GOOGLE, Tuhan dan Kita

Saya baru-baru ini melihat dua reportasi dokumenter dari National Geographic. Yang pertama, tentang ritus nudis (telanjang) sebuah sekte New Age di Amerika dan di Jepang. Yang kedua tentang sebuah ritus masokist atau melukai diri sampai bedarah-darah sebagai bentuk inisiasi ke dalam kelompok suku dan agama tertentu di Selandia Baru. Melalui aksi-aksi demikian, para penganut sekte atau suku tersebut mau berjumpa dengan yang transenden, yang sering mereka sebut sebagai Tuhan. Salahkah mereka? Benarkah ini yang kita sebut pengalaman religius? Apa sesungguhnya pengalaman religius? Apa bedanya mereka dengan para teroris yang menjustifikasi tindakan mereka berdasarkan perintah agama?
Pasti google sangat akrab bagi anda. Ia merupakan mesin pencari, search engine yang terkemuka, paling canggih di antara mesin pencari lainnya, mesin virtal yang sanggup membongkar seluruh detail dokumen yang tersimpan di internet.
Mencari merupakan bagian penting dari eksistensi kita sebagai ciptaan yang terbatas. Karena itu kita mencari apa yang bisa memenuhi kebutuhan kita itu. Sangan, pangan, papan hingga fenomen ekonomi, politik dan religius bisa dijelaskan berdasarkan itu. Saya mau beri perhatian tentang fenomen terakhir yang kata orang cermin dari kebutuhan transendental-religius sendiri. Dengan transendensi dimaksud bahwa manusia tidak bahagia hanya karena dia sudah bisa makan tiga kali sehari,sudah jadi kaya, menguasai tiga atau empat perusahan tapi karena kenyataan bahwa ia tidak bisa hidup tanpa yang lain, yang transenden yang berada di luar dirinya. Karena kesadarannya ini, ia pun disebut transenden, melampau diri, ke luar dari dirinya.
Saya teringat Simone Weil, seorang filsuf perempuan Perancis yang hidup sebagai buruh di pabrik Renault tahun 30-an, dalam surat pribadinya kepada Father Perin menulis begini tentang Tuhan: Jika kita berkata Tuhan itu dapat kita temui di sini, di dunia ini, itu bukan Dia. Kita tak dapat menempuh hanya satu langkah untuk sampai padanya. Kita tidak perlu mencarinya, kita hanya butuh mengubah arah atau cara kita melihatnya. Dialah yang mencari kita...( “concerning our father, dalam Simone weil, Waiting on God, Fontana Books 1950).
Tuhan yang mencari kita...Lalu apakah salah mencarinya? Bukankah dengan mengatakan demikian, agama seperti tidak ada apa-apanya? Lalu apa gunanya kita menjalankan perintah-perintah agama? Bukankah sebagian kita yakin bahwa perintah dan ajaran-ajaran bersumber darinya? Lalu untuk apa Dia memberikannya untuk kita?
Kata-kata Simoné langsung meruntuhkan juga klaim para penganut sekte New Age yang merasa dengan tindakan ritual mereka Tuhan dapat dijumpai. New age seperti mengembalikan kita pada mentalitas religius kuno yang melihat Allah atau yang Transenden yang ada di bawah kontrol manusia. Dengan mempersembahkan korban hewan atau manusia atau dengan melakukan ritual telanjang atau melukai diri, dewa atau tuhan seperti dipancing untuk datang dan mengabulkan keinginan manusia. Mengikuti Weil, ini bukan Tuhan, melainkan Tuhan ciptaan kita.
Sebelum Weil, seorang idealis dan ateis Jerman, Feurbach mengeritik hal serupa. Dia bilang Tuhan dalam kepercayaan manusia sebenarnya adalah proyeksi kebutuhan manusia yang mau jadi kuat,berkuasa, kaya dan seterusnya. Walaupun Feurbach tidak seluruhnya benar, ia tepat menumbuk kita pada kecenderungan mengurung Allah dalam kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan manusiawi kita, apapun itu termasuk kebutuhan karnal-seksual seperti yang dipraktekkan sekte nudis; pada kecenderungan kita ‘membeli’ Tuhan dengan kesalehan-kesalehan kita. Sekali lagi Weil bilang, ini bukan Tuhan.
Kata-kata Simoné tentu saja bukan sindiran buat kita yang cenderung mencari Tuhan bahwa mencari Tuhan itu salah, tapi sebuah pertanyaan mendalam tentang alasan kenapa kita mencari-Nya dan juga sebuah undangan untuk melihat Tuhan apa adanya, bebas dari perangkap kepentingan kita. Allah bagaimanapun juga, seperti yang dibilang Weil, tak sanggup kita kuasai, berada di luar kendali kita. Lalu bagaimana perjumpaan dengan Tuhan itu mungkin terjadi?
Tuhan mencari kita....adalah salah satu pesan utama iman Kristiani. Allah sering digambarkan sebagai gembala yang mencari umatnya. Seorang pujangga Israel, Yehezkiel, dalam kidungnya bernyanyi manis: “ Tuhan sang gembala mencari sendiri dombanya yang hilang, membawa pulang yang tersesat, membalut yang luka, dan membaringkannya di tanah lapang”. Tuhan turun dari kemahakuasaannya; meski Dia jauh melampaui segala pemikiran kita tapi pada saat yang sama dia dekat dan datang sendiri menjumpai kita. Paling mudah merasakan kehadirannya yang mencari kita dalam kenyataan suara hati. Suara hati adalah hati nurani yang bersuara, yang selalu memanggil kita untuk berbuat baik dan jujur. Pun kalau kita tidak mentaatinya, suara itu tetap datang sebagai teguran di hati, menuntut kita bertanggung jawab. Mencari dan menyelamatkan manusia yang hilang dan berdosa itulah wajah Allah yang otentik. Secanggih-canggihnya google, ia tidak sanggup mencari apalagi menyelamatkan yang hilang, yang sakit,yang menderita dan yang berdosa.
Simoné Weil akhirnya bilang, “terhadap Tuhan yang mencari kita ini, sikap yang pantas kita miliki adalah menunggu, waiting on..with longing and thirst cry...Menunggu dengan hati yang merindu seraya percaya bahwa dia tak mungkin tidak menghampiri kita itulah sikap iman yang mendasar, fenomen religius yang otentik. Dan hanya dalam konteks ini segala sembah bakti kita, doa dan pinta kita bermakna sebab semua sembah bakti itu kita buat karena kenyataan bahwa kita tidak pernah ditinggalkan...

Ronald FT.,
Pd hari Chirsto Regi
Cameroun - 08


KUNCI SURGA DAN KEAJAIBAN 25

Minggu lalu saya kehilangan kunci kamar sejam sebelum saya harus berangkat kursus. Untungnya ada kunci cadangan yang disimpan pemimpin komunitas saya, tapi saya tetap terlambat berangkat kursus hari itu. Lucunya hari yang sama professor saya kehilangan bukan saja kunci kamar tapi kunci rumah juga. Ia terpaksa sesegera mungkin mengganti seluruh kunci rumahnya karena takut jika rumahnya kemalingan.
Pengalaman kehilangan ini mendekatkan saya pada bacaan yang sejak minggu lalu hingga minggu depan sepertinya mau bicara tentang kunci juga. Kunci, nampak sederhana tapi sangat penting dalam hidup praktis kita, tanpa kunci kita gak bisa masuk ke rumah, tanpa kunci gak bisa membuka brangkas, email atau file-file kita.
Dalam tradisi iman kita, jika anda pernah mendengarnya, Petrus dikatakan sebagai pemegang kunci surga atau murid yang diberi kuasa untuk membuka dan menutup kunci surga. Kehilangan kunci tadi membuat saya bertanya, apakah memang tugas Petrus hanya menjaga pintu, membuka dan menutupnya ; Kalau tugasnya hanya itu, lalu para rasul dan orang kudus lainnya ngapain ? Apakah bisa dibayangkan kalau kantornya dekat pintu ? Gimana jika kuncinya suatu waktu hilang ? Kasihan dong, banyak antrian…Di dunia sudah antri, mau masuk surga juga pake antri ? Kita tinggalkan sebentar pertanyaan lucu ini.
Pasal 25 sebagaimana yang saya katakan bagaikan kunci. Ia mulai dengan kisah tentang lima gadis bijaksana dan gadis bodoh – yang kita dengar minggu lalu (25:1-12). Kesepuluh gadis ini menunggu kedatangan mempelai dengan lampu di tangan. Lima di antaranya membawa persediaan minyak sementara yang lain tidak. Akhir kisah ini kita tahu, ketika mereka tertidur, mempelai datang. Lima gadis yang membawa persedian minyak ketika terjaga segera menyalakan lampu dan menyambut sang mempelai. Lima gadis lainnya tidak bisa berbuat apa-apa selain memandang lampu mereka yang mati kehabisan minyak. Mereka kemudian tidak diizinkan masuk.
Lalu pasal ini dilanjutkan dengan kisah kedua tentang talenta (25:14-30). Ada tiga hamba yang masing-masing diberi talenta oleh tuan mereka untuk digandakan selama dia bepergian jauh. Yang diberi lima talenta berhasil menggandakan lima, yang diberi dua berhasil menggandakan dua. Akan tetapi, hamba yang diberi satu talenta tidak mau menjalankan kehendak tuannya. Kita juga tahu akhir kisah ini, dua hamba pertama diperkenankan masuk dalam perjamuan tuannya, sementara yang satu dihukum bukan hanya karena dia tidak menggandakan talenta tapi juga karena dia menghakimi tuannya tanpa bukti –bahwa ia menabur di tempat dia tidak menuai. Kisah pertama dan kedua ini menggarisbawahi soal kesetiaan yang disertai rasa percaya. Kata fidelity, fidélite dalam bahasa-bahasa anglosaxon menunjukkan bahwa setia itu dekat sekali dengan percaya. Orang berbuat setia karena dia percaya bahwa ia dijamin dan tidak dikecewakan. Dua kisah ini yang berbicara tentang kesetiaan bagaikan gagang dari sebuah kunci yang sering kita pegang. Lalu mata kuncinya di mana?
Kisah ketiga yang akan kita dengan minggu depan, di situlah mata kuncinya. Mata dan gagang tidak dipisahkan. Penghakiman terakhir yang dikisahkan di dalamnya berisi dialog yang mengejutkan. Tuhan menghakimi orang berdasarkan seberapa besar belas kasih yang diberikannya pada Tuhan. “Tuhan, kapan ketika Engkau lapar, kami tidak memberimu makan, ketika Engkau haus, kami tidak memberimu minum, ketika Engkau di penjara kami tidak mengunjungi Engkau? …ay.38-39. Dan jawaban Yesus mengherankan, “ Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraku yang paling hina ini, itu kamu lakukan untuk aku” (ay.40)
Dan Tuhan paling nyata hadir dalam mereka yang membutuhkan, in need of love, care and understanding; cinta, perhatian dan pengertian…Akhirnya kasih itulah yang menjadi mata kunci yang tidak terpisahkan dari gagangnya. Angka 25 dalam Injil Matius, bagi saya pribadi adalah keajaiban; angka yang sangat dekat dengan keseharian kita. Dua puluh lima paling sering dijadikan momentum peringatan hari jadi perkawinan, hari ulang tahun, dsb… karena dianggap sebagai ukuran kematangan, tanda kepenuhan…Kisah bab dua puluh lima seperti mengungkapkan kepenuhan praktik Kristiani di tengah dunia nyata. Dan saya pikir inilah kunci seref yang diberikan Tuhan untuk masing-masing kita. Kunci surga dengan demikian bukan hanya satu, tapi banyak dan ada pada mereka yang melakukan keajabian Dua Puluh Lima. Kenapa saya katakn demikian, karena surga adalah rumah kita, rumah yang disediakan bagi kita dan kita pantas memasukinya. Mudah-mudahan anda tetap menjaga kunci itu dengan mengerjakan keajaiban Dua Puluh Lima. Dan bila Petrus ketiduran atau kehilangan kunci, jangan kuatir anda mempunyai kunci rumah anda.

Salam

Ronald,sx




CINTA YANG MENGHANGUSKAN
Sulit bagi saya melupakan sebuah tungku api sederhana di rumah yang pernah kami tempati dulu, di sebuah kota kecil dekat perbukitan rimbun dengan hawa dingin yang menusuk tulang. Setiap pagi kami sekeluarga sering berkumpul di perapian itu untuk menghangatkan badan; sering juga bercerita sambil minum kopi bikinan sendiri.
Meski beberapa kali tidak saling bicara sehabis bertengkar dengan saudara atau orangtua, perapian itu sulit ditinggalkan. Perapian itu seperti selalu memanggil kami semua untuk berdiang di dekatnya. Dan memang dengan sendirinya hubungan kami kembali pulih di dekat perapian itu. Perapian dari serbuk-serbuk kayu gergajian itu bahkan sering jadi pilihan untuk berdoa. Perapian di rumah sederhana bagaimanapun juga membesarkan saya. Meski ada televisi dan radio, hiburan ini tidak pernah menggantikan kerinduan untuk tinggal berdiang di dekat perapian.
Kalau anda suka berkemah, pasti api unggun sulit pula ditinggalkan sebagai bagian penting dari seluruh rangkaian acara. Beberapa kali bersama beberapa kelompok mahasiswa, acara ini betul-betul tidak pernah dilewatkan. Kehangatan perapian membawa orang pada sebuah hubungan. Api mengorientasikan siapa pun pada sebuah penerimaan tanpa syarat. Terserah apakah anda pecundang, orang suci; pelacur atau orang benar, api tetap memberikan kehangatannya. Inilah kearifan yang menginspirasi sekelompok manusia membuat perapian; jauh lebih dari sekedar kebutuhan survival –misalnya memasak makanan untuk makan atau hanya mengusir kedinginan. Di hadapannya kita seperti tidak punya hak dan kuasa untuk menghakimi siapa yang paling benar dan siapa yang tidak. Di hadapannya kita semua sama, yakni orang yang sama-sama menerima kehangatannya. Dari kearifan api inilah saya memahami doa seorang pendosa jauh berabad-abad lampau di timur tengah:
Cinta akan rumahmu menghanguskan aku
Api dan perapian sederahan di rumah kecil saya mengingatkan saya pada Tuhan yang memberikan matahari pada orang baik dan benar, yang memberi kehangatan pada semua orang tanpa syarat. Inilah yang mestinya jadi alasan kenapa kita mesti menerima orang lain dalam segala bedanya. Ingatan dan kerinduan akan kehangatan cinta inilah yang juga mesti jadi alasan kenapa kita mesti kembali bangkit dari setiap kekalahan, kenapa kita mesti kembali setelah kita berkhianat seperti pendosa tadi. Kebenaran bahwa ia tetap diterima tanpa syarat itulah yang mengobarkan hatinya untuk kembali ke jalan hidup yang benar meski ia berada jauh dari api – lepas dari kehangatan itu . Kerinduan iman seperti ini bahkan terasa jauh lebih sekedar menghangatkan, yakni malah terasa seperti menghanguskan. Mudah-mudahan iman dan pengharapan sebesar ini mendorong kita semua kembali memulai satu minggu yang baru dengan itikad baik. Semoga doa pendosa tadi menjadi doa kita semua dalam peziarahan kita minggu ini. Doa ini pas sekali buat kita yang senantiasa hidup dalam faktisitas atau kegentingan antara ketaatan dan pemberontakan, antara kesetiaan dan pelariannya.


Ronald,
Yaoundé, 09 Novembre 08


BURUNG GAGAK DAN DUKACITA KITA
Setiap pagi di atas atap rumah saya, Kamerun, ada dua gagak hitam yang bermain dan kadang-kadang saling membersihkan sesuatu di bulu-bulu mereka. Beberapa kali ketika saya perhatikan, hanya ada satu gagak yang muncul duluan. Dia melompat ke sana ke mari, mungkin mencari-caru pasangannya lalu duduk terpekur di atas seng. « Siapa tahu dia sedih karena pasangannya gak datang-datang juga », begitu pikir saya, dari jendela kamar. Seperempat jam kemudian saya perhatikan lagi, dia masih di situ dan eh..tak berapa lama kemudian pasangan yang ditunggu muncul juga dan mereka kembali bermain seperti hari-hari lainnya. Yang satu seperti sudah percaya bahwa yang lain tak mungkin tak setia.
Dari jendela yang sama di mana saya memperhatikan burung gagak itu, saya mulai memahami kekayaan dan kedalaman arti kenapa suatu waktu Yesus berkata kepada orang yang berduka cita, Berbahagialah ; « Berbahagialah orang yang berdukacita karena mereka akan dihibur » (Mat.5 :1-5), demikian kata-Nya. Apakah itu artinya duka dan bahagia selalu ada sebagai kenyataan yang sama ? Bukankah duka dan bahagia sudah kita alami sebagai dua kenyataan berbeda yang saling berlawanan ? Duka seperti selalu merenggut bahagia dan dalam kebahagiaan kita percaya duka tak punya tempat.
Duka paling sering kita alami ketika kehilangan orang yang kita kasihi. Kawan lama saya sampai sekarang hancur hidupnya karena menjelang pertunanganan yang sudah lama disiapkan, pasangannya memutuskan semua komunikasi. Gila, mau apa jadinya hidup jika di puncak karier, kita gagal total atau orang yang menjadi tumpuan hidup kita mati; suami tercinta suatu malam dijemput polisi dan kemudian hidup dalam hukuman yang tak pernah dengan adil diputuskan. Lalu apakah pantas jika kita mengalami semuanya itu ? Masih kita bisa menyebut diri kita berbahagia ?
Duka dan cita tetap dua buah kenyatan yang berbeda. Duka itu perih, sakit dan tak mengenakkan. Sementara suka berisi riang, tawa, senyum dan hati yang serasa penuh. Meski berbeda, kita tidak harus memisahkannya. Mari kita perhatikan kearifan nenek moyang kita yang mewariskan pada kita kata ini dukacita dan sukacita. Duka dan suka adalah bagian dari cita,yakni aspirasi, atau kepenuhan. Cita bersumber bukan dari diri kita sendiri tapi dari sesuatu di luar kita, yang tak terbatas, yang ultim, dan kita orang beriman menyebutnya Tuhan. Duka tak bernilai jika kita melepaskannya dari sumber kehidupan. Dalam duka kita mesti tetap menaruh harapan pada-Nya; Dialah yang menjamin bahwa hidup kita dipulihkan.
Seperti burung gagak yang tetap menaruh percaya pada pasangannya, demikian kita mesti tetap menaruh percaya pada Dia, Segala yang Baik. Itulah makna dukacita dan itulah kenapa dalam setiap belasungkawa kita mengatakan, saya turut berduka cita...Dengan kalimat itu kita mengatakan ikut serta dalam kepedihan dan kehilangan tapi pada saat yang sama percaya bahwa kepedihan itu akan segera dipulihkan. Pun kegembiraan kita akan menjadi sementara dan dangkal kalau kita melepaskannya dari rasa syukur dan terima kasih pada Tuhan. Itulah arti sukacita.Sebab dia yang ikut menyempurnakan kegembiraan kita. Maka berbahagialah mereka yang berdukacita dan percaya bahwa mereka akan dihibur.


Salam


Ronald,sx

Yaoundé-Cameroun









LUKISAN BAHAGIA


LUKISAN BAHAGIA

Mustahil rasanya menempatkan rasa syukur atas kebahagiaan di luar penyelenggaraan Tuhan. Walaupun selalu sering terjadi bahwa hampir tidak kita pedulikan dalam semua pencapaian kita, bahkan Ia lebih sering diserapahi ketika kita jatuh gagal, terkena bencana terus menerus atau belum mendapat peruntungan yang ditunggu-tunggu.
Kebahagiaan tidak melulu sebuah kenyataan sekarang yang sekali jadi, tapi sebuah perjalanan yang panjang dan dinamis. Tentunya anda pernah melukis atau paling tidak pernya menyaksikan bagaimana orang melukis? Untuk menghasilkan sebuah master piece, seorang pelukis pertama-tama membuat skesta, lalu bisa menunggu begitu lama untuk meneruskan, dan menyempurnakannya. Kemudian dia butuh waktu lama untuk memilih warna,mencapur dan kemudian mewarnai lukisan. Dalam proses itu cat bisa tumpah, goresan bisa lebih dan kurang, ada debu yang terbang dan melekat yang selalu bisa saja membuat pelukis marah, kecewa…kesepian.Ini segi-segi manusiawi para pelukis yang sering luput dari perhatian kita para penikmat karya seni. Padalah pergulatan itu adalah bagian dari yang sering kita kenal dalam estetika sebagai proses kreatif.
Penyelenggaraan Tuhan yang membuat kita bahagia bisa dibayangkan seperti proses kreatif itu. Bahagia dengan demikian menjadi sesuatu yang sangat dinamis. Tuhan membahagiakan kita sering juga melalu pengalaman yang tidak pernah kita pilih atau kita kehendaki. Seorang teman yang sudah lama kuliah di kedokteran, karena kekurangan biaya akhirnya pindah ke fakultas keguruan dan kemudian menjadi guru di pedalaman. Pekerjaan baru ini menghantar dia pada kebahagiaan yang menurutnya belum tentu bisa dia dapatkan ketika dia berhasil menjadi dokter. Dia menikah dengan sesama guru, meski cinta pertamanya dengan sesama rekan dokter – katanya sudah tradisi kalau dokter suka jadian sama dokter juga. Anak-anak yang lahir baginya juga mendatangkan kebahagiaan tersendiri.
Lihatlah bagaimana Tuhan menganugerahkan kebahagiaan tidak seperti memberi sebuah roti bolu atau fast food. Ia seolah-olah bersama kita menyiapkan sebuah karya indah dalam kanvas kehidupan. Keterbukaan para rencana Tuhan, kepercayaan bahwa Tuhan akan mengerjakan banyak hal besar di luar yang pernah kita rencanakan sendiri, itulah yang menjadikan lukisan kita indah, hidup kita bahagia. Seorang bijak bestari dari Israel bernama Yesaya dalam kidungnya mengingatkan kita bahwa Tuhan telah “melukis kita di telapak tangannya. Sekalipun seorang ibu melupakan engkau, Aku tidak akan melupakanmu.” Inilah rahmat yang mesti selalu kita minta setiap hari pada yang kuasa, yakni harapan yang tak pernah habis.


KAPAN KAWIN ? Surga dan Kita

Bisa dibayangkan bagaimana perasaan anda jika dalam sebuah pesta yang anda adakan – katakanlah sebuah pesta ulang tahun – orang yang anda undang belum memperlihatkan batang hidungnya. Lebih buruk lagi jika tak satupun dari mereka yang datang. Rasanya hal ini jarang terjadi dalam keseharian kita. Minimal yang terjadi adalah hanya satu atau beberapa orang saja yang hadir. Jika anda pernah mengalami ini, tidak sulit kemudian memahami pesan Injil minggu ini. Yesus menceritakan perumpamaan Kerajaan Surga sebagai seorang yang mengadakan sebuah pesta nikah tapi orang-orang yang diundangnya tidak datang (Matius 22 :1-14).
Tentu sebagaimana sebuah pesta besar, undangan sudah disebarkan jauh-jauh hari. Andai sang tuan pesta itu hidup sekarang, mungkin segala macam bentuk advertasi dipakainya untuk mengabarkan berita perkawinan itu. Sedikit cerita .. . saya teringat papan iklan besar Mild yang ditokohi Ringgo. Satu kata yang menarik, KAPAN KAWIN ?, ditulis besar di papan itu. Semua menunggu kapan Ringgo kawin. Ini seperti sebuah manifestasi bahwa kebanyakan kita selalu menyambut baik kabar perkawinan, sebagai kabar baik. Pertanyaan itu sekaligus kerinduan, kalau boleh kita juga diundang atau terlibat dalam sebuah pesta perkawinan. Ini bertolak belakang dengan orang-orang yang diundang sang tuan pesta dalam kisah hari ini.Mereka tidak peduli. Padahal si tuan pesta telah menyuruh hamba-hambanya memanggil mereka. Lihatlah betapa baiknya si tuan ini. Ia ingin orang-orang yang diudang itu ikut ambil bagian dalam kebahagiaannya dan meyakinkan bahwa hidangan telah tersedia, ‘…lembu-lembu jantan dan ternak piaraanku telah disembelih ; semuanya telah tersedia, datanglah ke perjamuan kawin ini (ayat 4). Sayang mereka tetap tidak peduli.
Sang tuan ingin agar pesta tetap dirayakan, maka dia mengundang semua orang, menyuruh hamba-hambanya memanggil orang-orang lain di pinggir dan di sudut-sudut jalan untuk menghadiri pesta besar itu. Sebagaimana kepada orang yang telah dia undang tapi menolak datang, hidangan juga tersedia bagi mereka yang baru itu ; tak peduli apakah mereka baik atau jahat. Sang tuan tentu tidak mungkin menghabiskan sendiri hidangan itu. Kata hidangan bagi saya jauh beda artinya dengan makanan. Makanan hanya soal bahan dan rupa, tapi hidangan adalah soal sifat dari makann itu, yang diperuntukkan bagi yang lain dan karenanya selalu dihadapkan pada para undangan.
Kerajaan surga bagaikan jamuan kawin. Ada tuan pesta, ada yang dipestakan, ada hidangan dan tentu saja ada yang diundang. Relasi atau hubungan antara tuan pesta atau orang yang dipestakan dengan undangan-undangannya, itulah yang membuat atau menjadikan pesta. Pesta tidak berhenti atau selesai dengan menghadiri jamuan makan lalu pulang; atau merasa cukup menukarkan kado pesta kita dengan makanan yang disedikan. Orang baru dikatakan menghadiri pesta, kalau dia sudah bertemu dengan tuan pesta atau kehadirannya diketahui oleh yang dipestakan. Sang tuan pesta tahu kalau dia sudah ambil bagian dalam sukacita sang tuan pesta. Inilah kerajaan, sebuah hubungan yang dipelihara dengan penyambutan terus menerus terhadap sapaan dan panggilan Tuhan. Panggilan bisa beragam; bisa sebagai pertobatan, mengubah hidup, tapi bisa juga sebagai keprihatinan kepada sesama. Tuhan memanggil kita selalu, bahkan Dia masih menunggu kita pulang di tempat kita pernah meninggalkan-Nya.
Kisah injil ini ditutup dengan sebuah harapan yang seolah-olah terlihat pilu. Harapannya adalah bahwa pesta itu untuk semua orang tanpa syarat. Rasanya semua kategori penghakiman manusiawi kita soal siapa yang baik dan siapa yang jahat runtuh di hadapan belaskasih/misericordia Tuhan. Akan tetapi rasa pilu nampak ketika di akhir kisah ini dikatakan bahwa ada seorang yang kedapatan tidak berpakian pesta. Ia kemudian diusir dan dicampakan. Kita bisa bertanya kenapa setelah diundang kok malah ada yang diusir? Setragis itukah Tuhan?
Mari kita perhatikan baik-baik apa yang tertulis di Injil ini. Tuan pesta mengusir orang yang tak berpakian pesta bukan karena dia tidak punya pakian pesta, tetapi Dia diam saja di hadapan pertanyaan belas kasih Tuhan: Hai saudara, bagaimana engkau masuk kemari dengan tidak mengenakan pakian pesta? Andai orang itu menjawab dengan jujur, tentu tuan memberikannya pakian pesta. Karena dia diam saja, ia seperti menghina tuan pesta dengan cara berpakiannya itu. Akhirnya lagi-lagi surga adalah soal jawaban. Jika kita bersedia menanggapi panggilan Tuhan pun saat kita mau meninggalkannya, di situlah pesta sedang dimulai. Dan percayalah betapa indah selalu ada dalam belaskasih Tuhan.

Salam

Ronald Tardelly,sx

Sedikit tentang Hipokritisme Kita

Bukan hal baru jika bos atau atasan kita tugas di luar kota untuk waktu beberapa lama, hati terasa plong, merasa bebas. Seorang teman tidak biasanya on line untuk chat seharian, tapi ketika ditanya, ‘kok tumben chatting nya lama ?’, katanya karena bos lagi pelesir. Ada teman yang masuk kantor telat, juga dengan alasan yang sama. Tidak ada yang ngawasi. Ada juga yang pake alasan filosofis, mengutip Aristóteles, dosa boleh dilakukan yang penting gak ada yang ngeliat.
Perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur ( Matius 21:33-46) rasanya tidak diceritakan Yesus hanya sebagai metafor untuk melukiskan penolakan bangsa Israel atas keselamatan, atau ramalan antisipatif bagaimana Yesus menjadi tumbal dari penolakan itu. Perumpamaan ini menyapa kedalaman laku kita. Hipokritisme bisa hinggap pada siapa saja, termasuk kita orang Kristen. Dan petaka yang dibawa oleh sikap ini tak kurang kepalang besar.
Sang tuan tanah menyewa beberapa orang untuk menggarap kebun anggurnya sebelum ia pergi ke negeri seberang dalam waktu yang lama dengan perjanjian bahwa sepulangnya dari negeri seberang itu, ia bisa menerima hasil yang menjadi bagiaanya. Berarti diandaikan juga bahwa para penggarap akan menerima sebagai upah mereka hasil dari garapan itu. Akan tetapi yang diharapkan justru sebaliknya. Sang tuan tanah tidak menerima apa pun selain kenyatan bahwa hamba-hamba yang disuruhnya untuk menagih bagiannya dibunuh dengan sadis. Bahkan anaknya sendiri dibunuh.
Kiranya para penggarap tadi membunuh hamba dan anak sang tuan tanah bukan karena mereka tidak ingin membagikan hasil anggur melainkan bisa jadi mereka tidak menghasilkan apa-apa karena kelalaian mereka sendiri. Waktu yang diberikan untuk sekali musim tanam dan tuai tidak dimanfaatkan dengan baik. Apa yang mereka lakukan sepanjang waktu itu kiranya pula tidak jauh dengan pengalaman kecil yang diceritakan tadi. Mereka mengerjakan yang bukan tugas pokok mereka, atau nyambi dengan pekerjaan lain. Kalau kemungkinan kedua yang terjadi, hasilnya pun tidak maksimal atau teramat sedikit untuk dibagikan. Maka ketika tuan tanah meminta hasil yang menjadi bagiannya – dari yang amat sedikit itu – para penggarap itu tentu berpikir bagaimana mungkin mereka bisa memberi jika nantinya mereka tidak mendapat bagian?
Kisah ini akhirnya juga menjadi sindiran Yesus bagi setiap sikap hipokrit. Itu bisa ditujukan kepada kita orang Kristiani. Seberapa sering dan seberapa banyak waktu yang kita lalaikan selama atasan atau majikan kita pergi? Waktu yang kita terbuang untuk melakukan tugas dan tanggung jawab kita dengan setia sama nilainya dengan dua kali lipat kesematan untuk bertumbuh terbuang. Kita bisa makin kreatif dan berkembang dalam kesetiaan kita pada tugas. Di sinilah kesempatan kita berjumpa Tuhan betapun ada godaan untuk lari dari tugas itu. Tuhan biasanya datang di akhir, bukan sebagai penyesalan, tapi sebagai pertanyaan: apakah Rahmat – yang membuat waktu bernilai sama dengan dua kali lipat kesempatan untuk bertumbuh dan bahagia – sudah kita garap menjadi buah-buah yang siap dinikmati baik oleh kita sendiri maupun Dia?
Setiap hari dalam tugas yang kita emban, kita punya kesempatan berahmat untuk bersama Tuhan mengubah dunia ini. Anda mungkin bertanya, benarkah tetap datang ke kantor sebagai petugas cleaning service meski bos gak datang, bisa mengubah dunia jadi baik? Betulkah tetap bangun pagi untuk siapkan sarapan suami akan mengurangi terorisme di dunia? Who knows? Saling mendoakan supaya kita saling setia. Jangan sampai kesematan berahmat untuk mengubah dunia ini terambil dari kita dan diberikan kepada orang lain.

ronald,sx











Blogger Template by Blogcrowds