Kondom dan Kesetiaan


Kondom dan Kesetiaan

Eropa baru-baru ini ribut-ribut soal pernyataan Paus tentang preservatif atau di Indonesia lebih kita kenal sebagai kondom, salah satu sarana yang sangat dianjurkan untuk mencegah pandemi AIDS. Kondom, menurut paus, malah bisa beresiko meningkatkan AIDS jika tidak diimbangi oleh humanisasi seksualitas. Eropa, terutama masyarakat Perancis seperti kebakaran jenggot. Pope is wrong, let’s buy condom.. demikian seruan sebuah organisasi yang bereaksi keras atas pernyataan paus.
Lepas dari fakta bahwa pernyataan paus ini selebihnya disetting up oleh media, toh isi pesan itu tetap penting. Humanisasi seksualitas, pembaharuan sikap, mental dan perilaku seksual adalah hal paling penting, dan bukan kondom. Kondom adalah sarana dan bukan prinsip hidup. Paus tidak mengatakan kondom itu tak perlu apalagi buruk (sebagaimana yang dilebih-lebihkan media) tetapi menggarisbawahi apa yang paling perlu, apa yang terpenting.
Kesetiaan dalam perkawinan adalah contoh sikap konkret yang dianjurkan untuk tetap dipelihara, mengingat AIDS tidaklah seperti sakit flu atau pilek yang cukup dengan minum parasetamol kita pulih. Kesetiaan adalah pilihan dan setiap pilihan sudah dengan sendirinya membuat garis batas, garis demarkasi dengan apa yang tidak dipilih. Garis demarkasi adalah batas kedaulatan, batas yang memisahkan kita dengan musuh (Yoh.12.20-23)
Di minggu ke lima prapaskah kita diajak untuk makin mendekati misteri penderitaan Yesus. « Sekaranglah hatiku gelisah. Apa yang dapat saya katakan ? Haruskah saya mengatakan, Bapa bebaskanlah aku dari saat ini ? », demikian firasat Yesus akan penderitaan dan kematiannya. Dan lebih lanjut dia meyakinkan para murid, « sekaranglah saatnya dunia dihakimi ». Jangan salah menyangka penghakiman yang dimaksudkan Yesus adalah sebuah genderang perang surgawi yang dipimpin Gabriel melawan penguasa-penguasa dunia. Bukan itu maksud Yesus. Saat penghakiman lebih berarti saat untuk memilih, saat yang paling menentukan untuk atau bersama Yesus atau melawan Yesus. Dengan mengatakan itu Yesus membuat sebuah garis demarkasi, dan Dia meminta para murid dan kita semua untuk memilih. Dia sudah mendahalui mereka dengan melanjutkan kata-katanya « Tapi tidak, saya tidak meminta Bapa membebaskan saya dari saat ini (pilihan), melainkan saya justru datang pada saat ini (ay.27b).
Yesus mau menegaskan bahwa mengikuti Dia tidak bisa setengah-setengah, tidak mungkin berdiri di garis atau di tengah-tengah. Kita harus memilih sepenuhnya bersama Dia atau sebaliknya. Menjadi Kristiani pun demikian, tidak ada kompromi dan tidak bisa relatif. Kesaksian kita sebagai orang Kristiani di tengah dunia harus jelas dan terang, tidak kompromi apalagi sampai menjadi relativis. Pernyataan paus tentang preservatif/kondom tadi adalah contoh sikap yang jelas dan tidak kompromi terhadap kebenaran. Humanisasi seksualitas adalah salah satu contoh pilihan kita orang Kristiani dan kita (bukan kebetulan melalui ‘polemik’ kondom) diajak untuk menyelamatkan seksualitas, menyelamatkan perkawinan dan tentu saja masyarakat seluruhnya. Merenungkan sengsara Yesus setiap hari jumat pada masa prapaskah membantu kita untuk menemukan arti luhur tubuh kita dan tubuh sesama kita. Makna tubuh ditemukan dalam relasi cinta, dalam hubungan dengan sesama. Sengsara Yesus menggarisbahwai nilai konsekrasi tubuh. Tubuh itu bernilai karena terarah untuk dipersembahkan bagi yang lain. Kesetiaan dalam perkawinan tak lain adalah ungkapan paling konkret dari pengurbanan tubuh bagi pasangan kita. Persetubuhan dalam perkawinan bermakna karena merupakan ungkapan persembahan dan pengurbanan diri bagi pasangan, bukan hanya ekspresi karnal. Di luar perkawinan dan komitmen cinta, persetubuhan adalah pertukaran karnal dan bahkan pelacuran dan kadang merupakan ekspansi atau penguasaan atas yang lain.
Selain menggarisbawahi humanisasi seksualitas, paus juga bicara tentang persahabatan yang sejati yang terungkap dalam solidaritas bersama penderita AIDS. Kita tidak bisa berhenti dengan mendistribusi kondom secara gratis untuk memberatas penyakit ini. Kita dipanggil untuk merawat, mendampingi dan memberi waktu bersama mereka yang menderita. Dana yang dihabiskan untuk proyek kondom misalnya, menurut saya, bisa kita pakai justru untuk lebih baik merawat para korban AIDS. Jalan salib yang kita renungkan setiap jumat mengundang kita untuk melihat lagi solidaritas kita dengan para korban, dengan mereka yang menderita. Mari bersama Yesus, berjuang bersama menyelamatkan dan memuliakan manusia. Mari kita menghidupi kesetiaan dari rumah tangga kita, dari hubungan dekat kita dengan yang lain meskipun hal itu nampak seperti setitik air yang tak ada artinya di tengah lautan luas. Jangan kuatir, belajarlah dari Dia yang dengan setia memikul salibnya sampai kalvari. Kemenangan paskah menunggu kita. Saya tentu saja mendoakan anda semua.

Salam,
ronald,sx
Yaoundé, Kamerun

Ular dan Belas Kasih

Ular dan Belas Kasih

Di pasar Kamerun, suatu kali saya melihat seorang pedagang obat-obatan tradisional yang menempatkan di tengah botol obat-obatannya badan ular yang sudah dipotong setengah. Bau amis sangat menusuk hidung, tapi tetap saja beberapa orang mendekat dan mau menguji kemanjuran obat yang nampaknya diramu dari tubuh ular itu.
Ular adalah satu dari sekian binatang yang mematikan. Sebagian besar dari kita kalau bukan sedapat mungkin menghindarinya, berusaha membunuhnya jika lewat di halaman rumah kita. Binatang bahkan sudah terlanjur dianggap identik dengan kejahatan, penggoda, penghianat atau yang tidak setia dan pendosa khususnya dalam tradisi agama moneteistik.
Injil yang menemani perjalanan kita di minggu ke-empat masa prapaskah ini meski tidak berbicara tentang ular, menghadirkan pada kita kenyatan tentang ular yang sedikit berbeda. Bahkan Yesus menjadikan ular sebagai gambaran penting untuk menjelaskan misteri belas kasih Allah, yang dikatakan Paulus misericordia. “Sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikianlah anak manusia harus ditinggikan. (ayat 14)”. Jika anda membaca kisah keluaran/Exodus Israel, anda tentu ingat bagaimana banyak orang Israel yang mati dipatuk ular tedung setelah mereka tidak lagi mau percaya pada Tuhan karena tidak tahan dengan penderitaan dan ketidapastian selama pengembaraan di padang gurun. Tuhan mengirim ular-ular itu karena Israel tidak setia. Ular itu bahkan menjadi kutuk bagi mereka. Akan tetapi, dalam kisah itu, kita menemukan kembali kesetiaan Tuhan yang mendengarkan permohonan ampun Israel yang akhirnya meminta Musa mengambil satu dari beberapa ular tadi untuk dipajang pada tiang. Dengan melihat ular yang mati dipajang pada tiang itu, mereka yang dipatuk menjadi sembuh. Tuhan menunjukkan belas kasihnya, ia mengubah kutuk menjadi berkat. Kiranya lambang organisasi paramedis internasional terinspirasi oleh kisah penyembuhan ini.
Yesus mengatakan pada para pendengarnya bahwa Ia akan ditinggikan seperti ular di padang gurun itu supaya mereka yang percaya pada-Nya memperoleh hidup kekal (ay.16). Dengan mengatakan ini Yesus menyadari dan meramalkan kematian-Nya. Dia tahu resiko dari semua yang telah dilakukannya. Ia akan dianiaya, dan dibunuh sebagai orang paling terkutuk pada masanya. Salib, adalah hukuman bagi para penjahat kelas kakap pada masa penjajahan romawi. Dan bagi orang Israel, mereka yang mati digantung pada salib adalah orang yang terkutuk.
Dalam pemahaman kita pada umumnya, kutuk adalah bentuk hukuman yang tak terampunkan, yang tidak bisa ditarik kembali. Hormat pada orangtua menghindari kita dari kutuk. Siapa yang melawan, bahkan sampai memukul atau membunuh orangtuanya sendiri biasanya akan terkena kutuk, entah berupa penyakit atau ketidakberhasilan dalam usaha. Kutuk memanifestasikan pada dirinya kepercayaan kita bahwa tak mungkin dosa atau kesalahan yang sedemikian besarnya, bisa terampunkan. Atau dengan kata lain, kita tidak cukup toleran dengan pengampunan. Pengampunan itu harus ada batasnya. Itu hukum yang berlaku dalam pergaulan kita.
Injil minggu ini menempatkan di tengah kita misteri salib yang indah dan mengagumkan, yakni misteri belaskasih Allah. Allah mau menunjukkan bahwa Yesus yang dibunuh dan mati pada salib sebagai orang terkutuk, menjadi berkat melimpah bagi manusia. Berkat itu tidak bisa ditarik kembali atau tak terbatalkan. Inilah belas kasih Allah, Ia sedemikian mengasihi manusia sehingga Ia memberikan putra-Nya yang tunggal supaya kita beroleh hidup kekal (bdk. Efesus 2:4). Dengan kematian-Nya di salib, Allah mengubah apa yang dianggap kutuk oleh Israel menjadi berkat bagi melimpah bagi mereka semua yang percaya pada Yesus.
Misteri belas kasih inilah yang mestinya kita renungkan dalam-dalam pada masa prapaskah ini. Misteri yang sama pula yang mestinya menjadi pendorong bagi kita pergi merayakan sakramen pengakuan dosa, dengan kesadaran seperti anak yang hilang (Lukas 15) kembali pulang karena percaya pada belas kasih bapa-Nya. Tak ada kutuk pada salib, tapi kehidupan. Itulah kemenangan Kristiani yang akan kita rayakan pada paskah. Oleh karena Tuhan mencintai kita sampai sehabis-habisnya, kita terdorong oleh kasih-Nya itu mengubah kutuk jadi berkat, mengubah permusuhan dan perang menjadi perdamaian. Itulah ramuan yang pantas kita berikan untuk menyembuhkan sesama. Selamat merenungkan misteri ini...

PS.: Dalam kebudayaan anda, adakah contoh atau bentuk kutuk lainnya?

Ronald, SX
Yaoundé -Cameroun


Survival for The Fittes dan Pengampunan

Hampir tiga hari lamanya seorang perempuan tidak bicara dengan sang suami selepas pertengkaran seru. Tiga hari itu dilewati dengan hati tidak enak dan mulut yang seperti terkunci gembok berat. Pun walaupun bertemu di meja makan, baik dia maupun sang suami memilih menghabiskan makanan daripada bicara. Hari kedua, hal yang sama terjadi. « Pada hari ketiga, hati terasa penuh, tidak bisa tahan lagi, akhirnya salah satu yang mulai memancing untuk saling bicara, persis ketika anak kami bertanya dan merasa ada sesuatu yang aneh di meja makan. Dan tanpa diketahui anak pula, kami menyelesaikan persoalan kami dengan baik, dengan saling memafkan », demikian cerita ibu ini dalam sebuah pertemuan kelompok umat basis di Yaoundé, Kamerun.
Seorang dari antara yang hadir melemparkan pertanyaan untuk kasus yang berbeda. Dia telah menyelesaikan persoalan dengan rekannya, bahkan sudah berdamai tapi kenapa masih selalu saja tersimpan dalam ingatannya bagiamana rekannya memperlakukan dia, mengkasarinya. Pertanyannya, apakah ingatan semacam itu membatalkan ketulusan pengampunan atau rekonsiliasi yang sudah kita buat ? Perempuan yang sebelumnya bercerita tentang konflik keluarganya juga merasakan hal yang sama walau akhirnya lama-lama hilang.
Pengampunan memang tidak pernah merupakan satu tindakan yang selesai dengan sempurna persis ketika kita melakukan atau menyampaikannya pada orang yang kita ampuni, melainkan sesuatu yang berjalan makin lama makin mencapai kesempurnaannya. Pengampunan itu proses yang menderitakan sekaligus memurnikan cinta kita. Sesuatu yang menderitakan karena, kita seperti yang dialami dua orang tadi, menanggung ingatan yang tidak mengenakkan tentang perlakuan atau perkataan buruk terhadap kita. Ingatan semacam itu normal, dan bagi saya itu adalah petunjuk fundamen tentang karakter kita sebagai manusia, survival for the fittest. Dalam sejarah evolusi kita, survival for the fittest terungkap dalam setiap mekanisme pembelaan dan pertahanan diri. Tak satu pun dari kita yang mau salah, melainkan harus menang dan bisa mengatasi yang lain.
Yesus mengajarkan sesuatu yang bagi saya melawan kecenderungan dasar kita ini, berdamai dengan orang yang bersalah pada kita, bukan sebaliknya. « Saat kamu hendak mempersembahkan persembahanmu, kamu teringat akan saudaramu yang mempunyai sesuatu yang melawan kamu, tinggalkanlah persembahanmu dan pergilah berdamai dulu dengannya » (Mat.5 :20-26). Sekali lagi ingatan tentang perlakuan buruk saudara kita tidak membatalkan kehendak murni kita yang sudah kita wujudkan dengan mengampuni sesama kita. Ingatan yang mendatangi kita itu bagaikan ketika kita menyerahkan diri pada musuh, membiarkan diri kita dicabik-cabik. Ingatan itu bagian dari proses yang kita lalui untuk sungguh-sungguh mengampuni orang. Mengampuni itu menderitakan karena kita merelakan kesanggupan dan hasrat untuk bertahan dan melawan.
Anda sebagai suami atau istri tentu mengusahakan agar setiap keputusan penting tentang hidup bersama harus dijalani dan diputuskan bersama, bukan sepihak baik oleh suami – yang pada masa lampau terlalu memiliki otoritas untuk itu- maupun oleh istri. Namun, saya percaya juga cukup sering anda saling mengalah ketika anda berdua sampai pada keadaan atau jalan buntu, buntu karena dua-duanya tidak rela untuk mengalah. Demokrasi dalam keluarga itu penting, tapi sebagai proses dan bukan tujuan. Cinta itulah tujuan, dan karena cinta kita bisa saling mengalah, demi kebaikan yang lain. Anda bisa periksa diri, mana yang dominan dalam penghayatan hidup berkeluarga anda, cinta atau demokrasi.
Mengalah bukan karena kalah melainkan karena cinta, dan merelakan diri untuk selalu berinisiatif lebih dahulu berekonsiliasi itulah yang menjadikan kita sempurna dan matang sebagai pribadi. Perkawinan dan hidup bersama yang dihayati dengan baik seperti ini justru makin menumbuhkan kepribadian seseorang. Mengalah karena cinta itulah kerendahan hati. Kata Humilité, humble atau kerendahan hati itu berasal dari kata latin humus tanah. Dengan mengembangkan sikap ini kita makin jadi tempat yang subur bagi orang lain untuk tumbuh dan berkembang seperti tanah subur di mana di atasnya banyak tumbuhan hidup. Jadilah rendah hati…




Allah Menyediakan


Allah Menyediakan

Dari warteg hingga restoran besar, mudah sekali menemukan kata tersedia. Tersedia menu ini dan itu beserta semua detailnya. Akan tetapi untuk bias mendapatkan yang tersedia kita mesti membelinya. Ini tentu jauh beda dengan situasi masyarakat sebelum adanya alat tukar dan berkembangnya ekonomi yang tanpa bayar mengkonsumsi semua sumber alam yang tersedia.
Memasuki minggu kedua prapaskah ini, Gereja menawarkan pada kita bacaan-bacaan yang menarik. Kisah persembahan Ishak (Kej.22 :1-34) dan peristiwa transfigurasi Yesus di Gunung Tabor tidak sembarang dipilih. Dua kisah ini jika dicermati dengan baik menghadirkan pada kita sebuah hubungan yang saling melengkapi, menjadi sebuah panorama indah.
Abraham diminta naik ke gunung Moria dan mempersembahkan anaknya Ishak. Ini kiranya menandai hubungan yang paling kritis dan menegangkan antara Abraham dan Allah. Dalam kepercayaannya, marilah mencoba menemukan peliknya perasaan Abraham. Jelas ia terkejut, kenapa Tuhan tega-teganya meminta kembali apa yang sudah diberikannya? Bukankah lebih baik ia tidak memberikan Ishak daripada harus memintanya kembali, pun dengan cara yang tidak bisa diterima Abraham? Namun Abraham percaya dan ia pergi bersama dua pelayannya, percaya pada janji berkat dan keturunan yang disampaikan Tuhan. Jadi logis kepercayaan itu disertai harapan bahwa tidak mungkin Allah demikian.
Di tempat lain, Yesus mengajak dua muridnya Petrus dan Yohanes ke gunung (Mrk.9:2-8). Tidak diceritakan untuk apa. Namun bagi saya, naik gunung adalah bahasa biblis yang mau menyatakan tidak saja tempat tetapi juga pengalaman doa, pengalaman intim dengan Tuhan. Kisah transfigurasi yang menjadi semacam lensa untuk memahami kisah persembahan Ishak secara berbeda. Pergulatan iman dan kasak-kusuk hati Abraham dikisahkan secara naratif oleh penulis kitab tanpa menjelaskan kompleksitas itu. Ajakan Yesus untuk naik gunung tak lain untuk berdoa, mengajak kedua murid-Nya masuk dalam keintiman bersama Allah sekaligus merasakan seluruh pergulatan-Nya: kegelisahan, ketakutan atau keraguan dan juga kepercayaan, pengharapan, cintanya pada Bapa.
Pada peristiwa transfigurasi, kita seperti menemukan kembali kisah persembahan Ishak. Yesus seperti mengenakan pengalaman Ishak dan Abaraham. Ishak dalam pengalaman keputraannya bergantung antara percaya dan tidak kenapa sang ayah harus mengikat dan menghunus pisau untuk menyembelihnya? Dan Abraham pun sama, dalam pengalaman kebapaannya ia seolah bergantung antara percaya dan tidak antara pertanyaan mungkinkan Allah sebrutal ini dan kepercayaan akan janji dan berkat-Nya. Namun Abraham percaya sampai akhir, sampai pisaunya dihunus bahwa Yahwe bukan seperti dewa-dewi Mesopotamia yang menginginkan darah dan daging manusia sebagai persembahan.
Jalannya kisah Abraham sungguh menegangkan. Dititik akhir di mana dia mau pertaruhkan semua kepercayaannya melawan semua keraguannya, Tuhan campur tangan dan menyediakan anak domba jantan sebagai ganti persembahan.Hati dan iman Abraham yang murni dibayar Allah dengan kehidupan dan pembebasan bukan saja bagi Isak tapi bagi hatinya sendiri yang nyaris-nyaris hancur.
Tuhan menyediakan kehidupan, bukan kematian. Dan kita lihat lagi dalam kisah transfigurasi ini Yesuslah anak domba yang disediakan Tuhan, anak domba Allah..Tuhan memberikan dan menyediakan miliknya sendiri, anak-Nya yang terkasih. Perubahan rupa Yesus menunjuk pada kemuliaan kebangkitan yang akan Ia terima setelah kematiannya. Transfigurasi menyingkapkan kemuliaan Yesus, justru karena ia menyatakan dalam diri-Nya Allah yang menyediakan diri, Allah yang tersedia untuk mati bagi manusia. Kisah transfigurasi dengan demikian menyempurnakan kisah persembahan Isaac. Seperti yang dikatakan Yohanes, bukan kita yang telah mengasihi Allah, tapi Allah yang telah mengasihi ita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. (Yoh.4:10). Inilah maksud transfigurasi.
Prapaskah adalah kesempatan indah untuk naik gunung, mencari dan menemukan waktu khusus untuk secara pribadi merenungkan ketersediaan hati Tuhan. Kita mesti sampai pada pengalaman keterpesonaan Petrus: “Tuhan betapa bahagianya kami berada di tempat ini”. Betapa bahagianya hidup dengan selalu menyediakan diri bagi yang lain. Kita minta pada Tuhan dalam masa khusus ini kekuatan untuk sanggup tersedia bagi Tuhan dan sesama. Di situlah kita dapat memahami apa artinya pengorbanan.
Pengorbanan serupa tapi tak pernah sama dengan pemberian. Memberi menunjukkan bahwa atau kita masih punya sesuatu yang sama atau paling tidak kita masih punya kesempatan untuk mengganti, membeli lagi atau mengusahakan apa yang telah kita berikan itu. Pengorbanan lain…Mengurbankan berarti kita merelakan juga semua kemungkinan kesempatan untuk bisa mengusahakannya kembali, seperti merelakan semua diri kita terambil habis. Ingat dan bayangkan Abraham dengan segala perasaannya.
Prapaskah adalah waktu yang tepat untuk melatih diri berkurban bersama Yesus yang tersalib. Kita perlu mengurbankan gengsi kita untuk bisa mengampuni orang yang bersalah pada kita. Kita perlu mengurbankan kesenangan-kesenangan pribadi untuk pertumbuhan saudara kita. Kita perlu juga mematikan komputer dan menonaktifkan internet tidak saja untuk berdoa tapi juga menambah lebih banyak waktu untuk bersama papa, mama, adik, dan saudara kita yang butuh cinta dan perhatian. Ketersediaan hati itu mulai dari situ. Selamat naik gunung dan menemukan panorama indah kasih Tuhan.

Salam,
Ronald,sx
Cameroun, 7 Maret 09

Satu yang Pantas Anda Sentuh
Surga ada di telapak kaki ibu. Itu kebijaksanaan yang dibisikkan guru-guru sekolah dasar kita. Bukan bahwa surga persis ada di telapak kakinya, dan berpindah-pindah setiap kali dia melangkah, tapi agar ia dihormati karena ibu yang melahirkan kita. Kebijaksanaan ini mengatakan juga bahwa surga adalah kenyataan yang begitu dekat dengan kita, yang tak terlihat, tapi kita rasakan lewat (dan karena dimungkinkan oleh) hubungan dengan yang lain, dengan ibu.
“Kerajaan Allah sudah dekat, bertobatlah dan percayalah pada Injil” (Markus 2:15) demikian seruan Yesus pada minggu pertama masa Prapaskah ini. Kenyataan Kerajaan itu close at hand, bisa kita rasakan, kita raba, kita sentuh karena sedemikian dekat dengan tangan sedekat surga pada telapak kaki ibu. Tangan menunjukkan hubungan. Surga bukanlah barang berlian atau benda berharga, tapi keadaan yang kehadirannya dimungkinkan oleh hubungan. Dan hubungan itu terjadi jika kita memilih untuk masuk ke dalamnya...Bertobat dan percaya pada Injil itu adalah pilihan. Meskipun dekat, kalau kita tidak memilihnya, ia seperti sangat jauh dari kita.
Di tahun 1990-an ada rumor yang ramai di kalangan umat tentang wajah Kristus dan Iblis yang nampak berhadap-hadapan di langit, di kelilingi awan Entah benar atau tidak, yang jelas saya ingat saat itu banyak yang takut dan menyangka itu tanda-tanda hari kiamat, sebagaimana dijelaskan lebih lanjut oleh selebaran-selebaran picisan yang entah dari mana.
Dekatnya kehadiran kerajaan sama dekatnya dengan kenyataan kejahatan, juga close at hand. Akses kepada keduanya, tetap dimungkinkan oleh pilihan kita, oleh kebebasan kita. Jelas kejahatan tidak berasal atau tidak pernah diciptakan Allah. Kearifan kisah kejadian yang kita baca pada minggu terakhir menjelang masa puasa mengingatkan kita bahwa Tuhan melihat segala sesuatu yang telah diciptakan baik adanya. Dan manusia diciptakan paling unik di antara ciptaan lain, justru karena kebebasannya.
Gereja mengajarkan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan kebebasannya agar ia memilih yang baik, tapi Tuhan juga ambil resiko bahwa dengan kebebasan yang sama manusia bisa memberontak melawanNya. Kejahatan, dengan demikian, kemungkinannya sudah terkandung dalam kebebasan kita. Adam dan Hawa bukan figur historis, yang pernah ada dan hidup, dan menjadi penyebab segala kejahatan manusia sebagaimana yang salah ditafsirkan tentang ajaran dosa asal, tapi tokoh metaforik yang menggambarkan bahwa setiap kita mengandung keadaan salah atau dosa justru karena kebebasan tadi, yang mengkondisikan orang lain untuk berbuat jahat. Dengan beriman pada Yesus dan dengan pembabtisan yang kita terima, kita dilepaskan dari dosa asal.
Lalu anda bisa bertanya kenapa kok kita masih saja bisa berbuat dosa sehingga setiap tahun kita harus mengaku dosa? Dosa asal yang telah dihapus berkat iman akan Yesus Kristus tidak menghilangkan kemungkinan untuk berbuat dosa. Yang dihapus adalah keadaan tidak percaya. Sebab dosa pada hakekatnya adalah ketidakpercayaan dan penolakan terhadap Allah. Rahmat keselamatan dari Yesus dan iman kepadanya menghilangkan akar dosa, yakni keadaan tidak percayatadi. Akan tetapi akibat atau pengaruh yang ditimbulkan sebelumnya oleh akar dosa tetap ada, yakni sebagai kecenderungan tak teratur yang bisa menyebabkan kita berdosa lagi. Dalam Gereja kita menyebut kecenderungan tak teratur ini sebagai concupitentia. Jadi, meskipun kita sudah percaya, kita tetap ada dalam kemungkinan dan bahaya berbuat dosa. Pengampunan dosa yang kita rayakan, tidak melenyapkan kemungkinan itu tapi mau memurnikan kita, menjadi makin hari makin murni dan sempurna.
Maka pertobatan, lebih khusus pada masa prapaskah ini, sangat penting perannya karena kita diundang untuk terus memurnikan diri. Prapaskah adalah sebuah perjalanan pemurnian dengan Paskah sebagai tujuannya. Teman, model dan bekal kita adalah Yesus sendiri dan salibnya. Anjuran untuk berpantang dan berpuasa, merenungkan sengsara Yesus harus dilihat dalam kerangka itu: Yesus adalah model dan teladan.
Pantang dan puasa penting untuk lebih mawas diri pada kemungkinan-kemungkinan baik lama maupun baru yang membuat kita berbuat dosa lagi. Misalnya, mengurangi intensitas jajan mie ayam setiap malem atau merokok sebungkus sehari penting untuk menyadari kebutuhan kita dan pada saat yang sama sadar bahwa kita tidak harus memenuhi semua kebutuhan kita, justru karena kita menemukan bahwa ada kebutuhan lain yang karena nilainya yang tinggi, harus kita prioritaskan. Dengan demikian, kita makin mendapati diri kita sebagai subjek yang independen, utuh. Sebab, kita mulai menguasai kebutuhan kita dan bukan sebaliknya kebutuhan yang menguasai kita, yang antara lain banyak diciptakan pasar/iklan atau kepentingan lainnya. Pantang dan puasa menolong kita memberi tempat yang lebih besar bagi Tuhan dan sesama lebih dari kebutuhan-kebutuhan kita. Uang, waktu dan sarana lain yang sering kita pakai untuk memenangkan kebutuhan kita, kali ini kita relakan untuk menambah kualitas hubungan kita dengan keluarga, dengan sahabat, tetangga, dan teman sekantor serta mereka yang paling membutuhkan.
Anda bisa memilih sendiri bentuk pantang yang sesuai, sekecil apapun yang penting anda berlatih dengan jernih membedakan kebutuhan-kebutuhan dengan nilai-nilai yang nampaknya baik tapi pada hakekatnya buruk dan malah pelan-pelan, seperti penyakit kanker, merusak diri anda. Doa adalah sarana penting untuk mengorientasikan diri selalu pada nilai yang mutlak baik, yakni Tuhan sendiri. Kita perlu minta pada Tuhan, pertolongan dan pendampingan-Nya karena perjalanan ini panjang dan sulit. Akhirnya masa prapaskah bagaikan gerakan terbang seekor burung yang meninggi dan terus meninggi, sebuah gerak kesempurnaan dan pemurnian diri.
Selamat berpuasa
Ronald, Yaoundé –Kamerun
1 Maret 09

Blogger Template by Blogcrowds