Mendegarkan Hujan, mensyukuri hidup

Di depan baranda rumah, saya sendiri malam itu, persis ketika hujan begitu derasnya turun, seolah tidak mau berhenti. Rasa kuatir saya muncul apalagi setelah mendengar kabar kalau longsor terjadi di beberapa daerah di Jawa Tengah seperti Solo, Karanganyar, juga di Jawa Timur..Lebih dari 70 orang mati tertimbun di Jawa Tengah .
Tak biasanya malam itu saya duduk sendiri menatap hujan deras serta angin. Memang malam itu saya pingin sendiri. Dan kebetulan, rumah lagi sunyi…hari itu 26 orang teman saya meninggalkan wisma dan tinggal di beberapa panti sosial untuk mengisi liburan mereka.
Entah kenapa, malam itu saya pingin banget mendengarkan hujan… Sungguh ..bunyi hujan di atas genting, tirisan air yang mengalir melalui jari-jari atap atau talang dan jatuh ke selokan, juga bunyi kodok serta jangkrik seperti menciptakan keheningannya sendiri; bunyi yang selama ini tidak terlalu saya pedulikan. Kesibukan, jadwal kerja yang terencana rapi selama ini membuat saya kehilangan kesempatan menikmati suasana indah itu. Bunyi tirisan serta butiran-butirannya yang kemudian pecah di atas tanah, suara jangkrik dan kodok yang sahut menyahut, suara angin-angin yang mempermainkan daun nampak kompak menghasilkan orkestra…
Bisa saja anda mengatakan bahwa saya “kurang kerjaan” atau menggap ini aneh… Kelihatannya memang tak ada apa-apanya, tapi sebenarnya ada sesuatu yang istimewa (nothing, but music), itu jika kita mau mendengarkan.
Memang memencet remote televisi, membunyikan tape keras-keras, atau shoping sambil cuci mata di mall menjadi pilihan yang lebih mengasyikkan sehabis makan malam dan selepas penatnya bekerja. Bahkan, banyak teman-teman kita, karena pulang kerja malam hari, tidak punya kesempatan lain selain merebahkan diri di tempat tidur, lalu besok pagi kembali bergegas ke tempat kerja, dan seterusnya…dan seterusnya. Kita seolah-olah terus berlari, seperti tidak pernah berhenti. Walau liburan bisa memberi kita sedikit kesempatan untuk relax, tapi kita belum benar-benar terbebas dari kecenderungan untuk terus berlari jika kita tidak mau dengan sengaja mengambil waktu dan tempat untuk sendiri, untuk berhenti dan mulai mendengarkan…
Pernahkah anda di saat liburan berusaha sejenak melepaskan diri dari kewajiban untuk menjawab telphone atau me-reply sms, sebentar mematikan teve lalu duduk hening sambil minum nescafe memandang dan mendengarkan anda sendiri…Rasanya, bunyi ringtone hp, bab bib bup sms yang masuk terlalu sayang untuk dibiarkan, seolah-olah kita sulit bernafas tanpa itu…Dan ini sekaligus menunjukkan betapa kita sedang dibuat “tergantung” / depended .. Lantas kita sulit mendengarkan suara-suara lain selain suara ringtone…kita menjadi orang yang tidak lagi peka akan diri kita sendiri, apalagi orang lain; kita sedang dibuat sulit merasakan kehadiran yang lain dan menikmati perjumpaan dengannya…
Hujan deras yang bersatu dengan semua bunyi-bunyian malam membawa saya pada perjumpaan dengan yang lain…Dalam hening saya mengingat para korban longsor di Karangayar itu, juga seorang nenek tetangga kami yang berduka karena ditinggal mati suami pas ketika orang-orang merayakan Natal. Seraya mengingat mereka saya coba memahami, mengerti pertanyaan banyak orang, baik yang mengalami langsung maupun yang menyaksikan penderitaan semacam itu:”Kenapa harus ada penderitaan?” atau pertanyaan serupa, “Kenapa Tuhan menghendaki penderitaan orang-orang tak berdosa?” Terlalu mudah untuk menghakimi bahwa orang-orang seperti itu adalah orang-orang yang tidak beriman…Bagi saya pertanyaan-pertanyaan bukanlah pertanyaan yang butuh jawaban A atau B, tapi ungkapan kebutuhan untuk dimengerti dan dicintai, betapapun rapuhnya..mereka tetap orang-orang yang percaya.
Dan malam itu saya terus memperhatikan rumput-rumput di taman yang terus dibasahi hujan, bunyi jangkrik dan kodok di depan gerbang rumah, angin yang mulai bertiup lembut. Indah…saya merasakan tidak sedang sendiri malam itu…Tuhan menganugerahkan alam dan musiknya sebagai teman yang menghantar saya pada perjumpaan dengan para korban (yang kubawa terus dalam doa) dan akhirnya membawa saya pada perjumpaan dengan Tuhan…Saya terus merenungkan kata-kata paus Benedictus XVI dalam ensikliknya Spe Salvi: “Allah tidak dapat menderita… Dia hanya dapat menderita bersama kita ( God can not suffer, but suffer with) Dan dalam kehingan malam itu saya makin yakin bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan saya, anda dan tentu saja ke tujuh puluh orang yang mati tertimbun tanah longsor itu. Dia menderita bersama saya, anda dan juga mereka para korban di Karanganyar lalu menyediakan kita kehidupan abadi bersama Dia. Inilah pengharapan yang saya minta malam itu agar menjadi milik anda, sahabat-sahabat saya, dan semua orang yang percaya pada-Nya.

“Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?” (Roma 8:35)

salam,

ronald,s.x


0 komentar:

Blogger Template by Blogcrowds