Itu adalah judul sebuah sinetron dalam salah satu stasiun televisi kita. Kiamat memang menarik untuk diomongkan. Bahkan akhir-akhir ini cukup ramai diseminarkan, didiskusikan, seolah-olah tidak tuntas-tuntasnya. Kitab suci jauh-jauh hari sudah menyediakan lahan subur bagi kita untuk merisaukannya. Celakanya, seringkali hari kiamat ini disalahmengerti. Dan sudah sejak lama pula kata kiamat ang membuat bulu kuduk merinding, telinga tidak nyaman. Kata-kata ini sudah masuk golongan pamali, pantang disebut.

Doomsday adalah kata Inggris untuk hari kiamat. Orang-orang sana memahaminya sebagai a time of final judgement, a time of catastrophic destruction and death. Sudah jelas kata ini di terlanjur memberi kesan ngeri, sedih dan was-was karena pada saat itu ada penghakiman, ada kematian dan kehancuran yang mengerikan.
Kitab Maleakhi menyebutnya lebih positif sebagai Hari Tuhan walaupun kesannya tetap membuat kita merinding: "hari tuhan datang menyala seperti perapian dan membakar orang-orang jahat bagaikan jerami. (Mal.4:1). Akan tetapi jika seluruh pasal itu anda baca, sebenarnya itu hanya metafor-metafor atau gambaran-gambaran yang sengaja dibuat oleh penulis untuk melukiskan pesan penting ini: tanggung jawab dan kesetiaan pada komitmen yang sudah kita buat di hadapan Tuhan. Ada hal positif yang digarisbawahi yakni relasi kasih dengan Tuhan. Kasih bukan hanya soal rasa-perasaan tapi komitmen dan tanggung jawab. Sebagaimana Tuhan menuntut orang Israel setia pada perjanjian yang telah mereka buat, demikian pun kita diminta untuk setiap pada-Nya. Jika kita bicara tentang relasi dan kesetiaan, maka tidak lagi relevan bicara soal hukuman. Tidak. Artinya, jika kita tidak setia, maka kita kehilangan kesempatan untuk mengalami kasih Allah yang abadi. Itulah hari Tuhan, yakni ketika kita sanggup mempertanggungjawabkan padanya kasih dan kesetiaan kita.
Yesus sendiri tidak bicara tentang hari kiamat. Bahkan Dia mengingatkan kita untuk disesatkan dengan macam-macam propaganda atau testimoni-testimoni sebagaimana dilukiskan sbb: “Waspadalah, supaya kamu jangan disesatkan. Sebab banyak orang akan datang memakai nama-Ku dan berkata: ‘Akulah Dia’ atau ‘Saatnya sudah tiba’. Dan apabila kamu mendengar tentang peperangan dan pemberontakan jangalah kamu takut. Sebab semuanya itu harus terjadi dahulu, tetapi itu tidak berarti kesudahannya akan datang segera Lukas (21:5-19). Dia sendiri mengatakan bahwa tentang kapan saatnya Dia sendiri tidak tahu (Markus 13:32).

Lalu kenapa dalam sejarah cukup sering ramalan-ramalan tentang akhir zaman selalu muncul? Berapa nyali kita untuk mengatakan kiamat sudah dekat atau memastikan dalam hitungan jari hari kiamat akan datang?

Seingat saya beberapa tahu lalu di Jawa Barat sebuah sekte yang dipimpin pendeta Hutasoit nyaris memimpin sebuah ritus ‘bunuh diri’masal sebagai cara menyambut hari kiamat yang sudah diramalkan sebentar lagi akan datang. Untungnya, rencana ini berhasil digagalkan polisi. Waktu kecil saya pernah membaca selebaran-selebaran yang meramalkan bahwa tahun 2000 adalah hari kiamat. Gempa, penyakit dan kesusahan besar akan terjadi. Yang sulit saya mengerti adalah itu berasal dari ramalan Bunda Maria. Saya tidak pernah percaya kalau Maria seburuk itu. Memang itu hanya isapan jempol saja. Buktinya tahun 2000 sudah kita lewati hingga sekarang.

Kemudian apa yang salah dalam pemahaman tentang hari kiamat, serta sikap macam apa yang mesti kita ambil?

Pertama, pemahaman yang salah tentang hari kiamat bersumber dari kesalahan membaca kisah Injil. Injil sinoptik yang melukiskan peristiwa ini antara lain Lukas 21:519; Markus bab 13 dan Matius 24:1-36. Memang dalam perikop-perikop itu diceritakan bahwa akan banyak sekali terjadi penderitaan baik karena bencana alam maupun akibat penganiayaan. Akan tetapi, tidak pernah dimaksudkan bahwa akan sungguh-sungguh terjadi dengan detail-detail sebagaimana diceritakan dalam Injil. Peristiwa-peristiwa itu adalah metafor untuk menyampaikan pesan bahwa penderitaan tetap ada dan bahwa mengikuti Yesus adalah pilihan beresiko yang tidak meluputkan kita dari penderitaan. Secara historis, konteks kisah ini adalah himbauan atau nasihat kepada para umat Katolik perdana yang pada abad-abad pertama dikejar-kejar dan dianiaya. Himbauan ini disampaikan dalam gaya sastra dengan maksud supaya umat sedapat mungkin setia pada iman akan Yesus. Teks-teks ini berisi himbaun untuk menghayati kemartiran karena Kristus; jadi bukan berita tentang kekalahan dan keputusasaan orang beriman pada saat itu.

Kedua, jika anda masuk hitungan orang-orang yang melihat Allah sebagai penghukum daripada sebagai Bapa yang Berbelaskasih, anda akan mudah menerima pandangan tentang hari kiamat sebagai saat hukuman. Orang-orang seperti ini akan menghayati agama atau religiositasnya dengan rasa takut. Jelas mereka tidak bahagia karena melakukan yang benar bukan karena itu benar dan baik adanya tapi karena takut. Di mana ada ketakutan, di situ tidak ada cinta. Padahal cinta adalah tuntutan mutlak untuk berelasi dengan Tuhan.

Ketiga, orang yang mudah percaya pada hari kiamat adalah orang-orang yang harus kita katakan ‘kalah’ dalam pertandingan kehidupan. Mereka adalah orang-orang yang tidak sanggup menerima kenyataan hidupnya apakah itu sakit, pengalaman ditolak dan dilukai, bangkrut, kemiskinan. Menerima bukanlah sikap pasif tapi aktif. Menerima berarti menanggung tapi sekaligus berusaha mengatasinya. Meskipun AIDS masih belum ditemukan obatnya, tapi Tuhan memberikan kita akal budi untuk terus mencari dan menemukan cara penyembuhannya. Syukur pada Tuhan atas penemuan para ahli kesehatan yang menunjukkan hasil-hasil yang signifikan meski belum maksimal. Kemiskinan kita hadapi bersama-sama dengan memberantas korupsi, mengembangkan pendidikan masyarakat. Pendek kata, jika kita malas dan putus asa, sebenarnya kiamat itulah yang kita ciptakan sendiri untuk diri kita . Sinetron Kiamat Sudah Dekat adalah satire atau sindiran untuk orang-orang yang malas, cepat menyerah dan putus asa.

Lalu apa sikap kita?

Yesus minta kita untuk tetap setia dan bertekun. Kesetiaan pada-Nya kita buktikan untuk terus bertekun mencari jalan keluar dari masalah yang kita hadapi. Untuk menyelesaikan masalah, kita butuh teman, kita butuh rekan. Dan di sinilah fungsinya Gereja.

Arti kata-kata injil bahwa tidak seorangpun tahu kapan hari Tuhan itu datang kecuali Allah sendiri sebenarnya mau mengajak kita untuk come to the present yakni untuk hidup saat ini. Hidup saat ini adalah sebuah sikap iman yang mau menyerahkan dan mempercayakan diri kita pada Allah. Kita tidak harus kuatir dan takut, karena Tuhan menjamin hidup kita. “Tidak sehelai pun dari rambut kepalamu akan hilang” (Luk.21:19).Kita mesti membiarkan Tuhan bekerja, menyelesaikan apa-apa yang sungguh di luar kesanggupan dan batas-batas kemampuan manusiawi kita. Jika kita hidup saat ini dengan kepercayaan penuh pada-Nya, pada saat itulah kita berjumpa dengan Dia yang mengasihi kita. Hari Tuhan harus dilihat positif sebagai kesempatan perjumpaan dengan Tuhan; sebuah perjumpaan yang dengan sendirinya mengundang kita untuk bertanggung jawab. Ketika anda berjumpa dengan kekasih atau suami/istri anda setelah lama tidak bertemu, anda tentu dengan segera meninggalkan pekerjaan anda (cucian, televisi, pekerjaan kantor,dll) untuk menemuinya; membuatkan dia teh Sosro, bercerita sambil menyiapkan hidangan untuknya. Kita merelakan waktu, tenaga, rencana dan bahkan hidup kita demi orang yang kita cintai.

Semoga setiap hari kita sungguh-sungguh menjadikan waktu kita sebagai kesempatan untuk berjumpa Dia.

Salam,

Ronald,s.x.

0 komentar:

Blogger Template by Blogcrowds