Perempuan Bunga dan Kearifan Cinta

Femme-fleur, perempuan bunga, yang dilukis Picasso pada tahun 1946 adalah salah satu adikarya pelukis besar Spanyol ini, buah kolaborasinya dengan seorang seniman perempuan cantik perancis, Françoise Gilot, Lukisan itu bercerita sekaligus menyembunyikan misteri hubungan Picasso dan Françoise.Kita bisa menemukan jejak hubungan ‘dekat’ kedua seniman ini, selebihnya hanya mereka yang tahu. Bunga adalah tumbuhan yang paling banyak menjadi kalau bukan inspirasi, toh bagian penting dari karya seorang seniman, penyair, sineas dan seterusnya.
Bahkan bunga dekat dengan perempuan, berkarakter feminim, bahkan bagian dari kepribadiannya. Dan akhirnya kita mengerti, kenapa pria seperti harus selalu memberi bunga pada kekasihnya. Kita juga mengerti kenapa perempuan tak pernah menolak ketika diberi bunga. Bunga lantas seperti benang, ketika kita memberikannya kepada orang yang kita kasihi, kepadanya kedua tangan kita berpaut. Bunga rupanya tak hanya berarti ‘ perempuan’ tapi lebih-lebih ‘hubungan’. Perempuan tanpa mengatakan apa-apa, dengan menerima bunga yang diberikannya, meneguhkan bahwa ia seperti kembang, yang wangi, yang mekar, indah dan memberi kehidupan. Dan pria yang memberikannya, tanpa mengatakan apa-apa, mau menyatakan dirinya sebagai tanah yang siap menyambut bunga itu hidup di atasnya. Bunga seperti mewakili dan menjembatani komunikasi ‘bawah sadar’ ini. Bawah sadar, karena kita tidak pernah mengatakannya, tapi kita akui, kita masing-masing membutuhkan dan mengambil peran yang beda. Dan dunia itu adil. Harus selalu ada bunga dan tanah. Ada pohon dan binatang, ada aneka ciptaan. Lucu jika semuanya seragam.
Entah mawar, entah anggrek dan bunga lainnya tidak mungkin menjadi mawar, anggrek kalau mereka tidak dipetik. Toh kalau kita tidak memetiknya, dia gugur sendiri karena menua lalu diganti dengan kuntum bunga lainnya. Bunga yang satu dengan bunga yang lain seperti, bagi saya, menjalin hubungan unik ini : yang satu merelakan diri untuk dipetik atau jatuh gugur agar yang lain bisa muncul. Ada kurban, ada kerendahan hati, ada cinta. Dan ratusan bunga yang sering kali kita petik acuh tak acuh, dan kita berikan begitu saja karena kebiasaan sering lenyap bersama lenyapnya kepekaan kita akan dalamnya makna yang mau disampaikan bunga untuk kita, dan dalamnya arti cinta yang pantas terus kita wariskan di muka bumi.
Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk saudara-saudara-Nya. Cintailah satu sama lain, seperti aku telah mengasihi kamu (Yoh. 15:12). Inilah kata Yesus yang paling ‘mengangu’ sejarah kita, karena kasih yang diajarkan-Nya melampaui mutualisme, bahkan filantropisme dalam evolusi kebudayaan kita. Tuhan mendasarkan perintahnya untuk mencintai bukan pada mutualisme, bukan pada kemampuan filantropi kita, sebab cinta yang demikian malah bisa menjadi berhala atau idola baru. Hari-hari ini orang berdiskusi tentang filantropikapitalisme, kapitalisme baru yang dimainkan para miliuner dan jawara bisnis, yang bagi-bagi duit di negara miskin lewat bantuan kemanusiaan yang sekaligus menjadi desempatan marketing dan publisitas. Di situ nampak ada ‘cinta’, dalam tindakan memberi kepunyaannya untuk yang lain, tapi tentu kita melihat juga amat terangnya mutualisme. Dan tak ada isme yang tanpa syarat.
Alasan kita orang Kristiani untuk mencintai amat lain. “Hendaklah kalian mengasihi satu sama lain, sebagaimana Aku telah mengasihi kamu.”Kita mencintai sesama karena kita sudah terlebih dahulu dicintai-Nya. Tuhan itu sendirilah yang menjadi alasan kita untuk mencintai. Persis di sinilah kita dijauhkan dari kecenderungan menjadikan cinta itu berhala dari kepentingan kita. Tak bosan-bosannya hati nurani kita diminta untuk selalu melakukan perintah ini meski seringkali orang kepada siapa cinta itu dialamatkan mengacuhkan kita, mencurigai maksud baik kita atau telah menghianati kita, meski hati kita –seperti kata Melly Goeslaw dalam suara hati seorang kekasih- rasanya tak bisa dihibur oleh seribu musim karena marah. Kita mesti tetap melakukannya justru dengan keyakinan ini, bahwa penghianatan, sakit hati, kata-kata kasar dan perlakuan buruk orang tidak pernah sebanding besarnya dengan cinta yang Tuhan berikan pada kita. Di situlah hidup kita sungguh berarti, di situlah kita sungguh mewarisi kearifan kehidupan yang juga diajarkan bunga. Suatu kali Yesus pernah bilang: Salomo dalam segala keagungannya, tidak pernah berdandan seindah bunga-bunga bakung di padang. Jadilah terus kembang yang tak berhenti memberi keharuman bagi dunia, dan mengajarkannya pada anak cucu kita.

Ronald,sx
Yaoundé-Cameroun

0 komentar:

Blogger Template by Blogcrowds