Tuhannya Orang-Orang Kasmaran

Dari Psyché, Eros hingga Issabelle Boulay...

Tuhannya Orang-Orang Kasmaran Pasti anda akrab dengan gambar simbolik hati yang ditembus panah, simbol yang lahir dari indah serta sekaligus peliknya hubungan cinta manusia yang satu dengan yang lainnya, khususnya pria dan wanita. Dan kita seperti wajib mencantumkannya entah di surat entah di buku sebagai sungguh sebuah pernyataan bahwa kita tertambat, terpikat ; bahwa kita jatuh cinta seperti Eros putra Aphrodite (dewi cinta). Karena cemburu akan kecantikan Psyché, putri seorang raja, Aprodite menyuruh putranya menghujamkan sebuah panah tepat ke hati Psyché agar dia tidak mampu lagi memikat seorangpun. Tapi, cinta bercerita lain. Eros pun jatuh cinta pada Psyhce dan lebih memilih menyelamatkannya ke sebuah kuil. Eros malah yang ‘dihujam’ kesempurnaan si cantik Psyché. Beginilah mitos Yunani membahasakan kemenangan cinta. Saya mengingat kisah ini begitu mendengar lantunan manis lagu Dieu des Amours –nya Issabelle Boulay, yang lagi laris manis di negara-negara berbahasa perancis sekarang ini. O mon amour, Dieu des amours, O mon amour, aide moi…begitu refren yang sedemikian menghentak-hentak hati saya hingga berulang-ulang saya menyanyikannya dan bahkan membantu saya mengerti misteri Hati Kudus Tuhan yang kita rayakan minggu ini. Isabelle mengadu pada Tuhan kenapa kekasihnya pergi tanpa meninggalkan satu kata pun. Ia mengaku bahwa kekasihnya tetap ‘tertinggal di hati’ meski dia pergi tanpa bilang apa-apa. Ia mengadu pada Tuhan bahwa bagaimana pun mencintai itu harus diungkapkan dengan kata, aimer n’est donc qu’affaire de mots pour toi qui es parti sans un mot. Seorang serdadu menikam lambung Yesus dengan tombak, untuk memastikan bahwa dia benar-benar mati…Inilah kisah yang menjadi kunci peringatan penting ini. Baca dan renungkan baik-baik adegan ini. Di situ saya menemukan serdadu yang mewakili kita semua, orang-orang berdosa yang meski berdosa memilih untuk bertobat dan mencintai Yesus sepenuh hati. Menikam lambung Yesus bagi saya hádala sebuah pilihan radikal, masuk ke kedalaman hidup Yesus. Bagai Eros yang akhirnya memilih mencintai Psyché walau sebenarnya ia datang untuk mencelakainya, demikian kita yang berdosa tapi akhirnya memilih mencintai Yesus karena terpikat oleh hatinya…Hatinya yang terobek dan darinya mengalir air dan darah, itulah hati Allah yang memberi kita kehidupan (yang kita rayakan dalam pembabtisan kita). Hati yesus yang mahakudus adalah hati Allah sendiri, hati yang selalu memberi tempat untuk kita, meskipun dilukai. Kita dipanggil sebagai orang Kristiani untuk memiliki hati sesuci Tuhan, yang juga siap ‘dilukai’ oleh Tuhan. Memilih masuk ke kedalaman hati Tuhan, tak lain membiarkan Dia juga masuk dalam kedalaman hati kita, dan ini pun tidak kurang menyakitkan. Pasti sakit merelakan kehendak Tuhan yang terlaksana daripada kehendak kita sendiri, pasti tidak mengenakkan jika kita akhirnya memilih taat pada suara hati – di mana Tuhan bicara – daripada membiarkan nafsu, pikiran pintas dan selera kita bekerja dan. Pesta hati kudus Yesus serupa sebuah cermin, padanya kita berkaca melihat seberapa kuat kita menanggung luka karena memilih mencintai, seberapa kuat kita tangguh merangkuh dan merangkul orang yang melukai kita. Rasa ‘sakit’ karena memilih mencintai sebenarnya menyembuhkan luka yang disebabkan musuh kita. Saliblah yang mengajarkan itu. Dan janganlah takut belajar pada salib, pada hati kudus Yesus. Biarkanlah salib menikam hati kita, melukai kita dengan pertimbangan-pertimbangannya, karena dengan itulah kita menjadi matang dan sempurna sebagai seorang pribadi. Dengan pertimbangan yang sama, seraya mengingatkan anda bahwa pada hari ini Gereja Katolik Universal memulai sebuah tahun khusus bagi para imam/pastur, saya memikirkan kisah Lia sebagai komentar dalam tulisan saya terdahulu. Ia menulis seperti berikut ini; jadi inget kata temen tentang konsekrasi. bahwa hosti itu tetap suci, walau yang membawa (baca: Romo) kadang orang bejat dan paling nista sekalipun. Kisah kecil ini rasanya bagus kita konfrontasikan pada ikon serdadu-salib. Bukan cerita baru kalau di sekeliling kita kita mendapati hidup pastur atau imam yang buruk atau –mengikuti kata teman Lia – ‘bejat dan nista’. Para imam itu, bagi saya, bagaikan serdadu yang menikam lambung Yesus. Dalam segala kelemahan manusiawinya, seorang pastur berjuang untuk makin sempurna menyerupai Yesus, dengan menikam, mempersembahkan hidupnya bagi Tuhan dan umat. Dalam perjalanan panjang saya hingga ke Afrika, saya berjumpa dengan begitu banyak pastur yang dalam segala kelemahan mereka berusaha tetap memilih setia. Pikirkan itu! Pikirkan juga para pastur yang telah meninggalkan dan merelakan banyak hal, termasuk cinta manusiawi– yang tak sedikit juga diimpikan oleh orang-orang dekat – demi pemuliaan nama Tuhan yang makin besar. Bahwa ada pastur yang tak karuan, itu benar…bahwa kita dipanggil untuk mendoakannya, …itu wajib, sebab kita para umatlah yang ikut menyempurnakan pengorbanan cinta seorang pastur bagi Tuhan. Kelemahannya dan cinta anda para umat itulah yang tetap menyucikan Gereja…Kami yang mempersiapkan diri untuk jalan sederhana ini tak kurang bersama Isabelle Boulay sekali lagi melagukan ini: O mon amour, Dieu des amours, O mon amour, aide moi

0 komentar:

Blogger Template by Blogcrowds