Sedikit tentang Hipokritisme Kita

Bukan hal baru jika bos atau atasan kita tugas di luar kota untuk waktu beberapa lama, hati terasa plong, merasa bebas. Seorang teman tidak biasanya on line untuk chat seharian, tapi ketika ditanya, ‘kok tumben chatting nya lama ?’, katanya karena bos lagi pelesir. Ada teman yang masuk kantor telat, juga dengan alasan yang sama. Tidak ada yang ngawasi. Ada juga yang pake alasan filosofis, mengutip Aristóteles, dosa boleh dilakukan yang penting gak ada yang ngeliat.
Perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur ( Matius 21:33-46) rasanya tidak diceritakan Yesus hanya sebagai metafor untuk melukiskan penolakan bangsa Israel atas keselamatan, atau ramalan antisipatif bagaimana Yesus menjadi tumbal dari penolakan itu. Perumpamaan ini menyapa kedalaman laku kita. Hipokritisme bisa hinggap pada siapa saja, termasuk kita orang Kristen. Dan petaka yang dibawa oleh sikap ini tak kurang kepalang besar.
Sang tuan tanah menyewa beberapa orang untuk menggarap kebun anggurnya sebelum ia pergi ke negeri seberang dalam waktu yang lama dengan perjanjian bahwa sepulangnya dari negeri seberang itu, ia bisa menerima hasil yang menjadi bagiaanya. Berarti diandaikan juga bahwa para penggarap akan menerima sebagai upah mereka hasil dari garapan itu. Akan tetapi yang diharapkan justru sebaliknya. Sang tuan tanah tidak menerima apa pun selain kenyatan bahwa hamba-hamba yang disuruhnya untuk menagih bagiannya dibunuh dengan sadis. Bahkan anaknya sendiri dibunuh.
Kiranya para penggarap tadi membunuh hamba dan anak sang tuan tanah bukan karena mereka tidak ingin membagikan hasil anggur melainkan bisa jadi mereka tidak menghasilkan apa-apa karena kelalaian mereka sendiri. Waktu yang diberikan untuk sekali musim tanam dan tuai tidak dimanfaatkan dengan baik. Apa yang mereka lakukan sepanjang waktu itu kiranya pula tidak jauh dengan pengalaman kecil yang diceritakan tadi. Mereka mengerjakan yang bukan tugas pokok mereka, atau nyambi dengan pekerjaan lain. Kalau kemungkinan kedua yang terjadi, hasilnya pun tidak maksimal atau teramat sedikit untuk dibagikan. Maka ketika tuan tanah meminta hasil yang menjadi bagiannya – dari yang amat sedikit itu – para penggarap itu tentu berpikir bagaimana mungkin mereka bisa memberi jika nantinya mereka tidak mendapat bagian?
Kisah ini akhirnya juga menjadi sindiran Yesus bagi setiap sikap hipokrit. Itu bisa ditujukan kepada kita orang Kristiani. Seberapa sering dan seberapa banyak waktu yang kita lalaikan selama atasan atau majikan kita pergi? Waktu yang kita terbuang untuk melakukan tugas dan tanggung jawab kita dengan setia sama nilainya dengan dua kali lipat kesematan untuk bertumbuh terbuang. Kita bisa makin kreatif dan berkembang dalam kesetiaan kita pada tugas. Di sinilah kesempatan kita berjumpa Tuhan betapun ada godaan untuk lari dari tugas itu. Tuhan biasanya datang di akhir, bukan sebagai penyesalan, tapi sebagai pertanyaan: apakah Rahmat – yang membuat waktu bernilai sama dengan dua kali lipat kesempatan untuk bertumbuh dan bahagia – sudah kita garap menjadi buah-buah yang siap dinikmati baik oleh kita sendiri maupun Dia?
Setiap hari dalam tugas yang kita emban, kita punya kesempatan berahmat untuk bersama Tuhan mengubah dunia ini. Anda mungkin bertanya, benarkah tetap datang ke kantor sebagai petugas cleaning service meski bos gak datang, bisa mengubah dunia jadi baik? Betulkah tetap bangun pagi untuk siapkan sarapan suami akan mengurangi terorisme di dunia? Who knows? Saling mendoakan supaya kita saling setia. Jangan sampai kesematan berahmat untuk mengubah dunia ini terambil dari kita dan diberikan kepada orang lain.

ronald,sx











0 komentar:

Blogger Template by Blogcrowds