Menunggumu, Merindumu...

Di Eropa kini, malam jauh begitu panjang dari siang...Orang-orang lebih banyak tinggal di rumah, berdiang di api atau duduk dekat heater untuk mengusir dingin yang menggigit. Natal dirayakan pas ketika matahari bersinar lebih panjang dan siang berangsur-angsur pulih. Bisa dibayangkan bagaimana orang menunggu agar musim cepat berganti.

Kita yang hidup di iklim tropis tidak asing dengan pekerjaan menunggu seperti itu. Kita juga menunggu agar hujan cepat turun menghidupkan tanah ladang kita yang nyaris mati; kita juga menunggu agar hujan tak lama-lama turun supaya kita bisa ke luar rumah.

Musim yang baru, yang ditunggu-tunggu, seolah-olah memberi kita rasa yang baru, hidup yang lain.

Dalam menunggu, kita bisa menemukan karakter dasar kita manusia, yang tak mau berhenti, yang tidak merasa puas, yang ingin melampaui diri. Orang menyebutnya transendensi (istilah latin, trans: melalui, melewati, melampaui & sedere: duduk --> melampaui kedudukan atau keberadaan kita). Jadi, menunggu mengorientasikan kita, mengarahkan kita pada perjumpaan dengan yang lain.

Dalam menunggu, kita pun bisa menemukan hasrat terdalam hidup kita: hasrat akan yang lain, perjumpaan dengan yang lain...Kita menunggu sesuatu seperti menunggu seseorang yang sebentar lagi akan membawa kita ke sebuah kenyataan lain daripada kenyatan yang sedang sekarang kita rasakan. Jika anda pernah jatuh cinta pada pandangan pertama pada seseorang, perasaan itu paling kurang menumbuhkan kerinduan mendasar untuk bertemu atau minimal melihatnya lagi.

"Dokter muda Jony kejatuhan cinta ketika pertama kali ngeliat Tasya, mahasiswi semester akhir fak.kedokteran UI yang datang membantu jadi volunteer saat banjir bandang melanda Jakarta Februari lalu..Hari berikutnya ketika Tasya belum datang, padahal saat itu udah jam 11.00, dokter ini spontan bertanya pada teman-teman Tasya:.."Tasya nya mana..? " ...sebuah pertanyaan informatif tapi sekaligus performatif yang mau menyatakan bahwa "I miss Tasya now..

Atau...Shinta, seorang siswi salah satu SMU N di JAKUT sangat rajin ikut pertemuan OSIS. Anehnya,cewek yang biasanya rajin senyum dan suka nanya ini, pas ketika Leo gak datang, tidak banyak senyumnya...semua teman-teman tahu kalau Shinta pengen connect ke Leo sejak mereka akrab waktu Pentas Seni minggu lalu.

Kalau yang ditunggu, yang dinanti belum datang, hati gelisah dan cemas...

Saya mengajak saudara-saudari untuk menjalani masa advent dalam kebersahajaan sebagaimana yang saya ceritakan di atas. Adven bermuasal dari kata Latin adveniere yang artinya mendatangi dan adventus, kedatangan. Adven kemudian diartikan dalam tradisi iman kita sebagai kedatangan Tuhan.Tuhan yang berinisiatif mendatangi dan berjumpa dengan kita.

Bagi kita, Adven berati, menunggu Tuhan yang tengah datang itu. Dalam menunggu, kita sekaligus mestinya menyongsong, menyambut. Kita pertama-tama harus menunggu karena ditunggu pasti lebih penting dari kita. Kita punya alasan untuk menunggu,karena yang ditunggu pasti datang, bukan bisa datang dan bisa juga tidak datang. Bahkan Dia sudah datang lebih dari 2000 tahun lagi, bahkan jauh sebelum sejarah dunia ini mulai. Kita diberi jaminan yakni pengharapan, pengharapan bahwa hidup kita tidak pernah berakhir pada kehampaan (ends at an emptiyness); tidak pernah kosong karena Dia sendiri yang sebenarnya tengah menyambut kita, betapapun lemah dan berdosanya kita. Maka,hati kita tentu tidak cemas, dan rindu kita tidak menyakitkan, tapi menggetarkan, menggelora, untuk segera menjumpai Dia. Pengharapan dengan baik disimbolkan oleh warna hijau dalam corona/lingkaran adven. Allah yang setia datang menyambut kita dilambangkan dengan lingkaran.

Inilah Allah yang kita imani, Allah yang tidak tinggal di singgasana kemahakuasaannya, tapi turun ke dalam sejarah hidup kita, merangkul kita bahkan menderita bersama kita.

Mari kita isi adven ini, kita sambut Natal dengan sikap rendah hati seperti yang ditunjukkkan si prajurit Romawi: "Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang pada saya. Bersabdalah saja maka saya akan sembuh"(bdk. Mat.8:5-11) . Biarkanlah waktu-waktu ini menjadi waktu yang istimewa untuk sekali lagi sadar dan percaya bahwa hanya satu yang menjamin hidup kita:yakni Tuhan. Kita tidak pernah diselamatkan oleh barang, uang, harta yang kita miliki, tapi oleh seseorang yang sungguh mencintai kita tanpa syarat.

Kita saling mendoakan untuk memelihara kerinduan kita, mengasah ketekunan untuk terus menyambut Dia yang datang.

Salam,

ronald,s.x.

0 komentar:

Blogger Template by Blogcrowds