Someday, di Kota yang Setia

Dalam taksi yang membawa kami ke kota, obrolan tentang kemenangan Obama tak bisa mengusir ketaknyamanan dalam taksi. Saya harus duduk terjepit di antara tiga penumpang lainnya. Kami bertujuh dalam taksi kecil itu. Taksi di negara ini, Kamerun, memuat enam orang penumpang, tak peduli besar atau kecil. Dan kami semua saat itu sama-sama hendak ke kota sama seperti taksi-taksi lainnya yang tidak saja membawa manusia tapi juga hasil bumi untuk dijual ke pasar.Ada pisang, umbi-umbian, buah dan sayuran penuh di belakang mobil.Beberapa kota yang pernah saya lewati termasuk beberapa di antarnya yang pernah saya tempati, selalu memperlihatkan fakta yang sama, mobilitas manusia.
Kota banyak bercerita tentang kita manusia, tentang mimpi banyak orang untuk mengubah nasibnya menjadi lebih baik. Kota juga tempat pengungsian mereka yang tak lagi kerasan dengan konservatisme kampung, tuntutan-tuntutan primordial suku dan desa yang terlalu membebani, entah itu akibat aib di kampung maupun karena mau menikmati kebebasan. Dalam perhitungan ekonomi, kota adalah kunci, bahkan semacam server yang mempertemukan semua jaringan manusia dengan segala kepentingannya. Orang rela naik di atas gerbong kereta dari Jawa ke Jakarta, belayar dari Afrika ke Eropa dengan perahu, naik camion atau mobil box dari Meksiko, Cuba ke Amerika Serikat demi mimpi itu.
Kota dan mobil yang membawa manusia pulang dan pegi ke dan darinya berada dalam satu garis logika yang sama, menyimpulkan sebuah harapan, sebuah transendensi. Dalam mobilitas, hemat saya, terjalin transendensi sekaligus kerinduan manusia untuk mengatasi dirinya mencapai keadaan lain yak tak stagnan, tapi baru dan transformatif. Karena manusia ingin agar mobilitasnya lebih efisen dan efektif, maka dibuatlah mobil…
Taksi atau angkutan lainnya selalu memenuhi jalan-jalan kota kita terutama saat pergi dan pulang kerja, pagi dan sore hari. Sedapat mungkin kita berusaha sampai di kota lebih awal atau paling kurang tepat waktu. Demikianpun ketika pulang, kita ingin sesegera mungkin meninggalkan kota, tidak terjebak macet dan bisa menikmati malam bersama keluarga. Kota semacet Jakarta memang kurang memungkinkan hal terakhir. Week-end kemudian menjadi kompensasi jam-jam malam yang tak kita lalui bersama keluarga. Ada ketegangan dinamis antara dua fakta ini. Pertama, keinginan kita untuk selalu lebih cepat menuju kota; kita tak mau profesi kita hancur, kehilangan customer karena terlambat. Kedua, inginan yang sama untuk segera meninggalkannya. Jika anda perhatikan wajah orang-orang di dalam taksi, busway, bajaj, metro mini dan sebagainya. Wajah-wajah itu menampakkan hasrat kedua ini, meninggalkan kota.
Ketegangan tadi mau mengatakan bahwa kota tidak pernah menjadi tujuan sejati pengharapan dan kerinduan eksistensial kita. Mungkin karena kota terlalu menuntut banyak dari kita, atau untuk sebagian orang, terlalu keras untuk ditempati ; efisiensi dan disiplin yang menegangkan, persaingan, ketenangan dan sebagainya. Inilah yang membuat kita memilih meninggalkan kota. Meninggalkan kota tidak selalu berarti spasial, ke luar kota, ke puncak, ke Pelabuan Ratu dan seterusnya. Ia juga berarti kaulitatif, gerak mencari keadaan yang tenang, damai yang sekaligus menegasikan jika kota segalanya bagi kita. Dalam iman, hal ini bisa berlanjut pada pilihan untuk percaya bahwa ada tempat, di mana didalamnya kita akan diterima tanpa syarat, yakni Tuhan dan mempercayakan seluruh pekerjaan kita pada-Nya. Banyak orang yang sering keluar kota tapi tidak bisa menghilangkan stress dan insomnia akibat tentu sajak kepercayaan bahwa kota menjadi segalanya bagi mereka.
Menuju dan meninggalkan kota bagi saya adalah tanda primer pengharapan akan sebuah kota di mana di dalamnya kita diterima tanpa syarat. Pujangga Israel bernama Jeremia menyebutnya kota yang setia. Sejak Abraham hingga sekarang manusia punya kerinduan yang sama, yakni kerinduan akan kota Allah, sebuah kota yang direncanakan dan dibangun oleh Tuhan sendiri (Ibrani 11 :10). Wajah-wajah orang sederhana di dalam taksi tadi, mengingatkan saya pada banyak orang yang tinggal di pinggir-pinggir tol, gelandangan dan para imigran …
Akhinya kota dan kita yang tinggal di dalamnya dengan semua ketegangan tadi mengundang kita untuk bersama-sama berjuang mewujudkan kota yang dirindukan semua manusia tanpa sekat-sekat primordial, kesukuan,agama, pandangan politik dan seterusnya. Ini bukan sebuah impian utopis, tapi sangat real kalau kita mulai mengerjakannya sekarang. Berjuang melawan kemiskinan itulah tindakan yang mesti kita buat. Apa yang disebut damai, tak mungkin terwujud kalau masih ada kemiskinan dan keterbelakangan. Damai itu dekat dengan pembangunan, development… Mudah-mudahan ini menjadi cetusan untuk ikut pula melalui profesi kita menciptakan sistem ekonomi yang adil. Mari bahu membahu membangun kota Allah itu mulai di dunia ini.
Yaoundé, 25 Jan 09
Ronald,sx
(PS : di Kemerun, umumnya sedan dipakai sebagai taksi atau angkutan, sedan-sedan yang kebanyakan dikapalkan dari Eropa alias mobil bekas. Afrika, jadi pasar dan sekaligus sampah mobil bekas negara maju).

Saya memilih mengambil gitar menyanyikan imagine-nya Jhon Lennon waktu menerima sebuah email provokatif di tengah memanasnya konflik Israel-Hamas. Terlampir dalam email itu beberapa gambar korban dari pihak Palestina yang katanya tidak ditayangkan CNN dan saluran berita resmi lainnya. Lalu email itu berakhir dengan ajakan untuk meminta Tuhan menghancurkan Israel.
Perang yang disayangkan begitu banyak orang ini, tidak sedikit dilihat dan ditanggapi secara hitam-putih seperti provakator tadi. Terlalu naif melihat konflik Israel-Palestina sebagai konflik agama, siapa yang paling benar dan siapa yang tidak. Tentu tidak bijaksana juga memihak satu dan memusuhi yang lain selain korban, sekali lagi selain korban dan perddamaian. Lebih lagi, terlalu sayang atas nama Tuhan, mengutuk yang lain atau menyerahkan penyelesaian konflik ini pada Tuhan.
Kita tahu militer Israel atau pemerintah berkuasa Israel tidak pernah mewakili seluruh kehendak rakyat Israel, begitupun Hamas tidak pernah mewakili seluruh lapisan rakyat Palestina yang majemuk. Pengirim email tadi lupa dengan realitas ini.
Mungkin demikian kenapa Jhon Lennon menulis bait ini

Imagine there's no heavenIt's easy if you tryNo hell below usAbove us only skyImagine all the peopleLiving for today...
Ia yang oleh beberapa orang dicap ateis kiranya menolak gambaran Allah seperti tadi, atau paradigma hitam –putih, surga-neraka, yang sering jadi kategori memahami fakta sekaligus alasan untuk balas dendam. Tuhan yang dimaksudkan oleh provokator tadi adalah nama yang terlalu anggun untuk menutup apa yang sebenarnya adalah kepentingan, nafsu dan kehendak untuk berkuasa.

Imagine there's no countriesIt isn't hard to doNothing to kill or die forAnd no religion tooImagine all the peopleLiving life in peace...
Jhon membayangkan sebuah masyarakat tanpa sistem yang kita sebut Negara, bahkan tanpa agama. Nasionalisme dan fanatisme keagamaan yang puritan seringkali adalah topeng nafsu berkuasa tadi. Jika selalu demikian, kita tidak pernah mematahkan adagium dan kepercayaan lama warisan Romawi, si vis pacem para bellum, jika ingin damai berperanglah. Dan rasanya semua orang yang dengan cara apapun memprovokasi memanasnya konflik dan perang tidak lebih baik dari para prajurit Israel dan Hamas yang saling baku tembak.
Kita bersama Jhon lebih baik menyanyikan lagu ini, berdoa dan berbagi damai daripada membaca tulisan atau berita-berita provokatif yang seringkali punya kepentingannya sendiri, apa pun itu, CNN,Al Jasera, dan seterusnya.
Imagine kelihatan seperti sebuah rintihan akan kemustahilan sebuah perdamaian, atau sebuah ungkapan sikap absurditas, sikap yang menyerah saja pada keadaan dan hanya berimajinasi. Namun, imagine yang dimaksudkan Jhon adalah undangan untuk menyingsingkan lengan baju, bahu membahu membangun damai di tempat dan lingkungan hidup dan kerja kita, paling kurang kita bisa mulai dengan mengirimkan pesan-pesan damai kepada banyak orang.
Jhon ateis, tidak percaya pada Tuhan yang dipercaya oleh para pelaku perang dan penguasa-penguasa. Setelah keluar dari the Beatles, ia hidup sebagai pasivis dan aktivis sosial bersama dikeluarkannya lagu imagine serta beberapa album sentimental lainnya. Ia menghidupi apa yang ia nyanyikan itu dalam hidup hariannya sebelum akhirnya dibunuh oleh fans beratnya pada tahun 1970. Rasanya jelas hidup Lenon tidaklah absurd. Malah lagu ini menjadi song theme of peace internasional. Yang hidupnya absurd tak lain adalah orang beragama yang memprovakasi sesamanya untuk balas dendam , malah bisa disebut atheis yang sesungguhnya. Ia absurd karena ia tak lagi bisa menerima dan mengubah keadaan selain menerima saja keadaan dengan makin memperburuk keadaan itu.
Saya dan teman-teman dari beberapa negara menyanyikan lagu ini dalam sebuah doa bersama seraya membawa mawar merah putih untuk semua korban perang, rakyat Palestina yang menderita dan semua korban perang lainnya. Semoga saya dan kami tidak sendiri juga walaupun anda bisa mencap kami pemimpi.
Ronald,SX

You may say I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will be as one

TUHAN ITU SIMPLE SAJA

Sehari penuh di museo vaticana pada Agustus tahun kemaren tidak bisa saya lupakan. Kapel sistina dengan kubah indah yang diukir Raphael berhasil saya potret di tengah pengawalan ketat petugas Vatican. Saya harus membayarnya dengan menerima caci maki petugas-petugas itu. Bukan hanya di Sistina, tapi di mana-mana kita bisa temukan gambar atau lukisan wajah Yesus, orang-orang kudus serta peristiwa-peristiwa kitab suci.
Umumnya dalam tradisi agama semitik, gambar atau lukisan-lukisan seperti itu diharamkan. Monoteisme total menolak manifestasi semacam itu. Allah tak terbatas dan tak berhingga. Jadi tak mungkin diungkapkan dalam gambar. Wajar jika akan sangat sulit anda temukan gambar atau potret Tuhan di sinagoga-sinagoga atau di rumah ibadah agama moneteistik lainnya.
Kristianisme sama sekali tidak menyangkal kebenaran itu dan tidak pernah memaksudkan gambar atau lukisan itu sebagai identifikasi total diri Allah, walaupun harus diakui di zaman lampau pengkultusan tak dihindari. Tradisi menggambar wajah Tuhan dan seluruh peristiwa kitab suci lainnya terus hidup sebagai ungkapan iman, dan bahkan bentuk lain dari sebuah tafsir atas kitab suci yang dalam taraf tertentu membantu kita menghayati hidup kita.
Bincang-bincang soal wajah, Thomas Aquinas telah lama mengingatkan kita kalau Tuhan itu sebenarnya simple saja (dalam Keith Ward, God Guide for the Perplexed, p.51). Bukan dalam arti bahwa ia begitu mudah dipahami, melaikan justru sebaliknya, tak terbagi dan bahasa kita yang terbatas tak sanggup melukiskan Dia yang tak terbatas.
Apa yang lama ditulis Aquinas mengingatkan saya pada pesta yang hari ini kita rayakan, pesta pembabtisan Tuhan, yang menutup masa natal sekaligus membuka kembali minggu biasa. Arti, Tuhan itu simple rasanya jauh lebih mendalam dimengerti melalui peristiwa penting ini.
Yesus datang, berdiri dan ikut antri dengan banyak orang (berdosa) yang datang kepada Yohanes untuk dibabtis. Injil Markus menempatkan kisah pembabtisan ini (Markus 1:9-11) sebagai kunci membaca Injilnya. Kunci itu adalah mengenal siapakah Yesus. Yesus turun ke sungai Yordan dan memberi diri-Nya dibabtis. Dua adegan ini, antrinya Yesus dan turunnya Yesus ke dalam sungai mengungkapkan siapakah Allah. Allah sedemikian mengasihi manusia sehingga Ia ikut antri, ikut solider dengan kita. Ia turun, membiarkan dirinya basah oleh kesalahan kita, menanggung semua dosa kita supaya kita diselamatkan. Keluarnya Yesus dari air adalah ungkapan hidup baru yang kita terima berkat penderitaan-Nya di tengah kita. Kita menerima berkat yang sama yang diterima Yesus dalam pembabtisan kita: “Engkaulah Anak-Ku yang terkasih, kepadamulah Aku berkenan” (ayat 11). Kita dikasihi, kita dicintai, kita tidak dihukum, dirajam, dibakar, dan seterusnya...
Peristiwa solidaritas Allah yang terungkap dalam kisah pembantisan ini uniknya kita rayakan persis setelah pesta Epifani, pesta penampakan Tuhan. Ini tidak salah karena pembabtisan Tuhan, samahalnya Epifani adalah sebuah theofany, penampakan wajah Tuhan di tengah manusia yang merindukan keselamatan. Bagi saya, the simplictiy of God, mesti dipahami dalam artian ini: Tuhan yang antri dengan orang berdosa, yang menderita dan akhirnya mati bagi kita. Inilah wajah Allah yang ditampakkan Yesus melalui peristiwa penting ini.
Wajah Allah seperti inilah yang mesti terus kita wartakan pada dunia, dunia yang seringkali atas nama Tuhan membunuh satu sama lain. Pesta pembatisan Tuhan pantas menjadi momentum untuk berkomitmen berjuang bagi perdamaian di sekitar kita.

Ronald,sx

AKU DAN BINTANG
The beauty of God
Lagu bintang kecil adalah bagian dari masa kanak-kanak yang tak terlupakan. Lama sekali saya tidak lagi menyanyikan lagu itu sampai akhirnya hari ini setelah berkumpul bersama anak-anak Kamerun merayakan Epifani, lagu ini saya putar kembali dalam ingatan.
Bintang kecil di langit yang biru
Amat indah menghias angkasa
Aku ingin terbang dan melayang
Jauh tinggi ke tempat kau berada

Entah kenapa lagu ini terlanjur populer meski kita harus mengoreksi logika baris pertamanya. Masa iya bintang bisa kelihatan di langit biru pada siang hari ? Namun, pesan lagu itu mungkin terletak pada dua baris terakhir. Pencipta lagu ini mengungkapkan rasa ingin tahunya yang besar tentang realitas kosmik bernama bintang-bintang di langit. Sejarah ilmu pengetahuan, pencaharian ilmiah dimulai dari rasa heran, dari kekaguman. Bahkan penemuan, pemikiran dan perenungan tentang Tuhan pun berawal dari kekaguman sebelum orang bertanya-tanya kenapa, bagaimana dan seterusnya… Bintang membawa daya tarik yang istimewa dalam pengalaman primer seorang kanak-kanak.
Injil Matius mengisahkan tiga orang majus dari Timur yang datang ke Yerusalem mencari raja Israel yang baru lahir sebagaimana ditunjukkan oleh bintang. Setelah memperkenalkan pribadi Yesus pada bab I,pada bab 2, ayat 1-12, ia menggunakan metaphor bintang untuk menjelaskan daya tarik Yesus pada bangsa-bangsa lain serta menggarisbawahi universalitas keselamatan. Yesus lahir untuk semua orang, semua bangsa. Tiga orang majus atau tiga raja dari timur mewakili beragam bangsa…
Kisah orang majus dari timur bagi saya meninggalkan pesan yang mendalam yang mendekatkan saya pula pada lagu masa kecil tadi. Tiga orang majus, sebagai raja yang punya kuasa bukan mustahil mempunyai akses pada pengetahuan masa itu yakni astrologi atau ramalan bintang dan juga tradisi yahudi -yang juga menyebar bersama meluasnya kerajaan Herodes atau imperialisme romawi pada umumnya. Singkat kata mereka adalah orang-orang terpelajar, yang bisa pula dibandingkan dengan ilmuwan. Dengan astrologi, orang mampu menghitung waktu pergeseran atau perputaran matahari, bulan dan bintang untuk mengetahui musim tanam, petik dstnya . Jika diandaikan bahwa mereka mengenal baik tradisi Yahudi maupun astrologi sebagai ilmu pengetahuan saat itu, bisa dikatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak mempertentangkan astrologi dengan iman sebagaimana terungkap dalam kepercayaan yahudi yang mereka kenal. Dengan demikian kita bisa mengerti, kenapa kisah ini dimulai dengan pertanyaan para majus ini : di manakah Raja Yahudi yang baru lahir dan yang bintangnya kami lihat di timur ? Nubuat tentang kelahiran raja yahudi adalah sesuatu yang mereka sudah kenal dan ingin dikonfirmasi langsung pada orang yahudi sendiri. Namun, Matius tidak menulis kisah ini sebagai sebuah kisah astrologis. Ia bicara sesuatu yang lebih dalam yakni tentang keindahan tuhan, the beauty of God, la beauté de Dieu.
Para majus yang dituntun oleh bintang bagaikan anak-anak yang lebih dahulu kagum terhadap keindahan bintang sebelum bertanya kenapa dan bagaimana. Iman, seperti yang saya katakan sebelumnya,mulai dari rasa kagum ini. Ini yang dilewatkan begitu saja oleh Herodes. Ia sibuk dengan pertanyaan kenapa dan bagaimana ; ia kehilangan kesempatan menikmati keindahan bintang itu. Di belakang pertanyaan kenapa dan bagaimana, ada ikhtiar untuk berkuasa. Mengetahui itu tak lain menguasai realitas yang kita ketahui. Pada Herodes, Injil lebih jelas menerangkan bahwa ia ‘terkejut’ dan nampak takut dengan eksistensi raja lain di wilayah kekuasaannya.
Bagi para majus mengagumi mendahului mengetahui .Dan lihatlah mereka kemudian oleh kekaguman pada bintang, dituntun ke sebuah gubuk kecil di mana Yesus lahir. Di kandang hina inilah mereka melihat kebesaran Allah ; kebesaran sang raja dalam kesederhanaan dan kekecilannya. Sekaligus di tempat ini pula kekaguman mereka berubah arahnya menjadi kekaguman pada si kecil yang terbaring di palungan. Dan rasanya penampakan si kecil di hadapan mereka mendekatkan mereka pada misteri yang tak terpahami tapi menarik perhatian. Yang Besar, menampakan dirinya dalam diri si kecil, bagaikan bintang yang pada mata kita kelihatan kecil tapi sebenarnya besar. Inilah misteri Allah; Dia yang Tak Terbatas mau hadir dalam sejarah kita, mau senasib dan sepenanggungan dengan kita.
Dan lagu bintang kecil tadi mengajak saya mengagumi misteri keindahan itu. Dan epifani kiranya membawa arti mendalam bagi para majus tentang apa artinya besar, tak lain dengan menjadi kecil seperti kanak-kanak yang mereka lihat itu. Dan kiranya inilah jalan lain yang mereka temukan untuk kembali ke negeri mereka. Menjadi raja, menjadi besar tidak lain dengan menjadi seperti si kecil, senasib dan sepenanggungan. Damai dimulai dari sini. Dan semoga inilah berkah natal bagi kita setelah kita merayakannya. Setelah kita mengunjungi kandang kecil itu, mudah-mudahan kita menemukan jalan baru seperti para Majus membawa damai bagi banyak orang. Graham Nash dalam lagunya, I am a simple man (sebagian saya tulis dalam renungan sebelumnya), berkata, the ending of the tale is the singing of the song. Ia mengigatkan saya untuk sekali lagi menyanyikan lagu bintang kecil di malam setelah saya menyelesaikan tulisan ini. Salam untuk anda semua!
Ronald,sx
Yaoundé, Cameroun – epiphany du Seigneur



Blogger Template by Blogcrowds