LUKISAN BAHAGIA


LUKISAN BAHAGIA

Mustahil rasanya menempatkan rasa syukur atas kebahagiaan di luar penyelenggaraan Tuhan. Walaupun selalu sering terjadi bahwa hampir tidak kita pedulikan dalam semua pencapaian kita, bahkan Ia lebih sering diserapahi ketika kita jatuh gagal, terkena bencana terus menerus atau belum mendapat peruntungan yang ditunggu-tunggu.
Kebahagiaan tidak melulu sebuah kenyataan sekarang yang sekali jadi, tapi sebuah perjalanan yang panjang dan dinamis. Tentunya anda pernah melukis atau paling tidak pernya menyaksikan bagaimana orang melukis? Untuk menghasilkan sebuah master piece, seorang pelukis pertama-tama membuat skesta, lalu bisa menunggu begitu lama untuk meneruskan, dan menyempurnakannya. Kemudian dia butuh waktu lama untuk memilih warna,mencapur dan kemudian mewarnai lukisan. Dalam proses itu cat bisa tumpah, goresan bisa lebih dan kurang, ada debu yang terbang dan melekat yang selalu bisa saja membuat pelukis marah, kecewa…kesepian.Ini segi-segi manusiawi para pelukis yang sering luput dari perhatian kita para penikmat karya seni. Padalah pergulatan itu adalah bagian dari yang sering kita kenal dalam estetika sebagai proses kreatif.
Penyelenggaraan Tuhan yang membuat kita bahagia bisa dibayangkan seperti proses kreatif itu. Bahagia dengan demikian menjadi sesuatu yang sangat dinamis. Tuhan membahagiakan kita sering juga melalu pengalaman yang tidak pernah kita pilih atau kita kehendaki. Seorang teman yang sudah lama kuliah di kedokteran, karena kekurangan biaya akhirnya pindah ke fakultas keguruan dan kemudian menjadi guru di pedalaman. Pekerjaan baru ini menghantar dia pada kebahagiaan yang menurutnya belum tentu bisa dia dapatkan ketika dia berhasil menjadi dokter. Dia menikah dengan sesama guru, meski cinta pertamanya dengan sesama rekan dokter – katanya sudah tradisi kalau dokter suka jadian sama dokter juga. Anak-anak yang lahir baginya juga mendatangkan kebahagiaan tersendiri.
Lihatlah bagaimana Tuhan menganugerahkan kebahagiaan tidak seperti memberi sebuah roti bolu atau fast food. Ia seolah-olah bersama kita menyiapkan sebuah karya indah dalam kanvas kehidupan. Keterbukaan para rencana Tuhan, kepercayaan bahwa Tuhan akan mengerjakan banyak hal besar di luar yang pernah kita rencanakan sendiri, itulah yang menjadikan lukisan kita indah, hidup kita bahagia. Seorang bijak bestari dari Israel bernama Yesaya dalam kidungnya mengingatkan kita bahwa Tuhan telah “melukis kita di telapak tangannya. Sekalipun seorang ibu melupakan engkau, Aku tidak akan melupakanmu.” Inilah rahmat yang mesti selalu kita minta setiap hari pada yang kuasa, yakni harapan yang tak pernah habis.


KAPAN KAWIN ? Surga dan Kita

Bisa dibayangkan bagaimana perasaan anda jika dalam sebuah pesta yang anda adakan – katakanlah sebuah pesta ulang tahun – orang yang anda undang belum memperlihatkan batang hidungnya. Lebih buruk lagi jika tak satupun dari mereka yang datang. Rasanya hal ini jarang terjadi dalam keseharian kita. Minimal yang terjadi adalah hanya satu atau beberapa orang saja yang hadir. Jika anda pernah mengalami ini, tidak sulit kemudian memahami pesan Injil minggu ini. Yesus menceritakan perumpamaan Kerajaan Surga sebagai seorang yang mengadakan sebuah pesta nikah tapi orang-orang yang diundangnya tidak datang (Matius 22 :1-14).
Tentu sebagaimana sebuah pesta besar, undangan sudah disebarkan jauh-jauh hari. Andai sang tuan pesta itu hidup sekarang, mungkin segala macam bentuk advertasi dipakainya untuk mengabarkan berita perkawinan itu. Sedikit cerita .. . saya teringat papan iklan besar Mild yang ditokohi Ringgo. Satu kata yang menarik, KAPAN KAWIN ?, ditulis besar di papan itu. Semua menunggu kapan Ringgo kawin. Ini seperti sebuah manifestasi bahwa kebanyakan kita selalu menyambut baik kabar perkawinan, sebagai kabar baik. Pertanyaan itu sekaligus kerinduan, kalau boleh kita juga diundang atau terlibat dalam sebuah pesta perkawinan. Ini bertolak belakang dengan orang-orang yang diundang sang tuan pesta dalam kisah hari ini.Mereka tidak peduli. Padahal si tuan pesta telah menyuruh hamba-hambanya memanggil mereka. Lihatlah betapa baiknya si tuan ini. Ia ingin orang-orang yang diudang itu ikut ambil bagian dalam kebahagiaannya dan meyakinkan bahwa hidangan telah tersedia, ‘…lembu-lembu jantan dan ternak piaraanku telah disembelih ; semuanya telah tersedia, datanglah ke perjamuan kawin ini (ayat 4). Sayang mereka tetap tidak peduli.
Sang tuan ingin agar pesta tetap dirayakan, maka dia mengundang semua orang, menyuruh hamba-hambanya memanggil orang-orang lain di pinggir dan di sudut-sudut jalan untuk menghadiri pesta besar itu. Sebagaimana kepada orang yang telah dia undang tapi menolak datang, hidangan juga tersedia bagi mereka yang baru itu ; tak peduli apakah mereka baik atau jahat. Sang tuan tentu tidak mungkin menghabiskan sendiri hidangan itu. Kata hidangan bagi saya jauh beda artinya dengan makanan. Makanan hanya soal bahan dan rupa, tapi hidangan adalah soal sifat dari makann itu, yang diperuntukkan bagi yang lain dan karenanya selalu dihadapkan pada para undangan.
Kerajaan surga bagaikan jamuan kawin. Ada tuan pesta, ada yang dipestakan, ada hidangan dan tentu saja ada yang diundang. Relasi atau hubungan antara tuan pesta atau orang yang dipestakan dengan undangan-undangannya, itulah yang membuat atau menjadikan pesta. Pesta tidak berhenti atau selesai dengan menghadiri jamuan makan lalu pulang; atau merasa cukup menukarkan kado pesta kita dengan makanan yang disedikan. Orang baru dikatakan menghadiri pesta, kalau dia sudah bertemu dengan tuan pesta atau kehadirannya diketahui oleh yang dipestakan. Sang tuan pesta tahu kalau dia sudah ambil bagian dalam sukacita sang tuan pesta. Inilah kerajaan, sebuah hubungan yang dipelihara dengan penyambutan terus menerus terhadap sapaan dan panggilan Tuhan. Panggilan bisa beragam; bisa sebagai pertobatan, mengubah hidup, tapi bisa juga sebagai keprihatinan kepada sesama. Tuhan memanggil kita selalu, bahkan Dia masih menunggu kita pulang di tempat kita pernah meninggalkan-Nya.
Kisah injil ini ditutup dengan sebuah harapan yang seolah-olah terlihat pilu. Harapannya adalah bahwa pesta itu untuk semua orang tanpa syarat. Rasanya semua kategori penghakiman manusiawi kita soal siapa yang baik dan siapa yang jahat runtuh di hadapan belaskasih/misericordia Tuhan. Akan tetapi rasa pilu nampak ketika di akhir kisah ini dikatakan bahwa ada seorang yang kedapatan tidak berpakian pesta. Ia kemudian diusir dan dicampakan. Kita bisa bertanya kenapa setelah diundang kok malah ada yang diusir? Setragis itukah Tuhan?
Mari kita perhatikan baik-baik apa yang tertulis di Injil ini. Tuan pesta mengusir orang yang tak berpakian pesta bukan karena dia tidak punya pakian pesta, tetapi Dia diam saja di hadapan pertanyaan belas kasih Tuhan: Hai saudara, bagaimana engkau masuk kemari dengan tidak mengenakan pakian pesta? Andai orang itu menjawab dengan jujur, tentu tuan memberikannya pakian pesta. Karena dia diam saja, ia seperti menghina tuan pesta dengan cara berpakiannya itu. Akhirnya lagi-lagi surga adalah soal jawaban. Jika kita bersedia menanggapi panggilan Tuhan pun saat kita mau meninggalkannya, di situlah pesta sedang dimulai. Dan percayalah betapa indah selalu ada dalam belaskasih Tuhan.

Salam

Ronald Tardelly,sx

Sedikit tentang Hipokritisme Kita

Bukan hal baru jika bos atau atasan kita tugas di luar kota untuk waktu beberapa lama, hati terasa plong, merasa bebas. Seorang teman tidak biasanya on line untuk chat seharian, tapi ketika ditanya, ‘kok tumben chatting nya lama ?’, katanya karena bos lagi pelesir. Ada teman yang masuk kantor telat, juga dengan alasan yang sama. Tidak ada yang ngawasi. Ada juga yang pake alasan filosofis, mengutip Aristóteles, dosa boleh dilakukan yang penting gak ada yang ngeliat.
Perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur ( Matius 21:33-46) rasanya tidak diceritakan Yesus hanya sebagai metafor untuk melukiskan penolakan bangsa Israel atas keselamatan, atau ramalan antisipatif bagaimana Yesus menjadi tumbal dari penolakan itu. Perumpamaan ini menyapa kedalaman laku kita. Hipokritisme bisa hinggap pada siapa saja, termasuk kita orang Kristen. Dan petaka yang dibawa oleh sikap ini tak kurang kepalang besar.
Sang tuan tanah menyewa beberapa orang untuk menggarap kebun anggurnya sebelum ia pergi ke negeri seberang dalam waktu yang lama dengan perjanjian bahwa sepulangnya dari negeri seberang itu, ia bisa menerima hasil yang menjadi bagiaanya. Berarti diandaikan juga bahwa para penggarap akan menerima sebagai upah mereka hasil dari garapan itu. Akan tetapi yang diharapkan justru sebaliknya. Sang tuan tanah tidak menerima apa pun selain kenyatan bahwa hamba-hamba yang disuruhnya untuk menagih bagiannya dibunuh dengan sadis. Bahkan anaknya sendiri dibunuh.
Kiranya para penggarap tadi membunuh hamba dan anak sang tuan tanah bukan karena mereka tidak ingin membagikan hasil anggur melainkan bisa jadi mereka tidak menghasilkan apa-apa karena kelalaian mereka sendiri. Waktu yang diberikan untuk sekali musim tanam dan tuai tidak dimanfaatkan dengan baik. Apa yang mereka lakukan sepanjang waktu itu kiranya pula tidak jauh dengan pengalaman kecil yang diceritakan tadi. Mereka mengerjakan yang bukan tugas pokok mereka, atau nyambi dengan pekerjaan lain. Kalau kemungkinan kedua yang terjadi, hasilnya pun tidak maksimal atau teramat sedikit untuk dibagikan. Maka ketika tuan tanah meminta hasil yang menjadi bagiannya – dari yang amat sedikit itu – para penggarap itu tentu berpikir bagaimana mungkin mereka bisa memberi jika nantinya mereka tidak mendapat bagian?
Kisah ini akhirnya juga menjadi sindiran Yesus bagi setiap sikap hipokrit. Itu bisa ditujukan kepada kita orang Kristiani. Seberapa sering dan seberapa banyak waktu yang kita lalaikan selama atasan atau majikan kita pergi? Waktu yang kita terbuang untuk melakukan tugas dan tanggung jawab kita dengan setia sama nilainya dengan dua kali lipat kesematan untuk bertumbuh terbuang. Kita bisa makin kreatif dan berkembang dalam kesetiaan kita pada tugas. Di sinilah kesempatan kita berjumpa Tuhan betapun ada godaan untuk lari dari tugas itu. Tuhan biasanya datang di akhir, bukan sebagai penyesalan, tapi sebagai pertanyaan: apakah Rahmat – yang membuat waktu bernilai sama dengan dua kali lipat kesempatan untuk bertumbuh dan bahagia – sudah kita garap menjadi buah-buah yang siap dinikmati baik oleh kita sendiri maupun Dia?
Setiap hari dalam tugas yang kita emban, kita punya kesempatan berahmat untuk bersama Tuhan mengubah dunia ini. Anda mungkin bertanya, benarkah tetap datang ke kantor sebagai petugas cleaning service meski bos gak datang, bisa mengubah dunia jadi baik? Betulkah tetap bangun pagi untuk siapkan sarapan suami akan mengurangi terorisme di dunia? Who knows? Saling mendoakan supaya kita saling setia. Jangan sampai kesematan berahmat untuk mengubah dunia ini terambil dari kita dan diberikan kepada orang lain.

ronald,sx











Blogger Template by Blogcrowds