Bila Tuhan Pulas Mendengkur

Bila Tuhan Mendengkur…

Hari ini seorang anak yang saya kenal mati terjatuh dari lantai rumah ibu asuhnya. Seminggu sebelumnya saya mengunjungi dia. Sebelas tahun adalah usia yang terlalu muda untuk mati. Saat saya menuliskan ini, kedua orangtua sedang dalam perjalanan menemui buah hati yang menjadi harapan mereka itu. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan mereka…
Seorang rekan yang punya toko barang-barang elektronik pertengahan tahun lalu mengalami musibah: seluruh tokonya di jalan Oerip Sumoharjo Yogyakarta ludes dilalap api. Untung dia dan keluarga sedang berada di luar rumah…
Hampir setiap kita mengalami peristiwa di mana kita merasa hidup kita terpecah-pecah bahkan sampai merasa seperti ditinggalkan Tuhan. “Padahal sudah saya jalani semua novena!”, demikian kata seorang teman yang selalu heran kenapa hubungan dia dengan beberapa pacarnya sudah tiga kali berakhir di tengah jalan karena hal yang amat sepele..
Saya masih ingat pemberitaan tahun 2005 tentang Jepang yang dinilai sebagai negara dengan tingkat angka bunuh diri paling besar di dunia, 30 ribua-an per tahun. Bunuh diri sering sekali menjadi jalan pintas bagi orang-orang yang merasa memang hidup tidak punya arti lagi.
Penderitaan orang-orang tak berdosa bisa langsung membuat kita bertanya: apa Tuhan memang tidak mau peduli atau Dia memang tidak ada sama sekali? Doa-doa dan sembah bakti jumatan atau mingguan seperti tidak pernah dijawab. Kalau Tuhan ada, kenapa penderitaan tetap harus ada, dan kenapa saya atau keluarga saya yang menanggungnya? Kita bisa juga bertanya, kenapa sih orang-orang jahat dan kejahatan tidak pernah habis-habisnya? Apakah Tuhan tidak punya pekerjaan lain selain menonton penderitaan kita? Dalam pengalaman penderitaan, kehilangan dan kegagalan total, hidup bagaikan runtuh…tidak punya makna lagi. Seorang pujangga dalam kitab Mazmur dengan lirih memberontak begini: ""Bangunlah, mengapa Engkau tidur ya Tuhan? Bangkitlah! Jangan membuang kami terus-menerus! Mengapa Engkau menyembunyikan wajah-Mu? Mengapa tak Kau hiraukan penindasan dan himpitan yang menimpa kami?" (Mzm.44:14-15)
Kisah Yesus menghardik badai tentu pernah anda baca atau dengar(Markus 4:35-41). Saat badai mengombang-ambingkan perahu dan menciut nyali para murid, Yesus sedang lelap tertidur. Tak heran jika mereka berteriak: “ Tuhan, apakah engkau tidak peduli kita binasa?” Rasanya para murid mengatakan apa yang juga kita rasakan ketika penderitaan dan kegagalan seolah-olah mencabut seluruh keyakinan kita bahwa hidup ini pantas dilanjutkan, apakah doa tetap terus kita panjatkan kalau-kalau memang rasanya kita mendapati Tuhan seperti sedang pulas tertidur, mendengkur lagi…
Yah…memilih untuk beriman tidak sebanding dengan kepercayaan bahwa Tuhan ada. Kisah angin ribut yang dihardik sebenarnya mau mengajarkan kearifan ini: memilih untuk beriman bagaikan mempercayakan diri pada Allah yang seolah-olah tidur, diam, bisu meski faktanya sama sekali lain. Seruan para murid yang ketakutan betapapun rapuhnya sudah merupakan pernyataan kesadaran bahwa Tuhan adalah pegangan paling aman dalam hidup kita. Akan tetapi pegagan itu sering menjadi pilihan terakhir, ketika kita betul-betul tidak bisa lagi menghadapi atau memahami masalah kita. Kasihan betul Tuhan…Dia yang sebenarnya sudah lama beserta kita, baru disadari kehadirannya saat-saat akhir. Pantaslah jika dia menegur murid-murid: “mengapa kamu tidak percaya?”
Tuhan mungkin memang tengah tidur. Tapi itu bukan soalnya. Masalahnya adalah Tuhan memilih tidur karena kita tidak mau mendengarkan Dia lagi; atau Dia telah lama hadir tapi kita tidak terlalu mempedulikannya. Bagi kita sama saja jika Dia ada dan Dia tidak ada, sebuah sikap yang kadang disebut agnostik; kita tidak ingin Dia campur tangan dalam hidup kita. Saya bebas melakukan apa saja dan apa pun yang saya lakukan bukan urusan Tuhan.
Kalau Tuhan memang tengah tidur memberi kemungkinan lain. Dia justru pada saat itu meminta kita untuk membuat keputusan yang penting, yakni tidak putus asa menghadapi penderitaan dan kegagalan sebab Dia menjamin kita bahkan ikut menderita bersama kita. Dia pun meminta kita untuk saling menguatkan. Dan saya yakin inilah yang diminta Tuhan bagiku saat mendengar kabar kematian anak yang saya kunjungi itu. Hari ini kami mendoakannya secara khusus.
Tuhan tidak pernah membiarkan apalagi merencanakan penderitaan bagi manusia. Sungguh, janganlah percaya pada allah macam ini! Lalu penderitaan dari mana? Tentu saja dari manusia sendiri karena pemutlakan kebebasannya. Dari situ lahir ketamakan, kuasa, nafsu, senjata, perang dan kehancuran manusia yang lain. Bahkan alam pun ikut menanggung penderitaan yang sama..Tuhan lebih tepat, menderita bersama kita.
Kalau Tuhan mendengkur begitu pulasnya, itu pratanda bahwa Dia sungguh mempercayai kita untuk hidup dengan anugerah kebebasan yang sejati. Dia gembira bahwa kita bisa hidup seperti Dia, terus membangun dunia ini dengan mencintai dan melayani tanpa syarat. Anda hari ini dipanggil menjadi manusia-manusia penyembuh yang membawa pengharapan bagi begitu banyak orang yang sungguh membutuhkan perhatian dan cinta.

Saling menguatkan dan mendoakan!

Ronald,s.x.

0 komentar:

Blogger Template by Blogcrowds