Sentuhlah Aku

Sentuhlah Aku

Dulu gampang sekali menyelimuti seluruh badan ketika mendengar suara-suara aneh di sekitar rumah, anjing yang menyalak tidak biasanya atau bunyi burung hantu di kejauhan. Entah apa jadinya hidup, jika tanpa kisah-kisah seperti sinder bolong, kuntilanak, jin, dedemit, dan sebagainya. Apakah semuanya itu adalah mitos warisan orang-orang tua dulu untuk mendidik anak-anak mereka (agar tidak pergi jauh dari rumah misalnya) ataukah kesaksian tentang eksistensinya. Dari kampung kecil saya hingga kota-kota besar seperti Paris, Roma bahkan di negeri yang jauh seperti di Afrika sini, cerita-cerita seperti itu makin beragam. Les Diables et Les Parisien, para hantu dan penduduk kota Paris, demikian seorang penulis klasik Perancis menulis tentang Paris, kota yang kini paling sekular, menjadi besar karena ulah para setan. Saya tidak mau memperdebatkan di sini soal ada tidaknya hantu, tapi biarlah saya meninggalkan hipotesis ini :paling sedikit dengan percaya pada eksistensi hantu, orang mengandaikan adanya hidup setelah mati. Masa sih hidup yang indah ini tak ada kelanjutannya…
Papa saya meninggal waktu saya berusia 11 tahun dan saya menyaksikan sendiri penguburannya, melihat bagaimana tubuhnya ditimbun tanah merah dan selanjutnya ia menjadi lain, ia hidup tapi dalam kenangan saya sebagai anak yang dicintainya. Saya bisa mengerti pengalaman para murid Yesus, yang takut dan menyangka melihat hantu ketika Yesus menampakkan diri para mereka (Luk. 24 :35-38). Pantas mereka takut karena mereka betul-betul tahu Yesus telah mati, bahkan beberapa di antaranya melihat bagaimana Dia dikuburkan. Saya tentu akan mengalami hal yang sama seandainya melihat papa yang benar-benar saya lihat telah ditimbun tanah, muncul di dekat saya.
Kalau kita memperhatikan seluruh kisah kebangkitan, ada benang merah ini yakni Yesus tidak langsung dikenali identitasnya oleh para murid. Hanya ketika Yesus mengulang kata-kata atau membuat gerakan yang pernah Ia lakukan, dan dari pihak para rasul hanya dengan membuka hati dan iman mereka barulah mereka mengenal Yesus. Ingatlah kisah dua murid Emaus atau kisah lain ketika para murid berkumpul bersama merayakan ekaristi. Ini menunjukkan bahwa Yesus adalah bagian dari hidup dan realitas baru yang sama sekali berbeda dengan realitas normal. Akses padanya mustahil kalau bukan atas inisiatif Yesus sendiri dan iman orang yang mengalaminya. Tentu saja sekali lagi kita harus mengakui pengalaman akan Yesus yang bangkit adalah pengalaman khas para murid.
Lukas dalam Injil hari ini tidak melaporkan sebuah kisah hasil imajinasi atau halunisasi para murid, tapi kisah nyata tentang Yesus. « Lihatlah tangan dan kakiku, inilah aku, sentuhlah aku. Tak mungkin hantu mempunyai daging atau tulang ». Dan Petrus kelak dalam pewartaannya selalu mengatakan « Dan kamilah saksi dari semuanya itu, Tidak mungkin kami tidak mewartakan apa yang kami lihat, kami sentuh, kami alami sendiri ». Inilah pengalaman nyata para murid yang menjadi titik tolak kelahiran Gereja.
Gereja mewartakan Kristus yang bangkit itu pertama-tama melalui Ekaristi dan melalui karya kasihnya.Ia yang hidup dan nyata itu melalui ekaristi, melalui hosti sederhana dan rapuh kita alami, tentu dalam iman. Samahalnya seorang ahli bedah berhasil memahami seluruh struktur organ tubuh pasiennya yang hidup tapi tidak pernah menemukan di mana terdapat nyawanya, demikianlah dalam ekaristi dan melalui hosti tadi kita mengalami Yesus yang hidup tanpa pernah melihat Dia. Ia hidup kini dalam diri kita yang menyambut Dia dengan iman dan sudah seharusnyalah kita mewartakan bahwa Dia hidup.
Kata-kata Yesus , sentuhlah aku adalah undangan bagi kita semua untuk meneruskan warta bahwa Yesus hidup. Tangan-tangan dan kaki kitalah yang sekarang menjadi perpanjangan tangan dan kakinya bagi manusia lain. Ibu Theresa dari Calcuta, Anne Frank yang memberi penghiburan bagi para sesama tahanan Nazi di kamp konsentrasi, serta banyak sekali saksi iman Kristiani lainnya sepanjang sejarah melakukan semuanya itu karena Yesus nyata dan supaya ia tetap nyata sepanjang masa. Mari bersama-sama menceritakan pada banyak orang melalui hidup kita, bahwa Tuhan yang dulu nyata sama nyatanya seperti sekarang ini ketika kita memuliakan yang lemah, yang miskin dan yang ditinggalkan.


KEGELAPAN DI ANTARA BINTANG-BINTANG

Minggu lalu dalam perjalanan menuju Limbe, daerah Kamerun berbahasa Inggris, mobil kami dicegat polisi persis di depan pasar yang ramai oleh lalu lalang orang. Dari pintu mobil saya berhasil mengikuti keributan kecil antara para pedagang dengan seorang ibu berpakaian necis dengan loudspeker di tangan kanan dan payung pelindung panas matahari di kiri. Tanpa malu dia berteriak, « Jesus Christ est la solution », yang disambut dengan ejekan dan tawa para pedagang. Seorang pedagang, menyangga dan minta bukti serta penjelasan lebih lanjut. Sayang sang ibu tidak dapat, dan kemudian ia dihujani permintaan banyak orang untuk pulang dan lebih baik mengurus suami dan anak-anaknya.
Benarkah Tuhan adalah jawaban? Saya percaya kita yang mengimani Yesus setuju dengan kata-kata ibu tadi. Namun kita tentu juga setuju dengan keraguan para pedagang tadi tentang isi kata-kata itu. Masalahnya lebih pada soal bagaimana kita bisa membuktikan bahwa Yesus memang adalah jawaban.
Pada minggu kedua paskah, kita mendengarkan lagi kisah kebangkitan dengan dua adegan berbeda (Yoh.20 :19-31). Pertama Yesus menampakkan diri pada para murid, kecuali Thomas yang saat itu tidak di situ. Kedua, akhirnya Dia menampakkan diri pada Thomas. Dua-duanya mau menjelaskan kebangkitan, yang berbeda satu dengan yang lain tetapi saling melengkapi. Dalam kisah pertama, kita tidak menemukan masalah. Para murid mengalami langsung perjumpaan dengan Yesus yang bangkit. Kita bagaimanapun juga harus mengakui dan menghormati pengalaman kebangkitan sebagai pengalaman khas dan personal para murid. Akan tetapi, pada kisah kedua, masalah timbul. Thomas yang tidak hadir dalam peristiwa pertama. Dia ragu dan minta bukti. «Jika saya tidak melihat dalam tangannya bekas paku, dan jika saya tidak mencucukan jariku ke bekas paku itu serta ke lambungnya, saya tidak akan percaya ».
Kita tidak bisa menyalahkan Thomas. Keraguannya sebenarnya lebih mewakili problem dari umat Kristen perdana pasca kematian sebagian besar para rasul dan saksi-saksi iman pertama. Masalahnya adalah bagaimana bisa menjelaskan kebangkitan Yesus pada orang-orang yang tidak melihat dan mengalami Yesus secara langsung seperti para murid?
Delapan hari kemudian, pada saat merayakan Ekaristi dan ketika Thomas juga hadir, Yesus menampakan diri. Pada saat itulah Thomas menyatakan pengakuan imannya, Dia percaya. “Karena kamu melihat aku, kamu percaya. Berbahagialah orang yang tidak melihat aku namun percaya”, demikian kata Yesus menyambut pengakuan iman Thomas. Kata-kata Yesus ini sebenarnya bukan ditujukan pada Thomas tapi memakai tokoh Thomas untuk dialamatkan pada umat Kristen pasca para rasul. Dalam bahasa aslinya, kata-kata Yesus ini menunjuk pada umat Kristen 30 hingga 40 tahun setelah kebangkitan Yesus. Pengakuan iman Thomas pun sebenarnya mewakili pengakuan iman umat ini dan tentu saja akhirnya mewakili seluruh generasi umat Kristiani sesudahnya.
Dalam peristiwa inilah kita menemukan penyelesaian dari problem tadi. Delapan hari, sebenarnya menunjuk pada hari minggu, hari di mana umat Kristen perdana biasa merayakan ekaristi. Dalam ekaristi, dalam pemecahan roti dan anggur di situlah umat Kristen perdana mengalami pencerahan, pengertian baru tentang kebangkitan Yesus. Yesus itu menampakan diri dalam ekaristi yang dirayakan bersama, saat mana mereka merenungkan misteri kasih Allah dalam peristiwa Yesus yang hidup dan wafat bagi mereka. Yesus menampakkan diri dalam hidup ekaristis, yakni hidup bersama yang dilanjutkan setelah ekaristi itu. Di situlah, dalam hidup bersama yang didasarkan kasih, mereka mengalami ‘penampakan’ Tuhan yang khas.
Bagaimana mungkin orang yang telah sedemikian mengasihi tanpa batas, bisa mati selamanya? Keyakinan ini diungkapkan melalui kata-kata Thomas: “Ya Tuhanku dan Allahku”. Untuk seorang Yahudi, seperti Thomas, mustahil dalam waktu beberapa detik mengakui bahwa seorang manusia adalah Allah. Tradisi monoteisme ketat Yahudi yang mendarah daging dalam diri para murid serta generasi umat Kristen-Yahudi pertama tidak mengizinkan itu. Pengakuan iman Thomas adalah pengakuan iman Gereja perdana setelah lama merenungkan dan mendalami arti kebangkitan Yesus. Hidup Gereja sendirilah yang adalah saksi dan bukti dari kebangkitan Yesus. Hidup orang-orang yang percaya pada-Nya lah yang harus menjadi saksi dan bukti penampakan Yesus pada dunia. Cinta sejati menghasilkan buah. Inilah arti kebangkitan bagi kita yang tak lagi melihat Yesus.
Kebangkitan Yesus tidak bisa secara kasat mata dialami oleh kita yang sekarang hidup lebih dari 2000 tahun sesudahnya, tapi kita alami melalui hidup Gereja yang tak henti-hentinya mewartakan damai, cinta kasih dan pengampunan. Gereja mewariskan dan menghidupi terus kata-kata Yesus ini “ Damai sertamu”. Hidup dan kesaksian Gereja itulah yang membuat pewartaan kita meyakinkan.

R.S Thomas, dalam Via Negativa menulis puisi ini (in collected poems 1945-1990, London, J.M.Dent, 1993)
,

Why no! I never thought other than
That God is that great absence
Within, the place were we go
Seeking, not in hope to
Arrive or find. He keeps the interstices
In our knowledge, the darkness between stars

Bagi kita, iman akan kebangkitan adalah seperti mencari, seeking, tanpa berharap untuk tiba dan menemukan, arrive or find dalam arti intelektual, empiris yang disertai bukti kasat mata seperti yang diminta Thomas. Bagi kita sekarang buah kebangkitan itu dengan segala misterinya adalah darkness between stars, kegelapan di antara bintang-bintang. Pandanglah bintang di langit. Lihatlah betapa bintan meski banyak tetap tidak bisa sepenuh-penuhnya memenuhi langit hingga tak ada lagi ruang gelap. Bagi saya hidup dan kesaksian iman kita bagaikan bintang yang bercahaya, yang juga mengizinkan orang lain melihat dan mengalami Tuhan, seperti mereka melihat di antara bintang yang satu dengan bintang yang lain ada kegelapan. Kegelapan adalah sesuatu yang indah untuk dinikmati justru ketika ada terang. Tuhan memang gelap, misteri tapi dia menamppakan diri melalui hidup orang-orang yang bercahaya oleh kasih.


Bukakanlah Aku Pintu-Pintu Malam

Bulan purnama dengan cahayanya yang benderang dekat sekali dengan rumah kami pada hari-hari ini. Rasanya tidak salah dalam tradisinya, Gereja menetapkan hari Paskah kurang lebih empat belas hari setelah bulan baru (yang tak nampak di langit) dan pada saat itu bulan nampak penuh (purnama). Saya tak tahu apakah anda di Indonesia melihatnya juga entah beberapa hari sebelum atau sesudah Paskah.
Kubur kosong yang didapati Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus dan Salome adalah misteri yang kita terima dengan iman, bukan untuk dipertanyakan buktinya. Toh kubur kosong meski salah satu petunjuk tapi bukan bukti utama yang menjelaskan kebangkitan Kristus. Malaikat itu sendiri mengatakan, “Dia tidak ada di sini, dia telah bangkit. Dia telah mendahului kamu ke Galilea » (Mrk.16 :5). Menerima dengan iman, bukan berarti kita terima begitu saja apa yang dinyatakan pada kita, melainkan mempercayakan diri pada misteri yang mahaluas. Samahalnya ketika kita memandang bulan dan bintang di langit, yang dengan mata telanjang nampak tapi tidak seluruhnya kelihatan. Bahkan jika kita menggunakan teleskop sebesar apapun, alam semesta tetap misteri yang mahaluas dalam lautan bintang tak berhingga. Iman paskah adalah iman yang penuh syukur. Di hadapan kebangkitan, biarlah kita diterangi oleh misteri itu, seperti kita membiarkan diri kita diterangi bulan dan bintang.
“Pergilah dan katakanlah pada para murid dan kepada Petrus, Dia mendahului kamu ke Galilea”. Kembali ke Galilea adalah pesan utama kebangkitan menurut Injil M arkus. Kristus hidup dan sudah kembali ke Galilea. Untuk memahami misteri kebangkitan Kristus, para murid mesti kembali ke tempat di mana Yesus mewartakan Kerajaan Allah dengan menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, di mana Ia makan dengan orang berdosa dan membuktikan cinta-Nya dengan setia. Kisah kebangkitan dalam Injil Markus sebanarnya adalah puncak dari seluruh kisah Injil dengan 16 bab ini. Pendek kata, Injil Markus adalah Kisah Kebangkitan itu sendiri. Maka pesan kebangkitan jelas, kembali pada hidup Yesus yang aktual dan melanjutkan misi dan hidup Yesus. Jadi Injil markus tidak berakhir dengan kesimpulan, tapi undangan untuk melanjutkan hidup Yesus dengan mewartakan apa yang telah Ia buat.
Markus mengalamatkan pesan ini pada pembacanya di segala zaman, tak terkecuali pada kita sekarang ini. Pesan kebangkitan tidak lain adalah kembali ke Galilea kita, yakni pengalaman di saat dan di mana perkenalan dan iman akan Yesus mengubah hidup kita secara konkret. Pikirkan, temukan dan renungkan peristiwa-peristiwa di tahun ini, di mana anda mendapati diri betul-betul diubah oleh Tuhan. Kalau karena Yesus, anda mengampuni seseorang ; kalau demi Yesus anda merelakan waktumu di hari minggu untuk membantu korban banjir, dan kalau berkat Yesus kamu kamu mengalami dicintai dalam banyak hal, kembalilah, ingatlah dan syukurilah karya baik Tuhan dalam hidupmu. Bukan itu saja, wartakanlah dengan melakukan yang sama. Dengan demikian kamu melanjutkan hidup Yesus, kamu mewartakan Dia hidup. Kita tak perlu pergi jauh-jauh hingga ke Yerusalem untuk membuktikan Dia bangkit. Saya ingat apa yang dikatakan astronom Amerika Serikat, Niel Amstrong, setelah menginjakkan kakinya di bulan, berkata begini: “ « Langkah kaki seorang manusia kecil ini adalah adalah langkah raksasa bagi kemanusiaan. » Paskah mengundang kita untuk bertindak, dengan langkah dan jalan cinta sederhana, memenangkan manusia sebanyak mungkin dari ketakutan, dari kenyataan tidak dicintai, dari balas dendam, dari penyakit, dari ketidakjujuran, dari perang, dari balas dendam dan dari budaya kematian.
Pada bulan April 1848 Victor Hugo menulis syair Vini, Vidi, Vixi (dalam les contemplations, Livre IV,) yang saya yakin dekat sekali pesannya dengan kebangkitan.

Sekarang mataku setengah terbuka
Tak lagi ku mau beranjak pun ketika orang memanggilku
Hidupku penuh takjub
Seperti orang yang bangun sebelum matahari terbit dan tak bisa tidur
Saya tak pantas menjawab orang-orang yang iri hati
Tuhan, bukakanlah aku pintu-pintu malam
Agar aku pergi kepadanya dan menghilang

Saya membaca Hugo saat memandang bulan sambil memikirkan jutaan bintang di sekelilingnya. Anda tahu, sebagaimana bintang yang mati akan meledak dan menjadi SuperNova, menghasilkan lautan bintang dan benda angkasa lainnya, demikianlah misteri Paskah. Berkat kematian dan kebangkitan-Nya, Yesus bagaikan supernova kita, bintang baru yang menghasilkan cahaya tanpa henti bagi kehidupan. Mintalah pada Tuhan pada paskah kali ini, untuk membuka pintu-pintu malam bagi kita, menyaksikan keindahan cintanya dalam pengalaman hidup kita yang mungkin sering luput untuk disyukuri dan minta agar kita juga seperti Dia siap meledakkan hidup kita bagi yang lain, dalam komitmen tak tergantikan mengabdi kehidupan dan melawan budaya kematian di sekeliling kita.

Selamat Pesta Paskah,

Ronald,SX


Perpisahan yang Elegik?

Francis James, seorang penyair Perancis pada September 1898 menulis begini di akhir syairnya tentang perpisahan (Le Deuil de Primevères)

Si tu le sais, amie, arrive et dis-le moi, dis moi pourquoi,
Lorsque je suis souffrant, il semble que les arbres comme moi soient malades
Est-ce qu’ils mourront aussi en même temps que moi ?
Est-ce que le ciel mourra ? Est-ce que tu mourras ?

Jika kau tahu, sahabat, mari dan katakan pada ku, katakan kenapa
Ketika aku menderita, pohon-pohon ini nampak seperti aku, menjadi sakit
Apakah mereka akan mati pada waktu yang sama denganku ?
Apakah langit akan mati ? Apakah Engkau akan mati juga ?

Kita hanya bisa bicara tentang perpisahan hanya dalam konteks cinta. Di luar itu, lebih tepat berbicara tentang putusnya hubungan, pemutusan, penolakan hingga terusirnya seseorang dari orang-orang dekatnya. Dalam perpisahan, kita maupun orang yang kita cintai tidak menghendaki perpisahan itu tapi sekaligus tidak dapat pula mencegahnya. Di situ kita menemukan keutamaan cinta dalam tegangannya yang indah, memiliki dan melepaskan, merengkuh dan merelakan. Yang harus pergi, dalam segala perasaannya untuk tinggal harus merelakan semua yang ia harapkan tetap tinggal bersamanya. Dan yang ditinggal pergi, dalam segala ketidakrelaan untuk melepaspergikan dia yang harus pergi, mesti membiarkan dia pergi, dan dalam segala keiginan untuk pergi bersama harus memutuskan tetap tinggal.
Perpisahan beda dengan pergi sebentar, karena ia mengandung kemungkinan yang kecil untuk kembali. Sering bahkan, perpisahan itu sudah merupakan bagian dari kematian itu sendiri. Demikian lalu kita mengerti kenapa orang Perancis bilang Adieu, dan orang Spanyol bilang Adios, sampai jumpa pada Tuhan.
Dalam remang-remang lampu saya bisa membayangkan wajah-wajah sedih para rasul, dan tentu saja Yesus yang harus menyelesaikan tugasnya. Perasaan-perasaan mereka, bayangkanlah juga! Kita bisa menemukan juga tegangan indah hubungan cinta mereka dalam dua dialog Yesus dan Petrus. Pertama ketika dia mau mencegah Tuhan membasuh kakinya. Kedua, ketika dia berjanji ingin pergi dan mati bersama Yesus.
Injil Yohanes pasal 13 dengan indah melaporkan peristiwa penting ini. Jika anda membaca seluruh pasal ini anda bisa menemukan bahwa kisah ini diawali dengan sebuah tindakan unik, Yesus membasuh kaki para murid dan akhir kisah ini ditandai dengan ramalan tentang Petrus yang akan menyangkal Yesus tiga kali. Kisah ini sepertinya mengantisipasi perkataan Pilatus pada Yesus segera sesudah Ia kelak disiksa dan dimahkotai duri: Lihatlah Manusia Itu. Dalam pasal tiga belas ini kita menemukan kemanusiaan dalam keadaanya yang paling rapuh sebagaimana diwakili penyangkalan Petrus dan penghianatan Yudas. Kita juga menemukan kemanusiaan yang paling murni dan sempurna, yakni dalam tindakan Yesus membasuh kaki para murid. Pendek kata, di sini kita bisa mengkontemplasikan cinta dan penyangkalannya.
Perpisahan menjadi elegik ketika kita mendapati orang yang kita cintai, ternyata mengharapkan atau menginginkan kepergian dan kematian kita, menyangkal dan menghianati kita. Lalu benar kenapa Francis James menulis pertanyaan penuh ragu tadi : Apakah mereka akan mati pada waktu yang sama denganku ? Apakah langit akan mati ? Apakah Engkau akan mati juga ? Pertanyaan-pertanyaan ini seperti mengulangi dialog Yesus dengan Petrus, dan sekarang dialamatkan pada saya dan anda, saat kita di akhir kamis Putih menyaksikan altar dikosongkan dan berdoa di hadapan roti ekaristi.
Justru karena sadar bahwa kita selalu tergoda untuk meninggalkan dan menghianatiNya, Ia meninggalkan ekaristi sebagai warisan yang menguatkan kita untuk setia, untuk sungguh-sungguh pergi dan mati bersama Dia. « Lakukanlah ini sebagai kenangan akan daku », demikian kata Yesus. Warisan yang Dia tinggalkan bukan untuk disimpan, tapi dilakukan.
Di perayaan kamis putih inilah Gereja mendasarkan pilihannya akan pelayanan bagi perdamaian, pengampunan dan penghormatan atas kehidupan. Di perayaan yang sama, Gereja mengajak anda untuk memperbaharui panggilan semua orang Kristiani sebagai pelayan perdamaian, pengampunan dan kehidupan. Inilah yang mesti kita minta secara khusus di hadapan sakramen mahakudus. Semoga perpisahan Yesus dengan para murid yang kita peringati tidak menjadi perpisahan yang elegik seperti dilukiskan Francis James. Selamat berjaga-jaga untuk mati bersama Dia.


Tuhan Telah Mati dan Kitalah Penontonnya


Dengan palma di tangan, kita berarak merenungkan dan mengingat kembali kisah masuknya Yesus ke Yerusalem. Injil Matius dan Markus menemani kita. Injil Matius berkisah tentang Yesus yang berarak masuk dengan sebuah keledai hina dan disambut banyak orang dengan teriakan Hosanna (yang artinya Tuhan selamatkan Kami) sambil membentangkan daun dan bahkan pakian mereka. Keledai mengingatkan kita pada sejarah dan pengharapan mesianik Israel. “Katakanlah pada putri Sion, lihalah Rajamu datang, ia yang rendah hati duduk di atas keledai” (Yes.62:11). Yesus dengan masuk menunggangi keledai mau mengingatkan orang-orang yang menyambutnya pada pengharapan Israel akan Mesias, tetapi sekaligus pengharapan yang murni seperti yang dimaksudkan Yesaya. Lalu kita bertanya, apa yang bisa diharapkan dari seorang raja yang nampak tak punya kekuatan ini, yang nasibnya kemungkinan besar akan berakhir tragis ini? Saya teringat kisah Simson yang pasti anda kenal (Hak.15:9-20) ia yang memukul kalah orang Filistin dengan kepala keledai. Keledai lagi-lagi adalah undangan untuk berharap sebesar Yesus.
Injil Markus mengisahkan penderitaan Yesus. Menariknya kisah ini diintroduksi oleh kehadiran seorang perempuan berdosa yang datang meminyaki kaki Yesus ketika Ia dan para murid makan bersama di rumah Simon. Bagi Yesus minyak yang diurapkan padanya adalah persiapan untuk penguburan-Nya (Mrk.14:1-9). Lalu kita juga bertanya, seperti para murid, apa yang bisa diharapkan dari Dia yang hidupnya akan berakhir tragis, mati dan dikuburkan seperti kebanyakan orang? Mungkin hal inilah yang menjelaskan kenapa sebagian besar murid lari meninggalkan Yesus ketika Dia ditangkap dan dihukum. Kisah penderitaan ini sangat elegik, bukan hanya karena kita sedih dan perih melihat Yesus dianiaya, apalagi seperti yang difilimkan Mel Gibson, tapi juga karena kita bisa jadi seperti orang-orang yang menyambut Yesus dengan sorak sorai namun akhirnya merasa salah berharap pada orang yang hidupnya akan berakhir tragis. Kalau Nietzche berkata Tuhan telah mati dan kitalah pembunuhnya, lebih bagus mengatakan, Tuhan telah mati dan kitalah penontonnya, karena kita tidak bisa berbuat apa-apa, pun tidak bisa mencegahnya selain membiarkan Dia menyelesaikan tugasnya.
Pada minggu Palma, kita mesti bertanya, apakah kita adalah penonton yang berada di stadion, yang tidak bisa berbuat apa-apa selain membiarkan permainan selesai ataukah kita ikut ‘bermain’, ikut serta dalam perjalanan Yesus mulai ketika Ia masuk ke Yerusalem hingga penderitaan dan kematiannya. Dua tokoh misterius yang dikisahkan oleh dua Injil hari ini membantu kita untuk itu. Peran tokoh pertama, yang menyediakan keledainya untuk Yesus, harus dipandang signifikan. Dia merelakan binatang piaraannya dipakai Tuhan pun dengan resiko bahwa binatang itu kemungkinan besar tidak kembali. Tokoh kedua adalah perempuan berdosa yang meminyaki kaki Yesus dengan parfum yang dibeli dengan segala yang ia punya. Dan menurut Yesus itu adalah parfum untuk penguburan-Nya. Bukankah aneh meminyaki seseorang yang masih hidup, yang belum mati? Bukankah ini terbalik dengan kebiasaan orang yang meminyaki jasad sebelum dimakamkan?
Lalu apa artinya pembenaran Yesus atas tindakan perempuan yang terlanjur dicap Yudas menghambur-hamburkan uang yang lebih pantas diberikan untuk orang miskin itu? Dalam pembacaan saya, meminyaki tubuh Yesus sebelum saatnya melambangkan cinta dan pengharapan seorang murid sejati. Di balik tindakan meminyaki tubuh atau jasad, terdapat harapan akan keabadiaan tubuh, harapan bahwa kematian bukan akhir dari penderitaan. Justru pengharapan seperti inilah yang diharapkan Yesus dari para murid-Nya
Ateisme yang paling besar bagi saya adalah menonton Tuhan yang menderita. Allah telah menderita satu kali selamanya untuk kita melalui penderitaan Yesus. Sekarang kita dipanggil untuk siap menderita bersama Dia dalam kebutuhan-kebutuhan sekitar. Pengingkaran Tuhan yang paling besar adalah membiarkan kebutuhan-kebutuhan itu tak terjawab, membiarkan penderitaan orang-orang sekitar kita berakhir tanpa menemukan penyelesaian terbaik. Kalau Nietzche memaklumatkan kematian Tuhan, kita orang Kristiani, mengikuti seruan Paulus, mewartakan Tuhan yang tersalib, Tuhan yang menderita dan tersalib dalam penderitaan yang juga kita alami untuk sesama yang menderita. Kerelaan dan pengorbanan kita pada masa prapaskah apapun itu bentuknya adalah pernyataan paling besar tentang solidaritas Tuhan yang selalu aktual sepanjang masa. Saya menulis ini untuk seorang sahabat di Bintaro yang ke Situ Gunung- Sukabumi bersama banyak sukarelawan lain meringankan penderitaan saudara kita di sana.

Blogger Template by Blogcrowds