Tuhan tak main Kucing-Kucingan

Sudah dua kali saya bolak balik di tempat tidur tak sanggup menutup mata hingga petang. Suara gaduh musik dan nyanyian sahut-sahutan tak henti sejak pk.09 malam. Ini kebiasaan di Kamerun ketika ada yang kawin atau ada yang menikah. Kalo ada yang meninggal, jasad seseorang di bawah ke Gereja untuk didoakan dan semua keluarga berkumpul di situ untuk menyanyi hingga pagi. Dalam duka yang mendalam mereka merayakan hidup baru yang sebentar lagi diterima oleh saudara mereka yang mati ; berjaga-jaga menghantarnya menghadapi kenyataan baru bernama ‘hidup setelah mati’ itu.

‘Berjaga-jagalah’ , demikian seruan yang mengawali masa khusus dalam tahun liturgi Kristiani tahun ini, masa Adven. Dipandu oleh perumpaan tentang penjaga pintu, Injil mengundang kita untuk berjaga-jaga menyambut Tuhan yang mendatangi kita (adveniere) seperti seorang penjaga rumah yang harus ekstra ketat dan keras menjaga rumah tuannya segera setelah tuannya pergi dari rumah untuk waktu yang lama dan mempercayakan miliknya kepada para hambanya. Penjaga itu diminta berjaga-jaga bukan saja untuk menjaga rumahnya tapi juga untuk selalu siap menyambut kedatangan tuannya, sebab ia tidak tahu kapan Tuhan datang, entah tengah malam, subuh atau pagi hari.

Berjaga-jaga adalah sebuah sikap korektif sekaligus kreatif. Biasanya seorang penjaga rumah yang baik, tidak hanya selalu terjaga, tapi lebih dari itu senantiasa memastikan kalau rumah yang dijaganya aman. Misalnya dia selalu memeriksa apakah pintu, jendela sudah terkunci rapat atau belum, apakah lampu penerang hidup atau tidak; jika ada suara-suara atau bayangan yang mencurigakan, telinga dan matanya selalu awas. Sikap korektifnya nampak dari kebiasaan untuk selalu memastikan bahwa semua beres, tidak ada apa-apa atau semua siap. Ia ingin memastikan bahwa rumah tuannya selalu siap ditempati dengan aman sewaktu ia pulang dan harta miliknya pun tetap terjaga baik. Sikap kreatif juga tercermin dari kecenderungan untuk selalu tidak puas dengan status quo ; tidak asal nganggap semua selalu oke tapi selalu menemukan cara baru untuk membuat rumah semakin aman dan terjaga.

Adven dengan demikian jauh dari pesan pilu misalnya tentang kematian yang datang pada saat yang tak kita duga; jauh juga dari pesan kanak-kanak tentang Tuhan yang main kucing-kucingan dengan kita, datang sembunyi-sembunyi untuk mergoki kita apakah kita tengah hidup baik atau tidak…Adven mengorientasikan kita pada keputusan untuk selalu menghayati hidup kita dengan penuh sikap korektif, mawas diri tapi sekaligus gembira. Orang yang gembira biasanya penuh kreativitas. Iman Kristiani adalah iman yang gembira tapi di lain pihak realistis. Gembira karena kita percaya bahwa Tuhan yang kita nantikan akan selalu mau tinggal di hati kita yang berdosa asalkan kita mau membuka diri bagi Dia yang tak pernah ingkar janji. Membuka diri bagi_Nya berarti dengan rendah hati melihat segala penghianatan kita lalu mau menyerahkannya pada Tuhan untuk diampuni. Realistis karena perjumpaan dengan Dia telah berlangsung sejak sekarang dalam hidup kita sehari-hari. Adven akhirnya mengundang kita untuk selalu menjadikan seluruh hidup kita sebagai tempat yang selalu nyaman buat Tuhan untuk tinggal bersama kita mengubah sejarah. Jika ada tempat untuk Tuhan di hati kita, apalagi untuk orang lain.

Salam,

Ronald,sx


GOOGLE, Tuhan dan Kita

Saya baru-baru ini melihat dua reportasi dokumenter dari National Geographic. Yang pertama, tentang ritus nudis (telanjang) sebuah sekte New Age di Amerika dan di Jepang. Yang kedua tentang sebuah ritus masokist atau melukai diri sampai bedarah-darah sebagai bentuk inisiasi ke dalam kelompok suku dan agama tertentu di Selandia Baru. Melalui aksi-aksi demikian, para penganut sekte atau suku tersebut mau berjumpa dengan yang transenden, yang sering mereka sebut sebagai Tuhan. Salahkah mereka? Benarkah ini yang kita sebut pengalaman religius? Apa sesungguhnya pengalaman religius? Apa bedanya mereka dengan para teroris yang menjustifikasi tindakan mereka berdasarkan perintah agama?
Pasti google sangat akrab bagi anda. Ia merupakan mesin pencari, search engine yang terkemuka, paling canggih di antara mesin pencari lainnya, mesin virtal yang sanggup membongkar seluruh detail dokumen yang tersimpan di internet.
Mencari merupakan bagian penting dari eksistensi kita sebagai ciptaan yang terbatas. Karena itu kita mencari apa yang bisa memenuhi kebutuhan kita itu. Sangan, pangan, papan hingga fenomen ekonomi, politik dan religius bisa dijelaskan berdasarkan itu. Saya mau beri perhatian tentang fenomen terakhir yang kata orang cermin dari kebutuhan transendental-religius sendiri. Dengan transendensi dimaksud bahwa manusia tidak bahagia hanya karena dia sudah bisa makan tiga kali sehari,sudah jadi kaya, menguasai tiga atau empat perusahan tapi karena kenyataan bahwa ia tidak bisa hidup tanpa yang lain, yang transenden yang berada di luar dirinya. Karena kesadarannya ini, ia pun disebut transenden, melampau diri, ke luar dari dirinya.
Saya teringat Simone Weil, seorang filsuf perempuan Perancis yang hidup sebagai buruh di pabrik Renault tahun 30-an, dalam surat pribadinya kepada Father Perin menulis begini tentang Tuhan: Jika kita berkata Tuhan itu dapat kita temui di sini, di dunia ini, itu bukan Dia. Kita tak dapat menempuh hanya satu langkah untuk sampai padanya. Kita tidak perlu mencarinya, kita hanya butuh mengubah arah atau cara kita melihatnya. Dialah yang mencari kita...( “concerning our father, dalam Simone weil, Waiting on God, Fontana Books 1950).
Tuhan yang mencari kita...Lalu apakah salah mencarinya? Bukankah dengan mengatakan demikian, agama seperti tidak ada apa-apanya? Lalu apa gunanya kita menjalankan perintah-perintah agama? Bukankah sebagian kita yakin bahwa perintah dan ajaran-ajaran bersumber darinya? Lalu untuk apa Dia memberikannya untuk kita?
Kata-kata Simoné langsung meruntuhkan juga klaim para penganut sekte New Age yang merasa dengan tindakan ritual mereka Tuhan dapat dijumpai. New age seperti mengembalikan kita pada mentalitas religius kuno yang melihat Allah atau yang Transenden yang ada di bawah kontrol manusia. Dengan mempersembahkan korban hewan atau manusia atau dengan melakukan ritual telanjang atau melukai diri, dewa atau tuhan seperti dipancing untuk datang dan mengabulkan keinginan manusia. Mengikuti Weil, ini bukan Tuhan, melainkan Tuhan ciptaan kita.
Sebelum Weil, seorang idealis dan ateis Jerman, Feurbach mengeritik hal serupa. Dia bilang Tuhan dalam kepercayaan manusia sebenarnya adalah proyeksi kebutuhan manusia yang mau jadi kuat,berkuasa, kaya dan seterusnya. Walaupun Feurbach tidak seluruhnya benar, ia tepat menumbuk kita pada kecenderungan mengurung Allah dalam kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan manusiawi kita, apapun itu termasuk kebutuhan karnal-seksual seperti yang dipraktekkan sekte nudis; pada kecenderungan kita ‘membeli’ Tuhan dengan kesalehan-kesalehan kita. Sekali lagi Weil bilang, ini bukan Tuhan.
Kata-kata Simoné tentu saja bukan sindiran buat kita yang cenderung mencari Tuhan bahwa mencari Tuhan itu salah, tapi sebuah pertanyaan mendalam tentang alasan kenapa kita mencari-Nya dan juga sebuah undangan untuk melihat Tuhan apa adanya, bebas dari perangkap kepentingan kita. Allah bagaimanapun juga, seperti yang dibilang Weil, tak sanggup kita kuasai, berada di luar kendali kita. Lalu bagaimana perjumpaan dengan Tuhan itu mungkin terjadi?
Tuhan mencari kita....adalah salah satu pesan utama iman Kristiani. Allah sering digambarkan sebagai gembala yang mencari umatnya. Seorang pujangga Israel, Yehezkiel, dalam kidungnya bernyanyi manis: “ Tuhan sang gembala mencari sendiri dombanya yang hilang, membawa pulang yang tersesat, membalut yang luka, dan membaringkannya di tanah lapang”. Tuhan turun dari kemahakuasaannya; meski Dia jauh melampaui segala pemikiran kita tapi pada saat yang sama dia dekat dan datang sendiri menjumpai kita. Paling mudah merasakan kehadirannya yang mencari kita dalam kenyataan suara hati. Suara hati adalah hati nurani yang bersuara, yang selalu memanggil kita untuk berbuat baik dan jujur. Pun kalau kita tidak mentaatinya, suara itu tetap datang sebagai teguran di hati, menuntut kita bertanggung jawab. Mencari dan menyelamatkan manusia yang hilang dan berdosa itulah wajah Allah yang otentik. Secanggih-canggihnya google, ia tidak sanggup mencari apalagi menyelamatkan yang hilang, yang sakit,yang menderita dan yang berdosa.
Simoné Weil akhirnya bilang, “terhadap Tuhan yang mencari kita ini, sikap yang pantas kita miliki adalah menunggu, waiting on..with longing and thirst cry...Menunggu dengan hati yang merindu seraya percaya bahwa dia tak mungkin tidak menghampiri kita itulah sikap iman yang mendasar, fenomen religius yang otentik. Dan hanya dalam konteks ini segala sembah bakti kita, doa dan pinta kita bermakna sebab semua sembah bakti itu kita buat karena kenyataan bahwa kita tidak pernah ditinggalkan...

Ronald FT.,
Pd hari Chirsto Regi
Cameroun - 08


KUNCI SURGA DAN KEAJAIBAN 25

Minggu lalu saya kehilangan kunci kamar sejam sebelum saya harus berangkat kursus. Untungnya ada kunci cadangan yang disimpan pemimpin komunitas saya, tapi saya tetap terlambat berangkat kursus hari itu. Lucunya hari yang sama professor saya kehilangan bukan saja kunci kamar tapi kunci rumah juga. Ia terpaksa sesegera mungkin mengganti seluruh kunci rumahnya karena takut jika rumahnya kemalingan.
Pengalaman kehilangan ini mendekatkan saya pada bacaan yang sejak minggu lalu hingga minggu depan sepertinya mau bicara tentang kunci juga. Kunci, nampak sederhana tapi sangat penting dalam hidup praktis kita, tanpa kunci kita gak bisa masuk ke rumah, tanpa kunci gak bisa membuka brangkas, email atau file-file kita.
Dalam tradisi iman kita, jika anda pernah mendengarnya, Petrus dikatakan sebagai pemegang kunci surga atau murid yang diberi kuasa untuk membuka dan menutup kunci surga. Kehilangan kunci tadi membuat saya bertanya, apakah memang tugas Petrus hanya menjaga pintu, membuka dan menutupnya ; Kalau tugasnya hanya itu, lalu para rasul dan orang kudus lainnya ngapain ? Apakah bisa dibayangkan kalau kantornya dekat pintu ? Gimana jika kuncinya suatu waktu hilang ? Kasihan dong, banyak antrian…Di dunia sudah antri, mau masuk surga juga pake antri ? Kita tinggalkan sebentar pertanyaan lucu ini.
Pasal 25 sebagaimana yang saya katakan bagaikan kunci. Ia mulai dengan kisah tentang lima gadis bijaksana dan gadis bodoh – yang kita dengar minggu lalu (25:1-12). Kesepuluh gadis ini menunggu kedatangan mempelai dengan lampu di tangan. Lima di antaranya membawa persediaan minyak sementara yang lain tidak. Akhir kisah ini kita tahu, ketika mereka tertidur, mempelai datang. Lima gadis yang membawa persedian minyak ketika terjaga segera menyalakan lampu dan menyambut sang mempelai. Lima gadis lainnya tidak bisa berbuat apa-apa selain memandang lampu mereka yang mati kehabisan minyak. Mereka kemudian tidak diizinkan masuk.
Lalu pasal ini dilanjutkan dengan kisah kedua tentang talenta (25:14-30). Ada tiga hamba yang masing-masing diberi talenta oleh tuan mereka untuk digandakan selama dia bepergian jauh. Yang diberi lima talenta berhasil menggandakan lima, yang diberi dua berhasil menggandakan dua. Akan tetapi, hamba yang diberi satu talenta tidak mau menjalankan kehendak tuannya. Kita juga tahu akhir kisah ini, dua hamba pertama diperkenankan masuk dalam perjamuan tuannya, sementara yang satu dihukum bukan hanya karena dia tidak menggandakan talenta tapi juga karena dia menghakimi tuannya tanpa bukti –bahwa ia menabur di tempat dia tidak menuai. Kisah pertama dan kedua ini menggarisbawahi soal kesetiaan yang disertai rasa percaya. Kata fidelity, fidélite dalam bahasa-bahasa anglosaxon menunjukkan bahwa setia itu dekat sekali dengan percaya. Orang berbuat setia karena dia percaya bahwa ia dijamin dan tidak dikecewakan. Dua kisah ini yang berbicara tentang kesetiaan bagaikan gagang dari sebuah kunci yang sering kita pegang. Lalu mata kuncinya di mana?
Kisah ketiga yang akan kita dengan minggu depan, di situlah mata kuncinya. Mata dan gagang tidak dipisahkan. Penghakiman terakhir yang dikisahkan di dalamnya berisi dialog yang mengejutkan. Tuhan menghakimi orang berdasarkan seberapa besar belas kasih yang diberikannya pada Tuhan. “Tuhan, kapan ketika Engkau lapar, kami tidak memberimu makan, ketika Engkau haus, kami tidak memberimu minum, ketika Engkau di penjara kami tidak mengunjungi Engkau? …ay.38-39. Dan jawaban Yesus mengherankan, “ Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraku yang paling hina ini, itu kamu lakukan untuk aku” (ay.40)
Dan Tuhan paling nyata hadir dalam mereka yang membutuhkan, in need of love, care and understanding; cinta, perhatian dan pengertian…Akhirnya kasih itulah yang menjadi mata kunci yang tidak terpisahkan dari gagangnya. Angka 25 dalam Injil Matius, bagi saya pribadi adalah keajaiban; angka yang sangat dekat dengan keseharian kita. Dua puluh lima paling sering dijadikan momentum peringatan hari jadi perkawinan, hari ulang tahun, dsb… karena dianggap sebagai ukuran kematangan, tanda kepenuhan…Kisah bab dua puluh lima seperti mengungkapkan kepenuhan praktik Kristiani di tengah dunia nyata. Dan saya pikir inilah kunci seref yang diberikan Tuhan untuk masing-masing kita. Kunci surga dengan demikian bukan hanya satu, tapi banyak dan ada pada mereka yang melakukan keajabian Dua Puluh Lima. Kenapa saya katakn demikian, karena surga adalah rumah kita, rumah yang disediakan bagi kita dan kita pantas memasukinya. Mudah-mudahan anda tetap menjaga kunci itu dengan mengerjakan keajaiban Dua Puluh Lima. Dan bila Petrus ketiduran atau kehilangan kunci, jangan kuatir anda mempunyai kunci rumah anda.

Salam

Ronald,sx




CINTA YANG MENGHANGUSKAN
Sulit bagi saya melupakan sebuah tungku api sederhana di rumah yang pernah kami tempati dulu, di sebuah kota kecil dekat perbukitan rimbun dengan hawa dingin yang menusuk tulang. Setiap pagi kami sekeluarga sering berkumpul di perapian itu untuk menghangatkan badan; sering juga bercerita sambil minum kopi bikinan sendiri.
Meski beberapa kali tidak saling bicara sehabis bertengkar dengan saudara atau orangtua, perapian itu sulit ditinggalkan. Perapian itu seperti selalu memanggil kami semua untuk berdiang di dekatnya. Dan memang dengan sendirinya hubungan kami kembali pulih di dekat perapian itu. Perapian dari serbuk-serbuk kayu gergajian itu bahkan sering jadi pilihan untuk berdoa. Perapian di rumah sederhana bagaimanapun juga membesarkan saya. Meski ada televisi dan radio, hiburan ini tidak pernah menggantikan kerinduan untuk tinggal berdiang di dekat perapian.
Kalau anda suka berkemah, pasti api unggun sulit pula ditinggalkan sebagai bagian penting dari seluruh rangkaian acara. Beberapa kali bersama beberapa kelompok mahasiswa, acara ini betul-betul tidak pernah dilewatkan. Kehangatan perapian membawa orang pada sebuah hubungan. Api mengorientasikan siapa pun pada sebuah penerimaan tanpa syarat. Terserah apakah anda pecundang, orang suci; pelacur atau orang benar, api tetap memberikan kehangatannya. Inilah kearifan yang menginspirasi sekelompok manusia membuat perapian; jauh lebih dari sekedar kebutuhan survival –misalnya memasak makanan untuk makan atau hanya mengusir kedinginan. Di hadapannya kita seperti tidak punya hak dan kuasa untuk menghakimi siapa yang paling benar dan siapa yang tidak. Di hadapannya kita semua sama, yakni orang yang sama-sama menerima kehangatannya. Dari kearifan api inilah saya memahami doa seorang pendosa jauh berabad-abad lampau di timur tengah:
Cinta akan rumahmu menghanguskan aku
Api dan perapian sederahan di rumah kecil saya mengingatkan saya pada Tuhan yang memberikan matahari pada orang baik dan benar, yang memberi kehangatan pada semua orang tanpa syarat. Inilah yang mestinya jadi alasan kenapa kita mesti menerima orang lain dalam segala bedanya. Ingatan dan kerinduan akan kehangatan cinta inilah yang juga mesti jadi alasan kenapa kita mesti kembali bangkit dari setiap kekalahan, kenapa kita mesti kembali setelah kita berkhianat seperti pendosa tadi. Kebenaran bahwa ia tetap diterima tanpa syarat itulah yang mengobarkan hatinya untuk kembali ke jalan hidup yang benar meski ia berada jauh dari api – lepas dari kehangatan itu . Kerinduan iman seperti ini bahkan terasa jauh lebih sekedar menghangatkan, yakni malah terasa seperti menghanguskan. Mudah-mudahan iman dan pengharapan sebesar ini mendorong kita semua kembali memulai satu minggu yang baru dengan itikad baik. Semoga doa pendosa tadi menjadi doa kita semua dalam peziarahan kita minggu ini. Doa ini pas sekali buat kita yang senantiasa hidup dalam faktisitas atau kegentingan antara ketaatan dan pemberontakan, antara kesetiaan dan pelariannya.


Ronald,
Yaoundé, 09 Novembre 08


BURUNG GAGAK DAN DUKACITA KITA
Setiap pagi di atas atap rumah saya, Kamerun, ada dua gagak hitam yang bermain dan kadang-kadang saling membersihkan sesuatu di bulu-bulu mereka. Beberapa kali ketika saya perhatikan, hanya ada satu gagak yang muncul duluan. Dia melompat ke sana ke mari, mungkin mencari-caru pasangannya lalu duduk terpekur di atas seng. « Siapa tahu dia sedih karena pasangannya gak datang-datang juga », begitu pikir saya, dari jendela kamar. Seperempat jam kemudian saya perhatikan lagi, dia masih di situ dan eh..tak berapa lama kemudian pasangan yang ditunggu muncul juga dan mereka kembali bermain seperti hari-hari lainnya. Yang satu seperti sudah percaya bahwa yang lain tak mungkin tak setia.
Dari jendela yang sama di mana saya memperhatikan burung gagak itu, saya mulai memahami kekayaan dan kedalaman arti kenapa suatu waktu Yesus berkata kepada orang yang berduka cita, Berbahagialah ; « Berbahagialah orang yang berdukacita karena mereka akan dihibur » (Mat.5 :1-5), demikian kata-Nya. Apakah itu artinya duka dan bahagia selalu ada sebagai kenyataan yang sama ? Bukankah duka dan bahagia sudah kita alami sebagai dua kenyataan berbeda yang saling berlawanan ? Duka seperti selalu merenggut bahagia dan dalam kebahagiaan kita percaya duka tak punya tempat.
Duka paling sering kita alami ketika kehilangan orang yang kita kasihi. Kawan lama saya sampai sekarang hancur hidupnya karena menjelang pertunanganan yang sudah lama disiapkan, pasangannya memutuskan semua komunikasi. Gila, mau apa jadinya hidup jika di puncak karier, kita gagal total atau orang yang menjadi tumpuan hidup kita mati; suami tercinta suatu malam dijemput polisi dan kemudian hidup dalam hukuman yang tak pernah dengan adil diputuskan. Lalu apakah pantas jika kita mengalami semuanya itu ? Masih kita bisa menyebut diri kita berbahagia ?
Duka dan cita tetap dua buah kenyatan yang berbeda. Duka itu perih, sakit dan tak mengenakkan. Sementara suka berisi riang, tawa, senyum dan hati yang serasa penuh. Meski berbeda, kita tidak harus memisahkannya. Mari kita perhatikan kearifan nenek moyang kita yang mewariskan pada kita kata ini dukacita dan sukacita. Duka dan suka adalah bagian dari cita,yakni aspirasi, atau kepenuhan. Cita bersumber bukan dari diri kita sendiri tapi dari sesuatu di luar kita, yang tak terbatas, yang ultim, dan kita orang beriman menyebutnya Tuhan. Duka tak bernilai jika kita melepaskannya dari sumber kehidupan. Dalam duka kita mesti tetap menaruh harapan pada-Nya; Dialah yang menjamin bahwa hidup kita dipulihkan.
Seperti burung gagak yang tetap menaruh percaya pada pasangannya, demikian kita mesti tetap menaruh percaya pada Dia, Segala yang Baik. Itulah makna dukacita dan itulah kenapa dalam setiap belasungkawa kita mengatakan, saya turut berduka cita...Dengan kalimat itu kita mengatakan ikut serta dalam kepedihan dan kehilangan tapi pada saat yang sama percaya bahwa kepedihan itu akan segera dipulihkan. Pun kegembiraan kita akan menjadi sementara dan dangkal kalau kita melepaskannya dari rasa syukur dan terima kasih pada Tuhan. Itulah arti sukacita.Sebab dia yang ikut menyempurnakan kegembiraan kita. Maka berbahagialah mereka yang berdukacita dan percaya bahwa mereka akan dihibur.


Salam


Ronald,sx

Yaoundé-Cameroun









Blogger Template by Blogcrowds