Kapan Kawin? Surga dan Kita...


KAPAN KAWIN ? Surga dan Kita

Bisa dibayangkan bagaimana perasaan anda jika dalam sebuah pesta yang anda adakan – katakanlah sebuah pesta ulang tahun – orang yang anda undang belum memperlihatkan batang hidungnya. Lebih buruk lagi jika tak satupun dari mereka yang datang. Rasanya hal ini jarang terjadi dalam keseharian kita. Minimal yang terjadi adalah hanya satu atau beberapa orang saja yang hadir. Jika anda pernah mengalami ini, tidak sulit kemudian memahami pesan Injil minggu ini. Yesus menceritakan perumpamaan Kerajaan Surga sebagai seorang yang mengadakan sebuah pesta nikah tapi orang-orang yang diundangnya tidak datang (Matius 22 :1-14).
Tentu sebagaimana sebuah pesta besar, undangan sudah disebarkan jauh-jauh hari. Andai sang tuan pesta itu hidup sekarang, mungkin segala macam bentuk advertasi dipakainya untuk mengabarkan berita perkawinan itu. Sedikit cerita .. . saya teringat papan iklan besar Mild yang ditokohi Ringgo. Satu kata yang menarik, KAPAN KAWIN ?, ditulis besar di papan itu. Semua menunggu kapan Ringgo kawin. Ini seperti sebuah manifestasi bahwa kebanyakan kita selalu menyambut baik kabar perkawinan, sebagai kabar baik. Pertanyaan itu sekaligus kerinduan, kalau boleh kita juga diundang atau terlibat dalam sebuah pesta perkawinan. Ini bertolak belakang dengan orang-orang yang diundang sang tuan pesta dalam kisah hari ini.Mereka tidak peduli. Padahal si tuan pesta telah menyuruh hamba-hambanya memanggil mereka. Lihatlah betapa baiknya si tuan ini. Ia ingin orang-orang yang diudang itu ikut ambil bagian dalam kebahagiaannya dan meyakinkan bahwa hidangan telah tersedia, ‘…lembu-lembu jantan dan ternak piaraanku telah disembelih ; semuanya telah tersedia, datanglah ke perjamuan kawin ini (ayat 4). Sayang mereka tetap tidak peduli.
Sang tuan ingin agar pesta tetap dirayakan, maka dia mengundang semua orang, menyuruh hamba-hambanya memanggil orang-orang lain di pinggir dan di sudut-sudut jalan untuk menghadiri pesta besar itu. Sebagaimana kepada orang yang telah dia undang tapi menolak datang, hidangan juga tersedia bagi mereka yang baru itu ; tak peduli apakah mereka baik atau jahat. Sang tuan tentu tidak mungkin menghabiskan sendiri hidangan itu. Kata hidangan bagi saya jauh beda artinya dengan makanan. Makanan hanya soal bahan dan rupa, tapi hidangan adalah soal sifat dari makann itu, yang diperuntukkan bagi yang lain dan karenanya selalu dihadapkan pada para undangan.
Kerajaan surga bagaikan jamuan kawin. Ada tuan pesta, ada yang dipestakan, ada hidangan dan tentu saja ada yang diundang. Relasi atau hubungan antara tuan pesta atau orang yang dipestakan dengan undangan-undangannya, itulah yang membuat atau menjadikan pesta. Pesta tidak berhenti atau selesai dengan menghadiri jamuan makan lalu pulang; atau merasa cukup menukarkan kado pesta kita dengan makanan yang disedikan. Orang baru dikatakan menghadiri pesta, kalau dia sudah bertemu dengan tuan pesta atau kehadirannya diketahui oleh yang dipestakan. Sang tuan pesta tahu kalau dia sudah ambil bagian dalam sukacita sang tuan pesta. Inilah kerajaan, sebuah hubungan yang dipelihara dengan penyambutan terus menerus terhadap sapaan dan panggilan Tuhan. Panggilan bisa beragam; bisa sebagai pertobatan, mengubah hidup, tapi bisa juga sebagai keprihatinan kepada sesama. Tuhan memanggil kita selalu, bahkan Dia masih menunggu kita pulang di tempat kita pernah meninggalkan-Nya.
Kisah injil ini ditutup dengan sebuah harapan yang seolah-olah terlihat pilu. Harapannya adalah bahwa pesta itu untuk semua orang tanpa syarat. Rasanya semua kategori penghakiman manusiawi kita soal siapa yang baik dan siapa yang jahat runtuh di hadapan belaskasih/misericordia Tuhan. Akan tetapi rasa pilu nampak ketika di akhir kisah ini dikatakan bahwa ada seorang yang kedapatan tidak berpakian pesta. Ia kemudian diusir dan dicampakan. Kita bisa bertanya kenapa setelah diundang kok malah ada yang diusir? Setragis itukah Tuhan?
Mari kita perhatikan baik-baik apa yang tertulis di Injil ini. Tuan pesta mengusir orang yang tak berpakian pesta bukan karena dia tidak punya pakian pesta, tetapi Dia diam saja di hadapan pertanyaan belas kasih Tuhan: Hai saudara, bagaimana engkau masuk kemari dengan tidak mengenakan pakian pesta? Andai orang itu menjawab dengan jujur, tentu tuan memberikannya pakian pesta. Karena dia diam saja, ia seperti menghina tuan pesta dengan cara berpakiannya itu. Akhirnya lagi-lagi surga adalah soal jawaban. Jika kita bersedia menanggapi panggilan Tuhan pun saat kita mau meninggalkannya, di situlah pesta sedang dimulai. Dan percayalah betapa indah selalu ada dalam belaskasih Tuhan.

Salam

Ronald Tardelly,sx

0 komentar:

Blogger Template by Blogcrowds