Perempuan habis melahirkan, lebih kuat bercinta…

Itu sebuah grafiti yang tertulis dengan tinta merah di atas lantai ruang pameran Taman Budaya Yogyakarta…Entah kesan apa gerangan yang dimiliki sang seniman hingga mengguratkan tulisan penuh tafsir itu? Cukup lama saya berdiri sambil memandang dan menebak-nebak kira-kira apa maksud pernyataan itu. Mungkinkah pesannya tidak lain mau mengatakan sesuatu apa adanya, perempuan kalau melahirkan biasanya lebih kuat bercinta? Benarkah itu pengalaman sang seniman? Perempuan atau laki-lakikah dia? Saya tidak ingat lagi pertanyaan-pertanyaan lainnya saat itu….Barangkali perempuan yang membaca graffiti tadi tidak semuanya sepakat dengan apa yang ditulis. Yang pasti si penulis punya pengalaman tentang atau dengan perempuan, setidak-tidaknya dengan perempuan yang melahirkan
Jujur saja, memperhatikan tulisan tadi saya langsung membayangkan mama saya, seorang perempuan yang mengandung 7 kali dan melahirkan 5 kali dan saya satu dari kelima orang yang dilahirkan itu..
Mama pernah cerita bagaimana sakitnya melahirkan. Seperti apa rasanya tidak seluruhnya ia ingat justru karena saking gembiranya melihat saya dan saudara-saudara saya lahir selamat. Pengalaman yang sama juga pernah disampaikan seorang sahabat. Kegembiraan melihat buah hatinya yang lahir sehat menggantikan seluruh pengalaman sakit melahirkan itu…
Maka pengalaman melahirkan justru menjadi pernyataan komitmen si ibu untuk mencintai si ‘buah cinta’, buah hubungan dengan sang suami. Boleh-boleh saja suami merasakan bahwa pelan-pelan perhatian istri padanya mulai berkurang karena harus merawat bayi..Tapi, jauh lebih dari itu, bayi yang lahir seharusnya mengundang suami pun untuk memberi perhatian dan cinta yang lebih besar pada yang lain. Di sini kita langsung bersentuhan dengan salah satu pesan pokok perkawinan: yakni kelahiran anak. Tujuan perkawinan tidak pernah berhenti pada kesejahteraan antara suami dan istri. Cinta yang sejati adalah cinta yang berbuah atau menghasilkan buah. Menolak kelahiran bayi dengan sengaja membuat cinta berubah menjadi egoisme interpersonal. Pendek kata, meski suami-istri saling mencintai, tapi dengan tegas menolak kelahiran anak, membuat cinta mereka betapa egoisnya– karena dinikmati berdua. Dengan kelahiran anak, baik suami dan istri saling merelakan diri, cinta dan perhatian bagi pertumbuhan dan perkembangan seorang pribadi baru.
Waktu kecil masih terang bagi saya bahwa mama selalu menjadi tempat nyaman untuk mengungsi ketika papa marah. Saya cukup sering juga memperhatikan bagaimana bayi-bayi kecil ketika didatangi orang yang tidak dikenali segera berlari tertatih-tatih mendapati ibunya untuk berlindung. Dalam rangkulan, pelukan dan momongan ibu we feel at home; hiding close to her womb makes us safe.
Setelah melahirkan, ibu saya makin semangat bekerja, justru karena dia tahu tanggung jawab pun bertambah. Mencintai bukan hanya perkara lima kaleng susu Dancow yang selalu tersedia setiap pagi di meja, bukan sebatas lima liter nasi yang ditanak setiap hari; tentu bukan pula hanya dengan mainan dan uang yang memanjakan…tapi kehadiran, perhatian, kesabaran dan tentu saja sakit hati melihat anak yang kepalang bandel adalah pernyataan cinta yang sesungguhnya
Banyak hal yang harus direlakan justru setelah melahirkan. Waktu tidur mungkin anda terganggu justru karena pipis bayi tengah malam membangunkan anda atau si ibu; mencuci popok yang kotor bisa saja menghilangkan kesempatan untuk berdandan lebih cantik dan anggun setiap hari. Mengantar dan menemani si kecil ke Taman Kanak-Kanak tentu menunda niat kita untuk sesegera mungkin berkarir menghasilkan duit dan mendapat jabatan lebih tinggi…Masih banyak lagi daftar hal yang harus direlakan seorang perempuan begitu dia habis melahirkan…Anda bisa menambahkan sendiri seturut pengalaman anda. Saya kadang berpikir, mungkin inilah sebabnya kenapa cukup banyak anak muda sekarang ini, di Eropa khususnya, yang memilih married tapi tidak pingin punya anak. “Child is disturbing thing!”…Sudah sangat jelas maksudnya bukan?
Dan akhirnya mengingat-ingat lagi tulisan tadi saya pun merenungkan kerahiman Allah. Kita selalu menyebut Dia mahakuasa dan maharahim, saking seringnya sampai cenderung lupa merasakan kedalaman artinya. Saya sangat yakin kata ‘kerahaman’ atau ‘maha rahim’ yang kita pakai untuk mengungkapkan pengalaman kita akan Allah berasal dari pengalaman kita akan cinta ibu yang memelihara kita dalam rahimnya selama 9 bulan lebih dan kurang. Tidak bisa kita ingat bagaimana pengalaman di rahim ibu itu. Hanya ibu yang tahu bagaimana ia mengandung kita. Demikian pun dengan pengalaman akan Allah. Kita tidak tahu bagaimana persisnya kita terlindung dan terjamin, tapi Dia jauh lebih tahu bagaimana Dia mencintai dan memelihara kita. Allah memilih untuk mencintai meski tidak disadari atau bahkan ditolak oleh manusia, samahalnya dengan ibu yang de facto mencintai dengan mengandung meski sadar bahwa anaknya kelak tidak persis ingat bagamana pengalaman ‘dalam kandungan’ itu…
Akhirnya dengan merenungkan semuanya ini, saya berterima kasih pada Tuhan yang menciptakan perempuan dan memberikan ibu bagiku. Dari ibu saya sungguh belajar bagaimana mencintai dan akhirnya mengalami Allah dalam hidup saya. Maka tanpa harus menghapus tulisan yang ada di grafiti tadi, saya memilih untuk menulis demikian: perempuan, habis melahirkan lebih kuat mencintai. Betapa rindunya saya berjumpa ibu dan mencium rahimnya yang melahirkanku bagi dunia..Semoga kerinduan yang sama menjadi milik anda!

Salam,
Ronald,s.x.

0 komentar:

Blogger Template by Blogcrowds