Mall dan pusat-pusat perbelanjaan sudah lama dirias dan bahkan sekarang telah ramai oleh khalayak. Hotel-hotel berbintang sudah penuh di-booking untuk long session holiday seperti saat ini; daftar reservasi restaurant dan tempat-tempat hiburan juga sudah terisi semua. Saya ingat ungkapan klasik dari Romawi ini : Carpe Diem!, kurang lebih artinya :”yuk, habiskan..dan jangan lewatkan hari ini..
Rumah kita pun hampir selalu dibuat istimewa menjelang tahun baru; janji sudah banyak dibuat dengan keluarga, teman, kekasih atau orang-orang terdekat supaya bersama-sama menyambut tahun baru. Lantas kalau bukan merencanakan makanan istimewa, kita sudah memilih beberapa hadiah atau tanda cinta bagi orang-orang dekat itu..
Kita tahu, orang Jawa punya perhitungan waktu sendiri. Suku Aztec dengan sangat indah melukiskan perhitungan waktu mereka dalam gambar-gambar. Pun di masa lampau orang-orang Babylonia menetapkan terbitnya Bulan Pertama sebagai Tahun Baru mereka dan masih banyak lagi… Akan tetapi, tetap saja hampir seluruh penghuni bumi ini serempak memberi jedah yang sama untuk hari terakhir di tahun masehi, sama-sama menjadikan perhitungan masehi sebagai perhitungan mereka. Maka, pantas kita mensyukuri universalisme seperti ini. Orang-orang yang bermusuhan, kulit hitam dan putih, Budhis, Kristen atau Islam sama-sama berhenti sebentar menunggu bergantinya waktu yang sama-sama dan sepakat mereka namakan Satu Januari..
Dalam perhitungan waktu, apa dan bagaimanapun itu, kita bisa menemukan kearifan peradaban nenek moyang kita. Waktu perlu dihitung sedemikian rupa sehingga kita bisa melihat hidup kita sebagai keseluruhan yang lengkap, menemukan hubungan antara peristiwa yang satu dengan peristiwa lainnya. Bersama waktu yang dihitung kita menambahkan di dalamnya kualitas-kualitas seperti kanak-kanak, muda dan tua. Saya yakin perhitungan waktu demikian dibuat sebagai self-affirmation atau penegasan diri manusia bahwa hidupnya terbatas, tapi pada saat yang sama afirmasi atas kerinduannya untuk hidup sepenuh-penuhnya, fully alive…
Orang-orang beriman, di sini di antaranya saya sebutkan Santo Dionisius yang menetapkan perhitungan waktu masehi, membuat perhitungan waktu dengan tujuan mensyukuri kehidupan. Bagi orang Nasrani, Yesus adalah anugerah kehidupan. Maka, tidak salah jika perhitungan itu dinamakan masehi, tahun almasih, tahun penyelamatan, anno domini, tahunnya Tuhan. Saya yakin para pendahulu kita mau memaknai hidup mereka sebagai waktu di mana Allah terus hadir dan menyelamatkan…
Maka di akhir tahun dan menjelang tahun baru ini, saya mengajak teman-teman berterima kasih pada Tuhan yang tidak saja menciptaan waktu, tapi menciptakan kita juga. Bahkan lebih dari itu, Dia memilih untuk masuk dalam waktu, ikut dalam sejarah kita sebagai manusia dalam diri Yesus. Injil Yohanes yang menjadi bahan refleksi akhir tahun, dengan tepat menggarisbawahi kebenaran tadi sebagai “firman yang telah menjadi manusia dan tinggal di antara kita” (Yohanes 1:1-18).
Anda tentu sepakat bahwa kita tidak pernah memilih untuk dilahirkan atau tidak, untuk hidup di dunia ini atau tidak…Yang pasti kita diciptakan, dari tiada menjadi ada; dari ketidakmungkinan menjadi kenyataan.. Maka, hidup dan keberadaan kita totally a gift, anugerah Tuhan. Sebagai anugerah, saya yakin bahwa kita diciptakan tidak dengan semena-mena, melainkan direncanakan. God chooses to love us…Coba bayangkan, apa kah ada bedanya jika kita tidak ada dan jika kita ada? Kalau tidak ada,bukankah itu berarti memang kita tidak penting, lalu dunia terus berjalan tanpa sedikitpun menerima dampak dari keberadaan kita. Toh, ternyata ada bedanya…maka itu berarti kita penting, we are completely valuable!
Saya dan anda tengah menghitung-hitung waktu yang sebentar lagi berganti dan tentu di Cilandak Town Square, TA, Hilton Hotel orang datang jauh-jauh dari Bekasi, Tangerang untuk bersama-sama menghitung: satu, dua…dan tiga.. sambil meniupkan terompet. Bahkan tidak sedikit yang mulai ngikut gaya selebritas yang pake ngelamar segala di malam taon baru..Pun begitu yakin saya saat ini, bahwa berjuta-juta tangan sedang siap-siap di atas mobile phone nya untuk nge-send ucapan pertama Selamat Tahun Baru pada orang-orang yang spesial baginya
Sebelum semuanya itu…sebelum anda meniup terompet panjang-panjang, sebelum kening orang-orang yang anda cintai dicium; sebelum anda menghitung satu,dua dan tiga…biarlah barang lima menit, anda memasang lilin, duduk melingkar di meja bersama keluarga, diam sejenak mensyukuri semua yang sudah terjadi. Masukkanlah dalam ingatan anda semua orang yang langsung atau tidak terlibat dalam hidup anda tahun ini lengkap dengan semua peristiwa yang paling enak dan tidak mengenakkan.. Sebentar saja… marilah kita HENING… Ini suatu pilihan yang mungkin terlalu kontras dengan semarak dan gegap gempita orang-orang ramai. Kita memilih itu sebentar saja untuk menerima dengan gembira semua yang sudah berlalu. Untuk apa? Untuk melihat bagaimana Tuhan terus mengubah hidup kita hari-hari ini, untuk melihat betapa Tuhan terus mencintai dan menerima kita di titik 00.00 meski tahun yang lalu begitu pekat dan perih bagi hidup kita. Sebagai orang beriman, kita pantas merayakan tahun untuk merayakan cinta Allah yang mengatasi waktu, merayakan pilihan kita untuk terus mencintai meski orang-orang dekat kita tidak selalu seperti yang kita harapkan bahkan mengkhianati kita.
Tidak salah jika Robert Burns pencipta balada terkenal “Auld Lang Syne” pada tahun 1700-an bertanya dalam lirik lagu itu:
“ Should auld acquaintance be forgot and never brought to mind?
Should auld acquaintance be forgot and days of auld lang syne (old long ago)?
We’ll take a cup of kindness yet,
For auld lang syne, for the good old days..

Mari kita habiskan hari ini dengan rasa syukur, bukan dengan kemabukan yang membuat lupa pada Dia yang memberikan segala yang baik. Mari kita membangun kembali pengharapan, cita dan komitmen untuk saling membaktikan diri tanpa syarat bagi orang yang kita kasihi, bagi semuo orang khususnya mereka yang paling menderita…
Saya mendoakan anda semua di tahun yang baru ini. Syukur atas persahabatan kita…

Salam,

Ronald,s.x.


Mendegarkan Hujan, mensyukuri hidup

Di depan baranda rumah, saya sendiri malam itu, persis ketika hujan begitu derasnya turun, seolah tidak mau berhenti. Rasa kuatir saya muncul apalagi setelah mendengar kabar kalau longsor terjadi di beberapa daerah di Jawa Tengah seperti Solo, Karanganyar, juga di Jawa Timur..Lebih dari 70 orang mati tertimbun di Jawa Tengah .
Tak biasanya malam itu saya duduk sendiri menatap hujan deras serta angin. Memang malam itu saya pingin sendiri. Dan kebetulan, rumah lagi sunyi…hari itu 26 orang teman saya meninggalkan wisma dan tinggal di beberapa panti sosial untuk mengisi liburan mereka.
Entah kenapa, malam itu saya pingin banget mendengarkan hujan… Sungguh ..bunyi hujan di atas genting, tirisan air yang mengalir melalui jari-jari atap atau talang dan jatuh ke selokan, juga bunyi kodok serta jangkrik seperti menciptakan keheningannya sendiri; bunyi yang selama ini tidak terlalu saya pedulikan. Kesibukan, jadwal kerja yang terencana rapi selama ini membuat saya kehilangan kesempatan menikmati suasana indah itu. Bunyi tirisan serta butiran-butirannya yang kemudian pecah di atas tanah, suara jangkrik dan kodok yang sahut menyahut, suara angin-angin yang mempermainkan daun nampak kompak menghasilkan orkestra…
Bisa saja anda mengatakan bahwa saya “kurang kerjaan” atau menggap ini aneh… Kelihatannya memang tak ada apa-apanya, tapi sebenarnya ada sesuatu yang istimewa (nothing, but music), itu jika kita mau mendengarkan.
Memang memencet remote televisi, membunyikan tape keras-keras, atau shoping sambil cuci mata di mall menjadi pilihan yang lebih mengasyikkan sehabis makan malam dan selepas penatnya bekerja. Bahkan, banyak teman-teman kita, karena pulang kerja malam hari, tidak punya kesempatan lain selain merebahkan diri di tempat tidur, lalu besok pagi kembali bergegas ke tempat kerja, dan seterusnya…dan seterusnya. Kita seolah-olah terus berlari, seperti tidak pernah berhenti. Walau liburan bisa memberi kita sedikit kesempatan untuk relax, tapi kita belum benar-benar terbebas dari kecenderungan untuk terus berlari jika kita tidak mau dengan sengaja mengambil waktu dan tempat untuk sendiri, untuk berhenti dan mulai mendengarkan…
Pernahkah anda di saat liburan berusaha sejenak melepaskan diri dari kewajiban untuk menjawab telphone atau me-reply sms, sebentar mematikan teve lalu duduk hening sambil minum nescafe memandang dan mendengarkan anda sendiri…Rasanya, bunyi ringtone hp, bab bib bup sms yang masuk terlalu sayang untuk dibiarkan, seolah-olah kita sulit bernafas tanpa itu…Dan ini sekaligus menunjukkan betapa kita sedang dibuat “tergantung” / depended .. Lantas kita sulit mendengarkan suara-suara lain selain suara ringtone…kita menjadi orang yang tidak lagi peka akan diri kita sendiri, apalagi orang lain; kita sedang dibuat sulit merasakan kehadiran yang lain dan menikmati perjumpaan dengannya…
Hujan deras yang bersatu dengan semua bunyi-bunyian malam membawa saya pada perjumpaan dengan yang lain…Dalam hening saya mengingat para korban longsor di Karangayar itu, juga seorang nenek tetangga kami yang berduka karena ditinggal mati suami pas ketika orang-orang merayakan Natal. Seraya mengingat mereka saya coba memahami, mengerti pertanyaan banyak orang, baik yang mengalami langsung maupun yang menyaksikan penderitaan semacam itu:”Kenapa harus ada penderitaan?” atau pertanyaan serupa, “Kenapa Tuhan menghendaki penderitaan orang-orang tak berdosa?” Terlalu mudah untuk menghakimi bahwa orang-orang seperti itu adalah orang-orang yang tidak beriman…Bagi saya pertanyaan-pertanyaan bukanlah pertanyaan yang butuh jawaban A atau B, tapi ungkapan kebutuhan untuk dimengerti dan dicintai, betapapun rapuhnya..mereka tetap orang-orang yang percaya.
Dan malam itu saya terus memperhatikan rumput-rumput di taman yang terus dibasahi hujan, bunyi jangkrik dan kodok di depan gerbang rumah, angin yang mulai bertiup lembut. Indah…saya merasakan tidak sedang sendiri malam itu…Tuhan menganugerahkan alam dan musiknya sebagai teman yang menghantar saya pada perjumpaan dengan para korban (yang kubawa terus dalam doa) dan akhirnya membawa saya pada perjumpaan dengan Tuhan…Saya terus merenungkan kata-kata paus Benedictus XVI dalam ensikliknya Spe Salvi: “Allah tidak dapat menderita… Dia hanya dapat menderita bersama kita ( God can not suffer, but suffer with) Dan dalam kehingan malam itu saya makin yakin bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan saya, anda dan tentu saja ke tujuh puluh orang yang mati tertimbun tanah longsor itu. Dia menderita bersama saya, anda dan juga mereka para korban di Karanganyar lalu menyediakan kita kehidupan abadi bersama Dia. Inilah pengharapan yang saya minta malam itu agar menjadi milik anda, sahabat-sahabat saya, dan semua orang yang percaya pada-Nya.

“Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?” (Roma 8:35)

salam,

ronald,s.x


AKULAH KEMBANG PERAWAN

Entah mengapa setiap kali mendengar lagu “kembang perawan” yang dilantunkan Gita Gutawa saya tersenyum sipu sekaligus langsung mengingat Maria, perawan yang melahirkan Almasih; juga pada kidung indah yang ia wariskan pada Gereja: magnificat, Aku Mengagungkan Tuhan. Mungkin di telinga anda, lagu ini tidak terlalu familiar dibandingkan dengan “kembang perawan” yang dipoles orkestra apik Erwin Gutawa.. Akan tetapi saya tetap menemukan kesamaan, atau lebih tepat jembatan yang menghubungkan dua lagu ini – dalam penghayatan saya. Keduanya merupakan kidung gembira perayaan atas kehidupan; Yang satu bercerita tentang seorang gadis remaja yang memasuki tahapan baru hidupnya, yang mulai mengerti diri dengan segala aspirasinya: kemandirian, cinta berserta hasrat-hasratnya – pingin dekat di hati walau jauh di mata, bila dekat lelaki jadi malu, gee r, dst…
Sementara magnificat adalah lagu seorang perawan, yang tidak hanya memiliki hasrat, kerinduan dan perasaan sebagai perempuan, tapi nyata-nyata - walaupun telah mencintai seorang laki-laki (Yusus)- akhirnya memutuskan menyerahkan hidupnya bagi Allah. Maria merelakan segala rencananya demi terlaksananya rencana Allah. Ia tidak hanya memberi rahimnya bagi Almasih untuk lahir, tapi seluruh hatinya bagi Allah: Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataan-Mu”
Saya membayangkan ketika malaikat Tuhan menampakkan diri pada Maria dan menyatakan rencana Allah, Maria tidak hanya berkata “Bagaimana mungkin itu terjadi, sementara aku belum bersuami?”, tetapi dalam hatinya dia mungkin juga bilang: “Tuhan, kau tahu, aku punya hasrat dan kerinduan sebagai perempuan, aku juga mencintai Yusuf. Namun, jadilah kehendakmu (fiat voluntas tua). Dia murni, orang yang terus terang, jujur dan tidak menyumbunyikan apa-apa, termasuk kekuatirannya.
Maria, berbeda dengan gadis seusianya, sungguh mengerti arti cinta, yakni memberi tempat seluas-luasnya bagi yang lain; mendahulukan yang lain yakni Allah sendiri – suatu komitmen yang jauh melampaui perasaan suka dan tidak suka. Inilah keperawanan Maria sesungguhnya. Dia sedemikian mengasihi Allah sampai tidak memberi tempat pada kata ‘tidak’. Dia murni, karena hatinya ia penuhi dengan keputusan mencintai Allah sehabis-habisnya.
Keputusan Maria untuk membiarkan rencana Allah terjadi dalam hidupnya bukan karena tidak ada pilihan lain. TIDAK! Maria memilih itu karena tak terkira kegembiraannya mengalami diri dicintai sedemikian besarnya oleh Tuhan, sampai-sampai dia yang hina itu dipilih menjadi ibu Tuhan. Maria mengatakan Ya, karena dia merayakan keterpilihannya:
“aku mengagungkan Tuhan, hatiku bersukaria karena Allah penyelamatku, sebab ia memperhatikan daku hambanya yang hina ini..”
Maka, magnificat pun adalah syukur atas anugerah kehidupan sebagaimana yang dilagukan Gita ..”menikmati semua anugerah hidupku…Maria pantas mendapat gelar “kembang perawan” justru karena dia sepenuhnya mempercayakan diri pada Allah, setia pada pilihannya menjadi ibu Yesus. Saya yakin lagu itu selalu ia nyanyikan setiap hari ketika membesarkan Yesus, ketika menjadi pelarian di Mesir, ketika bersama Yusuf mencari-cari Yesus, saat menjanda ditinggal mati Yusuf, ketika tahu Yesus dicari-cari untuk dibunuh, ketika Yesus disalib dan wafat hingga akhirnya harus ikut membesarkan Gereja perdana…Maria selalu melagukan itu untuk minta pada Tuhan supaya setia.
Setiap hari saya juga mendoakannya mohon rahmat kesetiaan; mohon anugerah keperawanan yang sama seperti dimiliki Maria, yakni kegembiraan untuk terus mengabdi, mencintai dan melayani walau harus mengurbankan rencana dan kesenangan pribadi.
Hati yang murni, tulus untuk mencintai adalah rahim bagi Allah untuk lahir bagi anak, istri, kekasih, keluarga dan musuh anda…
Dengan menyanyikannya aku mohon agar aku menjadi “kembang perawan”, kembang yang tetap memberi tempat bagi orang lain dan Allah sendiri untuk dicintai… Rahmat ini pula yang saya mohonkan dari Allah untuk anda menyongsong Natal yang sebentar lagi tiba.
Semoga “lagi kembang perawan” yang sudah saya download ke multiply saya (http://tardelly.multiply.com) bisa menyemangati anda agar bersama saya melagukan terus dalam hidup kita kidung ini:

“aku mengagungkan Tuhan,
Hatiku bersukaria karena Allah penyelamatku.
Mulai sekarang aku disebut yang berbahagia
Oleh sekalian bangsa
Sebab perbuat besar dikerjakan bagiku oleh yang mahakuasa
Kuduslah namanya
Kasih sayangnya
Turun temurun
Kepada orang yang takwa
Perkasalah perbuatan tangan-Nya
Diceraiberaikannya orang yang angkuh hatinya
Orang yang berkuasa diturunkannya dari takhta
Yang hina dina diangkatnya
Orang lapar dikenyangkannya dengan kebaikan
Orang kaya diusirnya dengan tangan kosong
Menurut janjinya kepada leluhur kita
Allah telah menolong Israel hambanya
Demi kasih sayangnya kepada Abraham serta keturunannya
Untuk selama-lamanya”

salam,
ronald,s.x.

Bunga Cinta Lestari


BUNGA CINTA LESTARI
A prayer in an autumn

Tuhan, aku tak ingin keindahanku
Kau ambil dalam musim yang kini berganti
Kuingin kecantikanku terpancar terus
Bersama berjalannya waktu
Tak rela kubiarkan helai-helai rupawan ini
Berguguran
Tak kuasa kelak tubuhku yang mungil ini
Menanggung dinginnya hawa dalam malam
Yang kini makin bertambah panjang dari hari

Aku bersyukur padamu,
Karena semuanya ini kau berikan
padaku, sekuntum bunga hina
Tapi kau sembunyikan dari manusia
Betapapun mereka berdandan rapi dan menarik
Bahkan kau pernah bilang padaku
Kalau Salomo yang termashyur itu
Tidak pernah berpakian seindah punyaku…,
Ku tersanjung Tuhan…
Sebab itulah pengharapan yang menghibur hati
Meski kadang aku merasa kecil
di antara keagungan Mawar, Melati, serta bunga-bunga elok lain

Tuhan kau tahu kadang aku pingin hidup selamanya
Mengisi etalase, lounge dan semua bilik kecintaan manusia
Atau menjadi satu-satunya penghias taman kesayangan-Mu
Namun, musim yang sepertinya melucuti semua yang kubanggakan ini
Mengajarkan aku kerendahan hati…

Aku mesti gugur, supaya ada Bunga lain yang sekarang memancar
Dan memberi keindahan, kesejukan dan keselamatan bagi manusia
Yakni engkau sendiri ya Tuhan yang sebentar lagi lahir mekar bersemi
Di hari Natal

Aku mengerti…
Walau aku jatuh, membusuk bahkan diinjak-injak orang
Meski nanti aku tidak ikut menghiasi tempat kelahiranmu
Aku merasakan kelahiranmu sekarang ini di hatiku
Dengan persembahan diri ini
Aku percaya di musim-musim yang akan datang
Aku Kau dandani dengan berlimpah-limpah keanggunan
Serta semarak keindahan-Mu sendiri
Semoga aku menjadi seperti Engkau
Yang nanti lahir, lalu akan gugur bagi kami
Supaya dunia selamat dan bertunaskan kedamaian
Semoga aku hidup seperti nama-Mu
Bunga Cinta Lestari
Agar terus memberi, mekar mewangi
Walau kehilangan
Karena dengan memberi aku mendapatkan segala yang Kau punya

Created by reynaldo fulgentio tardelly,s.x.

Bawalah doa ini dalam doa-doa anda menyambut kelahiran sang juruselamat !

Menuju Puncak

Tak terasa kita sudah tiba di minggu Adven III, sebuah langkah iman untuk memenuhi undangan nabi Yesaya pada minggu I: "marilah kita naik ke gunung Tuhan, supaya ia mengajarkan kita jalan-jalannya dan supaya kita berjalan menyongsongnya" (yesaya 2:1-5).
Adven - jika dihayati dengan sungguh -bagaikan sebuah perjalanan naik menuju puncak, perjalanan nan melelahkan, apalagi jika untuk naik kita harus melewati jalanan yang terjal, becek penuh semak belukar. Ketika jalanan-jalanan hutan dan bukit lenyap diganti dengan aspal, highway serta infrastruktur transportasi yang makin canggih, pengalaman naik gunung, pengalaman ke puncak menjadi pengalaman yang langka. Lebih buruk lagi, pengalaman ini toh tidak selalu didambakan, sebab dengan Honda VVT atau Inova yang nyaman kita bisa menghindari sulitnya pengalaman ke puncak dengan terlelap dalam lindungan air conditioner lalu terjaga dan tiba-tiba sampai.
Kalau mau jujur, dengan segala kemudahan yang kita terima dari kemajuan teknologi tidak sedikit dari kita yang lebih suka memburu yang enak dan nyaman; sedapat, semudah dan secepat mungkin mencapai hasil tanpa harus merugi atau mengalami sakit. Ini mirip dengan prinsip ekonomi dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya sedapat mungkin mencapai hasil yang sebesar-besarnya. Dan memang prinsip itu sedang menjadai jawara baru yang melumat habis prinsip dan keutaman luhur seperti kejujuran, kerja keras, pengorbanan dll.
Saya bukannya pesimistis sama teknologi, bukan! Saya mengajak anda dalam segala dimensi hidup anda, menyadari fungsi teknologi sebagai sarana, tool, vehicle dan tidak pernah menggantikan peran utama kita sebagai aktor kehidupan. Untuk mendaki gunung pun kita tetap butuh sarana, sepatu yang kuat, tali dan tongkat, simpul plus bekal secukupnya untuk makan/minum.
Lalu, hal apa gerangan yang telah mendorong cukup banyak orang, termasuk para penakluk-penakluk gunung yang terkemuka, untuk mendaki gunung? Saya yakin satu hal yang sama adalah ketika melihat bukit, gunung dan puncak hampir semua seolah-olah dipanggil untuk naik agar kita bisa melihat hal-hal lain yang belum kita ketahui di tempat lain secara lebih baik, agar kita juga bisa melihat tempat kita berada secara lebih luas daripada ketika kita sedang berada di bawah – ketika padangan kita terbatas.
Naik ke puncak gunung adalah gambaran lain dari transendensi, kita mau melampaui diri kita. Puncak gunung nampak seperti mengundang dan menarik kita untuk mengalami dan merasakan cakrawala/sikap pandang luas seperti yang dimilikinya.
Di gunung kita bisa menyaksikan munculnya mentari secara lebih luas, matahari pertama, dan kita bisa memandang kenyatan di bawah kita, termasuk di tempat di mana kita pernah berdiri dan hidup secara lebih berbeda, dengan detail yang lebih lengkap, juga hubungan antara tempat yang satu dengan tempat yang lain.

Saya yakin kata-kata nabi Yesaya tidak salah untuk melukiskan perjumpaan dengan Tuhan. Adven adalah perjalanan naik gunung menyongsong dan berjumpa dengan sebuah cakrawala mahaluas yakni Allah sendiri. Perayaan Natal adalah kedatangan cakrawala dan matahari baru. Natal mengundang kita meraih sebuah cara hidup baru seperti Allah, yang datang dan lahir sebagai manusia hina, lalu nanti akan berjuang dan menderita bersama manusia, dan kemudian mati sebagai manusia hina pula untuk mengangkat dan memuliakan kita.

Untuk memperoleh cakrawala baru, kita mesti berjalan naik, menyusuri semak belukar kekuatiran, melewati tanah lapang dan tempat teduh kesenangan yang sebentar-sebentar kita temui dalam perjalanan sekaligus menolak godaan untuk menjadikan tempat teduh sementara itu sebagai puncak; bahkan godaan untuk berhenti dan berbalik arah. “Dengan akal dan kebebasan kita”, saya mengutip Paus Benedictus dalam ensiklik terbarunya spe salvi, “ sudah cukup bagi kita untuk menciptakan keselamatan bagi diri kita sendiri. Uang, materi dengan segala manifestasinya (teknologi dan kemajuan) adalah penyelamat baru, pemberi rasa aman baru…Ini adalah instrumen paling mumpuni bagi the kingdom of human. Perjalanan ini karenanya berbahaya…
Akan tetapi, tidak perlu terlalu banyak memberi tempat untuk kekuatiran karena kita berjalan tidak tanpa tuntunan. Tuhan sendiri yang menuntun kita. Dialah puncak, yang sudah berdiri di kejauhan menjulur tinggi memandu kita.Kita tahu dan yakin akan tiba di puncak, di kota Allah kita. Membaca dan merenungkan kitab suci adalah pemandu yang tidak kala pentingnya. Kitab suci yang direnungkan bagaikan navigasi atau peta perjalanan untuk sampai ke puncak. Dalam perjalanan ini kita mesti melepaskan hal-hal yang tidak perlu dan menghalangi perjalanan. Itu bisa saja kecenderungan dan kebiasaan buruk yang lama-lama berbuah dosa. Maka Adven menjadi kesempatan penting untuk merayakan sakramen rekonsiliasi. Sudahkah anda merayakannya? Kalau belum, carilah waktu untuk itu.
Saya mendoakan anda untuk tidak melewatkan begitu saja perjalanan mengasyikkan ini untuk nanti memperoleh cara hidup baru, cara hidup Yesus sendiri.
Saya mau menutup renungan minggu ini dengan apa yang ditulis penyair Walt Whitman dalam sajaknya songs of the open road. Dalam sajak ini meski tidak langsung bicara tentang gunung, bait-baitnya hampir sama berkisah tentang pengalaman perjumpaan dengan Tuhan, si open road, si Cakrawala Kehidupan yang membuat kita kelak bisa menghayati hidup ini dengan bahagia.

A foot and light-hearted, I take to the open road,
Healthy, free, the world before me,
The long brown path before me, leading wherever I choose.
You road I enter upon and look around! I believe you are not all that is here;
I believe that much unseen is also here.
Here the profound lesson of reception, neither preference or denial;
The black with his woolly head, the felon, the diseas’d, the illiterate person, are not denied;
You air that serves me with breath to speak!
You objects that call from diffusion my meanings, and give them shape!
You light that wraps me and all things in delicate equable showers!
You paths worn in the irregular hollows by the roadsides!
I think you are latent with unseen existences—you are so dear to me.


Salam,
Ronald,s.x.


Di Swedia dan orang-orang Skandinavia pada umumnya sampai saat ini masih merayakan Festival Cahaya yang dirayakan bertepatan dengan pesta Santa Lucia. Santa. Lucia adalah seorang gadis yang menjadi martir pada masa penganiayaan Diocletian, kaisar Romawi pada tahun 304 masehi. Gadis muda ini dihukum mati secara mengenaskan.
Kisah tentang St. Lucia kemudian dibawa oleh para misionaris pertama di Swedia. Lalu kemudian berkembanglah legenda yang mengesankan tentang tokoh ini. Dia sering digambarkan sebagai seorang gadis cantik bergaun putih, yang setiap pagi datang membangunkan orang-orang di kampung, membawa sebuah nampan berisi roti, beberapa cangkir kopi serta kue-kue kecil. Rambutnya dihiasi mahkota yang menjulur terurai sampai ke rambut dan di atas mahkota itu ada beberapa lilin yang menyala. Dia selalu datang untuk mengatakan bahwa Yulitede sedang datang, pagi dan hari baru sudah tiba.
Dalam konteks Natal, santa Lucia menjadi teladan seorang pekabar gembira, yang dengan kesederhanaan, kelembutan dan keramahtamahannya mengatakan pada banyak orang bahwa Tuhan sudah datang…Kedatangan Tuhan itu dia buktikan dengan hidupnya sendiri..Tuhan telah mengubah hidupnya, dan karena itu tidak ada alasan untuk tidak menyambut setiap orang yang dijumpai tiap hari dengan senyum, sapaan hangat, lengkap dengan kopi hangat dan cookies di nampan.
Merayakan pesta ini, hemat saya berarti merayakan hospitalitas…keramahtamahan. Kita pantas bertanya, seperti apakah hospitalitas yang kita hayati sekarang ini? Saya ingat orang-orang di kampung saya. Ketika masih seminaris, saya pernah mengunjungi beberapa keluarga. Kedantangan kami selalu disambut hangat. Meski mereka tidak punya apa-apa, tetapi pasti selalu dihidangkan pada kami nasi, ikan kering dan secangkir tuak atau arak putih…Saya pernah mendapati bagaimana satu keluarga tetap menghidangkan yang terbaik bagi kami meski tak sengaja saya melihat di dapur anak-anaknya sedang juga menunggu makan…Perasaan saya saat itu tidak enak. Tapi satu hal yang saya pelajari dari orang-orang sederhana itu yakni cinta dan iman. Mereka lebih mementingkan kami, tamunya daripada mereka sendiri. Mereka sekaligus juga beriman, percaya bahwa pasti Tuhan menghidangkan lebih banyak dari yang telah mereka berikan.
Dalam hospitalitas, yang lain adalah segalanya…sesuatu yang mungkin mulai jarang kita temukan dalam zaman di mana waktu,prestasi, uang menghilangkan kesempatan indah untuk sebentar misalnya, melihat bunga-bunga indah milik tetangga lalu menyapa dia selamat pagi; menanyakan bagaimana keadaan keluarganya atau menghidangkan satu mangkuk mie ayam bagi rekan di kantor yang terlalu sibuk memperhatikan dirinya sendiri; sengaja pulang kerja bareng sambil nanya ada apa dengannya.
Harapan saya semoga seperti Lucia, si terang kecil itu, terang yang menjadi pratanda Si Terang Besar – Kristus, hospitalitas kita hidupi terus dalam keseharian.Mudah-mudahan pula Kristuslah yang menjadi penggerak tangan-tangan kita untuk menjabat erat tangan sahabat kita; mulut untuk menyapa hangat dan penuh senyum penerimaan, serta lengan untuk merangkul dan memeluk erat mereka yang menghianati kita. Kita mesti menjadi Lucia yang lain, la luce itu, terang kecil yang mendahului Sang Cahaya Natal.
Salam,
Ronald,s.x.

Di Eropa kini, malam jauh begitu panjang dari siang...Orang-orang lebih banyak tinggal di rumah, berdiang di api atau duduk dekat heater untuk mengusir dingin yang menggigit. Natal dirayakan pas ketika matahari bersinar lebih panjang dan siang berangsur-angsur pulih. Bisa dibayangkan bagaimana orang menunggu agar musim cepat berganti.

Kita yang hidup di iklim tropis tidak asing dengan pekerjaan menunggu seperti itu. Kita juga menunggu agar hujan cepat turun menghidupkan tanah ladang kita yang nyaris mati; kita juga menunggu agar hujan tak lama-lama turun supaya kita bisa ke luar rumah.

Musim yang baru, yang ditunggu-tunggu, seolah-olah memberi kita rasa yang baru, hidup yang lain.

Dalam menunggu, kita bisa menemukan karakter dasar kita manusia, yang tak mau berhenti, yang tidak merasa puas, yang ingin melampaui diri. Orang menyebutnya transendensi (istilah latin, trans: melalui, melewati, melampaui & sedere: duduk --> melampaui kedudukan atau keberadaan kita). Jadi, menunggu mengorientasikan kita, mengarahkan kita pada perjumpaan dengan yang lain.

Dalam menunggu, kita pun bisa menemukan hasrat terdalam hidup kita: hasrat akan yang lain, perjumpaan dengan yang lain...Kita menunggu sesuatu seperti menunggu seseorang yang sebentar lagi akan membawa kita ke sebuah kenyataan lain daripada kenyatan yang sedang sekarang kita rasakan. Jika anda pernah jatuh cinta pada pandangan pertama pada seseorang, perasaan itu paling kurang menumbuhkan kerinduan mendasar untuk bertemu atau minimal melihatnya lagi.

"Dokter muda Jony kejatuhan cinta ketika pertama kali ngeliat Tasya, mahasiswi semester akhir fak.kedokteran UI yang datang membantu jadi volunteer saat banjir bandang melanda Jakarta Februari lalu..Hari berikutnya ketika Tasya belum datang, padahal saat itu udah jam 11.00, dokter ini spontan bertanya pada teman-teman Tasya:.."Tasya nya mana..? " ...sebuah pertanyaan informatif tapi sekaligus performatif yang mau menyatakan bahwa "I miss Tasya now..

Atau...Shinta, seorang siswi salah satu SMU N di JAKUT sangat rajin ikut pertemuan OSIS. Anehnya,cewek yang biasanya rajin senyum dan suka nanya ini, pas ketika Leo gak datang, tidak banyak senyumnya...semua teman-teman tahu kalau Shinta pengen connect ke Leo sejak mereka akrab waktu Pentas Seni minggu lalu.

Kalau yang ditunggu, yang dinanti belum datang, hati gelisah dan cemas...

Saya mengajak saudara-saudari untuk menjalani masa advent dalam kebersahajaan sebagaimana yang saya ceritakan di atas. Adven bermuasal dari kata Latin adveniere yang artinya mendatangi dan adventus, kedatangan. Adven kemudian diartikan dalam tradisi iman kita sebagai kedatangan Tuhan.Tuhan yang berinisiatif mendatangi dan berjumpa dengan kita.

Bagi kita, Adven berati, menunggu Tuhan yang tengah datang itu. Dalam menunggu, kita sekaligus mestinya menyongsong, menyambut. Kita pertama-tama harus menunggu karena ditunggu pasti lebih penting dari kita. Kita punya alasan untuk menunggu,karena yang ditunggu pasti datang, bukan bisa datang dan bisa juga tidak datang. Bahkan Dia sudah datang lebih dari 2000 tahun lagi, bahkan jauh sebelum sejarah dunia ini mulai. Kita diberi jaminan yakni pengharapan, pengharapan bahwa hidup kita tidak pernah berakhir pada kehampaan (ends at an emptiyness); tidak pernah kosong karena Dia sendiri yang sebenarnya tengah menyambut kita, betapapun lemah dan berdosanya kita. Maka,hati kita tentu tidak cemas, dan rindu kita tidak menyakitkan, tapi menggetarkan, menggelora, untuk segera menjumpai Dia. Pengharapan dengan baik disimbolkan oleh warna hijau dalam corona/lingkaran adven. Allah yang setia datang menyambut kita dilambangkan dengan lingkaran.

Inilah Allah yang kita imani, Allah yang tidak tinggal di singgasana kemahakuasaannya, tapi turun ke dalam sejarah hidup kita, merangkul kita bahkan menderita bersama kita.

Mari kita isi adven ini, kita sambut Natal dengan sikap rendah hati seperti yang ditunjukkkan si prajurit Romawi: "Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang pada saya. Bersabdalah saja maka saya akan sembuh"(bdk. Mat.8:5-11) . Biarkanlah waktu-waktu ini menjadi waktu yang istimewa untuk sekali lagi sadar dan percaya bahwa hanya satu yang menjamin hidup kita:yakni Tuhan. Kita tidak pernah diselamatkan oleh barang, uang, harta yang kita miliki, tapi oleh seseorang yang sungguh mencintai kita tanpa syarat.

Kita saling mendoakan untuk memelihara kerinduan kita, mengasah ketekunan untuk terus menyambut Dia yang datang.

Salam,

ronald,s.x.

Blogger Template by Blogcrowds