Attillo: Mengejar Cinta sampai ke Neraka

Ttg Euthanasia

Terbaring lesu di atas lantai beralaskan tikar, seorang bapak setengah baya berusaha bangun ketika melihat kami datang. Ini waktu liburan kemaren, di darah Barat Kamerun. Sebelumnya istri dan anaknya datang ke tempat kami untuk minta didoakan karena mereka merasa sang bapak tengah kerasukan setan. Dia mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan sahabat saya dengan baik walaupaun ada beberapa di antaranya yang tidak nyambung. Stress, itu kesan kami. Dan memang dia kehilangan pekerjaannya sebagai agen polisi. Dia butuh orang yang mendegarkannya, dan kepada kami dia menceritakan semua yang terjadi.
Jika anda pernah melihat The Tiger and The Snow, komedi cinta yang sekaligus protes atas perang Irak, film ini bagi saya sungguh mendekatkan saya pada orang-orang sakit, dan juga kenyataan penyakit itu sendiri. Alkisah, Atillio, pujangga dan profesor sastra sebuah universitas di Roma (dimainkan sendiri oleh Roberto Benigni) jatuh hati dengan seorang penulis cantik yang sedang menulis biografi dari seorang penyair Irak terkemuka. Sejak pertama kali bertemu Vittoria di Roma, setiap malam dia memimpikan Vittoria menjadi istrinya. Saking terobsesinya Atillo sampai kemana pun Vittoria dia hampir selalu mengikutinya, tak lain untuk menyatakan cintanya pada Vittoria. Bosan dengan perhatian Attilo yang berlebihan, Vittoria menampik cinta Attilo dan pergi ke Irak mengikuti pujangga Irak tadi.
Namun Attilo tidak pernah menyerah. Cintanya hanya satu, Vittoria. Bahkan ketika Vittoria dikabarkan hampir mati di Irak, Attilo segera mencari tiket pesawat menuju Irak. Irak saat itu bagai ‘neraka’, hancur luluh dibombardir Amerika Serikat. Vittoria, oleh pujangga Irak tadi, dikabarkan akan mati karena kurangnya pengobatan setelah infrastruktur Irak hancur. Pantang mundur, Attilio tetap ingin ke neraka, menyelamatkan pujaan hatinya. Dengan susah payah, akhirnya ia tiba di Irak, mendapati Vittoria tengah akan mati. Di klinik di mana ia dirawat segala upaya pengobatan telah ditempuh, bahkan obat pun habis. Vittoria tetap terbaring makin mendingin. Bagi Attilo, Vittoria hidup. Dia lalu berusaha merawatnya sendiri; diciumnya, disentuh dan dibelai tubuh yang hampir tak bernyawa ini. Sepanjang hari ia duduk di samping Vittoria, bercerita, berpuisi dan bernyanyi, tapi kali ini bukan untuk mencuri hati Vittoria, tapi membuat dia hidup. Di balik tingkah Attilio yang seperti gila, ada harapan dan kemurnian. Attilio di samping Vittoria, bukan lagi seorang pemimpi cinta, tapi seorang yang berharap, seorang penyembuh.
Attilio membantu saya menangkap insight Injil minggu ini (Mrk.1:29-39) kehadiran Yesus dan iman kepada-Nya yang menyembuhkan. Mertua Petrus didapati Yesus sedang sakit seperti demam. Yesus lalu mendekatinya, memegang tanggan mertuanya, lalu tak lama kemudian ia sembuh dari sakitnya. Yesus beda dengan dukun, ahli ramal atau tukang nujum yang menunggu di rumah, mengucapkan mantra irasional untuk menyembuhkan orang sakit. Ia datang, hadir, menyapa dan menyentuh kita. Semua peristiwa penyembuhan dan pengusiran setan dalam Injil ditandai dengan kehadiran yang menyelamatkan ini. Yesus adalah satu-satunya penyembuh sejati, itulah warta Injil minggu ini.
Kehadiran Yesus membutuhkan iman, pengharapan sebesar Attilo, dan kepercayaan akan kuasa-Nya yang menyembuhkan. Kita bisa bertanya, bagaimana mungkin orang-orang seperti Vitoria, yang dalam keadaan koma, bisa menyatakan imannya. Iman orang-orang dekat, yang mengharapkan kesembuhan si sakit, iman itulah yang ikut membuat kesembuhan menjadi mungkin. Peristiwa penyembuhan tidak pernah lepas dari iman bersama, iman komuniter. Dan betapa lagi-lagi, Attilo, bisa jadi contoh tentang iman itu.
Kisah Injil minggu ini dan Attilo mengingatkan saya akan segala macam bentuk pelayanan orang sakit dan semua orang yang terlibat langsung dalam karya medis, termasuk mereka yang tengah berusaha keras menemukan pengobatan baru untuk penyakit yang belum tersembuhkan. Baru-baru ini media internasional membicarakan rencana dan anjuran Euthanasia atas seorang wanita Italia berusai 38 tahun, Eluana Englaro yang menderita koma sejak tahun 1992. Sikap banyak orang yang pro kehidupan, termasuk Gereja didasari banyak atas kisah Injil ini. Permintaan euthanasia bahkan dari si sakit sendiri tidak pernah merupakan permintaan obyektif, keinginan sejati melainkan petunjuk agar ia dimengerti, ditolong dan ditemani. Pesan Injil hari ini jelas, pergi dan menanggapi permintaan yang sering tak terkatakan ini. Dan betapa The Tiger and The Snow adalah protes terhadap euthanasia. Mari bergabung bersama kami. Jadilah penyembuh!

Ronald,SX , Yaoundé, 08 Fevrier 09
Yang menolak Euthanasia

0 komentar:

Blogger Template by Blogcrowds