu adalah bagian dari yang sering kita kenal dalam estetika sebagai proses kreatif.
Penyelenggaraan Tuhan yang membuat kita bahagia bisa dibayangkan seperti proses kreatif itu. Bahagia dengan demikian menjadi sesuatu yang sangat dinamis. Tuhan membahagiakan kita sering juga melalu pengalaman yang tidak pernah kita pilih atau kita kehendaki. Seorang teman yang sudah lama kuliah di kedokteran, karena kekurangan biaya akhirnya pindah ke fakultas keguruan dan kemudian menjadi guru di pedalaman. Pekerjaan baru ini menghantar dia pada kebahagiaan yang menurutnya belum tentu bisa dia dapatkan ketika dia berhasil menjadi dokter. Dia menikah dengan sesama guru, meski cinta pertamanya dengan sesama rekan dokter – katanya sudah tradisi kalau dokter suka jadian sama dokter juga. Anak-anak yang lahir baginya juga mendatangkan kebahagiaan tersendiri.
Lihatlah bagaimana Tuhan menganugerahkan kebahagiaan tidak seperti memberi sebuah roti bolu atau fast food. Ia seolah-olah bersama kita menyiapkan sebuah karya indah dalam kanvas kehidupan. Keterbukaan para rencana Tuhan, kepercayaan bahwa Tuhan akan mengerjakan banyak hal besar di luar yang pernah kita rencanakan sendiri, itulah yang menjadikan lukisan kita indah, hidup kita bahagia. Seorang bijak bestari dari Israel bernama Yesaya dalam kidungnya mengingatkan kita bahwa Tuhan telah “melukis kita di telapak tangannya. Sekalipun seorang ibu melupakan engkau, Aku tidak akan melupakanmu.” Inilah rahmat yang mesti selalu kita minta setiap hari pada yang kuasa, yakni harapan yang tak pernah habis.


KAPAN KAWIN ? Surga dan Kita

Bisa dibayangkan bagaimana perasaan anda jika dalam sebuah pesta yang anda adakan – katakanlah sebuah pesta ulang tahun – orang yang anda undang belum memperlihatkan batang hidungnya. Lebih buruk lagi jika tak satupun dari mereka yang datang. Rasanya hal ini jarang terjadi dalam keseharian kita. Minimal yang terjadi adalah hanya satu atau beberapa orang saja yang hadir. Jika anda pernah mengalami ini, tidak sulit kemudian memahami pesan Injil minggu ini. Yesus menceritakan perumpamaan Kerajaan Surga sebagai seorang yang mengadakan sebuah pesta nikah tapi orang-orang yang diundangnya tidak datang (Matius 22 :1-14).
Tentu sebagaimana sebuah pesta besar, undangan sudah disebarkan jauh-jauh hari. Andai sang tuan pesta itu hidup sekarang, mungkin segala macam bentuk advertasi dipakainya untuk mengabarkan berita perkawinan itu. Sedikit cerita .. . saya teringat papan iklan besar Mild yang ditokohi Ringgo. Satu kata yang menarik, KAPAN KAWIN ?, ditulis besar di papan itu. Semua menunggu kapan Ringgo kawin. Ini seperti sebuah manifestasi bahwa kebanyakan kita selalu menyambut baik kabar perkawinan, sebagai kabar baik. Pertanyaan itu sekaligus kerinduan, kalau boleh kita juga diundang atau terlibat dalam sebuah pesta perkawinan. Ini bertolak belakang dengan orang-orang yang diundang sang tuan pesta dalam kisah hari ini.Mereka tidak peduli. Padahal si tuan pesta telah menyuruh hamba-hambanya memanggil mereka. Lihatlah betapa baiknya si tuan ini. Ia ingin orang-orang yang diudang itu ikut ambil bagian dalam kebahagiaannya dan meyakinkan bahwa hidangan telah tersedia, ‘…lembu-lembu jantan dan ternak piaraanku telah disembelih ; semuanya telah tersedia, datanglah ke perjamuan kawin ini (ayat 4). Sayang mereka tetap tidak peduli.
Sang tuan ingin agar pesta tetap dirayakan, maka dia mengundang semua orang, menyuruh hamba-hambanya memanggil orang-orang lain di pinggir dan di sudut-sudut jalan untuk menghadiri pesta besar itu. Sebagaimana kepada orang yang telah dia undang tapi menolak datang, hidangan juga tersedia bagi mereka yang baru itu ; tak peduli apakah mereka baik atau jahat. Sang tuan tentu tidak mungkin menghabiskan sendiri hidangan itu. Kata hidangan bagi saya jauh beda artinya dengan makanan. Makanan hanya soal bahan dan rupa, tapi hidangan adalah soal sifat dari makann itu, yang diperuntukkan bagi yang lain dan karenanya selalu dihadapkan pada para undangan.
Kerajaan surga bagaikan jamuan kawin. Ada tuan pesta, ada yang dipestakan, ada hidangan dan tentu saja ada yang diundang. Relasi atau hubungan antara tuan pesta atau orang yang dipestakan dengan undangan-undangannya, itulah yang membuat atau menjadikan pesta. Pesta tidak berhenti atau selesai dengan menghadiri jamuan makan lalu pulang; atau merasa cukup menukarkan kado pesta kita dengan makanan yang disedikan. Orang baru dikatakan menghadiri pesta, kalau dia sudah bertemu dengan tuan pesta atau kehadirannya diketahui oleh yang dipestakan. Sang tuan pesta tahu kalau dia sudah ambil bagian dalam sukacita sang tuan pesta. Inilah kerajaan, sebuah hubungan yang dipelihara dengan penyambutan terus menerus terhadap sapaan dan panggilan Tuhan. Panggilan bisa beragam; bisa sebagai pertobatan, mengubah hidup, tapi bisa juga sebagai keprihatinan kepada sesama. Tuhan memanggil kita selalu, bahkan Dia masih menunggu kita pulang di tempat kita pernah meninggalkan-Nya.
Kisah injil ini ditutup dengan sebuah harapan yang seolah-olah terlihat pilu. Harapannya adalah bahwa pesta itu untuk semua orang tanpa syarat. Rasanya semua kategori penghakiman manusiawi kita soal siapa yang baik dan siapa yang jahat runtuh di hadapan belaskasih/misericordia Tuhan. Akan tetapi rasa pilu nampak ketika di akhir kisah ini dikatakan bahwa ada seorang yang kedapatan tidak berpakian pesta. Ia kemudian diusir dan dicampakan. Kita bisa bertanya kenapa setelah diundang kok malah ada yang diusir? Setragis itukah Tuhan?
Mari kita perhatikan baik-baik apa yang tertulis di Injil ini. Tuan pesta mengusir orang yang tak berpakian pesta bukan karena dia tidak punya pakian pesta, tetapi Dia diam saja di hadapan pertanyaan belas kasih Tuhan: Hai saudara, bagaimana engkau masuk kemari dengan tidak mengenakan pakian pesta? Andai orang itu menjawab dengan jujur, tentu tuan memberikannya pakian pesta. Karena dia diam saja, ia seperti menghina tuan pesta dengan cara berpakiannya itu. Akhirnya lagi-lagi surga adalah soal jawaban. Jika kita bersedia menanggapi panggilan Tuhan pun saat kita mau meninggalkannya, di situlah pesta sedang dimulai. Dan percayalah betapa indah selalu ada dalam belaskasih Tuhan.

Salam

Ronald Tardelly,sx

Sedikit tentang Hipokritisme Kita

Bukan hal baru jika bos atau atasan kita tugas di luar kota untuk waktu beberapa lama, hati terasa plong, merasa bebas. Seorang teman tidak biasanya on line untuk chat seharian, tapi ketika ditanya, ‘kok tumben chatting nya lama ?’, katanya karena bos lagi pelesir. Ada teman yang masuk kantor telat, juga dengan alasan yang sama. Tidak ada yang ngawasi. Ada juga yang pake alasan filosofis, mengutip Aristóteles, dosa boleh dilakukan yang penting gak ada yang ngeliat.
Perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur ( Matius 21:33-46) rasanya tidak diceritakan Yesus hanya sebagai metafor untuk melukiskan penolakan bangsa Israel atas keselamatan, atau ramalan antisipatif bagaimana Yesus menjadi tumbal dari penolakan itu. Perumpamaan ini menyapa kedalaman laku kita. Hipokritisme bisa hinggap pada siapa saja, termasuk kita orang Kristen. Dan petaka yang dibawa oleh sikap ini tak kurang kepalang besar.
Sang tuan tanah menyewa beberapa orang untuk menggarap kebun anggurnya sebelum ia pergi ke negeri seberang dalam waktu yang lama dengan perjanjian bahwa sepulangnya dari negeri seberang itu, ia bisa menerima hasil yang menjadi bagiaanya. Berarti diandaikan juga bahwa para penggarap akan menerima sebagai upah mereka hasil dari garapan itu. Akan tetapi yang diharapkan justru sebaliknya. Sang tuan tanah tidak menerima apa pun selain kenyatan bahwa hamba-hamba yang disuruhnya untuk menagih bagiannya dibunuh dengan sadis. Bahkan anaknya sendiri dibunuh.
Kiranya para penggarap tadi membunuh hamba dan anak sang tuan tanah bukan karena mereka tidak ingin membagikan hasil anggur melainkan bisa jadi mereka tidak menghasilkan apa-apa karena kelalaian mereka sendiri. Waktu yang diberikan untuk sekali musim tanam dan tuai tidak dimanfaatkan dengan baik. Apa yang mereka lakukan sepanjang waktu itu kiranya pula tidak jauh dengan pengalaman kecil yang diceritakan tadi. Mereka mengerjakan yang bukan tugas pokok mereka, atau nyambi dengan pekerjaan lain. Kalau kemungkinan kedua yang terjadi, hasilnya pun tidak maksimal atau teramat sedikit untuk dibagikan. Maka ketika tuan tanah meminta hasil yang menjadi bagiannya – dari yang amat sedikit itu – para penggarap itu tentu berpikir bagaimana mungkin mereka bisa memberi jika nantinya mereka tidak mendapat bagian?
Kisah ini akhirnya juga menjadi sindiran Yesus bagi setiap sikap hipokrit. Itu bisa ditujukan kepada kita orang Kristiani. Seberapa sering dan seberapa banyak waktu yang kita lalaikan selama atasan atau majikan kita pergi? Waktu yang kita terbuang untuk melakukan tugas dan tanggung jawab kita dengan setia sama nilainya dengan dua kali lipat kesematan untuk bertumbuh terbuang. Kita bisa makin kreatif dan berkembang dalam kesetiaan kita pada tugas. Di sinilah kesempatan kita berjumpa Tuhan betapun ada godaan untuk lari dari tugas itu. Tuhan biasanya datang di akhir, bukan sebagai penyesalan, tapi sebagai pertanyaan: apakah Rahmat – yang membuat waktu bernilai sama dengan dua kali lipat kesempatan untuk bertumbuh dan bahagia – sudah kita garap menjadi buah-buah yang siap dinikmati baik oleh kita sendiri maupun Dia?
Setiap hari dalam tugas yang kita emban, kita punya kesempatan berahmat untuk bersama Tuhan mengubah dunia ini. Anda mungkin bertanya, benarkah tetap datang ke kantor sebagai petugas cleaning service meski bos gak datang, bisa mengubah dunia jadi baik? Betulkah tetap bangun pagi untuk siapkan sarapan suami akan mengurangi terorisme di dunia? Who knows? Saling mendoakan supaya kita saling setia. Jangan sampai kesematan berahmat untuk mengubah dunia ini terambil dari kita dan diberikan kepada orang lain.

ronald,sx













Maaf, baru sekarang renungan ini hadir lagi di mailbox anda. Lebih sebulan saya banyak menghabiskan waktu di perjalanan, dari Indonesia menuju Kemerun, Afrika Tengah. Dari benua hitam ini saya akan tetap menuliskan buah-buah refleksi untuk anda.
Ketika sempat singgah di Roma dan mengunjungi Musei Vaticani, saya mengabadikan lukisan salib karya Salvador Dalli ini. Yesus terpaku mati di salib sementara kelihatan dari jauh seorang prajurit yang mengeksekusi Dia pergi menjauh. Tubuh Yesus seperti dibuat dengan perspektif dominan – kelihatan sedikit menyembunyian salib yang menopang-Nya.oleh pelukis ini, mungkin dengan maksud kita menangkap makna tubuh itu. sampai-sampai hampir menyembunyikan salib yang menopang-Nya.
Mengamati lukisan ini saya tergerak untuk terus menggali kekayaan misteri salib.
Betulkah salib hanya sebuah ingatan tentang korban? Cukupkah salib hanya pratanda kasih Allah yang tak terbatas – hingga Ia rela ‘mati’ di tengah kita? Atau salib juga bicara tentang satu fakta yang sangat manusiawi dan hakiki tentang hidup manusia?
Sebelum meninggalkan Indonesia, saya masih melihat berita tentang eksekusi beberapa penjahat kelas kakap, juga rencana eksekusi pelaku bom Bali. Bahkan Metro TV sempat menghadirkan dalam sebuah talkshow korban selamat bom Bali yang menuntut agar eksekusi terhadap Amrozi dkk., segera dilakukan. Bisa dimaklumi kenapa permintaan hukuman mati begitu gencar khususnya bagi mereka yang melakukan pembunuhan orang-orang tak berdosa? Yang melakukan kejahatan bagaimanapun harus dihukum seberat-beratnya. Itu logika dalam hukum positif. Tapi apakah hukuman mati selalu jadi keharusan?
“Bapa ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” adalah kata-kata pengampunan Yesus untuk mereka yang membunuhnya. Kata-kata ini jelas tidak pernah membenarkan pembunuhan, tidak juga ungkapan seolah-olah Yesus senang menderita. Mungkin juga banyak di antara kita yang terlanjur percaya bahwa Yesus wajar mengatakan itu karena Dia anak Allah. Jadi Ia harus mengampuni. Betulkah? Bukankah kata-kata itu keluar bersama seluruh perih dan jerit sakit Tuhan? Anda bisa memeriksa Injil dengan seksama. Kata-kata itu bagi saya, adalah sebuah pemberontakan terhadap mereka yang berusaha menghilangkan nyawa manusia.
Anda tahu salah satu kenyataan hakiki kesadaran manusia ini: manusia sadar bahwa ia akan mati tetapi sekaligus dia juga menolak untuk mati. Tak satupun orang normal yang ingin mati. Kesadaran ini kita kenali sebagai sakrat maut, kegelisahan menjelang mati. Kegelisahan ini dialami Yesus sebagai manusia dalam rasa sakit yang amat sangat dan dalam detik-detik terakhir hidupnya.
Pilihan untuk mengampuni memang sudah menjadi komitmen Yesus, bagian dari seluruh misinya. Akan tetapi, Yesus sadar sebagai anak, sebagai manusia, pengampunan hanya berasal dari Allah; hanya Allah yang bisa mengampuni kejahatan sebesar itu. Yesus tidak berkata “Aku mengampuni kalian yang membunuh aku”, tapi Dia minta kepada Bapa untuk mengampuni. Kemanusiaan kita rasanya tidak pernah sanggup mengampuni kejahatan yang justru merenggut habis kemanusiaan kita. Jelas juga bahwa; kita tidak pernah bisa mengampuni sendiri; tapi selalu bersama Allah. Sebab pengampunan itu berasal dari Allah dan Allah sendiri adalah pengampunan. Dia adalah sang kasih.
Paling-paling yang kita sanggupi adalah memaafkan. Maaf dan ampun adalah dua hal berbeda, meski tidak bisa dipisahkan. Pengampunan adalah penerimaan tanpa syarat, sementara maaf sifatnya bersyarat. Setelah dua atau tiga kali perbuatan yang menyakiti kita dilakukan, kita biasanya pikir-pikir lagi untuk memafkan. Kakek kandung saya dibunuh oleh salah seorang sanak kami. Sanak kami itu kemudian tidak pernah berhasil dalam hidupnya, keluarganya hancur dan ada anaknya yang cacat. Pasti ia dikutuk, demikian kami terlanjur percaya. Dan lihatlah betapa, mengampuni itu sulit. Itulah yang selalu mesti kita minta pada Tuhan setiap kali kita disakiti, diperlakukan tidak adil dan mungkin dibunuh.
Setiap orang yang mohon rahmat pengampunan akhirnya pada saat yang sama menolak setiap usaha untuk menghakimi, dan terutama dengan tegas menolak segala bentuk penghilangan nyawa manusia. Mengampuni adalah pernyataan ya pada kehidupan, pemberontakan terhadap hukuman mati seperti yang dipancarkan oleh salib.

Yang menolak hukuman mati

ronald


Mummy dan Hasrat kita akan Keabadian

Saya menonton film ini di Cilandak Town Square bareng lima teman saya. Kita telat dapat tiketnya sehingga dapet tempat duduk yang paling depan. Film yang nampaknya dibuat dengan biaya mahal – teknik sinematografi, animasi kelas wahid – ini dan yang mengisahkan petualangan menakutkan sebuah keluarga arkeolog langsung mengingatkan saya akan petualangan Indiana Jones. Indiana dulu adalah novel dan komik yang usang karena terlalu sering berganti tangan dari teman yang satu ke teman yang lain.

Mummy dari para kesatria China yang mati berabad-abad lalu hidup kembali dan berusaha mengambil sejarah yang kini dihidupi tiga keluarga arkeolog tadi dan juga kita semua yang menyaksikannya sambil makan pop corn.
Shangrila, kota keabadian, nirwana yang mempesona berlomba-lomba untuk diperebutkan. Siapakah yang berhak akan keabadian?

Dan Mummy, meski hampir menghilangkan batas yang ilmiah dan fantastis adalah cerita tentang kita yang selalu bertanya: betulkah hidup kita berakhir begitu saja? Benarkah kita ada tanpa untuk apa-apa? Dan Mummy yang mengibur kita ini seperti menggemakan keyakinan dan kerinduan kita akan keabadian. Mustahil hidup yang indah ini, peran baik yang pernah kita mainkan di dunia ini berakhir tanpa arti. Lalu apakah ada kenyataan obyektif di luar diri kita yang menjamin bahwa memang hidup kita abadi? Itu yang tidak diperlihatkan The Mummy, Tomb of Dragon. Andalah yang perlu merenungkan itu setelah keluar dari Twenty One.

Bagi kita, jaminannya adalah Tuhan sendiri. Janji itu dekat dengan harapan. Kita hanya bisa berharap kalau ada janji dan kita seperti diikat oleh janji itu. Dan janji itu ada kalau ada yang memberinya. Kisah Injil hari ini yang berisi lagu pujian Maria adalah pernyataan paling jelas bagaimana seorang beriman seperti Bunda Maria mengalami hidupnya dijamin sepenuhnya oleh Tuhan.

….orang yang berkuasa diturunkan-Nya dari takhta, yang hina dina diangkat-Nya.Inilah harapan wanita sederhana bernama Maria, harapan yang sebelumnya sudah lebih dulu dipertaruhkan dengan memilih mengatakan Ya pada rencana Allah untuk melalui rahimnya melahirkan Yesus. Pesta peringatan Bunda Maria Diangkat ke surga adalah pesta iman yang bagi saya mustahil dilepaskan dari arti tadi. Maria menerima dan mengizinkan Allah, Sang Hidup lahir di hati dan di rahimnya, menyambutnya dengan murni hati. Maka tentulah dia mengalami ke-Allahan dalam kepenuhannya, termasuk keabadiannya itu. Terangkatnya Maria ke surga seutuh-utuhnya adalah anugerah istimewa Allah berkat keterbukaan Maria menerima Allah sepenuh-penuhnya dalam hidup.
Ia yang merasa tak pantas karena kehinaannya akhirnya meyakinkan kita bahwa Allah sedemikian mengasihi kita hingga mau lebih hina dari kehinaan kita dan karenanya sungguh menjamin kita yang hina dina, kita yang lemah dan menderita, terutama kita yang mengasihi-Nya ikut diangkatnya.

Ronald,s.x.

Ojo Selingkuh...


Ojo Selingkuh … (Teks, Matius 10:26-33)

Langkah saya menuju passangers’bagage di Soekarno Hatta persis satu minggu lalu sempat terhenti. Tepat di depan saya empat wanita setengah baya dengan celana pendek ketat berpose riang layaknya ABG. Penampilan mereka cukup captive dengan setelan kaus oblong hitam. Pakian dan gaya mereka mengesankan kalau sebuah holiday baru saja dilewati. Barang bawaan lumayan banyak menumpuk di troli. Akan tetapi penampilan mereka yang riang itu tidak bisa menyembunyikan wajah yang letih, pun make up yang menempel di wajah tidak kuasa menyembunyikan usia mereka yang hampir berkepala empat.
Yang mengundang simpati saya dari penampilan empat wanita tadi adalah tulisan di kaus oblong hitam mereka: OJO SELINGKUH, trus di bawahnya ada tulisan Yogyakarta. Dua kata itu sepintas, jika disandingkan dengan gerak-gerik mereka nampak pas tapi sekaligus meninggalkan pertanyaan yang bisa jadi banyak… Apakah baju itu sengaja dipakai sebagai pernyataan bagi suami-suami (kalau punya) yang kiranya menanti di luar bandara bahwa mereka adalah pasangan setia tak siapapun tahu. Bisa jadi tulisan itu tinggal sebagai reminder bagi mereka berempat…bahwa liburan panjang tanpa suami bisa jadi selalu menggoda dan mereka berkomitmen untuk setia. Pun bisa jadi mereka membuat semacam peringatan bagi siapa pun yang membaca tulisan itu bahwa perselingkuhan seperti candu, yang mau melipur lara hanya sebentar dan setelahnya kita tidak pernah bahagia….
Dan wajah perempuan-perempuan itu masih terbayang ketika dari dalam jendela DAMRI yang membawaku ke Rawasari saya memperhatikan billboard raksasa yang menggemakan nada yang kurang lebih serupa dengan tulisan di kaos empat perempuan tadi: Gonta Ganti Pacar Belum Tentu Gonta Ganti Bini. Rupanya itu advertasi sebuah jenis rokok yang mau memastikan bahwa rokok itu bak istri pujaan yang sulit ditinggalkan walau orang boleh coba-coba cari yang lain. Perselingkuhan dalam dunia rokok ternyata ada, tapi apakah corak perselingkuhan itu sama dengan yang terjadi di dunia real tidak dijelaskan iklan itu…
Kata-kata Yesus yang disampaikan pada para murid minggu ini seperti mengangkat lagi pengalaman di bandara Seokarno Hatta itu. Ia menasehati para murid untuk tidak takut menghadapi bahaya: “Janganlah kamu takut terhadap mereka, karenat tidak ada sesuatupun yang tertutup yang tidak akan dibuka dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi yang tidak akan diketahui”. Justru dalam bahaya, dalam situasi yang mengancam para muridnya, Yesus minta agar mereka tetap berani, tidak kompromis melainkan memperlihatkan sikap yang jelas. Dan di sini kita bersentuhan dengan soal nilai-nilai, apa yang baik dan apa yang tidak…Dan lebih lagi, kita diminta untuk mengambil sikap yang obyektif untuk menilai dan akhirnya memutuskan apa yang memang sungguh bernilai dan berharga; apa yang pantas ditolak dan dihindari.
Saya kagum pada empat perempuan tadi. Tanpa mempedulikan alas an kenapa mereka memakai baju itu, setidak-tidaknya dengan memakai itu mereka mau mengatakan sikap yang tegas dan jelas bahwa perselingkuhan tidak pantas dilakukan. Sikap ini terhitung jarang sekali apalagi dalam abad kemajuan yang selalu mengusung relativisme sebagai salah satu idola baru. Apel sama dengan mangga itulah relativisme. Mulai banyak orang percaya bahwa selingkuh itu sama dengan tak selingkuh. Mempunyai istri simpanan tetap wajar asalkan istri sah diperhatikan dengan baik entah secara finansil maupun secara afektif. Masih banyak contoh kecenderungan relativistis yang bisa dibentangkan. Korupsi yang mengemuka di negeri kita lahir dari anggapan bahwa korupsi itu hal yang lumrah.
Ingatan akan empat perempuan tadi memudahkan saya untuk mengerti kata-kata Yesus selanjutnya: “Apa yang Kukatakan kepadamu dalam gelap, katakanlah dalam terang. Dan apa yang dibisikan ke telingamu, beritakanlah itu dari atas atap rumah”. Apa yang benar dan baik pantas kita hidup dan kita pelihara. Dengan itu kita tetap menjadi pribadi yang otentik; bukan orang yang hanya ikut arus tanpa pernah menikmati berarti apa hidup sepenuhnya. Saya berdoa agar kita semua tetap menjadi mercu suar yang menjadi tanda penyelamat bagi yang lain…

ronald,s.x.


Seliter Air Aqua dan Berharganya Pemberian

Dengan berbekal satu botol Aqua ukuran seliter, saya dan seorang kawan memulai perjalanan ‘tidak biasa’ dari Cakung – Jakarta Timur hingga Bintaro –Jakarta Selatan. Tidak biasa karena kami berjalan kaki menyusuri jalanan besar di bawah terik matahari dan hawa tak nyaman dari kendaraan-kendaraan ramai.
Ceritanya kami pingin melihat Jakarta ‘dari dekat’, tidak seperti dari jauh ketika pesawat dari kampung halaman hendak landing; tidak seperti dari kaca jendela mobil kami yang menyaksikan Jakarta yang selalu makin indah di malam hari. Dan kami juga pingin saling kenal ‘lebih dekat’. Temanku orang Jakarta, anak kesayangan papa dan mamanya. Dan aku orang kampuang nun jauh di mato…
Haus tak terhankan, tapi keadaan tidak mengizinkan kami membeli. Sengaja tak bawa duit. Dan pada saat itu saya rasakan betapa penting sekaligus susahnya meminta. Untung tak sedikit yang berbelaskasih; mengisi botol-botol air kami sampai penuh. Entah…,apa karena tampang kami tidak seperti pengemis benaran, saya tidak ingat lagi. Pokoknya, berkat air pemberian orang-orang baik itu, kami berdua bisa menikmati tidur siang di bunderan HI –sebelum renovasi-sebelum melanjutkan perjalanan panjang kami hingga tiba di rumah pkl.23.00 hari yang sama. Itu tahun 2001. Air saat itu begitu berarti.
Orang Israel selama empat puluh tahun menempuh perjalanan panjang di padang gurun setelah mereka keluar dari penindasan Mesir. Mudah sekali membayangkan betapa menderitakannya perjalanan itu. Mereka melewati padang gurun, menghadapi ancaman badai pasir, gigitan kalajengking dan ular-ular berbisa. Kesulitan yang paling serius adalah makin berkurangnya persediaan makanan; berarti makin berkurang pula peluang untuk hidup dan bertahan. Dan pantas mereka mengeluh pada Tuhan “Kenapa Engkau membiarkan kami binasa di tempat ini? Bukankah lebih baik bagi kami tetap tinggal di Mesir daripada harus mati di sini?”
Tuhan mendengarkan mereka dengan memberikan manna sebagai pengganti roti; sebuah peristiwa yang diyakini sebagai kejaiban dari Tuhan sendiri. Manna kemudian disebut sebagai roti dari surga. Yesus menggugat keyakinan orang Israel tentang roti dari surga itu persis setelah peristiwa perbanyakan roti untuk lima ribu orang (Yoh.6:1-15) yang membuat Yesus makin populer dan lantas dicari-cari orang banyak (Yoh.6:1-24).
Roti dari surga bukanlah manna melainkan Tubuh-Nya sendiri. Manna yang kemudian dijadikan roti oleh nenek moyang mereka hanya melepaskan lapar jasmani mereka; kebutuhan dasar akan makanan (basic needs). Dan ini tak bedanya dengan yang lain. (bdk. 6:32). Roti yang sejati adalah roti yang jauh melebihi pemuasaan kebutuhan jasmani melainkan roti yang membuat hidup jauh lebih berarti, penuh dan bermakna. Dan itulah tubuh-Nya sendiri “Akulah roti hidup, barnagsiapa datang kepada-Ku; ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi.”
Kita pasti butuh makan dan itu mutlak untuk keberlangsungan hidup kita. Akan tetapi, makanan dan terpenuhinya semua kebutuhan dasar lainnya tak pernah cukup membuat hidup kita berarti. Maka kita butuh makanan yang membuat kita berarti. Dan Yesus dalam kisah injil hari ini menawarkan dirinya: “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal; Barangsiapa tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, tidak mempunyai hidup dalam dirimu” (ay.53-54).
Kita bisa langsung merinding mendengar kata-kata ini sebagaimana yang dialami orang Yahudi pada waktu itu: “Bagaimana Ia ini dapat memberikan daging-Nya kepada kita untuk dimakan” (ay.52b); akan menjadi barbarkah kita?...Tentu saja Yesus tidak memaksudkan demikian. Yesus menantang pendengar-Nya, juga anda dan saya untuk memikirkan kembali hubungan kita dengan-Nya. Dasar apakah yang mengkohkan hubungan kita dengan-Nya? Kebutuhan kita ataukah ketertarikan kita akan pribadi-Nya?
Mengikuti Dia berarti pertama-tama bersekutu, bersatu dengan-Nya. “Barangsiapa makan daging-Ku, minum darah-Ku, ia tinggal dalam Aku dan Aku di dalam dia”. Dengan ini Yesus tentu memaksudkan ekaristi sebagai pusat dan kunci hubungan kita dengan-Nya. Kata-kata ini mengantisipasi perjamuan malam terakhir yang baru akan diadakan menjelang kematian-Nya. Akan tetapi, ekaristi itu pun sudah dimulai ketika orang dan para murid-Nya sendiri mendengar dan melakukan sabda-Nya.
Maka makan daging dan minum darah Tuhan adalah pertama-tama undangan untuk membiarkan sabda Tuhan bekerja, mengubah keyakinan-keyakinan kita yang lama untuk terus mengubah hidup kita sendiri. Sabda itu menjadi makanan sesungguhnya jika diterima dengan iman. Sulit membayangkan bagaimana butir-butir manna di padang gurun bisa menguatkan perjalanan orang Israel yang nan lama jika nenek moyang bangsa ini tidak melihat peristiwa ini dengan iman; percaya bahwa Allah mengasihi mereka dan tak ada yang dapat memisahkan mereka dari kasih-Nya. Sabda itu adalah kasih Allah sendiri yang kemudian menjadi darah dan daging, menjadi manusia dalam pribadi Yesus.
Oleh karena itu makan dan minum darah Tuhan adalah undangan untuk mengikuti dengan sempurna cara hidup Yesus; cara hidup yang dengan ringkas dirangkum dalam pembasuhan kaki dan yang dibuktikan nyata-nyata di atas kayu salib. Makan dan minum daging dan darah adalah undangan untuk siap menjadi seperti itu: menjadi orang yang siap memberi waktu, perhatian, pengertian, cinta dan seluruh dirinya bagi mereka yang membutuhkan. Mungkin itu istri anda yang cepat marah tapi sebenarnya ingin dimengerti; anak anda yang terlalu sering anda tinggalkan karena pekerjaan; tetangga-tetangga anda yang selalu sibuk sendiri tapi sebenarnya butuh dukungan dan dorongan anda; bahkan mungkin itu paroki anda yang meski selalu setiap minggu liturginya membosankan tetapi justru sedang memanggil anda untuk berpartisipasi memeriahkannya.
Hari raya tubuh dan darah Kristus mesti kita syukuri bersama dengan memperbaharui komitmen babtis kita untuk menjadi tubuh Kristus yang dibagi-bagikan dan darah-Nya yang dituangkan untuk semakin banyak orang yang butuh cinta dan pengertian. Keaslian dan kekhasan iman Kristiani –yang tidak dimiliki kepercayaan manapun- adalah semangat hidup ekaristis seperti ini. Saya berdoa bagi semua teman-teman dan adik-adik yang merayakan Komuni Pertama hari ini. Saya peluk anda semua dalam doa dan cinta. Hari ini kita tahu bahwa tidak ada yang lebih berharga selain memberi, dan rasanya perjalanan hidup dan cinta kita di dunia terasa hambar jika tanpa ekaristi, bagai seliter air di tahun 2001 itu.


Ketelanjangan dan Rasa Malu Kita: masih tentang Tubuh

Waktu kecil tentu anda pernah dimandikan mama atau papa. Dan kita tidak pernah merasa malu, entah kenapa. Saya sendiri masih ingat lho…Dulu hanya mencak-mencak lebih karena airnya dingin dan daki di badan saya digosok-gosok dengan sikat pakian. Jauh sebelumnya yakni ketika bayi tentu tidak bisa saya ingat, tetapi paling kurang saya yakin pada saat itu tidak ada kebutuhan langsung akan pakian bagus, mahal, bikinan ini dan itu….Tidak. Yang terlihat dan dibaca oleh papa dan mama adalah saya butuh makan, kehangatan dan kenyamanan. Maka mereka menyediakan susu dan bubur, juga selimut.
Perkembangan mode pakian tidak pernah lepas dari sejarah manusia. Bahkan rasanya masuk akal -jika mengikuti alur pikir evolusi- bahwa pakian ditemukan setelah berkembangnya homo sapiens, manusia rasional. Saya lupa persis di mana pakian ditempatkan dalam sejarah, apakah pada zaman batu, logam, atau zaman tulisan. Yang jelas pakian diciptakan manusia lebih kemudian daripada kenyataan manusia yang sejak awal lahir telanjang tanpa pakian.
Pakian menjadi kebutuhan yang mendasar (basic needs) selain makanan dan ruang teduh/rumah karena pakian melindungi manusia dari terik matahari, iklim tertentu yang memberikan ketidaknyamanan fisik bagi manusia. Sifat iklim yang berbeda langsung juga ikut mempengaruhi jenis bahan, ukuran pakian. Orang yang tinggal di kutub utara, Greenland memiliki baju yang jauh lebih tebal dibandingkan orang-orang di daerah tropis.
Pakian juga lahir dari kesadaran manusia tentang siapa dirinya, identitasnya. Laki-laki dan perempuan memilih bahan dan membuat pola pakian yang lebih sesuai dengan keadaan dirinya sebagai laki-laki dan perempuan. Pakian juga langsung menegaskan pengakuan akan nilai dirinya sebagai manusia. Tentang nilai diri di balik pakian, Yudaisme telah lama merenungkan kearifan ini. Kisah Adam dan Hawa yang diceritakan dalam kisah Kejadian sangatlah tepat untuk digali kekayaan maknanya.
Sebutan manusia pertama bagi Adam dan Hawa tidak pernah mengidentikannya dengan peristiwa evolusi manusia. Adam dan Hawa adalah renungan iman orang-orang Yahudi tentang arti diri manusia, tempat dan perannya dalam dunia serta dalam hubungannya dengan sesame dan Tuhan. Kata pertama, lebih menunjuk pada gambaran tentang fakta manusia sebagai makluk paling sempurna yang diciptakan Tuhan, sehingga kerap kali juga disebut sebagai citra Allah. Saya mengetengahkan di sini ulasan penting almarhum Yohanes Paulus II sehubungan dengan kisah ini.
“Kesecitraan dengan Allah tidak hanya dalam konteks kemampuan rasional manusia, karunia kehendak bebas, kemampuan untuk mengetahui dan memilih tetapi juga terletak pada kemampuan untuk memiliki diri sendiri dan memberikan dirinya bagi yang lain.” (Theology of Body, audiensi tgl. 14 Nov 1980, hal.46)
Sebelum Hawa tercipta, Adam dikatakan ‘sendiri’. Inilah kesendirian asali (original solitude). Kesendirian ini menunjukkan kesadaran manusia akan dirinya, arti tubuhnya, juga kesadaran akan fakta bahwa dia membutuhkan yang lain. Kesendirian Adam dijawab dengan kehadiran Hawa. Menurut saya seringkali kita terjebak memahami arti kata manusia pertama dalam artian kuantitatif, bahwa Adam lah yang pertama diciptakan sementara Hawa kemudian. (bdk.TOB, hal.36-38)
Setelah saya ikut mendalami ini juga, saya yakin bahwa kata pertama mesti dilihat dalam artian relasi. Bahwa manusia pertama adalah manusia yang berelasi, bersatu dalam hubungan saling membutuhkan. Pertama juga menunjukkan yang pertama-tama atau yang paling pokok dari manusia yakni: relasi cinta. Hal ini digarisbawahi dengan jelas pada Kejadian 2:23-24:

Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki."
Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.

Relasi itu menurut Yohanes Paulus II ditandai dengan penyatuan badan dan jiwa; menyatu secara seksual-badaniah dan batin spiritual. Manusia seorang diri seperti Adam tidak cukup dan tidak tuntas menyadari dirinnya sebagai pribadi jika tanpa kehadiran yang lain, yakni Hawa. Baru dengan adanya Hawa, dia menyadari itu (bdk. TOB, hal.60-61). Kesecitraan Allah lebih terletak bukan pada kesamaan hidung, mata, mulut, rambut dengan Allah – dan ini juga susah dibuktikan – tapi lebih pada soal hubungan, relasi. Persis hari minggu ini kita merayakan pesta Tritunggal Mahakudus. Iman akan Allah Tritunggal adalah iman akan Allah yang berelasi.
Yang juga menarik dalam kisah ini adalah diperlihatkannya kenyataan manusia pertama sebagai manusia yang telanjang, tanpa pakaian. Meski tanpa pakaian mereka tidak merasa malu sedikit pun. Kejadian 2:2:25. Inilah yang disebut Yohanes Paulus sebagai original nakedness; ketelanjangan asali.
Tubuh yang telanjang ini juga menunjukkan Adam dan Hawa undangan untuk mencintai, untuk bersatu secara badaniah dan rohaniah. Undangan ini adalah panggilan untuk membentuk persekutuan pribadi. Jadi tubuh yang telanjang punya arti asali dan mendasar yakni panggilan untuk saling mencintai. Inilah arti konyugal atau nupsial dari tubuh. Tak adanya rasa malu sebenarnya menunjukkan kepenuhan dan kematangan mereka sebagai pribadi; memperlihatkan juga kemurnian hati dan cinta mereka yang tidak saling melihat diri sebagai objek untuk digunakan, melainkan sebagai anugerah . Mereka saling melihat diri mereka dengan ‘mata Tuhan’ yang melihat segala sesuatu baik adanya (Kej.1:31).bdk. TOB, hal.57-58.
Dalam renungan saya, jika kita melihat struktur tubuh manusia sudah terdapat semacam cetak biru/blue print relasi. Tegak berdiri, tangan membentang dari luar ke dalam untuk merangkul dan memeluk, mata di bagian atas untuk melihat dengan jangkauan /dimensi yang luas, dan seterusnya.
Akhirnya ketelanjangan sejatinya adalah makna terluhur dalam relasi manusia. Ketelanjangan susah dipahami di luar konteks relasi cinta manusia yang satu dengan manusia yang lain. Saya akhirnya baru mengerti kenapa waktu kecil tidak ada rasa malu saat dimandikan mama, yakni ada ada kepercayaan penuh bahwa saya tidak pernah dijadikan obyek tapi dicintai dan diterima tanpa syarat.

Asal Muasal Rasa Malu
Dengan kebebasannya, manusia bisa mencintai sekaligus menolak Allah pada saat yang sama. Inilah resiko yang sudah diperhitungkan Tuhan dengan baik. Tuhan sedemikian mencintai manusia hingga memberikannya kebebasan seperti itu. Jatuhnya Adam-Hawa dalam dosa tidak lepas dari kebebasan yang dimiliki keduaya. Mereka memilih untuk melanggar dan menolak Allah dengan makan buah terlarang. Mereka tidak menghendaki Allah campur tangan dalam hidupnya. Pilihan inilah yang akhirnya membuat dia serta merta bersembunyi ketika Tuhan datang.
“Aku takut dan bersembunyi karena aku telanjang”, demikian kata Adam ketika mendengar Tuhan mendatanginya. Karena pilihan inilah Adam tidak lagi melihat dirinya sebagai partner atau rekan Allah, tetapi lebih sebagai objek dari Allah. Ia mulai takut, khawatir kalau-kalau Tuhan akan menghukumnya. Ia mulai melihat dirinya sebagai objek yang siap dikuasai. Dan pada saat yang sama pula ia mulai melihat Hawa sebagai objek yang bisa digunakan. Yohanes Paulus dengan sangat mengagumkan menulis:
“Kata-kata dalam Kejadian 3:10 (Aku takut karena aku telanjang, dan aku bersembunyi) langsng menunjukkan perubahan radikal tentang arti ketelanjangan asali. Ketelanjangan yang pada mulanya berarti positif sebagai pengungkapkan penuh penerimaan akan tubuh dan seluruh pribadi manusia sekarang berubah menjadi negatif yakni menjadi nafsu” (TOB, 112-113) . Akibat nafsu itulah manusia menjadi malu (shame) dengan dirinya dan tubuhnya sendiri, dan mulai melihat tubuh yang lain sebagai objek pemuasan kebutuhan seksualnya. Nafsu birahi yang menyatu dengan rasa malu dan menjadi Impuls atau dorongan untuk menguasai yang lain sebagai obyek, bukan lagi sebagai partner dan pribadi yang diterima dan dicintai secara penuh. Di pihak lain, rasa malu juga mengandung hal positif yakni kebutuhan untuk self-protection , tidak dilihat dan digunakan orang lain sebagai objek.
Di negeri ini pornografi pernah mau diberantas dengan membuat RUU Anti Pornografi-Pornoaksi. Saya masih ingat pengalaman indah turun ke jalan mengitari Sudirman hingga berhenti di bunderan HI, bergabung dalam pawai Nusantara menolak RUU itu dua tahun yang lalu. Pornografi memang salah besar, ancaman terhadap hubungan tulus manusia karena meluaskan pandangan dan keyakinan tentang manusia sebagai objek daripada subjek relasi. Akan tetapi, pornografi bagaikan lalang di antara gandum, tidak pernah cukup dan tidak bijak diselesaikan dengan membuat sebuah RUU yang juga tidak dipami dengan jelas substansinya. Kami turun ke jalan bukan untuk mendukung pornografi, tetapi dengan keyakinan bahwa RUU itu hanya akan mengenyampingkan, mengendorkan kemampuan pribadi, keluarga, komunitas beragama untuk mendidik anak-anak dan umat mereka membangun hubungan yang tulus dan otentik dengan sesama manusia. Kita memerangi pornografi dari rumah kita sendiri, dari keluarga, dari komunitas iman, dari lingkaran persahabatan kita sendiri.
Indonesia akhir-akhir ini tercatat sebagai salah satu negara dengan pengakses situs pornografi terbesar di dunia. Semoga tulisan ini setidak-tidaknya memberi bahan pertimbangan bagi kita untuk memilih dan mengakses situs-situs mana saja yang berguna bagi hidup dan hubungan bersama yang makin tulus dan sejati. Di mana ada cinta, di situ tak ada rasa malu, tapi ada rasa hormat dan penerimaan tanpa syarat.

Ronald,s.x.

Tubuh Hollywood & Holy Ghost: tentang Tubuh dan Mode
Lebih dari sepuluh tahun silam di kota kecil kesayangan saya, seorang gadis muda sempat menjadi pusat perhatian orang-orang ramai di pertokoan. Dia memakai baju putih dengan potongan yang sedikit pendek di atas pusar, tapi pas membalut tubuhnya yang bagus. Kalau tak salah ingat dia memakai celana panjang yang mengerucut sampai ke betis…Yah..,saya ingat sekarang…Waktu itu saya disuruh mama membeli daging kiloan di pasar dekat pertokoan tadi.
“Seperti Tania…”, demikian bisik-bisik para pedagang daging yang terekam di telinga saya. Masa itu Tania tak lain adalah nama seorang tokoh telenovela yang paling diminati di TVRI. Saya tak ingat lagi judulnya apa, tetapi hampir pasti Eric Estrada yang main dalam film Chips adalah lawan mainnya. Dan Tania dalam telenovela itu adalah gadis manis latinos yang sering berpakian putih ketat di atas pusar.
Tetapi gadis manis yang lewat di pertokoan itu bukanlah Tania. Wajahnya masih menunjukkan kalau dia orang setempat. Gaya dan penampilannya lebih banyak meyakinkan saya kalau dia milik kebudayaan ‘kota besar’. Mungkin seorang mahasiswi sebuah universitas di Jawa yang sedang libur kali…, demikian saya mereka-reka saat itu.
Tiga tahun setelah kejadian di pasar daging kota kesayangan itu, saya menyeberang laut dan juga melewati pulau dan tempat-tempat baru; mendekati tempat dan kebudayaan baru bernama kota besar. Orang-orang Mataram-Dompu yang saya jumpai di perjalanan tidak bisa melepaskan saya dari ingatan akan orang-orang sekampung yang bersahaja. Cara mereka berpakian tidak jauh berbeda dengan orang-orang di desa. Kemiskinan seperti tumbuh bersama di daerah Indonesia Timur. Sempat tiga hari tinggal di Bali, lalu jalan lagi hingga ke Gilimanuk. Masih tertulis di buku harian saya tentang Bus Intercontinental yang sempat berhenti membiarkan rombongan gadis-gadis Bali lewat membawa sesaji untuk Ngaben. Pakian mereka memajang dari dada sampai ke pergelangan kaki, membiarkan kulit mereka yang bersih dibakar matahari; mengembalikan saya pada ingatan akan perempuan-perempuan sederhana di kampung papa yang dengan pakian yang kurang lebih sama mandi sekalian menimba air di sumur air desa.
Setelah tiba di Ketapang dan menelusuri pantai utara menuju Jakarta, perempuan- seperti gadis yang dipanggil Tania tadi- bukan hanya satu. Dan di setelah tinggal di Jakarta, Tania seolah tinggal cerita lama di tempat penjualan daging. Sebab wanita dengan dandanan jauh lebih bervariasi dan kreatif selalu bisa ditemukan di mana saja; sebanding dengan factory outlet yang terus muncul bersama menggeliatnya metropolitan. Bahkan di sini pria pun tidak mau kalah bergaya dan ada adjective baru untuk bilangan lelaki macam ini metroseksual. Mereka juga ke butik, merias diri ke salon dan membentuk tubuh mereka di fitnes-fitnes center. Rasanya bukan hanya property yang tengah tumbuh di JKT, tapi juga tempat-tempat semacam itu beserta aspirasi-aspirasi dan hasrat akan gambaran tubuh yang sempurna.
Dan ketika dua tahun lalu berkesempatan cuti ke kampung halaman, kota kecil kesayangan saya sudah banyak berubah. Dan orang-orang ramai tidak pernah heran lagi melihat lebih banyak lagi ‘Tania-Tania’ baru yang lalu lalang di emperan toko. Tania sungguh tinggal cerita lama di masa lalu saya. Sekarang malah lebih banyak lagi icon baru. Ada Paris Hilton, Britney Spears, Linsay Lohan dan maaf..saya tidak punya bakat mengafal nama-nama beken yang selalu juga menjadi wallpaper handphone dan PC anak-anak muda sekarang ini. Dulu saya hanya tahu kalau mama sering pakai Citra Body Lotion murah meriah atau bedak Fifa no.4 kalau mau ke Gereja atau pertemuan Dharmawanita. Sekarang industri kosmetika juga bertumbuh kembang. Semuanya kembali berjalan lurus dengan cita dan gambaran tentang tubuh yang sempurna.
Jenis bahan pakian yang dipilih, kosmetika yang dipakai selalu berangkat bukan hanya dari kebutuhan untuk merawat tubuh tapi juga banyak dipicu oleh pencitraan tentang gambaran tubuh yang sempurna. Kita, anda dan saya, bisa setiap hari dihadapkan dengan pencitraan tentang gambaran tubuh yang sempurna – yang cukup sering – kita terima begitu saja dari televisi serta media komunikasi massa lainnya. Lebih lagi, pasar meyakinkan kita bahwa kesempurnaan tubuh macam itulah yang mesti kita miliki…”Beli dan beli selalu mengakibatkan cantik dan sempurna” itulah yang seolah-olah mau dikatakan oleh barisan kosmetik multijenis, ribuah mode pakian di atas etalase outlet-uotlet kota-kota kita.
Cukup sering mode kita hubungkan dengan pernak-pernik seputar pakian. Akan tetapi, rasanya mode jauh lebih dari itu; meliputi juga kosmetik, perawatan tubuh dan semacamnya. Maka mode tak lain adalah mode of existence, cara berada orang-orang masa kini; cara siapa saja yang ingin mengambil tempat yang pas di dunia dan di hadapan yang lain. “All we need is to be recognized, affirmed and received. Rasa-rasanya ini lah yang mau dikatakan oleh orang-orang -yang karena impiannya akan kesempurnaan kadang-kadang tidak lagi melihat situasi dan tempat untuk berpakian yang pantas. Makai tengtop atau rok pendek sampai kelihatan upskirt bukan tempatnya di Gereja, samahalnya celana ceplak penuh guntingan. Itu memang bisa nyaman bagi anda yang menerima begitu saja gambaran tentang kesempurnaan tadi, namun tentu pasti tak ngeh bagi orang lain.
Kita bisa saja mengatakan bahwa sikap hati yang tulus adalah hal terpenting dalam ibadah. Akan tetapi, ingat…!, eksistensi kita selalu mengikutsertakan seluruh diri kita, jiwa dan badan serta cara berada kita tadi. Tuhan jangan terlalu cepat dijadikan kambing hitam atau tameng untuk menutup hasrat kita yang sebenarnya mau menggantikan Tuhan. Bukankah dengan pingin agar orang lain terus memandangi dan memperhatikan kita, kita sedang menjadikan diri kita pusat perhatian? Masalahnya bukan hanya soal pantas dan tidak pantas – yang sering kali cukup susah dibedakan – tapi juga permainan-permainan bawah sadar yang sudah terlanjur ditimbulkan oleh pencitraan pasar tentang gambaran tubuh yang sempurna. Kita dibuat yakin bahwa nilai diri seolah-olah ditentukan oleh segala macam kosmetik dan dandanan tertentu.
Memang setiap kita butuh dikenali, diteguhkan dan diterima. Akan tetapi, kita bisa selalu bisa mengungkapkan kebutuhan tadi dengan cara yang lebih pantas dan tepat. Juga patutlah kita memberi perhatian semestinya terhadap tubuh kita, tetapi janganlah kita berhenti menjadikan tubuh berhala baru sebagai tolak ukur yang menentukan nilai kehadiran kita di dunia.
Ada kisah kecil yang diceritakan seorang kawan di Amerika. Dia menghadiri pemakaman sejawatnya. Ketika jenasah diberkati, biasanya diucapkan rumusan “ In the name of the Father, and the Son and the Holy Ghost”. Pendeta mengucapkan rumusan itu pada saat peti diturunkan ke liang lahat. Ia mengucapkan yang sama: In the name of the Father, and the Son, and … “in the hole he goes…!”, tiba-tiba satu suara memotong. Semuanya tertegun. Ternyata seorang anak kecil yang mengucapkan itu. Yah…tubuh tidak akan pernah abadi, kecuali jika kita mau memaknainya secara berbeda. Nantikan tulisan berikut: ketelanjangan – masih seputar tubuh.
Ronald,s.x.

Tubuh Hollywood & Holy Ghost: tentang Tubuh dan Mode
Lebih dari sepuluh tahun silam di kota kecil kesayangan saya, seorang gadis muda sempat menjadi pusat perhatian orang-orang ramai di pertokoan. Dia memakai baju putih dengan potongan yang sedikit pendek di atas pusar, tapi pas membalut tubuhnya yang bagus. Kalau tak salah ingat dia memakai celana panjang yang mengerucut sampai ke betis…Yah..,saya ingat sekarang…Waktu itu saya disuruh mama membeli daging kiloan di pasar dekat pertokoan tadi.
“Seperti Tania…”, demikian bisik-bisik para pedagang daging yang terekam di telinga saya. Masa itu Tania tak lain adalah nama seorang tokoh telenovela yang paling diminati di TVRI. Saya tak ingat lagi judulnya apa, tetapi hampir pasti Eric Estrada yang main dalam film Chips adalah lawan mainnya. Dan Tania dalam telenovela itu adalah gadis manis latinos yang sering berpakian putih ketat di atas pusar.
Tetapi gadis manis yang lewat di pertokoan itu bukanlah Tania. Wajahnya masih menunjukkan kalau dia orang setempat. Gaya dan penampilannya lebih banyak meyakinkan saya kalau dia milik kebudayaan ‘kota besar’. Mungkin seorang mahasiswi sebuah universitas di Jawa yang sedang libur kali…, demikian saya mereka-reka saat itu.
Tiga tahun setelah kejadian di pasar daging kota kesayangan itu, saya menyeberang laut dan juga melewati pulau dan tempat-tempat baru; mendekati tempat dan kebudayaan baru bernama kota besar. Orang-orang Mataram-Dompu yang saya jumpai di perjalanan tidak bisa melepaskan saya dari ingatan akan orang-orang sekampung yang bersahaja. Cara mereka berpakian tidak jauh berbeda dengan orang-orang di desa. Kemiskinan seperti tumbuh bersama di daerah Indonesia Timur. Sempat tiga hari tinggal di Bali, lalu jalan lagi hingga ke Gilimanuk. Masih tertulis di buku harian saya tentang Bus Intercontinental yang sempat berhenti membiarkan rombongan gadis-gadis Bali lewat membawa sesaji untuk Ngaben. Pakian mereka memajang dari dada sampai ke pergelangan kaki, membiarkan kulit mereka yang bersih dibakar matahari; mengembalikan saya pada ingatan akan perempuan-perempuan sederhana di kampung papa yang dengan pakian yang kurang lebih sama mandi sekalian menimba air di sumur air desa.
Setelah tiba di Ketapang dan menelusuri pantai utara menuju Jakarta, perempuan- seperti gadis yang dipanggil Tania tadi- bukan hanya satu. Dan di setelah tinggal di Jakarta, Tania seolah tinggal cerita lama di tempat penjualan daging. Sebab wanita dengan dandanan jauh lebih bervariasi dan kreatif selalu bisa ditemukan di mana saja; sebanding dengan factory outlet yang terus muncul bersama menggeliatnya metropolitan. Bahkan di sini pria pun tidak mau kalah bergaya dan ada adjective baru untuk bilangan lelaki macam ini metroseksual. Mereka juga ke butik, merias diri ke salon dan membentuk tubuh mereka di fitnes-fitnes center. Rasanya bukan hanya property yang tengah tumbuh di JKT, tapi juga tempat-tempat semacam itu beserta aspirasi-aspirasi dan hasrat akan gambaran tubuh yang sempurna.
Dan ketika dua tahun lalu berkesempatan cuti ke kampung halaman, kota kecil kesayangan saya sudah banyak berubah. Dan orang-orang ramai tidak pernah heran lagi melihat lebih banyak lagi ‘Tania-Tania’ baru yang lalu lalang di emperan toko. Tania sungguh tinggal cerita lama di masa lalu saya. Sekarang malah lebih banyak lagi icon baru. Ada Paris Hilton, Britney Spears, Linsay Lohan dan maaf..saya tidak punya bakat mengafal nama-nama beken yang selalu juga menjadi wallpaper handphone dan PC anak-anak muda sekarang ini. Dulu saya hanya tahu kalau mama sering pakai Citra Body Lotion murah meriah atau bedak Fifa no.4 kalau mau ke Gereja atau pertemuan Dharmawanita. Sekarang industri kosmetika juga bertumbuh kembang. Semuanya kembali berjalan lurus dengan cita dan gambaran tentang tubuh yang sempurna.
Jenis bahan pakian yang dipilih, kosmetika yang dipakai selalu berangkat bukan hanya dari kebutuhan untuk merawat tubuh tapi juga banyak dipicu oleh pencitraan tentang gambaran tubuh yang sempurna. Kita, anda dan saya, bisa setiap hari dihadapkan dengan pencitraan tentang gambaran tubuh yang sempurna – yang cukup sering – kita terima begitu saja dari televisi serta media komunikasi massa lainnya. Lebih lagi, pasar meyakinkan kita bahwa kesempurnaan tubuh macam itulah yang mesti kita miliki…”Beli dan beli selalu mengakibatkan cantik dan sempurna” itulah yang seolah-olah mau dikatakan oleh barisan kosmetik multijenis, ribuah mode pakian di atas etalase outlet-uotlet kota-kota kita.
Cukup sering mode kita hubungkan dengan pernak-pernik seputar pakian. Akan tetapi, rasanya mode jauh lebih dari itu; meliputi juga kosmetik, perawatan tubuh dan semacamnya. Maka mode tak lain adalah mode of existence, cara berada orang-orang masa kini; cara siapa saja yang ingin mengambil tempat yang pas di dunia dan di hadapan yang lain. “All we need is to be recognized, affirmed and received. Rasa-rasanya ini lah yang mau dikatakan oleh orang-orang -yang karena impiannya akan kesempurnaan kadang-kadang tidak lagi melihat situasi dan tempat untuk berpakian yang pantas. Makai tengtop atau rok pendek sampai kelihatan upskirt bukan tempatnya di Gereja, samahalnya celana ceplak penuh guntingan. Itu memang bisa nyaman bagi anda yang menerima begitu saja gambaran tentang kesempurnaan tadi, namun tentu pasti tak ngeh bagi orang lain.
Kita bisa saja mengatakan bahwa sikap hati yang tulus adalah hal terpenting dalam ibadah. Akan tetapi, ingat…!, eksistensi kita selalu mengikutsertakan seluruh diri kita, jiwa dan badan serta cara berada kita tadi. Tuhan jangan terlalu cepat dijadikan kambing hitam atau tameng untuk menutup hasrat kita yang sebenarnya mau menggantikan Tuhan. Bukankah dengan pingin agar orang lain terus memandangi dan memperhatikan kita, kita sedang menjadikan diri kita pusat perhatian? Masalahnya bukan hanya soal pantas dan tidak pantas – yang sering kali cukup susah dibedakan – tapi juga permainan-permainan bawah sadar yang sudah terlanjur ditimbulkan oleh pencitraan pasar tentang gambaran tubuh yang sempurna. Kita dibuat yakin bahwa nilai diri seolah-olah ditentukan oleh segala macam kosmetik dan dandanan tertentu.
Memang setiap kita butuh dikenali, diteguhkan dan diterima. Akan tetapi, kita bisa selalu bisa mengungkapkan kebutuhan tadi dengan cara yang lebih pantas dan tepat. Juga patutlah kita memberi perhatian semestinya terhadap tubuh kita, tetapi janganlah kita berhenti menjadikan tubuh berhala baru sebagai tolak ukur yang menentukan nilai kehadiran kita di dunia.
Ada kisah kecil yang diceritakan seorang kawan di Amerika. Dia menghadiri pemakaman sejawatnya. Ketika jenasah diberkati, biasanya diucapkan rumusan “ In the name of the Father, and the Son and the Holy Ghost”. Pendeta mengucapkan rumusan itu pada saat peti diturunkan ke liang lahat. Ia mengucapkan yang sama: In the name of the Father, and the Son, and … “in the hole he goes…!”, tiba-tiba satu suara memotong. Semuanya tertegun. Ternyata seorang anak kecil yang mengucapkan itu. Yah…tubuh tidak akan pernah abadi, kecuali jika kita mau memaknainya secara berbeda. Nantikan tulisan berikut: ketelanjangan – masih seputar tubuh.
Ronald,s.x.

Sang Penghibur

Sang Penghibur
Hampir di mana saja di kebudayaan manusia, menjelang kematian, orang tua memanggil anak atau keluarga terdekat untuk berkumpul. Biasanya diberikan petuah-petuah serta petunjuk-petunjuk tentang pembagian warisan. Saat-saat perpisahan ini tidak selalu menjadi peristiwa menyedihkan dan mengguncang-guncang hati. Ada yang justru menunggu-nunggu karena ingin memastikan seberapa jatah bagian warisan yang akan diterima. Saya pernah kesal dengan salah satu ipar jauh saya yang suatu waktu pernah duduk nongkrong main kartu dan membiarkan mertuanya menunggu ajal. Emmanuel Levinas rasanya betul waktu dia bilang bahwa kematian sering membuat apa yang pernah kita miliki dunia tinggal sebagai ‘jarahan bagi orang lain’.
Sebelum kematian-Nya, Yesus mengadakan jamuan makan perpisahan dengan para murid. Akan tetapi, dia tidak meninggalkan warisan sebagaimana yang umumnya dibuat. Tak ada pembagian kekuasaan – sebagaimana pernah diharapkan anak-anak Zebedeus (Mrk.10:35-45). Ia dalam jamuan makan malam itu, meninggalkan sebuah cara hidup, rangkuman dari seluruh ajaran-Nya, yakni berlutut membasuh kaki dan melayani meja; sesuatu yang kiranya pada saat itu langsung menjungkirbalikkan harapan duniawi dari mayoritas murid. Dia meninggalkan sesuatu yang sama sekali lain: mengasihi sebagaimana Dia telah mengasihi.
Perasaan-perasaan sedih yang kian menggumpal di hati para murid dicairkan dengan janji-janji pengharapan: “Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan aku pergi untuk kembali kepadamu dan membawa kamu ke tempat di mana Aku berada” (Yoh. 14:3). Kata-kata ini memang mengorientasikan para murid dan kita semua pada masa depan, saat mana kita mengalami puncak persekutuan dengan Kristus dalam kedatangan-Nya yang kedua (parousia). Akan tetapi, kata-kata yang sama juga menarik masa depan itu ke saat ini, menegaskan pada kita bahwa Ia tetap tinggal sekarang ini, di sini, di tengah sejarah…, jika kita punya hati untuk mencari dan melihat-Nya.
Dan untuk tetap melihat-Nya, Ia menjanjikan kita Penolong yang lain, yakni Roh Kudus yang menyertai kita selamanya. Roh itu membantu kita tetap bisa menemukan Dia meski dunia tidak mengenal-Nya; tidak juga memberi tempat bagi Dia. Dunia yang dimaksud tak lain dengan segala bentuk pengingkaran terhadap kebenaran, keadilan dan cinta kasih, yang mewujud dalam perang, pemiskinan, perusakan lingkungan, politik yang korup, ekonomi yang curang dan tak adil, eskapisme-eskapisme modern dalam budaya dan teknologi instant.
Berkat Roh Kudus, kita bisa dibantu untuk selalu bisa menemukan dan menjumpai Tuhan dalam segala sesuatu, meski dunia tidak melihatnya; meski jarak pandang kita mulai kabur oleh hiburan, advertasi dan banyak pandangan dunia lain yang masuk lewat televisi dan internet di bilik-bilik rumah kita; kita tergoda untuk merelatifkan antara apa yang baik dan yang paling baik; melihat uang atau harta sama pentingnya dengan kasih saying. Maka kita sudah merasa cukup mencintai keluarga dengan meninggalkan uang yang cukup di rekening istri buat belanja sebulan, atau membelikan satu Volkswagen baru untuk ultah anak tanpa merasa penting hadir pada saat yang membahagiakan itu. Kita juga sering merelatifkan penghargaan terhadap kesejahteraan karyawan kita demi keuntungan usaha kita sendiri. We must keep on surviving, berkejaran dengan waktu dan berkompromi dengan ekonomi.
Tuhan tidak meninggalkan kita sebagai yatim piatu. Dia menganugerahkan Roh Kudus, Sang Penghibur yang akan terus mengajarkan kepada kita kearifan hidup yang jauh lebih banyak dari yang pernah kita bayangkan. Roh itu pula yang meyakinkan kita bahwa sabda-sabda Yesus yang kita dengar dan kita tidak pernah kosong tanpa arti, malah sungguh hidup dan menggerakkan kaki dan tangan kita.
Lalu kita bertanya, sebenarnya Roh yang dimaksudkan Yesus itu apa sih? Apakah Roh itu adalah kenyataan lain di luar diri-Nya? Kematian Yesus di salib adalah pernyataan pemberian diri-Nya bagi Allah, demi kita. Roh tak lain adalah buah cinta Yesus pada kita. Di pihak lain Roh itu adalah buah cinta antara Yesus sang Putra dan Bapa. Cinta selalu menghasilkan buah. Yesus sendiri mengatakan: “ Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu” (Yoh.15:9). Maka kepergian Yesus (baca: kematian, kebangkitan hingga kenaikan-Nya ke surga) bukanlah perpisahan yang menderitakan, melainkan saat perjumpaan baru dengan Allah. Dengan mati Yesus memberikan hidup Allah sendiri – yang telah mengasihi-Nya – bagi kita. Bukankah Dia mengatakan bahwa biji harus mati agar menghasilkan buah?
Dengan bangkit dan naik ke surga, Dia membiarkan Allah, melalui Roh Kudus – buah kasihNya dengan Bapa – memperbaharui hidup kita dan menghantar kita pada pengharapan akan persekutuan yang kekal dengan-Nya. Dia sendiri juga menegaskan:
“ Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jikalau Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu (Yoh.16:8).
Pada janji akan Roh Kudus inilah harapan kita berdasar dan pada warisan cinta kasih cara hidup Kamis Putih, kita punya modal abadi untuk terus berjuang dalam hidup. Maka merayakan Pentakosta, tidak pernah dilepaskan dari seluruh sejarah keselamatan yang puncak-puncaknya kita rayakan mulai Pra-paskah hingga Paskah. Lilin paskah yang terus menyala selama 50 puluh hari adalah ingatan sekaligus undangan untuk terus memelihara iman paskah ini: bahwa tidak mungkin orang yang mengasihi tanpa batas mati selamanya, bahwa mengasihi itu selalu menghasilkan buah. Peristiwa paskah yang kita rayakan hingga memuncak pada Pentakosta bagaikan perjalanan memelihara pesemaian dalam hati kita untuk menerima dan membiarkan benih Roh Allah sungguh-sungguh tumbuh, menguncang-guncang dan menggerak-gerakkan hidup kita untuk mengubah dunia ini. Pentakosta adalah kesempatan untuk memperbaharui janji babtis – dengan mana kita mendapat anugerah Roh Allah, untuk selalu sekali lagi membiarkan Roh Kudus, yakni Kasih Allah sendiri mendesak, mendorong, menggerak-gerakkan tangan dan kaki kita untuk mengerjakan kebenaran, merancang keadilan, mengatapi hidup bersama dengan penerimaan dan pengampunan, mewarnai hidup harian dengan kesetiaan dan tanggung jawab, dan menandai dalam hidup kita pilihan untuk selalu menjadi bagian dari mereka yang miskin dan papa.

Selamat Hari Raya Pentakosta
Semoga Kasih Kristus Mendorong Anda
Ronald,s.x.

Blogger Template by Blogcrowds