“Something like happiness”

Itu judul sebuah film independen dari chez Republik yang aku nonton sewaktu JIFFEST tahun lalu. Tapi, saya tidak bermaksud menceritakan kisah film itu di sini. Teman-teman, kadang-kadang di tengah kesibukan saya yang lumayan padat di Jogyakarta, saya merasakan seringkali hampir tidak ada waktu lagi untuk membagikan permenungan saya melalui blog ini. Kadang juga ada pertanyaan “ah…apa mungkin ini akan banyak gunanya bagi orang lain, apa mungkin teman-teman membacanya?”

Keraguan saya terjawab ketika berulang kali merenungkan perikop tentang Kerajaan Allah. Lebih lagi, apa yang dikatakan Rasul Paulus dalam bacaan hari ini sungguh menguatkan saya. Saya percaya bahwa meski kecil, sederhana usaha ini, lama-lama akan menghasilkan banyak buah. Saya percayakan pada Tuhan semuanya itu. Saya hanyalah alat-Nya. Kata-kata Rasul Paulus sungguh menghibur pula: “…Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia. (Roma 8:17)”. Inilah jaminan pengharapan yang diberikan Tuhan bagiku dan bagi kita semua yang berusaha melalui perbuatan dan karya kita yang sederhana, bekerja mewujudkan Kerajaan Allah. Kita adalah pekerja, yang merawat dan menyiangi…, tapi tetap Allah yang memberi pertumbuhan. Maka, mempercayakan kepada Allah seperti apa hasilnya usaha kita itu nantinya adalah sikap iman yang otentik.

Kalau kita sungguh mengasihi Tuhan, kita akan sungguh pula merasakan penyelenggarannya. Sulit bagi saya membayangkan bagaimana mungkin ibu saya yang janda, selepas ditinggal mati papa, sanggup membesarkan dan membiayai pendidikanku dan keempat saudaraku yang lain. Gaji pensiunan papaku sebenarnya hanya cukup buat makan sehari-hari. Ada saja jalan yang disediakan Tuhan bagi keluargaku…Seringkali mengejutkan…tapi sungguh dia mengerti apa yang kami butuhkan. Suatu kali ketika begitu cemas dengan keadaan keuangan keluarga, mama yang sekolahnya tidak setinggi saya, mengingatkan saya “Nal.., burung saja dikasih makan sama Tuhan, masak kita tidak. Sekarang berdoa bersama saya supaya apa yang sedang mama rencanakan dan usahakan ini berhasil…” Kata-kata ini saya ingat selalu karena memang besoknya apa yang kami butuhkan sungguh-sungguh kami dapatkan…

Semalam tak nyangka seorang teman yang sudah lama gak kontak, muncul dan curhat tentang pengalaman rohaninya. Melalui yahoo messenger, percakapan kami masing-masing memberi kekuatan baru bagi kami… Sekali lagi, Tuhan turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia…I really feel something not just like happines, but really happiness…

ronald,s.x.

Dari Fermipan, Donat, hingga Kerajaan Allah

Sewaktu SD, saya suka sekali memperhatikan mama mengolah adonan terigu menjadi roti atau kue tart; sering juga mencolek kue-kue yang masih setengah matang di dalam oven. Saya masih ingat betul, ketika Mixer Kue (mesin pengaduk adonan roti) belum begitu banyak beredar, mama masih menggunakan alat sederhana dari kawat berbentuk spiral untuk mengaduk adonan roti dan tak jarang pula mengaduk dengan tangan saja. Mama orang yang pengertian. Dia meladeni juga curiosity ku yang kebangetan…Jadi, dia beritahu juga bahan-bahan apa saja yang penting untuk membuat kue..Saya masih ingat bahan-bahan itu antara lain, backing powder, vanili, mentega, terigu, telur dan yang paling penting fermipan atau bibit roti atawa ragi..Bahan terakhir inilah yang membuat adonan roti mengembang…Saya memperhatikan proses pengembangan adonan itu berlangsung antara satu hingga dua jam. Setelah itu baru dijadikan donat atau jenis roti lainnya. Oh ya, mama saya trampil buat kue dan melayani pesanan kue.

Pengalaman itu membuat saya cukup memahami arti Kerajaan Allah. Yesus mengumpakannya seperti biji sesawi, yang diambil dan ditaburkan orang di kebunnya lalu biji itu tumbuh dan menjadi pohon sekaligus hunian bagi burung-burung. Juga kerajaan Allah seperti ragi yang diambil seorang perempuan dan diadukkan ke dalam tepung terigu tiga sukat sampai khamir atau mengembang merata seluruhnya..(Lukas 13:18-21)

Biji dan ragi adalah kenyataan Kerajaan Allah. Lalu kerajaan Allah itu apa? Kita mesti ingat apa yang Yesus katakan dan kerjakan untuk memahami itu. “Ketika aku menyembuhkan orang lumpuh, membangkitkan orang mati, mentahirkan yang buta, sesungguhnya Kerajaan Allah itu telah datang padamu”. Maksudnya, Kerajaan Allah adalah peristiwa di mana Allah merajai hati kita, menjadi dorongan dan tujuan dasar pilihan-pilihan hidup kita sehari-hari. Hati kita menjadi hati yang terbuka seperti Allah menyambut dan mengasihi sesama tanpa syarat…Cara hidup kita sebagai orang Katolik menjadi kesaksian yang pertama dan utama tentang Kerajaan Allah, yang menjadi daya tarik bagi banyak orang. Kerajaan Allah adalah anugerah Cuma-Cuma dari Allah, tapi kita mesti seperti si penabur yang menabur dan memelihara biji itu sampai tumbuh; seperti perempuan yang mengaduk adonan roti sampai mengembang dan siap disantap. Tuhan butuh anda untuk mewujudkan kerajaan-Nya. Bagaimana mungkin? Kita mulai dari hal-hal yang kecil dan sederhana, seperti biji dan ragi tadi; masuk kantor tepat waktu, setia pada tugas-tugas yang dipercayakan, mendukung dan menghibur teman yang lagi down, selalu menyapa selamat pagi-selamat siang-selamat sore untuk teman-teman di kantor atau sekolah; menyediakan bantuan khusus bagi saudara kita yang tidak mampu…Masukkan salah satunya dalam schedule harian anda…Kecil-kecil tapi lama-lama bersama perbuatan kecil-kecil dari saudara-saudari kita lainnya,kita sedang ikut serta mewujudkan Kerajaan Allah.

Salam,

Ronald,s.x.

Anda Kerasukan Roh Apa?

Bacaan: Rm. 8:12-17; Lukas 13:10-17

Kisah Injil menarik untuk direnungkan. Yesus berjumpa dengan seorang perempuan yang sudah 18 tahun sakit sampai bungkuk punggungnya sehingga tidak lagi dapat berdiri dengan tegak. Kata orang keadaan perempuan itu yang demikian dipercaya karena dirasuki roh (kepercayaan Yahudi: sakit, derita identik dengan kutuk dan dosa).
Kata-kata yang keluar dari mulut Yesus saat memanggil dan menyembuhkan perempuan itu membantu kita memahami apa sebenarnya yang dialami perempuan itu, apakah dia kerasukan setan atau tidak, kalau ya, setan macam mana?

“ Hai ibu, penyakitmu telah sembuh.” Yesus mau mengatakan bahwa si ibu sungguh-sungguh mengalami sakit jasmani, yang selalu mungkin menimpa siapa saja…Kiranya rasa minder, putus asa; malu harus menanggung cemoohan sebagai pendosa dan orang yang dikutuk, memang bisa saja membuat ibu ini tidak lagi bisa menerima dirinya; tidak lagi percaya pada belas kasih Tuhan..

Dalam perjumpaan saya dengan beberapa orang sakit entah waktu kunjungan ke panti atau rumah sakit, maupun saat mengunjungi keluarga-keluarga yang sakit, cukup sering saya mendapati orang-orang yang putus asa, tidak lagi mau berusaha untuk sembuh. Seorang bapak yang stroke berhenti melanjutkan fisioterapi, padahal sudah ada tanda-tanda akan sembuh; seorang teman yang minta agar menghentikan semua pengobatan karena merasa sia-sia saja….Seorang sahabat menjadi skrupel atau merasa salah berlebihan – karena pernah melakukan sesuatu yang menurutnya jahat – sampai-sampai kurang percaya bahwa Tuhan mengampuni tanpa batas…,asal kita mau.

Ketidakpercayaan, keputusasaan dan rasa salah berlebihan/skrupel adalah tempat-tempat di mana roh jahat itu justru menunjukkan dirinya, merasuki hidup kita. Mari kita hening sejenak, bertanya diri, kapan dan berapa lama sikap-sikap seperti itu pernah menguasai kita; kapan dan berapa lama kita dirasuki oleh roh jahat?

Injil ini menggarisbawahi betul pentinya iman dan keterbukaan hati kepada belaskasihan Tuhan. Kita mesti seperti perempuan yang kerasukan roh selama 18 tahun itu, menyambut kasih dan pengampunan Tuhan dengan gembira dan penuh harapan, berdiri dan bangkit memuliakan Dia, bangkit dari keterpurukan dan kekecewaan kita. Sikap iman inilah yang melengkapi mukjizat penyembuhan atas dirinya. Anugerah kesembuhan ditanggapi dengan iman yang terbuka dan gembira.Tiada yang mustahil bagi orang yang percaya, itu kata pemazmur…

Mari kita berdoa agar Roh Allah yang sungguh merasuki hidup kita, yakni roh keberanian dan kegembiraan. Sebab, sebagaimana dikatakan rasul Paulus, “kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah.” (Rm.12:14) Maka hiduplah sebagai sang Anak, yang percaya dan menyerahkan diri pada Bapa yang selalu menjamin bahkan sudah tahu apa yang kita butuhkan…
salam,
fr.ronald,s.x.

MERAWAT PEKARANGAN IMAN KITA

Seorang teman di Jakarta mengirimkan sebuah pesan pendek (sms) yang isinya tentang kabar pejalanan ziarah rohaninya ke Lourdes dan beberapa tempat lainnya di Eropa. Soal Maria, apalagi pengalaman pribadinya dengan tokoh Maria tidak disinggung sama sekali. Maka, balasan saya tak kalah pendeknya:”sip., jangan lupa setia seperti Maria”.
Teman saya ini mungkin satu dari cukup banyak orang yang berusaha merawat dan memelihara iman mereka melalui kegiatan-kegiatan devosional seperti ziarah.Ini tentu saja usaha yang baik dan patut dipuji. Iman kita bagaikan sebuah tumbuhan dalam taman atau pekarangan rumah hidup kita. Pertumbuhannya sangat bergantung dari bagaimana tanah di sekelilingnya disiangi, disiram dan dipupuk dengan baik. Seni menyiangi, kesetiaan untuk terus menyiram serta pilihan pupuk yang baik akan memungkinkan tumbuhan ‘iman’ kita tumbuh mekar semerbak mewangi.
Tanggal 14 Oktober yang lalu ketika selesai menghadiri misa di Gereja St. Maria Asumpta – Pakem, gereja yang sekaligus menjadi tempat ziarah Maria yang cukup terkenal karena sumur kitiran masnya, saya memperhatikan dua orang peziarah yang mendekati sumur kitiran mas. Yang seorang nampak sudah stroke sementara seorangnya lagi menuntut si sakit. Keduanya ingin minum dari air sumur yang konon ‘menyembuhkan’ itu. Dalam hati, saya memuji kebersahajaan iman orang itu, tapi sekaligus bertanya pada Maria: “bunda, apa benar ini yang kau inginkan? Bukankah Yesus ketika di salib meminta kepada Yohanes (dan kami semua) untuk meneladanimu, setia mencintai dan mengikuti sang putra sampai di salib? Sambil ikut mendoakan kesembuhan bapak itu, saya mohon doa bunda Maria agar saya terus setia.

Tiga belas tahun lalu, tengah malam saya terjaga dan mendapati mama masih duduk di tempat tidur berdoa rosario. Sejak papa meninggal, saya, mama dan keempat saudara saya tidur di satu tempat tidur besar.Pertanyaan saya singkat: “ Ma.., belum tidur?” Jawabnya: “yah..saya masih pikir bagaimana besok kalian masih bisa makan…Paginya waktu saya bangun, dia sedang mengolah adonan terigu untuk dijadikan kue jualan hari itu. Itulah kiranya jawaban dari doanya semalam. Jawabannya adalah dia selalu setia dengan pekerjaannya.
Dengan kesetiaan kita memelihara iman kita. Kesetiaan sebagaiman dilukiskan rasul paulus dalam suratnya kepada Timotius (II Tim.4:6-8) adalah kunci menyelesaikan ‘pertandingan’ dalam hidup kita. Setiap hari, kita ‘bertanding’, berlomba untuk mengalahkan diri sendiri. Kita selalu dihadapkan pada pilihan untuk cukup diri; senang-senang karena merasa sudah berhasil; mencari penghiburan karena tidak tahan sepi sendiri; mau lari dari tugas-tugas yang berat dan rutin, pingin bebas dan lalu membangun menara gading serta patung diri kita sebagai sesembahan baru…
Kesetiaan yang sama juga diperlihatkan oleh si pemungut cukai yang berdosa sebagaimana diceritakan dalam Injil hari ini (Lukas 18:9-14). Dia setia bukan hanya selalu datang berdoa tapi setia pada keyakinan bahwa betapapun dia berdosa, Tuhan senantiasa menerima dan mengasihinya. Kesetiaan macam inilah yang sering disamakan dengan sikap “miskin’ di hadapan Allah. Doa orang-orang yang setia seperti ini memang, seperti kata Bin Sirakh (Sirakh 35:15b-17.20-22a), “menembus awan’, sampai ke telinga Dia yang sudah mengetahui apa yang kita butuhkan. Mari kita mohon rahmat yang sama yakni untuk setia,juga seperti Maria.

Kita bersyukur memiliki St. Lukas Penginjil. Dari dia kita memperoleh banyak kisah dan kesaksian tentang Yesus serta sejarah Gereja perdana. Ia adalah teman seperjalanan Paulus dalam perjalanan misi kedua dan ketiganya (Kisa. 16:10-17; 20:5-21:18). Waktu Paulus dalam penjara di Kaisarea dan Roma, Lukas tetap menyertainya (kis.24:23-27:28). Tentang riwayat hidup lukas selanjutnya kita tidak tahu apa-apa dengan pasti. Menurut tradisi ia meninggal dunia dalam usia lanjut di daerah Akhaya, Yunani. Dalam tahun 357 jenasahnya dibawa ke kota Konstantinopel.
Tradisi sepakat menyebut Lukas seb agai penulis Injil ketiga. Injil yang ditulisnya memiliki benang merah yang sama dengan ajaran Paulus yang menekankan bahwa keselamatan juga dianugerahkan kepada bangsa yang bukan Yahudi.
Walau tidak mengenal Yesus secara langsung. Lukas mengalami diubah oleh Yesus. Setidak-tidaknya dari apa yang diceritakan dan diwartakan Paulus, Lukas mengalami perjumpaan pribadi dengan Yesus. Kesaksian tradisi lisan maupun tulisan tentang Yesus kemudian ‘diselamatkan’ Lukas dengan menuliskan Injilnya. Kiranya ia sungguh menggarisbawahi pesan keselamatan Yesus yang diperuntukkan bagi orang miskin, orang berdosa, perempuan dan orang bukan Yahudi.
Lukas hari ini menjadi contoh bagi kita. Ia membagikan pengalaman bagaimana hidupnya diubah oleh Yesus dengan cara menuliskan Injil itu. Pertanyaan untuk kita, apakah kita sekarang ini masih sering membagikan pengalaman iman kita, perjumpaan pribadi kita dengan Yesus? Apakah kita sungguh-sungguh menggunakan sarana-sarana seperti surat, email untuk membagikan pengalaman itu?

Teks. Lukas 11:1-4
Doa ini begitu sering kita pakai. Kadang ketika tidak punya ide untuk memanjatkan doa bersama, kita pakai doa ini. Tidak jarang waktu sakit perut, waktu kalah judi atau bahkan waktu mau mencuri kelapa, doa ini kita daraskan. Sedemikian biasanya sampai-sampai kita lupa akan arti dan pesan penting doa ini.

Setiap kali kita menyebut Bapa, dalam hati kita mesti terbayang tangan-tangan hangat Sang Bapa yang Berbelaskasih yang menyambut setiap anaknya yang pulang. Kalau kita memanggil Allah sebagai Bapa, maka kita adalah anak atau putera-puterinya. Kebenaran sebagai putra dan putrinya seharusnya membuat kita berani sebagai anak untuk mempercayakan seluruh kebutuhan kita. Kita bukan pengemis yang selalu merengek-rengek minta belas kasihan. Allah sudah menganugerahkan kasih itu tanpa syarat pada kita. Setiap kali kita menyebut Bapa, kita mesti selalu merasa terjamin.
Dengan menyebut Bapa, dengan sendirinya di hadapan Allah kita membangun niat untuk mencintai sesama yang lain sebagai anak-anaknya juga; kita berjanji untuk terus memelihara solidaritas dengan sesama yang paling membutuhkan bahkan terhadap musuh kita.
Dikuduskanlah nama-Mu. Kudus artinya khusus, istimewa. Kita minta agar Allah menolong kita untuk dalam perjuangan kita hari ini, kita selalu menomorsatukan Dia, mengkhususkan Dia.
Datanglah Kerajaan-Mu. Kita minta agar anugerah Kerajaan diberikan Allah dan kita mohon agar kita dikuatkan untuk ikut mewujudkan-Nya.
Mewujudkan kerajaan Allah antara lain diungkapkan dalam dua pemohonan berikutnya:
Berilah kami setiap hari makanan kami yang secukupnya. Ini adalah permohonan sekaligus pernyataan iman bahwa Allah tidak mungkin menelantarkan kita. Kita mohon agar jerih lelah kita tetap bisa mencukupi kebutuhan kita. Kita tidak minta lebih. Karena kita percaya bahwa Allah selalu memperhatikan kebutuhan kita, maka tanpa kuatir dan ragu kita mau berbagi apa yang kita miliki dengan sesama yang paling membutuhkan: uang, makanan, pakian. Setiap kali mendoakan ini, kita mesti mengingat saudara-saudara kita yang lapar di Afrika, Asia, di Sidoarjo, Bengkulu dll.
Ampunilah kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami. Karena Allah sudah terlebih dahulu mengampuni kita, maka kita pantas untuk mengampuni siapa pun yang bersalah atau menyakiti kita.

Doa ini sangat radikal. Beranikah anda untuk mendoakannya? Masih beranikah anda menggunakannya untuk berdoa mohon kesembuhan dari sakit perut? Renungkanlah baik-baik. Dan jika anda merasa cukup dengan mendoakan Bapa atau merasa cukup dengan satu permohonan saja, berhentilah dan renungkanlah itu saja. Selanjutnya mulailah mengerjakan apa yang anda doakan.

Seorang anak yang berusia tiga tahun setiap pagi diantar bapaknya ke sekolah Ricci II di daerah Glodok- Jakarta. Cara berpakian anak ini berbeda dari anak-anak lainnya. Dia selalu memakai celana panjang, sementara teman-temannya memakai celana pendek. Rupanya dia meniru bapaknya, seorang guru, yang selalu memakai celana panjang. Saking sulitnya memaksa dia untuk memakai celana pendek, akhirnya sang ayah suatu hari memutuskan untuk memakai celana pendek. Seperti biasa dia berkemas untuk mengantar anaknya. Tak dinyana, sang anak pun memakai celana pendek. Ketika di sekolah anak ini ditanya satpam. Hei…kenapa sekarang kamu pakai celana pendek? Jawab anak itu singkat: “ saya pingin ikut bapak saya”!
Panggilan kita untuk mewujudkan kerajaan Allah dengan solidaritas dan pengampunan tidak lain karena kita adalah anak, yan g pingin juga memiliki hati sebesar Allah Bapa kita.


Marta dan Maria dalam Injil dikenal sebagai sahabat-sahabat dekat Yesus. Kisah mereka diceritakan persis setelah kisah orang Samaria yang murah hati. Kisah orang Samaria ini menjadi ilustrasi yang dibuat Yesus untuk menjelaskan arti hukum cinta kasih kepada ahli Taurat yang mencobai Dia (Lukas 10:25-37). Kenapa riwayat mereka yang singkat perlu dimasukkan dalam Injil? Sedemikian pentingkah mereka? Begitu istimewanyakah perbuatan yang mereka lakukan?
Yang pasti, berdasarkan Injil, mereka adalah orang yang dikenal dan mengenal Yesus secara dekat. Buktinya, mereka menerima Yesus dan para murid yang singgah di kampung dan rumah mereka. Besar kemungkinan, kedatangan Yesus itu tidak direncanakan. Sulit membayangkan bahwa saat itu misalnya Yesus mengirim sms pada mereka berdua bahwa Ia akan datang. Kedatangan Yesus yang mendadak ini tentu merepotkan. Apalagi selain sebagai sahabat, Yesus kan sudah terlanjur dikenal dan dihormati banyak orang. Maka, penyambutan yang istimewa perlu dipersiapkan. Faktanya, Yesus datang. Bisa dimengerti betapa sibuknya Marta dan Maria. Lagipula mereka harus melayani pula keduabelas murid. Marta yang kiranya sebagai saudara yang lebih tua mengambil inisiatif untuk menyiapkan makanan dan minuman. Jadi dia sibuk di dapur. Sementara Maria memilih untuk menemani Yesus dan para murid ngobrol. Kiranya Maria tidak tega membiarkan kakaknya sibuk sendiri. Tapi lebih tak tega lagi jika dia membiarkan tamu-tamunya diam melongo. Maria kemudian terus mendengarkan cerita-cerita Yesus. Saking asyiknya sampai lupa bahwa Marta sebenarnya butuh bantuan. Cukup dimaklumi perasaan Marta. Pantas kalau dia menggerutu:" Tuhan, tidakkah Engkau peduli bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku. " (ayat.40). Nampaknya hidangan belum selesai dipersiapkan.
Jawaban Yesus sungguh mengesankan. " Marta, Marta, engaku kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil daripadanya". (ayat 41-42). Satu saja yang perlu, apakah gerangan? Bukankah kita sepakat dengan tindakan Marta bahwa rasa hormat dan rasa cinta kita pada orang kita wujudkan dengan selalu memberikan dan mengerjakan apa-apa yang menyenangkannya? Untuk kekasih kita, kita berikan bunga rose atau bahkan sepatu cinderella. Untuk anak, kita berikan dia mainan kesukaanya. Untuk mertua kita, kita siapkan masakan kesukaanya. Dan kita selalu merasa yakin barang-barang berharga selalu menentukan seberapa besar penerimaan orang atas diri kita. Sering saking kurang percaya diri, kita berusaha meyakinkan orang -dengan prestasi, barang,uang dan harta lainnya- bahwa kita pantas dicintai dan dihormati. Tidak sedikit dari kita berpikir bahwa karena perbuatan baik; karena tindakan-tindakan amal saleh kita, kita pantas untuk menerima berkah dan anugerah berlimpah dari Tuhan.
Hanya satu yang perlu. Yesus sebenarnya mau mengatakan kepada Marta: " Aku pingin ketemu kamu. Aku pingin lama berbicara denganmu. Aku pingin melepas rindu. Indah rasanya kalau mendengar cerita-ceritamu.". Yesus ingin ketemu dan menjumpai Marta dan Maria apa adanya bahkan dalam keadaan bahwa mereka tidak siap melayani Dia. Yesus tidak melarang Marta untuk menyiapkan makanan minuman untuk Dia dan para muridnya. Tidak. Dia hanya ingin Marta menyediakan sedikit waktu untuk berbicara dan mendengarkan Dia seperti Maria. Dia pingin tahu apa saja pengalaman Maria.
Di sinilah letak pentingnya kisah Marta dan Maria. Melalui kisah ini Yesus mengajarkah betapa pentingnya perjumpaan pribadi dengan Dia. Dia menuntut agar masing-masing kita dalam situasi dan pekerjaan kita masing-masing mencari waktu berapa pun lamanya untuk sejenak berhenti untuk berdoa, bersyukur kalau ada yang patut disyukuri, protes kalau ada yang pantas dikeluhkan pada Dia. Ingat! sebagai orang Kristiani kita tidak sedang mengikuti aturan atau hukum, melainkan kita mengikuti dan berjumpa dengan seorang Pribadi yang mengubah hidup kita.
Semoga kisah ini juga membantu kita untuk mengembangkan relasi yang lebih baik dengan keluarga atau sahabat. Otentisitas relasi itu terletak dalam kesediaan untuk selalu memberi waktu untuk saling mendengarkan; bukan dengan membelanjakan atau menghadiahkan sedemikian banyak barang.

salam,

ronald,s.x.

Saudari-saudara terkasih, renungan kita di pekan ini kita awali dengan merenungkan tokoh Yunus (Yunus 1:1-2:10).Yunus atau yang sering disebut nabi Yunus sebenarnya lebih merupakan tokoh dongeng daripada seorang tokoh historis. Akan tetapi, kenyataan yang mau diceritakan melalui tokoh ini adalah kenyataan yang historis, yang benar-benar terjadi dalam sejarah Israel. Meskipun demikian, jika anda membaca salah satu kitab tersingkat dalam Perjanjian Lama ini, anda mungkin akan sepakat dengan saya bahwa Yunus adalah salah satu tokoh menarik dan mengesankan.
Dia lari ke Tarsis ketika Tuhan memanggilnya. Kalau anda mengenal kisah-kisah panggilan nabi Yeremia, Amos dan nabi-nabi lainnya, anda tentu tidak menemukan sikap penolakan total seperti Yunus ini. Dia benar-benar lari, bahkan memilih lebih baik mati daripada hidup dan memikul tugas panggilan itu.
Sedemikian berat dan susahkan panggilan itu sehingga ia menolaknya? Kalau diteliti, Tuhan ternyata memanggil dia supaya mengatakan kepada orang-orang Niniwe agar mereka bertobat. Nampaknya, tugas ini tidak susah-susah amat kok. Kalau memang tugas ini mudah lalu kenapa Yunus menolaknya?
Yunus sulit sekali menerima kebenaran bahwa Allah itu maha pengampun dan bahwa Ia mengasihi semua orang tanpa kecuali. Dia sungguh-sungguh marah pada Allah ketika menyadari bahwa bukan hanya Israel yang dikasihi-Nya tapi semua bangsa. Yunus mewakili bangsa Israel, dan bisa saja mewakili kita, yang sulit menerima gambaran dan kenyataan Allah yang demikian itu. Ia mengasihi semua orang tanpa syarat.
Yunus sekaligus juga merupakan kritik atas Yudaisme yang pada zamannya begitu menekankan monoteisme dan kemahakuasaan Allah sampai-sampai lupa bahwa Dia itu adalah pribadi yang mengasihi.
Kisah Yunus menjadi kritik terhadap setiap bentuk eksklusivisme ideologis dan religius yang 'mengurung' Allah dalam kelompok-kelompok tertentu bahwa Allah hanya menyelamatkan kelompoknya, sementara yang bukan kelompoknya pasti dihukum.
Warta tentang Allah yang mengasihi tanpa batas itu diungkapkan juga dalam kisah tentang orang Samaria yang baik hati (Lukas 10:25-37). Tanpa memperhitungkan aturan dan hukum yang lebih sering membelenggu daripada menolong manusia, si Samaria - yang sering dicap kafir oleh bangsa Yahudi - justru turun menolong orang Yahudi yang hampir mati dirampok penyamun. Bahkan ia merelakan semua miliknya agar orang tadi dapat dirawat dengan baik hingga sembuh. Ini tentu berbanding terbalik dengan kecenderungan kita untuk menolong dan mengasihi hanya orang yang sesuku dengan kita; atau orang yang darinya nanti kita bisa dapatkan balasan serupa; mungkin juga kalau orangnya cakep dan gagah serta macam-macam prasyarat lain yang kita pasang tanpa sadar.Padahal Allah mengasihi semua orang bahkan menerima kembali mereka yang menolak dan menghianatinya. Kisah pertobatan dan pengampunan orang-orang Niniwe cukup jelas mengungkapkan ini. Wajah Allah seperti inilah yang mesti kita wartakan. Kita bukan percaya pada seorang superhero apalagi superman dan superhuman tapi Allah seperti ini yang bahkan mati di salib.
Semoga hari ini cara bicara dan sikap kita terhadap sesama memperlihatkan keterbukaan dan penyambutan tanpa batas dan syarat. Mari kita mewartakan kemahaluasan kasih itu di tempat kerja kita, di sekolah dan tentu di rumah kita pula.

salam,

ronald,s.x.

Tessa Minta Karet


Ini kisah si kecil Tessa, anak lima tahun yang pada hari minggu bersama papa dan mamanya ke Gereja St. Paskalis Cempaka Putih. Selagi kedua orangtuanya khusuk berdoa, dia mendekati patung kanak-kanak Yesus yang digendong St. Fransiskus Asisi. Inilah kata-kata yang keluar dari mulutnya.
" Tuhan Yesus, ini Tessa. Dan itu papa dan mamaku. Mereka lagi berdoa. Kau tahu kan kalau sekarang Tessa sudah TK B di Sanur. Papa dan mama membelikan aku boneka barbie yang mahal waktu kami jalan-jalan ke Taman Anggrek. Boneka Barbie itu jadi teman mainku,juga jadi teman bicaraku waktu kulihat papa dan mama bertengkar dan membanting apa saja yang ada di depan mereka. Boneka itu juga jadi teman tidurku meski mama menggaji si embok dari Pasuruan. Mereka membelikan apa saja padaku walaupun aku tidak pernah minta. Aku punya hp untuk nge-sms- mama jika om sopir belum juga datang menjemputku di sekolahan. Kamarku nyaman, penuh dengan bunga dan mainan. Mungkin mama dan papa membelikan semuanya itu untukku agar aku tak nangis waktu ditinggal mama dan papa ketika ada dinas ke luar kota atau ketika papa tak pulang-pulang karena harus meladeni customernya. Aku tahu mereka sayang banget padaku.

Tuhan kau tahu boneka barbie ini meski cantik dan lucu tapi sebenarnya gak bisa bicara. Aneh, dia tetap senyum waktu aku sedih. Mestinya dia juga sedih dong kalau aku sedih.

Maka aku datang padamu, aku mau bicara sendiri denganmu. Aku ingin minta satu hal yang tidak pernah ingin aku minta dari papa dan mama. Dan aku hanya ingin minta itu darimu. Tuhan, aku minta karet,
Untuk mengikat tangan papa yang kalau lagi tak sabaran dan marah cepat sekali melayang menampar muka mama; yang terus menari di atas handphone nya waktu kami lagi makan dan minum teh bersama.
Tuhan, tessa minta karet untuk ikat juga tangan mama yang kadang-kadang meladeni amarah papa dengan memecahkan piring.
Tessa minta karet untuk mengikat tangan mama yang terlalu sering menghabiskan duit untuk membeli yang tidak perlu dan tidak terlalu kami butuhkan.
Tuhan, Tessa minta karet untuk mengikat semua buku-buku, rekening, surat-surat di atas mejanya supaya rapi dan membuat mama tidak lupa berdoa.
Tessa minta karet untuk ikat kaki papa dan mama agar tidak pergi terlalu lama meninggalkan Tessa sendiri.
Tuhan, terserah warna apa saja karet itu,yang penting karet itu bisa Tessa pakai untuk mengikat mereka berdua dengan cinta, cinta yang mereka perlihatkan sendiri kepadaku. Tuhan, ikatlah juga tangan mereka dengan tanganku pada salibmu agar mereka sungguh saling mencintai, mengampuni sebagaimana engkau telah mengampuni kami semua.

Tuhan, maaf, lihatlah, orang-orang di Gereja ini melihat dan memelototi saya. Suara saya tadi rupanya menggangu mereka yang lagi misa. Mudah-mudahan mereka, juga romo paroki tidak mengusir saya seperti yang pernah dibuat para murid dulu.

Ronald,s.x.

Blogger Template by Blogcrowds